“Yah, kita bicarakan saja di sini."
Aku tidak mau kalau masalah kami mempengaruhi kesehatan Ayah, karena aku membuat anak sahabat karibnya, terbaring di rumah sakit.
“Jelaskan itu di depan ayahmu nanti. Saya tahu kamu selama ini sudah menanggung kehidupan keluarga saya, tapi melihat putriku terbaring di sana hanya karena kelaparan. Apa yang kamu lakukan sebagai suami?”
“Pak demi Tuhan saya rutin memberikan nafkah. Tak mungkin saya lepas tanggung jawab. Seharusnya Bapak juga ajak Prily juga. Kita obrolin sama-sama.”
“Kalau itu maumu. Kita adakan pertemuan di rumah sakit. Nanti sore.”
“Apa enggak sebaiknya menunggu sampai Prily membaik dulu, Yah?”
“Apa ada jaminan kalau setelah membaik kamu enggak akan membuatnya kembali masuk rumah sakit. Saya mau masalah ini segera diselesaikan.”
Hilang sudah kesempatanku untuk bisa merayu Ayah mertua. Kali ini aku hanya bisa meminta bantuan Prily, aku harus bicara padanya.
“Masih punya muka datang ke sini?” sindir Hisyam dengan seringai menyebalkan.
“Dek, kita perlu bicara.” Prily tak lekas menjawab hanya menatapku sekilas.
“Kamu bisa 'kan keluar, Hisyam!” ucapku dengan nada yang sedikit meninggi.
“Aku tetap di sini, kau bisa saja memukul Mbakku, mengancamnya agar dia mau membelamu bukan?”
Hisyam malah menantangku dengan wajah angkuhnya.
“Hisyam, biarkan Mbak bicara dengan Masmu ya. Mbak akan tekan alarm nurse kalau ada apa-apa.”
“Tapi Mbak ....”
“Sudah sana!”
Aku sedikit mendorongnya agar menjauh dari ranjang Prily.
“Gak usah dorong-dorong!"
Bocah sombong itu malah mengebas-ngebaskan pakaiannya. Rautnya masih tampak kesal, tapi beruntung kembali meyakinkan kalau dia akan baik-baik saja.
Memangnya aku ini apa, tak mungkin juga aku memakan manusia. Setelah kepergian Hisyam akhirnya aku bisa bernafas lega. Keberadaan anak itu sungguh membuatku sakit kepala.
“Kamu mau apa?”
Aku melihat Prily mulai menarik lengannya, sepertinya dia ingin menyandarkan punggungnya. Namun, untuk menggerakkan tubuhnya saja dia terlihat begitu kesakitan.
“Tunggu sebentar, aku naikkan ranjangnya dulu.”
Aku membantunya menekan tombol, untuk mengatur posisi ranjang.
“Sudah nyaman?" tanyaku.
“Hmm, cukup.”
Dia masih saja menggeser tubuhnya. Gemas sekali, pada akhirnya aku membantunya membenarkan posisi duduknya.
“Kamu bisa meminta tolong, apa susahnya?” ketusku. Sembari merapikan baju Prily yang sedikit tersibak saat aku mengangkatnya.
“Aku di sini saja pasti sudah sangat merepotkanmu. Mana bisa aku minta tolong lagi.”
“Lalu nanti kalau kamu jatuh, tetap saja akan merepotkanku lagi.”
“Maaf.”
“Ck, sudah-sudah aku benci saat kamu bilang maaf. Aku hanya ingin dengar penjelasan ke mana uang 70 ribu yang selama ini aku kasih? Aku suruh berhemat bukan berarti kamu enggak makan seharian. Apa kamu ingin mati, iya begitu?”
“Maaf, aku salah.”
“Ya makanya jelasin. Kamu pakai buat apa? Ngasih orang tua kamu? ‘kan aku dah bilang dari awal, kebutuhan orang tuamu biar aku yang tanggung. Aku kasih kamu 70 ribu sehari itu full buat kebutuhan kamu. Semua listrik, asuransi kesehatan, biar aku yang tanggung. Apa itu masih kurang cukup. Kamu membuat citraku buruk. Kamu seneng aku dianggap suami pelit yang gak bertanggung jawab, yang membiarkan istrinya kelaparan. Itu yang kamu mau? Kau punya mulut ‘kan jangan diam saja, jawab!”
