Share

Awal dari Permulaan

17 tahun kemudian...

Suasana pagi ini tak terlalu menenangkan.

Hiruk pikuk keadaan jalan raya begitu memperlihatkan suasana di pagi hari yang memang terkadang agak ramai dibanding hari-hari lainnya.

Iya.

Hari ini adalah hari Senin.

Orang-orang tampak sibuk berangkat kerja ataupun sekolah sepagi mungkin.

Mungkin hari Senin bisa kita ibaratkan sebagai rajanya macet. Entah dari kota atau daerah pinggiran kota, semuanya sama saja.

Semua orang sangat sibuk dengan urusannya masing-masing.

Apalagi jika malamnya hujan deras, maka sebagian orang sudah ada yang tahu kalau salah satu daerahnya akan ada yang terkena banjir.

Bukan karena sok tahu, tapi karena memang sudah kenyataannya seperti itu.

Hampir dari semua anak-anak yang sekolah juga, berlomba-lomba untuk bisa bangun sepagi mungkin.

Tapi tetap saja di antara semua fenomena itu, masih ada segelintir orang yang santai dan tidak mempedulikan keadaan nanti.

Hal itupun memang tengah dialami oleh seorang anak dari salah satu keluarga kecil yang tinggal di perumahan elit.

Namanya adalah Rumi Azazil Mauza.

Setelah bangun tidur, dia berjalan lunglai ke kamar mandi untuk mempersiapkan diri ke sekolah.

Meski saat ini upacara, tapi dia tidak peduli mau terlambat ataupun tidak.

Bahkan kalau nanti dia dikeluarkan dari sekolah pun, dia tidak akan peduli.

"Heh brengsek! Cepetan!" seperti biasa, dia selalu mendengar ada seseorang yang menggedor pintu kamar mandi dengan kasar ketika dirinya masuk.

Padahal orang yang menggedor tahu kalau Rumi baru saja masuk ke dalam kamar mandi beberapa menit yang lalu.

Tapi dirinya seperti tidak boleh diberi kesempatan lebih untuk lama-lama di sini.

Rumi mempercepat kegiatan mandinya lalu keluar.

Dia hanya mendapati sepasang mata dengan tatapan yang dingin dan tak pernah memberi sedikit pun senyuman kepada dia.

Mata itu yang selalu ia lihat setiap pagi, setiap siang, setiap malam bahkan setiap hari.

Tidak ada perubahan sama sekali dari waktu ke waktu.

"Lho jaket gue mana ya?" gumamnya sambil mencari-cari jaket yang ia maksud di dalam lemari kamarnya.

Dia belum tua dan bukan juga pelupa.

Rumi masih ingat betul ketika malam kemarin dia menyimpan jaket itu ke dalam lemarinya. Dan setelah itu, dia tidak lagi memegang ataupun menyimpan alih jaketnya di mana.

Pria itu terdiam sesaat. Meskipun masih pagi, tapi emosinya sudah biasa terpacu keruh dan tidak menenangkan.

Setelah selesai bersiap-siap, secepat kilat Rumi mengambil tasnya kemudian turun ke bawah dan menghampiri seorang pembantu yang sudah bekerja belasan tahun di rumahnya ini.

"Bi?" sapanya sambil memakai sepatu. "Lihat jaket Rumi yang masih baru itu nggak? Yang warna hitam."

Bi Nia, wanita setengah baya yang sedang menyapu dapur itu..., perlahan menghampiri anak tuannya.

"Yang dua hari lalu baru dibeli itu bukan, dek?"

Rumi mengangguk. "Iya. Lihat engga?"

"Aduh saya lihat." ujarnya berbisik. "Tapi malam kemarin pas saya mau istirahat, saya lihat nyonya pergi ke belakang sambil bawa jaket adek yang itu."

"Wah? Kemana bi?" 

"Ke belakang rumah. Karena penasaran, saya ikuti dari belakang dan ternyata...." Bi Nia menghentikan ucapannya karena dia merasa tak tega untuk mengatakan hal itu.

"Ternyata apa, bi?" Rumi penasaran.

"Maaf sebelumnya. Tapi saya lihat jaket adek dibakar di sana. Mungkin adek bisa ke belakang buat lihat bukti bekas bakarannya."

Rumi menghela napasnya berat. Tanpa mengucapkan sepatah apa pun lagi, dia lantas mengambil tasnya kemudian pergi dengan perasaan yang kacau dan bergemuruh.

