“Jangan mentang-mentang kau ini membiayai keluargaku bisa seenaknya memperlakukan Mbakku dengan kasar.”
Hisyam masih saja berusaha memukul wajahku, meski beberapa orang mulai menariknya menjauh. Tubuhnya yang tinggi dan sedikit berisi membuatku sedikit kewalahan.
“Heh, saya tidak pernah memukul Mbakmu. Dia sakit juga bukan karena saya melakukan kekerasan!” ucapku.
“Nak Hisyam, sudah jangan kurang ajar sama kakakmu!” Ibu Rosa, mertuaku berteriak mencoba melerai kami.
“Dia hanya kakak ipar. Aku melihat sendiri bagaimana dia memperlakukan Mbak Prily. Enggak ada bedanya dengan pelayan, kenapa Ibu malah membela dia. Apa karena dia rutin memberikan ayah uang bulanan? Aku juga bisa, Bu. Ke depannya biar aku yang tanggung semuanya. Tidak perlu lagi mengemis pada laki-laki ini!”
Plak! Ayah Jery, mertuaku baru saja menampar anak itu. Seketika Hisyam menutup mulutnya. Dia terlihat menatap nanar pada pria paruh baya yang masih terbatuk sembari terengah-engah itu.
Ayah Jerry baru saja berlari dari dalam sampai ke area parkir di mana kami berseteru. Ibu masih berusaha menenangkan Ayah yang terlihat kesakitan.
“Biar saya ambilkan kursi roda, ya Yah. Tunggu sebentar!” ucapku.
Meskipun aku masih kesal dengan putranya dia tetaplah ayah dari istriku. Aku masih sangat menghormatinya meski terkadang kesal juga. Sejak menikah aku benar-benar harus bekerja keras, demi kehidupan keluarga istriku.
Sejujurnya aku bisa saja tak lagi mengirimkan tunjangan. Namun, nuraniku selalu menolaknya. Aku tak tega kalau menyaksikan Om Jery harus bekerja dalam kondisi yang sakit-sakitan, meski sejujurnya terbesit rasa tak rela harus ikut menafkahi mereka.
“Maafkan Hisyam, Nak. Uhuk—uhuk,” ucap Ayah Jery.
“Enggak apa, wajar dia marah. Saat itu saya memang sedang emosi. Saya yang salah, saya yang harusnya minta maaf karena enggak sengaja mendorong anak Ayah, tapi demi Allah selain itu saya enggak pernah memukulnya “
“Alhamdulillah, saya percaya Nak Juna enggak akan kasar sama Prily, tapi Prily kenapa bisa sampai masuk rumah sakit?"
“Asam lambungnya naik. Maaf karena tadi saya berbohong, khawatir kalau mendengar kabar ini. Ayah ikut khawatir.”
“Lain kali, kalau ada apa-apa. Kabari kami, bagaimanapun kami tetap orang tuanya," kata Ibu Rosa.
“Saya minta maaf, untuk itu. Kalau begitu mari saya antar dulu ke ruangan Prily.” Jantungku rasanya semakin berdebar seiring dengan derap langkah yang semakin mendekati ruangan Prily.
Takut mereka bertanya macam-macam. Meski aku sedikit beruntung karena anak kecil itu tak ikut kesini. Entah ke mana dia. Setelah ditampar Ayah Jery dia langsung diam dan pergi. Baguslah, biar dia tahu siapa aku bagi ayahnya. Baru bisa menghasilkan uang yang tak seberapa saja sudah sombong.
“Kenapa asam lambungnya bisa naik.? Sejak dulu, Prily enggak punya penyakit magh. Apa dia sering telat makan?” Duh, bagaimana aku menjelaskannya. Dia sakit karena sering menahan lapar.
“Dia sering berpuasa, Yah.”
“Astaghfirrullah, seharusnya dia enggak perlu beribadah sekeras itu.”
