Share

Terancam

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2022-05-27 22:47:20

“Jangan mentang-mentang kau ini membiayai keluargaku bisa seenaknya memperlakukan Mbakku dengan kasar.”

Hisyam masih saja berusaha memukul wajahku, meski beberapa orang mulai menariknya menjauh. Tubuhnya yang tinggi dan sedikit berisi membuatku sedikit kewalahan.

“Heh, saya tidak pernah memukul Mbakmu. Dia sakit juga bukan karena saya melakukan kekerasan!” ucapku.

“Nak Hisyam, sudah jangan kurang ajar sama kakakmu!” Ibu Rosa, mertuaku berteriak mencoba melerai kami.

“Dia hanya kakak ipar. Aku melihat sendiri bagaimana dia memperlakukan Mbak Prily. Enggak ada bedanya dengan pelayan, kenapa Ibu malah membela dia. Apa karena dia rutin memberikan ayah uang bulanan? Aku juga bisa, Bu. Ke depannya biar aku yang tanggung semuanya. Tidak perlu lagi mengemis pada laki-laki ini!”

Plak! Ayah Jery, mertuaku baru saja menampar anak itu. Seketika Hisyam menutup mulutnya. Dia terlihat menatap nanar pada pria paruh baya yang masih terbatuk sembari terengah-engah itu.

Ayah Jerry baru saja berlari dari dalam sampai ke area parkir di mana kami berseteru. Ibu masih berusaha menenangkan Ayah yang terlihat kesakitan.

“Biar saya ambilkan kursi roda, ya Yah. Tunggu sebentar!” ucapku.

Meskipun aku masih kesal dengan putranya dia tetaplah ayah dari istriku. Aku masih sangat menghormatinya meski terkadang kesal juga. Sejak menikah aku benar-benar harus bekerja keras, demi kehidupan keluarga istriku.

Sejujurnya aku bisa saja tak lagi mengirimkan tunjangan. Namun, nuraniku selalu menolaknya. Aku tak tega kalau menyaksikan Om Jery harus bekerja dalam kondisi yang sakit-sakitan, meski sejujurnya terbesit rasa tak rela harus ikut menafkahi mereka.

“Maafkan Hisyam, Nak. Uhuk—uhuk,” ucap Ayah Jery.

“Enggak apa, wajar dia marah. Saat itu saya memang sedang emosi. Saya yang salah, saya yang harusnya minta maaf karena enggak sengaja mendorong anak Ayah, tapi demi Allah selain itu saya enggak pernah memukulnya “

Alhamdulillah, saya percaya Nak Juna enggak akan kasar sama Prily, tapi Prily kenapa bisa sampai masuk rumah sakit?"

“Asam lambungnya naik. Maaf karena tadi saya berbohong, khawatir kalau mendengar kabar ini. Ayah ikut khawatir.”

“Lain kali, kalau ada apa-apa. Kabari kami, bagaimanapun kami tetap orang tuanya," kata Ibu Rosa.

“Saya minta maaf, untuk itu. Kalau begitu mari saya antar dulu ke ruangan Prily.” Jantungku rasanya semakin berdebar seiring dengan derap langkah yang semakin mendekati ruangan Prily.

Takut mereka bertanya macam-macam. Meski aku sedikit beruntung karena anak kecil itu tak ikut kesini. Entah ke mana dia. Setelah ditampar Ayah Jery dia langsung diam dan pergi. Baguslah, biar dia tahu siapa aku bagi ayahnya. Baru bisa menghasilkan uang yang tak seberapa saja sudah sombong.

“Kenapa asam lambungnya bisa naik.? Sejak dulu, Prily enggak punya penyakit magh. Apa dia sering telat makan?” Duh, bagaimana aku menjelaskannya. Dia sakit karena sering menahan lapar.

“Dia sering berpuasa, Yah.”

Astaghfirrullah, seharusnya dia enggak perlu beribadah sekeras itu.”

 Untunglah mereka percaya. Prily masih dalam pengaruh obat tidur, tetapi begitu mereka hendak pamit. Matanya mulai terjaga.

“Ayah, Ibu. Sejak kapan kalian di sini? Kenapa enggak bangunin aku, Mas?"

Prily malah memanggil mereka.

“Kamu ‘kan lagi ngedrop, Mas mana mungkin tega bangunin kamu."