Bukannya cepat memberikan penjelasan. Prily masih saja diam, malah memalingkan wajahnya ke arah lain, tak lama tangan kirinya sepertinya tengah dia gunakan untuk mengusap wajah. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas karena dia memunggungiku.
“Jangan menangis, jawab Prily! Jangan membuatku membencimu.” Dia kembali berbalik, kali ini menatapku degan mata nanar.
“Mas, bukankah dari awal hubungan kita hanya sebatas ilusi dan enggak lebih dari sebuah kesepakatan. Aku dan keluargaku mendapatkan kehidupan yang layak dan kamu bisa menyelamatkan nyawa ayahmu," ujar Prily, kali ini dia berbicara dengan begitu berhati-hati.
Kami memang menikah karena perjodohan, tapi itu dulu. Sejujurnya aku hanya gengsi mengakui kalau aku sudah menyukainya sejak pertama kali bertemu. Kenapa rasanya sakit dia masih mengingat perkataanku 5 tahun yang lalu.
“Itu saja yang kau ingat selama 5 tahun ini, Prily?
Tak bisakah kau melihat kalau aku benar-benar mencintaimu. Kau bahkan menganggapku sejahat itu.
“Maaf.”
“Sudah lanjutkan saja, sekali lagi kau bilang maaf. Aku akan pergi.”
“Jangan pergi!” Prily langsung menggenggam lenganku dia bahkan membiarkan selang infusnya berubah menjadi warna darah, karena gerakannya yang tiba-tiba.
“Ya ampun kau ini ceroboh sekali.”
“Jangan pergi, kumohon!"
“Untuk apa kamu memohon, pada orang jahat sepertiku, yang menganggap pernikahan ini sebagai ilusi dan kerja sama semata.”
“Aku tahu Mas orang baik. Jadi kumohon tetaplah di sini.”
Jangan-jangan selama ini kau juga tidak mencintaiku. Makanya kau seperti robot yang selalu patuh saat aku meminta apa pun. Cih, bagaimana aku bisa tak menyadari tentang hal ini. Aku bahkan telah melakukan banyak hal demi dirinya, tetapi entah apa arti diriku di hatinya.
“Lepas! Kau menyakiti dirimu lagi. Itu akan merepotkanku nanti.”
“Aku enggak akan lepasin kamu sebelum Mas janji enggak akan pergi.”
“Oke aku akan tetap di sini. Asal kamu mau jelaskan uang itu ke mana? Aku akui hari ini aku melanggar janjiku untuk tak mencampuri hakmu yang 70 ribu itu, tapi masalahnya kau tahu pernikahan kita mungkin juga akan terancam. Aku sih enggak masalah, kalau kamu mau tetap diam. Ya udah mungkin kamu memang mau kita ....”
“Aku akan jelaskan. Uang itu ada kok.”
“Di mana?”
“Aku simpan uang itu di tabungan.”
“Untuk apa? Tabungan kita sudah lebih dari cukup, kau butuh apa Prily. Kau tinggal bilang, dan catat di buku. Aku memang menyuruhmu memangkas uang belanja jika yang kau beli itu, keinginan pribadimu, Apa aku pernah marah jika yang kamu beli sesuatu yang penting?”
“Aku enggak tahu, hiks hiks. Aku enggak tahu apakah sesuatu yang kuinginkan ini penting atau enggak buat Mas.”
“Ya makanya, bilang!” Prily malah menangis hingga membuat tubuhnya gemetar, sekarang dia malah berusaha menggapai gawai miliknya yang berada di atas nakas.
“Aku udah berhasil nabung, Mas. Kamu lihat ini?”
Dia menunjukkan layar ponselnya padaku. Itu adalah tampilan aplikasi m-banking di mana saldo tabungannya mencapai 53 juta. Seketika membuat mataku membola.
“Kamu, uang sebanyak itu dari mana?” tanyaku yang masih terperangah.
“Aku menabungnya sejak 4 tahun yang lalu.”
“Kamu gila, Prily. Bagaimana kamu bisa menabung sebanyak itu. Aku bahkan hanya memberimu sedikit uang. Untuk apa kamu melakukannya.”