Untunglah mereka percaya. Prily masih dalam pengaruh obat tidur, tetapi begitu mereka hendak pamit. Matanya mulai terjaga.
“Ayah, Ibu. Sejak kapan kalian di sini? Kenapa enggak bangunin aku, Mas?"
Prily malah memanggil mereka.
“Kamu ‘kan lagi ngedrop, Mas mana mungkin tega bangunin kamu."
“Sudah, lebih baik istirahat saja Nak. Kita sudah mau pamit, Ayah juga mau pulang.”
“Bapak, habis periksa?”
“Hmm.”
“Kamu ini sebenarnya sakit apa? Kenapa enggak bilang Ibu kalau sakit? Kamu jangan terlalu sering puasa, nanti sakit begini. Kasihan suamimu loh, mengkhawatirkan kamu sampai ikutan pucat.”
Prily melirikku sekilas. Saat kami bertemu pandang, dia segera berpaling lalu menampilkan senyum tulusnya. Seolah dia tengah membenarkan ucapan ibunya.
“Hanya sakit biasa, Ibu enggak perlu khawatir. Lain kali aku enggak akan puasa.”
“Kamu memang enggak diperbolehkan puasa dulu, sama dokter,” ucapku.
“Makasih sudah jaga aku semalaman, Mas. Wajahmu sampai pucat begitu.”
Aku pucat karena takut disalahkan bukan sepenuhnya karena mengkhawatirkanmu. Pokoknya tidak ada yang boleh tahu penyakitmu, Prily. Entah akan seperti apa marahnya ayahku. Kalau aku membiarkan anak sahabatnya kelaparan.
“Mas antar Ayah dan Ibu ke depan. Kamu enggak apa ditinggal sebentar, atau mau ke kamar mandi dulu, mungkin?”
“Enggak, pergi aja!”
Entah kenapa aku menangkap raut kesal di wajah Prily. Apa dia tahu, kalau sejujurnya aku ini tak benar-benar mengkhawatirkannya atau dia marah karena aku membuatnya kelaparan.
“Katanya mau nganter, kenapa enggak pergi?” Menyadari aku yang masih menatapnya dalam diam, dia kembali bertanya. Bukan apa-apa. Hanya saja dia tak pernah bicara dengan nada yang sedikit ketus seperti itu.
“Kamu marah sama Mas?” bisikku.
“Enggak kok.”
“Tapi caramu bicara enggak seperti biasanya.”
“Pergilah Mas, itu Ayah sama Ibu udah mau keluar ruangan.”
“Kita perlu bicara setelah ini. Ada hal penting yang harus kamu tahu.”
“Hmm.”
Aku mengejar pasangan itu, tetapi dari kejauhan aku melihat. Hisyam tengah berjalan ke arah kami.
“Bagaimana keadaan Mbak Prily, Yah?”
“Baik-baik aja, kok.”
“Aku enggak percaya, aku ingin bicara dengannya langsung.”
“Syam, sudahlah jangan membuat keributan. Prily yang bicara sendiri kalau dia hanya sakit ringan. Kamu jangan terlalu menyalahkan Mas Juna.”
“Ibu, enggak tahu bagaimana perhitungannya Mas Juna. Aku pernah dengar dia marahin Mbak cuma gara-gara Mbak beli makanan yang harganya cuma 300 ribu. Dia bilang itu berlebihan, dia maki-maki Mbak.”
“Hey, jangan fitnah.”
“Kenapa, sekarang kamu enggak bisa membela dirimu sendiri ‘kan? Aku ada di sana Mas. Aku denger kalian bicara apa saja. Kau ini keterlaluan pelitnya!”
“Bener apa yang dikatakan Hisyam, Juna?”
“Hm itu enggak semuanya benar. Aku hanya menasihatinya untuk jangan berlebihan. Beli seperlunya mungkin karena logatku yang keras. Hisyam kira kami sedang bertengkar.”