“Sudah, lebih baik istirahat saja Nak. Kita sudah mau pamit, Ayah juga mau pulang.”

“Bapak, habis periksa?”

“Hmm.”

“Kamu ini sebenarnya sakit apa? Kenapa enggak bilang Ibu kalau sakit? Kamu jangan terlalu sering puasa, nanti sakit begini. Kasihan suamimu loh, mengkhawatirkan kamu sampai ikutan pucat.” 

Prily melirikku sekilas. Saat kami bertemu pandang, dia segera berpaling lalu menampilkan senyum tulusnya. Seolah dia tengah membenarkan ucapan ibunya.

“Hanya sakit biasa, Ibu enggak perlu khawatir. Lain kali aku enggak akan puasa.”

“Kamu memang enggak diperbolehkan puasa dulu, sama dokter,” ucapku.

“Makasih sudah jaga aku semalaman, Mas. Wajahmu sampai pucat begitu.”

Aku pucat karena takut disalahkan bukan sepenuhnya karena mengkhawatirkanmu. Pokoknya tidak ada yang boleh tahu penyakitmu, Prily. Entah akan seperti apa marahnya ayahku. Kalau aku membiarkan anak sahabatnya kelaparan.

“Mas antar Ayah dan Ibu ke depan. Kamu enggak apa ditinggal sebentar, atau mau ke kamar mandi dulu, mungkin?”

“Enggak, pergi aja!”

Entah kenapa aku menangkap raut kesal di wajah Prily. Apa dia tahu, kalau sejujurnya aku ini tak benar-benar mengkhawatirkannya atau dia marah karena aku membuatnya kelaparan.

“Katanya mau nganter, kenapa enggak pergi?” Menyadari aku yang masih menatapnya dalam diam, dia kembali bertanya. Bukan apa-apa. Hanya saja dia tak pernah bicara dengan nada yang sedikit ketus seperti itu.

“Kamu marah sama Mas?” bisikku.

“Enggak kok.”

“Tapi caramu bicara enggak seperti biasanya.”

“Pergilah Mas, itu Ayah sama Ibu udah mau keluar ruangan.”

“Kita perlu bicara setelah ini. Ada hal penting yang harus kamu tahu.”

“Hmm.”

Aku mengejar pasangan itu, tetapi dari kejauhan aku melihat. Hisyam tengah berjalan ke arah kami.

“Bagaimana keadaan Mbak Prily, Yah?”

“Baik-baik aja, kok.”

“Aku enggak percaya, aku ingin bicara dengannya langsung.”

“Syam, sudahlah jangan membuat keributan. Prily yang bicara sendiri kalau dia hanya sakit ringan. Kamu jangan terlalu menyalahkan Mas Juna.”

“Ibu, enggak tahu bagaimana perhitungannya Mas Juna. Aku pernah dengar dia marahin Mbak cuma gara-gara Mbak beli makanan yang harganya cuma 300 ribu. Dia bilang itu berlebihan, dia maki-maki Mbak.”

“Hey, jangan fitnah.”

“Kenapa, sekarang kamu enggak bisa membela dirimu sendiri ‘kan? Aku ada di sana Mas. Aku denger kalian bicara apa saja. Kau ini keterlaluan pelitnya!”

“Bener apa yang dikatakan Hisyam, Juna?”

“Hm itu enggak semuanya benar. Aku hanya menasihatinya untuk jangan berlebihan. Beli seperlunya  mungkin karena logatku yang keras. Hisyam kira kami sedang bertengkar.”

“Aku bukan anak kecil yang enggak bisa bedakan orang nasihati sama maki-maki!”

“Hisyam cukup, ya!”

“Lihat, Ayah dia panik dan ketakutan!”

“Hisyam kau masuk saja, ruangannya yang paling pojok. Temani Mbakmu, takut dia butuh apa-apa.”

“Iya, Yah.”

Hisyam masih saja terlihat menantang. Dia bahkan tak segan menepuk pundakku saat kami berpapasan.

“Sekarang jujurlah, dia itu sakit karena apa? Tidak mungkin orang bepuasa sampai masuk rumah sakit.”

“Maafkan saya, Yah. Saya teledor, sebenarnya lambungnya terluka, dokter bilang dia sering telat makan."

“Telat makan atau enggak kamu beri makan?” tegas Ayah Jery.

