Share

Penenangan Bi Nia

"Gua udah cape liat wajah lu tau engga?" bentak Letty sambil mendorong sang anak hingga jatuh ke belakang.

Untung saja Bi Nia datang, lantas membangunkan Rumi dari sana.

"Lu memang anak pembawa sial! Nggak pernah sekali aja lu bikin hidup gua tenang. Kehadiran lu merubah segala suasana. Lu seharusnya mikir jadi manusia! Ngotak dikit! Jangan pernah sok pengen kelihatan baik. Lu sama sekali nggak ada tandingannya sama siapapun! Lu cuma sampah!"

Letty benar-benar jahat.

Dia sama sekali tak pernah memikirkan bagaimana sakitnya sang anak ketika dibicarakan seperti itu.

Letty memang bukan seorang ibu.

Hati dia terlalu batu dan tidak mau menerima keadaan yang menimpanya.

Tak hanya keluarga besarnya dia yang tidak menyukai Letty.

Justru terkadang, tetangganya pun merasa kasihan mendengar Rumi yang terus saja dimarahi hanya karena hal sepele.

Pernah waktu itu ketika hari Minggu, tetangga samping rumahnya sedang menyiram tanaman di depan rumah.

Tiba-tiba wanita itu mendengar ada suara teriakan yang terletak dari rumah Letty.

Suara itu tak hanya teriakan saja. Justru ketika teriakan tak pantas itu keluar, sejurusnya ada suara benda benda pecah yang mengiringi.

Maka tak ayal jika tetangga dekatnya selalu mengintip apa saja yang terjadi di dalam rumah itu.

Bukan karena apa-apa.

Mereka takut kalau salah satu anggota keluarganya ada yang dibunuh atau mungkin di dianiaya dengan tidak wajar.

Lagipula semua manusia memiliki hak asasi. Tak pandang orang tua ataupun anak, ketika salah satu di antara mereka ada yang berbuat suatu hal yang keji, maka perlu diadili.

Apa pun itu alasannya.

"Gua emang sampah!" balas teriak Rumi. "Dari dulu gue emang sampah dan akan terus dianggap sampah. Gua anjing! Gua babi! Bukan gue yang ngomong tapi lu! Lagipula siapa yang mau minta gua dilahirin ke rahim lu, ha? Kalau lu bener-bener nggak mau gua ada di dunia ini, kenapa lu nggak bunuh gue aja dari dulu? Gua nggak pernah minta buat dilahirin. Jadi seharusnya lu mikir. Gua di sini sama sekali nggak punya keluarga. Kebersamaan, kehangatan keluarga, canda tawa, semangat dari mereka, semuanya cuma omong kosong." ucapannya benar-benar membuat seisi rumah hening. Kemarahan anak itu bergemuruh hebat. Tapi seberusaha mungkin dia juga harus mengontrol emosinya. Suaranya gemetar tak keluar. Mata Rumi, tak henti-hentinya menatap sang ibu yang kini tengah menatap anaknya seperti singa yang kelaparan. "Gua dari dulu nggak berharap buat dianggap ada. Tapi setidaknya kasih gua ketenangan hidup. Kalau lu bener-bener nggak mau lihat gua ada di sini, kenapa lu dari dulu nggak minta gua buat pergi, ha?"

"Kurang ajar! Dasar babi!" tanpa disangka-sangka, wanita itu melayangkan hiasan guci yang ada di pinggirnya tepat sekali ke wajah Rumi.

Amarahnya kini sudah meluap hebat. Apalagi ketika sang anak berusaha membenarkan pendapatnya, bukan berpikir tenang yang dilakukan.

Justru di dalam hatinya, ia ingin sekali menghilangkan anak itu dari bumi.

Rumi terpental ke belakang. 

Bi Nia yang sudah pernah melihat fenomena ini beberapa bulan yang lalu, dengan segera menarik tangan Rumi untuk dibawa kedalam kamarnya kemudian ia kunci rapat-rapat.

Ia tidak mau permasalahannya berkepanjangan hingga membuat mental sang anak terganggu.

Semua orang tidak ada yang tidak menangis.

Waktu yang seharusnya dijadikan tempat terlelapnya orang-orang di luar sana, itu tentu tak bisa dipastikan oleh keluarga yang hancur seperti Rumi.

Orang-orang tengah tertidur nyenyak saat ini. Mereka melanglang buana menjelajahi mimpi yang indah dan asik.

Tapi tak semua orang bisa merasakan mimpi itu.