“Aku bukan anak kecil yang enggak bisa bedakan orang nasihati sama maki-maki!”
“Hisyam cukup, ya!”
“Lihat, Ayah dia panik dan ketakutan!”
“Hisyam kau masuk saja, ruangannya yang paling pojok. Temani Mbakmu, takut dia butuh apa-apa.”
“Iya, Yah.”
Hisyam masih saja terlihat menantang. Dia bahkan tak segan menepuk pundakku saat kami berpapasan.
“Sekarang jujurlah, dia itu sakit karena apa? Tidak mungkin orang bepuasa sampai masuk rumah sakit.”
“Maafkan saya, Yah. Saya teledor, sebenarnya lambungnya terluka, dokter bilang dia sering telat makan."
“Telat makan atau enggak kamu beri makan?” tegas Ayah Jery.
Aku bisa melihat kemarahan lewat sorot matanya. Lengannya mengepal kuat, hingga buku-buku jemarinya tampak jelas.
“A-aku tidak mungkin melakukan itu, Ayah.”
Sial aku tak bisa menyembunyikan kegugupanku.
“Saya sudah lama mendengar desas-desus. Kalau kamu ini terlalu perhitungan. Saya membantah semuanya karena istrimu yang meyakinkan kami kalau semua itu tidak benar. Enggak tahu kenapa dia melakukan itu, yang jelas kita perlu bicarakan ini, Juna. Minta Ayah dan Ibumu datang ke rumah nanti sore.”
“Yah, tapi ....”
Sial habis sudah kalau sampai ayah dan ibuku tahu. Gara-gara anak sombong itu. Pernikahanku jadi terancam.
“Yah, kita bicarakan saja di sini."Aku tidak mau kalau masalah kami mempengaruhi kesehatan Ayah, karena aku membuat anak sahabat karibnya, terbaring di rumah sakit.“Jelaskan itu di depan ayahmu nanti. Saya tahu kamu selama ini sudah menanggung kehidupan keluarga saya, tapi melihat putriku terbaring di sana hanya karena kelaparan. Apa yang kamu lakukan sebagai suami?”“Pak demi Tuhan saya rutin memberikan nafkah. Tak mungkin saya lepas tanggung jawab. Seharusnya Bapak juga ajak Prily juga. Kita obrolin sama-sama.”“Kalau itu maumu. Kita adakan pertemuan di rumah sakit. Nanti sore.”“Apa enggak sebaiknya menunggu sampai Prily membaik dulu, Yah?”“Apa ada jaminan kalau setelah membaik kamu enggak akan membuatnya kembali masuk rumah sakit. Saya mau masalah ini segera diselesaikan.”Hilang sudah kesempatanku untuk bisa merayu Ayah mertua. Kali ini aku hanya bisa meminta bantuan Prily, aku harus bicara padanya.“Masih punya muka datang ke sini?” sindir Hisyam dengan seringai menyebalkan.