Aku bisa melihat kemarahan lewat sorot matanya. Lengannya mengepal kuat, hingga buku-buku jemarinya tampak jelas.

“A-aku tidak mungkin melakukan itu, Ayah.”

Sial aku tak bisa menyembunyikan kegugupanku.

“Saya sudah lama mendengar desas-desus. Kalau kamu ini terlalu perhitungan. Saya membantah semuanya karena istrimu yang meyakinkan kami kalau semua itu tidak benar. Enggak tahu kenapa dia melakukan itu, yang jelas kita perlu bicarakan ini, Juna. Minta Ayah dan Ibumu datang ke rumah nanti sore.”

“Yah, tapi ....”

Sial habis sudah kalau sampai ayah dan ibuku tahu. Gara-gara anak sombong itu. Pernikahanku jadi terancam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Catatan Usang   Aku Sungguh Membutuhkanmu

    “Hisyam, kamu tidak ingin berkata apa pun?”“Aku hanya ingin minta maaf Mbak. Seharusnya aku enggak ikut membencimu.”“Sudahlah, Mbak titip Ayah sama Ibu ya.”“Memangnya Mbak mau ke mana, tolong jangan bikin Hisyam takut.”“Sayangi mereka, Hisyam … berjanjilah.” Bahkan pemuda yang biasanya tampak acuh, hari ini terlihat begitu rapuh.“Hisyam janji, Mbak.”“Ayah.”“Iya, Sayang.”“Lihat dia, bukankah suamiku sangat tampan?" tanya Prily. Sejenak membuat Ayah Jeri memutar kepala ke arah Arjuna.“Iya, dia sangat tampan."“Jangan membencinya lagi, Ayah. Aku sudah sangat bahagia, percayalah.”“Ayah tidak akan membencinya Nak, tapi bisakah kamu berhenti menakuti kami. Dokter pasti bisa sembuhin kamu. Berapa pun biayanya biarlah kami yang membayarnya. Kalau perlu jual saja rumah kami untuk biaya pengobatanmu.” Sekali lagi Prily hanya tersenyum saja.“Dokter, putri saya pasti bisa sembuh ‘kan?” tanya Ayah Jeri. Sayangnya tak mendapat jawaban dari dokter di belakangnya. Namun, ia bukan orang bod

  • Catatan Usang   Maaf

    Masa bodo dengan norma dan kesantunan. Wajah yang selalu tampak ramah itu hari ini hanya ada kemarahan di sana. Siapa pun yang menyaksikannya malam itu dibuat merinding. Beberapa warga tampak menahannya, tetapi Arjuna tetap bersikukuh ingin merusak pintu pagar yang terbuat dari besi itu dengan menginjaknya berulang kali. Tak ia pedulikan rasa sakit yang di kakinya. Hanya ada satu wajah yang ada dalam benaknya. Wajah yang selama sembilan bulan ini selalu menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya itu sungguh membuatnya semakin muak dengan semua penghuni di rumah ini.Sampai akhirnya ketiga orang yang berada di dalam rumah itu keluar.“Apa kamu sudah gila membuat keributan di jam malam begini?” sentak Ayah Jeri dengan wajah yang merah padam.“Ya, saya gila karena Anda. Anda yang membuat istri saya bersedih sepanjang hari hingga berbulan-bulan. Anda tahu hari ini dia hanya ingin bertemu orang tuanya, tapi sungguh dua orang itu benar-benar egois. Bahkan sedikit pun tak punya belas kasiha

  • Catatan Usang   Patah

    “Mulai besok biar Mas yang membersihkan rumah.”“Mana bisa begitu? Aku masih sehat, kalau sekedar mengurus rumah, itu bukanlah pekerjaan yang berat. Mas jangan terlalu berlebihan! Masa iya sepanjang hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Itu sangat membosankan,” elaknya saat pasangan itu kembali ke rumah.“Ini perintah, tidak ada tapi.” Prily tampak menghembuskan nafas kasar. Seorang yang aktif sepertinya tentu saja tak akan setuju.“Mas hanya ingin menjagamu dan bayi kita. Menurutlah sekali, enggak akan lama kok.”“Tapi, aku rasa ini terlalu berlebihan.”“Rumah ini besar, kamu tidak akan sanggup membersihkannya sendirian setiap hari dengan keadaan yang seperti ini. Biar Mas, yang pikirkan bagaimana cara mengurusnya. Mungkin kita akan membayar pekerja part time sesekali.”“Keuangan kita belum stabil, bagaimana bisa kita mengeluarkan uang selagi kita bisa menghematnya?” Kali ini Arjuna yang semula berdiri mendadak menekuk lutut tepat di depan Prily. Tangannya perlahan mengusap lutut

