Share

4. Kau Adalah Yang Aku Pikirkan

[Davina, kau masih pemenangnya. Meski Fathan bermain-main dengan kami, hatinya tetap untukmu. Kau tak tergantikan. Kau tetap ratu di hatinya. Jadi tolong jangan salahkan aku jika ikut mencicipi secuil kebahagiaanmu. Kamu tahu kehebatan Fathan, bukan? Baginya kami hanya tempat bersenang-senang. Dia butuh banyak dukungan untuk tetap menjadi lelaki hebat. Bukan hanya dari istri tetapi juga dari sekretaris, ahli hukum, desain interior, juga marketing handal. Kau tidak boleh egois jika benar mencintainya, seperti dia juga mencintaimu.)

*

Davina menghentikan langkahnya di tengah tangga. Sebenarnya dia sangat muak melihat wajah Fathan yang memberinya luka menyakitkan.

“Aku tahu siapa yang membunuh Lulu." Suara Fathan berhasil menghentikan langkahnya. Davina membalikkan badan menghadap ke arah laki-laki tegap yang kini terlihat seperti orang asing baginya.

"Kita ke teras belakang, kita perlu bicara." Fathan berjalan mendahuluinya menuju teras belakang. Angin sepoi menyapu wajah Davina, begitu pintu kaca yang terhubung dengan teras belakang dibuka.

Perlahan Davina melangkah mengikuti Fathan. Langkah yang sama persis dengan tujuh tahun lalu. Davina masih ingat akhirnya dia mendapatkan sebuah rumah dengan harga sewa yang sesuai dengan tabungannya, ditambah uang patungan dari kawan-kawannya. Dia mengikuti langkah Fathan seperti sekarang. Memasuki satu demi satu ruang tengah, dapur, juga kamar mandi

Mereka berlima akhirnya menjadikan rumah itu sebagai tempat berkumpul untuk belajar, ngerumpi, sesekali menyetel musik keras dan menari-nari bersama.

Rumah itu juga menjadi tempat yang nyaman untuk kunjungan Fathan pada jam-jam senggang selepas dia kuliah. Fathan hanya datang sesekali. Hubungan pertemanan berlanjut menjadi hubungan percintaan. Hanya sebentar karena Fathan melanjutkan kuliah S2 nya di Kanada. Tanpa Fathan di sampingnya, Davina kembali memberontak.

"Davina mau pindah jurusan, Pa. Davina enggak bisa ngikutin mata kuliah. Semua blank, otak Davina enggak nyampai," keluhnya. Davina menjadi tidak bersemangat untuk kuliah lagi. Ah, tentu saja karena saat itu dirinya memang sudah jatuh cinta kepada Fathan. Cinta yang naif dan bodoh. Davina menarik napas panjang.

"Ayo duduk, Sayang. Kenapa berdiri di situ?" tanya Fathan sambil menarik kursi. Hati Davina kembali sakit dengan sapaan 'sayang' yang diucapkan suaminya. Sapaan itu kini terdengar hambar di telinganya, tanpa rasa.

"Panggil aku Davina. Sayangku padamu sudah hilang bersama pengkhianatanmu. Bicara saja secepatnya, aku harus segera menemani Nafasha," sahutnya ketus.

"Kamu tidak bisa memaafkan aku? Aku tahu aku tak pantas kamu maafkan, setidaknya mari kita lakukan ini demi Nafasha."

"Kenapa baru sekarang kamu memikirkan Nafasha? Kemana pikiranmu saat memeluk Faiza, merayu Arumi, meniduri Lulu dan bercumbu bersama Ghina?" Sekuat tenaga Davina berusaha untuk tidak berteriak di depan Fathan. Percuma hal itu ia lakukan sekarang. Sakit hatinya tidak akan menguap begitu saja hanya dengan berteriak kepada pria yang menculik kewarasannya.

"Davina, aku kesini untuk bicara baik-baik. Bukan untuk bertengkar lagi denganmu. Aku salah, aku sudah minta maaf ...."

"Jadi sudah selesai urusan kita, Mas. Tunggu pengacaraku mengajukan gugatan cerai. Aku harap kamu tidak membuat semua menjadi sulit." Davina akhirnya bisa menguasai diri setelah menarik napas beberapa kali. Dia lelah dengan semuanya.

"Tunggu dulu. Kamu sudah menyewa pengacara? Aku sudah siapkan pengacara untuk mendampingimu saat penyidikan kasus kematian Lulu," sela Fathan berapi-api.

"Terima kasih. Aku bisa menyewa pengacara sendiri. Kupikir sudah tak ada lagi yang perlu kita bicarakan." Davina tahu jika semakin lama dirinya berbincang dengan Fathan, bisa jadi dia akan berubah pikiran. Sakitnya pengkhianatan suaminya belum seberapa dibandingkan dengan sakitnya menyadari bahwa dia masih sangat mencintai Fathan. Cinta memang segila itu. Membaca catatan Lulu membuatnya sadar Fathan juga masih mencintainya serupa dulu. Ah, sial!

"Kamu tidak ingin tahu siapa pelakunya?" pancing Fathan perlahan. Fathan tahu Davina masih mencintainya. Begitu juga dengan dirinya. Davina menjadi istri karena dia yang memilihnya dibandingkan puluhan gadis lain. Hatinya terikat kuat, meskipun naluri laki-laki nya juga menuntunnya pada petualangan penuh marabahaya. Petualangan bukan tanpa alasan, tapi Fathan enggan memikirkan itu sekarang.

