Share

Penenangan Bi Nia 2

Sepertinya, hanya orang-orang langka yang selalu menyalahkan dirinya sendiri atas semua kesalahan yang menimpanya.

Berbeda dari seorang Rumi yang mungkin hidupnya tengah berada diambang hidup atau pun mati.

Dia tidak menyalahkan dirinya sendiri saat ini. Mungkin kalau bisa kita teori kan, justru dia yang selalu disalahkan untuk semua permasalahan padahal dirinya tidak melakukan apa-apa ataupun berbuat sesuatu, tapi hanya hal sepele saja.

Pernyataan tadi tidak berlaku bagi Rumi.

Justru yang benar, adalah manusia langka karena benar-benar diperlakukan tidak buruk di dunia ini.

Bukan oleh orang jahat ataupun orang lain.

Justru yang paling menyakitkan, kesakitan itu berasal dari keluarganya sendiri.

Bahkan tak jarang, seorang Rumi selalu mengeluh dan berdoa kepada Tuhan agar bisa mematikan dirinya di suatu tempat.

Dia ingin mencapai kedamaian, yang mana dalam kedamaian itu tidak ada satu orang pun yang bisa mengganggunya lagi. Dia ingin hidup bebas.

Menjalani kehidupan dengan nyaman dan bahagia seperti orang-orang yang selalu ditemui di setiap jalanan.

Sederhana saja.

Rumi ingin 'ada'.

"Kapan aku mati, bi?" lirihnya pelan dan menghanyutkan. "Rumi udah capek tinggal di sini. Rumi udah nggak mau lagi debat sama siapapun."

Bi Nia melepas pelukan. "Adek enggak boleh nanya gitu. Kita sebagai manusia harus bisa pasrah sama ketentuan Allah. Adek jangan nyerah. Semua ini hanya ujian. Adek juga harus yakin bahwa setelah hujan ada pelangi."

"Tapi enggak selamanya setiap hujan ada pelangi, bi. Rumi bener-bener capek." suaranya terdengar gemetar lemas. "Aku beneran pengen pergi dari sini. Bunuh saja Rumi, bi. Bunuh Rumi."

"Jangan, dek. Jangan ngomong gitu. Kamu harus yakin sama diri kamu sendiri. Kamu harus berusaha menjadi pribadi yang tak boleh nyerah gitu aja. Kamu harus tahu bahwa orang yang mati karena bunuh diri, adalah orang yang tak disukai oleh Allah. Mereka telah melakukan suatu hal melebihi kodratnya. Percayalah sama Bibi. Mati bukan menjadi alasan seseorang bisa lepas dari permasalahan dunia. Justru di situlah permasalahan kamu akan dimulai. Ketika kamu memutuskan untuk mati, maka di situ juga kamu memutuskan untuk memperberat masalah hidup yang dibuat oleh diri kamu sendiri."

Rumi hanya menangis. 

Isakannya telah memecah keheningan suasana yang sudah perlahan mencapai fajar.

Pria itu tertunduk lesu.

Ketika suasananya sudah agak mereda, diajaknya Rumi oleh Bi Nia untuk kembali ke kamar.

Karena kondisi bajunya yang basah, Bi Nia mengambilkan beberapa baju untuk kemudian Rumi akan menggantinya di kamar mandi.

Tangis wanita itu seketika meledak ketika melihat anak majikannya menutup pintu untuk mengganti baju di sana.

Dia berusaha menutupi semua rasa sakit yang tadi ia lihat sendiri, saat Rumi berusaha memberontak dan ingin membenarkan pendapatnya di hadapan sang ibu.

Namun bukan maaf atau kelembutan yang ia terima. Justru, Letty semakin membabi buta seperti tidak mau melihat anaknya sendiri berada di bumi ini.

Andai kalau tidak ada Rumi, mungkin dia akan menjerit kesakitan di sini.

Walau memang bukan keluarganya, tapi Bi Nia sudah menganggapnya seperti anak sendiri.

Apa-apa yang saat ini dihadapi oleh seorang Rumi sendirian, tentunya mengundang penderitaan penuh bagi orang-orang yang tahu kehidupan sebenarnya seperti apa.

Jangan jauh-jauh saja.

Bi Nia, orang yang hanya sekedar menjadi pekerja di rumah ini, selalu saja mendapatkan kejadian yang tak menyenangkan tatkala melihat Rumi ada di rumah.

Kalau saja dia memiliki kekuatan lebih, maka dia tidak akan membiarkan anak itu tetap tinggal di sini. Dia akan membawa anak itu sejauh mungkin dan mengenalkannya apa arti kebahagiaan.