  • Catatan Usang   Aroma Surga

    Semula Arjuna berpikir semua akan kembali baik-baik saja, bahwa pernikahannya akan berjalan lancar. Tak ada lagi rasa sakit, khawatir atau pun ketakutan. Mereka akan punya banyak anak, menemani mereka sekolah, sampai tumbuh dewasa. Lalu, menyaksikan saat mereka menemukan pasangan hidup. Sungguh rencana yang bahagia, akan tetapi ia lupa bahkan terkadang rencana yang dirancang begitu sempurna pun bisa gagal hanya dalam sekejap mata.Sore itu dibantu Andika tetangga samping rumahnya. Mereka melajukan mobil dengan kecepatan maksimal menuju rumah sakit. Pria itu langsung tanggap menawarkan bantuan, seolah mengerti di situasi panik, Arjuna akan kesulitan berkonsentrasi dalam menyetir.“Bisa lebih cepat enggak, Mas?” pinta Arjuna, sesekali ia mengusap peluh yang mulai menetes membasahi wajah lelahnya seusai bekerja itu. Prily yang kini berbaring di pangkuannya bahkan sesekali ikut terguncang, saat sesekali melintas pada jalanan yang berlubang. Andika memilih mengiyakan perintah itu, meski se

  • Catatan Usang   Baby Breath

    “Mas.” Prily buru-buru menutup kembali pakaiannya, lalu bangkit dan meraih lenganku.“Maafin aku, Mas. Aku enggak bilang sama kamu dulu. Aku tahu kamu pasti enggak akan setuju, tapi aku enggak bisa Mas, aku enggak akan sanggup melihat kamu meninggalkan aku lebih dahulu.”“Kenapa, Prily?”“Karena aku mencintai kamu.”“Kamu bodoh, untuk apa mempertaruhkan hidupmu demi orang sepertiku?”“Lalu, bagaimana caranya aku harus berterima kasih? Katakan.”“Tetaplah hidup bersamaku.”Sungguh aku sama sekali tidak senang, aku sering membaca artikel tentang orang yang hidup dengan satu ginjal, itu sangat tak mudah. Dia masih muda, seharusnya dia tak sekonyol ini mengorbankan hal paling vital bagi kelangsungan hidupnya. Malam itu aku benar-benar bingung, meski Prily terus meyakinkan dengan dalih jika dia akan menjaga kesehatan dan pola hidupnya dengan sebaik-baiknya tetap saja semua tak akan lagi sama. Ceroboh, bagaimana bisa aku sampai kecolongan memberi tanda tangan pada surat persetujuan itu.“Ka

  • Catatan Usang   Luka yang Sama

    Hari demi hari berlalu, tetapi tak tampak kehadiran Prily. Pergi ke mana dia sebenarnya, jika benar apa yang dikatakan Nadia jika selama aku tak sadarkan diri ia terus berada di dekatku kenapa begitu aku terjaga. Justru tak pernah sekali pun wajahnya tampak di dekatku. Bahkan sudah sepekan aku berbaring tapi, ia berbohong. Mengatakan jika akan selalu di sisiku, tapi hari ini kenapa pergi.“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari arah luar. Aku jelas mengenali suara itu. Namun, sungguh bukan aku tak mau bertemu dengan mereka. Hanya saja bukan mereka yang ingin kutemui.“Nak, ini kami Ibu sama Ayah,” lirih suara Ibu yang terdengar bergetar. Kedua matanya bahkan memerah seiring dengan tangannya yang mengusap pelan pergelanganku. Sementara Ayah pria yang selalu tegas dan penuh wibawa itu kini terlihat menyedihkan. Ia bahkan tak segan menitikkan air mata di hadapan sampah. Ya, aku sampah yang dia buang hanya, karena merasa malu pada karibnya.“Kenapa menangis? Saya masih hidup.” ucapku.“Ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status