Terkadang...., ada kegelapan yang terus menghalangi orang tersebut untuk bisa merasakan manisnya kehidupan.

Bukan hanya sekedar kehidupan saja. 

Tapi mimpi indah, Rumi pun tak pernah merasakan hal itu.

Sungguh pria prihatin memang.

Andai kesakitan anak itu bisa diketahui oleh seluruh makhluk yang ada di dunia. Mungkin salah satu di antara mereka ada yang rela untuk membawa Rumi agar bisa terlepas dari beban sulitnya kehidupan.

Setelah pintunya terkunci, Rumi segera mengambil sesuatu dari lacinya.

Bi Nia tak berhenti sampai sana.

Dia merebut paksa benda yang sedang Rumi pegang saat ini. Tenaga anak itu kuat. Meskipun badannya sudah seperti tulang dibungkus kulit, tapi ketika amarahnya meluap dia benar-benar seperti orang yang mempunyai banyak kekuatan.

"Sini bi!" ujarnya memohon agar bi Nia bisa memberikan gunting itu kepadanya.

"Jangan gegabah, dek. Istigfar!" seru Bi Nia.

"Gua nggak peduli. Gua pengen mati!" Rumi sama sekali tak menghiraukan hidungnya yang kini berdarah karena lemparan guci dari ibunya itu.

Dia benar-benar sudah lelah dan muak dengan semuanya.

Pikirannya tak lagi tenang selain ingin mati dan habis hidupnya hari ini.

Dia ingin mencapai kedamaian abadi yang menurutnya, ketika kita mati maka seluruh permasalahan hidup akan lepas.

Dia ingin bebas meskipun tak lagi bisa bernapas.

Menginjakkan kaki di tanah, rasanya seperti menginjakan kaki pada serpihan kaca yang sengaja dibakar berjam-jam pada tungku api.

Rumi sudah terlihat lelah dengan keadaan.

Pikirannya sudah terasuki oleh gangguan buruk agar bisa secepatnya menghabisi dirinya sendiri.

Dia juga terus berusaha merebut sekuat tenaga gunting tajam yang dipegang bi Nia.

Anak itu sama sekali tak mau mendengarkan ucapan pembantunya ini. Dia hanya ingin gunting itu untuk kemudian ditusukkan ke dalam perutnya.

Bagu dirinya, mencapai kedamaian abadi adalah solusi dari semua permasalahannya.

"Bi, sini bi!" 

Bi Nia tak mau kalah. Dia berlari membuka jendela kamar kemudian melemparkan gunting itu sejauh mungkin.

Rumi akan mengambilnya dengan melompat dari jendela, tapi dengan cekatan bi Nia menarik baju anak itu kemudian membawanya ke kamar mandi.

Ketika pintunya sudah dikunci, tanpa berpikir apa-apa lagi wanita itu mengguyur Rumi dengan banyak air agar kepalanya tak panas dan bisa berpikir tenang.

Awalnya Rumi memberontak.

Tapi ketika kepalanya sudah diguyurkan beberapa gayung air, Rumi perlahan duduk sambil menangis.

Tak sampai situ.

Bi Nia yang sudah sangat tahu posisi Rumi sesakit apa, dia tak banyak bicara selain memeluk anak itu lama.

Dia ingin emosi Rumi cepat mereda.

Karena percuma ketika kita memberi semangat terhadap orang yang marah, maka apa yang kita lakukan itu sia-sia.

Orang yang tengah diselimuti amarah harus diberi kepedulian fisik.

Jangan dulu kita mengomel atau mengatakan hal-hal yang semakin membuat orang itu kacau.

Bi Nia memberikan pelukan hangat untuk Rumi ketika hatinya sedang tak bersahabat.

Layaknya pelukan dari seorang ibu terhadap anak, Rumi pun mengakui bahwa pelukan dari pembantunya ini..., sedikit mampu membuat hatinya tenang.

"Bi, Rumi ingin mati." setelah agak lama, Rumi berujar lirih dan terbata-bata. Tentu ucapan sang anak tuannya begitu menyakiti hati Bi Nia.

Dia menggelengkan kepalanya pelan sambil terus mengusap kepala dan punggung Rumi secara bergantian. "Engga boleh, dek. Dosa." jawabnya dengan lembut.

"Tapi Rumi udah capek. Rumi udah nggak tahan lagi hidup di sini. Rumi pengen mati."

"Kamu belum ditakdirkan untuk mati."

"Lalu kenapa Tuhan tidak mematikan saja makhluk sepertiku ini? Apa Tuhan tidak melihat penderitaanku?"

...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status