“Kamu bilang ingin punya dan kendaraannya ‘kan? Baru setelah itu, kita bisa mulai merencanakan untuk punya anak. Aku akan berikan uang ini buat kamu, bulan ini pasti kita bisa beli, mobil Mas. Aku sudah memperhitungkannya. Setelah itu kita bisa punya....”
“Diam! Jangan diteruskan. Aku benar-benar membencimu!”
Harga diriku sebagai lelaki rasanya runtuh seketika. Aku benci kau yang begini. Kau yang segila itu mengorbankan banyak hal sedang aku menganggap pengorbanankulah yang paling besar.
~
"Oh, jadi begini caramu memperlakukan istri!"
Suara itu, membuat kami seketika terdiam. Bagaimana bisa kami tidak sadar ada seseorang di ruangan ini. Aku jelas sudah hafal pemilik suara itu, bahkan tanpa menengoknya sekali pun.
"A-ayah, se-sejak kapan ada di sini?"
Plak! Ayah baru saja menamparku, lalu beberapa orang mulai muncul ada Hisyam yang tersenyum licik, kedua orang tua Prily pun ada di sana. Juga Ibuku yang menatap nanar ke arahku.
Ini pasti karena bocah itu. Hanya dia yang bisa membuat mereka semua berkumpul.
"Ayah aku bisa jelaskan," ucapku.
"Minta maaf, sama ayah mertuamu. Benar-benar bikin malu. Berani sekali kamu memperlakukan wanita sekejam itu. Kau tau Arjuna, Andai Pak Jery tak menolong kami saat kecelakaan, kita semua mungkin akan mati. Kamu juga harus tahu orang yang selama ini membiayai sekolahmu juga Pak Jeri, beraninya kamu menyakiti putrinya sampai seperti ini. Aku enggak memaksa kalian menerima perjodohan ini, hanya demi aku. Mulai detik ini kamu, bukan lagi anakku! Satu lagi kau, tidak perlu lagi berpura-pura. Ceraikan Prily, sekarang juga."
“Aku enggak bisa menceraikan dia Ayah. Selamanya dia akan tetap jadi istriku.”Aku tidak akan pernah melepasnya. Setelah dia berkorban begitu banyak hanya demi mendapat keturunan dariku. Bagaimana bisa aku melepasnya begitu saja.“Jangan terlalu percaya diri. Apa istrimu bersedia hidup sama kamu!” sindir Ayahku.“Prily katakan sesuatu, kamu mencintaiku ‘kan? Jangan diam saja. Yakinkan mereka kalau kita memang sama-sama ingin melanjutkan pernikahan ini,” ucapku sembari menggenggam kedua tangannya erat-erat.“Lihat ‘kan dia diam saja,” sindir Ayah.“Dia pasti mau Ayah. Prily bahkan sangat menginginkan anak dariku. Bagaimana dia mau meninggalkan pernikahan ini begitu saja.”“Ly, Sayang please katakan sesuatu. Kasih Mas kesempatan buat memperbaiki segalanya. Kamu ingin kita punya anak ‘kan. Kita akan punya anak, Sayang. Setelah kamu sembuh. Kita akan mulai program hamil. Lupakan tentang mobil dan impianku. Sekarang hanya akan ada impianmu dan impian kita. Kamu ingin berapa anak 2, 3 atau
PoV Prily“Apa kamu juga akan rela menjual tubuhmu demi orang tuamu? Kamu benar-benar enggak punya prinsip!”Mas Arjuna berteriak, sorot matanya memerah menatapku dengan penuh amarah. Aku bahkan baru melihatnya semarah itu sejak pernikahan kami 5 tahun lalu. Tubuhku gemetar, melihat dia yang terus mengusir satu persatu ayah dan ibu bahkan kedua orang tuanya sendiri.Dia yang kukenal selalu menghormati mereka meski terkadang kesal, dia memilih menyimpannya sendiri. Aku bisa tahu, karena sering kedapatan dia menggerutu sendirian di kamar.“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Mas Juna, mungkin dia sadar sejak tadi aku terus melihat ke arahnya.“Aku hanya meminta kita berpisah untuk sementara kamu harusnya enggak memperlakukan mereka seperti itu. Bagaimana pun mereka orang tua kita.”“Iya, orang tua yang egois. Suka memaksakan kehendak, memaksa anak-anaknya menikah lalu sekarang seenaknya juga memaksa mereka bercerai! Orang tua seperti itu yang harus kuhormati?”Mas Juna begitu emosi