“Aku enggak bisa menceraikan dia Ayah. Selamanya dia akan tetap jadi istriku.”Aku tidak akan pernah melepasnya. Setelah dia berkorban begitu banyak hanya demi mendapat keturunan dariku. Bagaimana bisa aku melepasnya begitu saja.“Jangan terlalu percaya diri. Apa istrimu bersedia hidup sama kamu!” sindir Ayahku.“Prily katakan sesuatu, kamu mencintaiku ‘kan? Jangan diam saja. Yakinkan mereka kalau kita memang sama-sama ingin melanjutkan pernikahan ini,” ucapku sembari menggenggam kedua tangannya erat-erat.“Lihat ‘kan dia diam saja,” sindir Ayah.“Dia pasti mau Ayah. Prily bahkan sangat menginginkan anak dariku. Bagaimana dia mau meninggalkan pernikahan ini begitu saja.”“Ly, Sayang please katakan sesuatu. Kasih Mas kesempatan buat memperbaiki segalanya. Kamu ingin kita punya anak ‘kan. Kita akan punya anak, Sayang. Setelah kamu sembuh. Kita akan mulai program hamil. Lupakan tentang mobil dan impianku. Sekarang hanya akan ada impianmu dan impian kita. Kamu ingin berapa anak 2, 3 atau
PoV Prily“Apa kamu juga akan rela menjual tubuhmu demi orang tuamu? Kamu benar-benar enggak punya prinsip!”Mas Arjuna berteriak, sorot matanya memerah menatapku dengan penuh amarah. Aku bahkan baru melihatnya semarah itu sejak pernikahan kami 5 tahun lalu. Tubuhku gemetar, melihat dia yang terus mengusir satu persatu ayah dan ibu bahkan kedua orang tuanya sendiri.Dia yang kukenal selalu menghormati mereka meski terkadang kesal, dia memilih menyimpannya sendiri. Aku bisa tahu, karena sering kedapatan dia menggerutu sendirian di kamar.“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Mas Juna, mungkin dia sadar sejak tadi aku terus melihat ke arahnya.“Aku hanya meminta kita berpisah untuk sementara kamu harusnya enggak memperlakukan mereka seperti itu. Bagaimana pun mereka orang tua kita.”“Iya, orang tua yang egois. Suka memaksakan kehendak, memaksa anak-anaknya menikah lalu sekarang seenaknya juga memaksa mereka bercerai! Orang tua seperti itu yang harus kuhormati?”Mas Juna begitu emosi
Sejak pulang dari tempat itu Ibu memaksaku meminum banyak obat setiap hari. Baru kemarin aku tahu mereka mencoba melakukan hipnoterapy untuk menghilangkan ingatanku pada Akbar. Mereka memaksaku percaya kalau Akbar sudah meninggal. Aku seperti orang gila terus mendoakan agar aku tenang di surga tapi nyatanya, kabar kematianmu hanya sebuah rekayasa. Kenapa kamu begitu, Akbar? Apa kamu tak pernah mencoba mencariku? Kenapa kamu mematahkan hatiku, setelah kau berjanji untuk menjaganya agar tetap baik-baik saja. Kau tahu bahkan hidupku telah berhenti sejak saat ayahku membawa kabar kematianmu. Kau tahu berapa banyak derita yang kulalui setelah kepergianmu? Demi terus hidup aku harus menikah dengan pria asing. Aku pikir semua pria akan sama sepertimu. Lembut, penuh perhatian dan tak pernah perhitungan. Kenyataanya dia begitu berbeda. Dia sering marah hanya karena aku membeli barang yang mahal. Akbar, apa kau marah padaku. Sehingga kau meminta Tuhan mengirim suami sepertinya untukku. Kau pe
Plak!Ayah tiba-tiba saja menamparku. Rupanya mereka masih menunggu di luar, setelah aku berhasil mengusir semua orang. Saat itu jam kunjung memang sudah habis jadi yang diperbolehkan masuk hanya satu orang saja. Tentu aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat mereka pergi, karena dalam hal ini aku yang paling berhak atas istriku sendiri. Terlepas mereka orang tuanya. Sekarang tanggung jawab itu sudah berpindah padaku.“Ayah kenapa lagi?”“Jangan panggil aku Ayah, selama kamu belum menceraikan istrimu!”“Ayah, yang anakmu itu dia atau aku?” Saat itu Ayah sudah bersiap menamparku kembali kalau saja Ibu tidak menahannya. Sudah pasti tak akan terelakkan lagi.“Berani kamu mengatakan itu padanya. Kau tahu kalau bukan karena Jasa mertuamu mana bisa kita hidup dengan layak. Kau tahu berapa banyak hutangku yang sudah dia bayar tanpa meminta ganti sedikit pun? Kau tahu rasanya dipukuli rentenir hanya karena tak bisa bayar hutang, bahkan Ibumu hampir dipaksa melayani nafsu mereka hanya ka