"Katakan saja kepada polisi. Aku tidak tertarik lagi dengan kasus ini. Kamu tahu Mas, sampai detik ini aku masih berpikir kamu pelakunya," tuduh Davina ketus.

Fathan membelalakkan matanya. Davina menatap mata Fathan dengan tajam. Lelaki itu tak mengalihkan pandangan dari wajah cantik wanita yang masih sah menjadi istrinya. Keduanya bertatapan menyelami dasar hati masing-masing. Pengkhianatan hanya membuahkan luka tak nyaris tak bisa disembuhkan.

Fathan tahu siang hari sebelum Lulu meninggal, Davina menemuinya di kantor. Mereka berbicara di ruangan sekitar tiga puluh menit. Dari Cctv terpantau keduanya seperti sedang berdebat. Lulu berkali-kali mencoba menjelaskan sesuatu. Bisa jadi dari pertengkaran itu Davina menghabisi nyawa Lulu. Bukan dirinya orang yang terakhir ditemui Lulu, melainkan Davina. Rekaman Cctv tersembunyi itu hanya Fathan yang punya. Polisi tidak bisa menemukannya.

"Aku rasa pikiran kita sama. Kamu tahu, aku juga berpikir kamu yang membunuh Lulu."

Fathan terus menatap mata Davina. Dia sudah hilang akal menghadapi istrinya. Meminta maaf hingga bersujud telah dia lakukan. Nyatanya Davina berhati batu.

Tangan Davina melayang ke arah pipi Fathan, tetapi segera ditepis oleh laki-laki berkumis dan berjenggot rapi itu. "Aku tahu kamu bersamanya pada siang sebelum dia terbunuh." Fathan menegaskan kalimatnya

Davina memelototkan matanya. Saat dia datang ke kantor menemui Lulu, Fathan tidak berada di kantornya karena sedang pergi ke luar kota. Davina masuk melalui pintu khusus, tidak akan terekam kamera Cctv. Tangannya spontan menutup mulutnya saat dia menyadari bahwa ternyata Fathan berpikir dia membunuh Lulu. Tuduhan Ini lebih kejam dari yang dia pikirkan.

Tiba-tiba pintu terbuka. Suster Ratna datang tergopoh-gopoh dan berteriak dengan panik.

"Bu, maaf badan adik Nafasha demam. Empat puluh derajat tadi saya cek. Adik mengigau terus."

Davina terperanjat lalu segera berlari menuju kamar Nafasha. Fathan tak mau kalah, dia juga berlari sekencang-kencangnya menuju kamar puterinya. Nafasha sedang mengigau berteriak-teriak memanggil Davina.

"Ini mama sayang, Nafasha panas sekali badannya." Davina menempelkan tangannya pada dahi putrinya. "Mas tunggu apalagi? Cepat kita bawa Nafasha ke rumah sakit sekarang!" teriaknya panik.

Fathan segera mengangkat putrinya ke dalam mobil. Sebentar saja mobil itu sudah berpacu di jalan raya.

"Sabar sayang, sebentar lagi kita sampai di rumah sakit. Mas cepat sedikit, Nafasha mulai kejang!" imbuhnya masih dengan nada kekhawatiran. Fathan menambah kecepatan mobilnya. Rumah sakit terlihat sepi, Nafasha segera mendapatkan pertolongan pertama.

"Maaf bapak dan ibu tunggu di luar," kata seorang perawat sambil menutup pintu ruang ICU. Davina limbung, Fathan segera menangkap tubuhnya lalu membawanya duduk di kursi sofa ruang tunggu.

"Jangan anakku Tuhan. Tolong jangan anakku," bisiknya pelan dengan mata tertutup. Fathan memeluk istrinya lebih erat. Davina tak menolaknya, tapi juga tak membalas pelukan itu.Fathan termenung smbil memeluk Davina. Apakah ini karma instan yang harus dia terima dari perbuatannya? Tidak. Tidak boleh sekarang.

Keduanya terdiam larut dalam do'a masing-masing. Saat orang yang tersayang berada di ujung takdir, Davina dan Fathan berharap bisa menukar hidup mereka dengan Nafasya. Malam itu keduanya saling berpelukan dan menguatkan hati untuk berita baik yang dinantikan. Sejenak ego mereka tersingkirkan, demi Nafasha yang belum jelas nasibnya.

Lemah.

Mungkin Davina memang lemah. Sejatinya dia masih mencintai Fathan, meski cinta itu harus berakhir di Pengadilan Agama.

Malam yang sangat panjang tidak hanya dirasakan oleh Davina dan Fathan, tetapi juga ketiga orang lainnya. Faiza, Arumi dan Ghina tidak bisa memicingkan mata, karena esok hari giliran mereka yang harus memberikan keterangan di depan polisi.

Bagaimana semua cerita ini bermula. Bagaimana mereka bisa terlibat dalam cinta segi lima yang rumit. Cinta yang membuat mereka rela mengkhianati sahabat yang sudah mereka kenal jauh sebelum mereka bertemu dengan Fathan Rafid Pahlevi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status