Ceklek.

Suara pintu terbuka sejurusnya terdengar.

Bi Nia seketika mengelap air matanya kemudian menuntun Rumi untuk bisa duduk di kasur.

"Kamu tunggu di sini, ya. Biar bibi bawakan obat dulu." ujarnya ketika melihat hidung Rumi yang merah dan sesekali masih meneteskan darah karena mungkin benturan guci yang tadi dilemparkan oleh ibunya terlalu keras.

"Tidak, bi." seru Rumi sambil menahan tangan pembantunya itu. "Bibi enggak usah repot-repot bantuin Rumi."

"Kenapa?" bi Nia duduk di sampingnya.

"Rumi udah nggak ada artinya lagi di dunia ini. Semua orang udah nggak ada yang sayang Rumi. Mereka nggak peduli Rumi mau nangis, berdarah, dan mungkin kalau Rumi mati pun engga akan ada orang yang mau lihat jasad Rumi yang terakhir kali."

"Kata siapa? Kata siapa enggak ada orang yang sayang sama kamu? Kata siapa enggak ada orang yang peduli sama kamu? Bibi peduli, dek. Meskipun keluarga kamu sendiri enggak nganggep kehadiran kamu di sini, Tapi kamu jangan sekali-kali lupakan bibi. Karena Bibi sangat sayang sama kamu. Bibi nggak mau ngelihat kamu nangis kayak gini."

Bi Nia lantas beranjak membuka laci untuk mengambil beberapa obat agar bisa meredakan luka yang ada di hidung Rumi.

Pria itu hanya bisa melamun. Tidak banyak kata yang dia ucap selain sorot matanya yang benar-benar kosong. Tak ada harapan dan semangat yang terlihat.

Bi Nia pun sampai tak tega dan tak mau melihat mata sang anak. Karena dia tahu ketika menatap Rumi, maka air matanya akan jatuh.

Dan kalau nanti keduanya sama-sama menangis, lalu siapa yang akan menguatkan Rumi?

"Maaf ya dek kalau sakit." Bi Nia menekan pelan luka Rumi dengan alkohol.

Ujung hidungnya lecet entah karena apa.

Tapi, tak tahu kenapa keanehan ini justru muncul ketika bi Nia mengobati luka-luka yang ada di Rumi.

Dia sama sekali tak memberikan reaksi apa pun selain diam dengan tatapan yang kosong. 

Alkohol yang sengaja Bi Nia tempelkan pada lukanya, tak membuat anak itu merintih sedikitpun.

"Dek, kamu masih dengar bibi kan?"

Rumi mengangguk pelan. 

"Tapi kenapa kamu engga ngerasa sakit?"

Pria itu mendongakkan wajahnya pada bi Nia. Matanya sembab berkaca-kaca.

Tidak ada sedikitpun raut yang menunjukkan bahwa anak itu memiliki semangat hidup.

"Bagi Rumi, luka seperti ini nggak ada apa-apanya bi. Rumi sama sekali nggak ngerasain sakit sedikitpun. Terserah Bibi mau tekan kuat luka Rumi atau sengaja bunuh Rumi, Rumi engga akan ngerasain sakit."

"Itu tandanya kamu anak yang kuat, dek." Bi Nia menyimpan obat-obatannya. "Semenjak Bibi hidup, Bibi belum pernah nemuin anak sekuat dan sehebat kamu. Adek anak yang pintar. Adek hanya perlu bersabar dan jangan pernah takut untuk melangkah. Biarkan orang-orang memandang adek seperti apa tapi adek harus ingat, bahwa masih ada orang yang sayang sama adek. Khususnya bibi. Setidaknya adek harus hidup demi Bibi, ya."

Rumi tersenyum kecil. 

"Makasih banyak atas semuanya bi. Rumi seneng banget ada orang yang masih perhatian dan sayang sama Rumi. Walau perhatian dan sayang itu, Rumi enggak dapatkan dari keluarga sendiri. Kadang Rumi pengen hidup kayak orang-orang yang harmonis sama keluarganya. Jujur, Bi. Rumi iri sama mereka. Kenapa hidup Rumi nggak kayak gitu?"

"Bukan engga, dek. Tapi belum. Kamu harus percaya bahwa Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya. Ketika Allah menguji kamu sampai saat ini, itu artinya Dia percaya bahwa kamu masih bisa menghadapi semuanya dengan sabar. Adek harus sabar. Hidup engga akan selamanya memberi kita kesakitan. Adek tinggal nunggu, kapan kebahagiaan itu akan menghampiri adek. Kamu harus yakin ya."

...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status