"Dek? Adek belum makan dari malem! Makan dulu!" teriak Bi Nia sambil mengejar Rumi, tapi seorang wanita menarik tangannya.

"Jangan pernah paksa orang yang engga mau makan! Pergi sana. Mending buatin saya teh."

Wanita itu terlalu ketus hingga membuat Bi Nia hanya mengangguk kecil kemudian pergi dari sana.

Ada hati ingin sekali menangis dalam diri bi Nia.

Bukan karena dia tak tahan dengan sikap keras dari majikannya itu, tapi dia terlalu kasihan dengan sang anak yang setiap harinya selalu saja mendapat cobaan.

Terkadang hanya karena masalah kecil saja, piring dan mangkuk banyak yang pecah berantakan.

Rumi menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi.

Dia sama sekali tak peduli dengan dirinya sendiri apakah mau tertabrak atau mati di tempat.

Justru mungkin, Rumi adalah salah satu manusia langka yang ada di dunia ini karena ketika dia pergi dari rumah, bukan keselamatan yang ia doakan.

Tapi dia, justru sangat berharap kalau dalam perjalanannya itu, dirinya ditabrak mobil, terluka parah hingga tak bernapas lagi.

Dia terlalu bosan dengan keadaan yang terus mengekang dirinya hingga sampai seperti ini.

Bosan, semangat pun rasanya sudah tidak ada lagi.

"Pak? Kok gerbangnya ditutup?" tanya Rumi pada salah satu satpam sekolah ketika dia sudah sampai di sana.

Satpam itu kebingungan karena melihat Rumi dengan rapinya sudah memakai seragam seperti siap untuk melaksanakan upacara.

"Eh kamu ini dari mana aja? Masa engga tahu kalau sekarang libur?"

Rumi membulatkan mata. Dia terdiam sambil menggaruk-garuk kepalanya tak gatal.

"Aduh. Kamu ngigau atau engga dengar omongan guru? Semua anak mungkin lagi pada tidur di rumahnya. Tapi kamu udah rajin-rajin ke sini kayak emang mau belajar. Emangnya nggak ngeliat grup kelas?"

"Engga, Pak. Saya jarang buka handphone." pria itu lantas pergi dengan perasaan yang masih dilanda kebingungan.

Bukan bingung kenapa dia tidak tahu kalau sekarang libur, justru dia bingung harus pergi kemana ketika ada libur seperti ini?

Apakah harus kembali ke rumah? Tapi rasanya tak mungkin.

Dia terlalu muak dengan kondisi rumah.

Bahkan kalau dirinya memiliki kekuatan lebih untuk bisa kabur dari sana, maka dari dulu dia sudah pergi dan tak akan pernah kembali.

Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu saat nanti, dia akan pergi dari sana bagaimanapun itu caranya.

"Brengsek! Gue harus kemana?"

Dia terus memutar otaknya agar bisa berpikir jernih.

Hidupnya benar-benar gelap.

Selama sekolah, dia tidak pernah memiliki teman dekat ataupun teman sebangku seperti orang lain.

Meskipun wajahnya tampan dan mampu menarik perhatian wanita, tapi bagi orang-orang yang sudah tahu sikapnya, Rumi perlahan dijauhi dan tidak ditemani oleh siapapun.

Dia tidak jahat ataupun brutal terhadap orang lain. Justru orang merasa aneh bahkan takut ketika melihat sikapnya yang tertutup dan tidak mau banyak bicara dengan orang lain.

Sorot mata tajam dengan Hoodie hitam yang selalu ia pakai, mampu membuat orang-orang merasa bahwa bisa saja Rumi adalah seorang psikopat.

Jadi belum juga dia didekati, orang-orang sudah berpikiran negatif dan memilih untuk menjauhinya.

Bahkan di kelasnya pun, tak ada satu orang pun yang berani bertanya atau pun mengajaknya bercanda.

Apalagi para wanita, dia benar-benar terlihat takut ketika bertemu dengan Rumi karena desas-desus psikopat yang kebenarannya tentulah bukan.

Dia tahu kalau dirinya tengah diperbincangkan seperti itu.

Tapi Rumi memilih diam daripada mengangkat suara karena percuma saja, tak akan ada orang yang bisa membela dia. Tak akan ada orang yang bisa percaya dan tidak akan ada orang yang mau mendengar semua pendapatnya itu.

Jadi Rumi memilih bungkam dan menganggap semua omongan itu hanyalah angin lalu saja.

...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status