“Kita hidup masing-masing. Apa masih kurang jelas? Tenang saja, aku akan tetap menafkahimu seperti biasa. Oh, tidak mulai besok. Aku akan memberikanmu lebih banyak uang. Begitu ‘kan yang kamu mau?” Aku tersenyum, sengaja ingin tahu bagaimana respons Prily, ketika aku mengikuti semua permintaannya.“Satu lagi, kau boleh bekerja. Mulai hari ini lakukan saja semua yang kau sukai. Aku tidak akan melarangmu.”“Mas cukup! Aku tahu kamu marah, tolong jangan diteruskan.”“Diam! Aku belum selesai bicara.” Entah kenapa aku menangkap raut sendu dari wajah cantiknya. Ah, bukankah dia memang pandai memainkan peran. Aku tidak akan tertipu lagi. Cukup 5 tahun, aku menganggap semua perlakuanmu itu sebuah ketulusan. Ke depannya jangan harap wajahmu itu akan membuatku luluh.“Lupakan soal anak!” tegasku“Mas …” Suara Prily terdengar memelas. Mulai hari ini aku tidak akan membuat semuanya menjadi mudah Prily. Bukankah kau suka bermain tarik ulur? Sayangnya perasaanku bukan layangan yang bisa kau mainkan
PoV 3Tunggu dan bersiaplah, akan ada kejutan menarik buat kamu. Kau pasti akan suka, Sayang.“Kau gugup, Sayang? Lihat apa?” Arjuna tersenyum mengejek, begitu pandangan istrinya beralih pada beberapa karangan bunga yang terpampang memenuhi setiap sudut halaman depan Lazuardy Hotel & Resort. Mirza Akbar Lazuardy, deretan nama yang selama ini selalu memenuhi hati Prily. Hari ini suaminya sendiri yang mengantarnya bertemu sosok itu. Perasaan gugup bercampur takut, membuat wajah Prily seketika memucat.“Mas, kita pulang aja yu!" ajak Prily yang sedikit memelas. Jelas saja Arjuna menolak. Pria itu justru menarik lengan istrinya, lalu menggenggamnya perlahan. Dia harus menurunkan ego, setidaknya agar rencananya berjalan lancar. Tak hanya itu, Arjuna bahkan menarik pinggang ramping istrinya, demi memangkas jarak yang tercipta di antara mereka. “Kenapa mau pulang? Aku susah payah membelikanmu gaun. Kau juga sudah berdandan cantik. Sayang kalau kita tidak masuk ke dalam dulu. Ayolah, hanya
“Aku tidak suka perempuan yang ragu-ragu, kau yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan?” tanya Arjuna“Jelas, harusnya aku menyadari sejak dulu kalau kamu bukanlah pria yang layak untuk dijadikan suami!” tegas Prily, bersama dengan tatapannya yang tajam, menyiratkan bahwa benar yang baru saja dia katakan adalah sebuah kebenaran.“Perhitungan, pelit, semaunya sendiri. Suami yang selalu mengumbar kebaikannya pada semua orang, aku yang membiayai keluargamu, ini itu semua harus dicatat, katakan! Apa yang baik darimu? Enggak ada Mas.” Wanita itu bahkan menirukan gaya saat suaminya bicara.Ada kepuasan sendiri bagi Prily, setelah berhasil mengungkapkan semua yang dia pendam selama 5 tahun terakhir. Tak ada penyesalan sedikit pun. Dia tak salah dan tak perlu meminta maaf. Merasa bahwa kebenaran berada di pihaknya. Tekadnya sudah bulat, ia berjanji mulai hari ini tak akan membiarkan Arjuna menggoreskan lara di hatinya lagi. Entah dengan penolakannya atau mengabaiannya.“Hanya karena punya ba