Sejak pulang dari tempat itu Ibu memaksaku meminum banyak obat setiap hari. Baru kemarin aku tahu mereka mencoba melakukan hipnoterapy untuk menghilangkan ingatanku pada Akbar. Mereka memaksaku percaya kalau Akbar sudah meninggal. Aku seperti orang gila terus mendoakan agar aku tenang di surga tapi nyatanya, kabar kematianmu hanya sebuah rekayasa. Kenapa kamu begitu, Akbar? Apa kamu tak pernah mencoba mencariku? Kenapa kamu mematahkan hatiku, setelah kau berjanji untuk menjaganya agar tetap baik-baik saja. Kau tahu bahkan hidupku telah berhenti sejak saat ayahku membawa kabar kematianmu. Kau tahu berapa banyak derita yang kulalui setelah kepergianmu? Demi terus hidup aku harus menikah dengan pria asing. Aku pikir semua pria akan sama sepertimu. Lembut, penuh perhatian dan tak pernah perhitungan. Kenyataanya dia begitu berbeda. Dia sering marah hanya karena aku membeli barang yang mahal. Akbar, apa kau marah padaku. Sehingga kau meminta Tuhan mengirim suami sepertinya untukku. Kau pe
Plak!Ayah tiba-tiba saja menamparku. Rupanya mereka masih menunggu di luar, setelah aku berhasil mengusir semua orang. Saat itu jam kunjung memang sudah habis jadi yang diperbolehkan masuk hanya satu orang saja. Tentu aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat mereka pergi, karena dalam hal ini aku yang paling berhak atas istriku sendiri. Terlepas mereka orang tuanya. Sekarang tanggung jawab itu sudah berpindah padaku.“Ayah kenapa lagi?”“Jangan panggil aku Ayah, selama kamu belum menceraikan istrimu!”“Ayah, yang anakmu itu dia atau aku?” Saat itu Ayah sudah bersiap menamparku kembali kalau saja Ibu tidak menahannya. Sudah pasti tak akan terelakkan lagi.“Berani kamu mengatakan itu padanya. Kau tahu kalau bukan karena Jasa mertuamu mana bisa kita hidup dengan layak. Kau tahu berapa banyak hutangku yang sudah dia bayar tanpa meminta ganti sedikit pun? Kau tahu rasanya dipukuli rentenir hanya karena tak bisa bayar hutang, bahkan Ibumu hampir dipaksa melayani nafsu mereka hanya ka
“Kita hidup masing-masing. Apa masih kurang jelas? Tenang saja, aku akan tetap menafkahimu seperti biasa. Oh, tidak mulai besok. Aku akan memberikanmu lebih banyak uang. Begitu ‘kan yang kamu mau?” Aku tersenyum, sengaja ingin tahu bagaimana respons Prily, ketika aku mengikuti semua permintaannya.“Satu lagi, kau boleh bekerja. Mulai hari ini lakukan saja semua yang kau sukai. Aku tidak akan melarangmu.”“Mas cukup! Aku tahu kamu marah, tolong jangan diteruskan.”“Diam! Aku belum selesai bicara.” Entah kenapa aku menangkap raut sendu dari wajah cantiknya. Ah, bukankah dia memang pandai memainkan peran. Aku tidak akan tertipu lagi. Cukup 5 tahun, aku menganggap semua perlakuanmu itu sebuah ketulusan. Ke depannya jangan harap wajahmu itu akan membuatku luluh.“Lupakan soal anak!” tegasku“Mas …” Suara Prily terdengar memelas. Mulai hari ini aku tidak akan membuat semuanya menjadi mudah Prily. Bukankah kau suka bermain tarik ulur? Sayangnya perasaanku bukan layangan yang bisa kau mainkan
PoV 3Tunggu dan bersiaplah, akan ada kejutan menarik buat kamu. Kau pasti akan suka, Sayang.“Kau gugup, Sayang? Lihat apa?” Arjuna tersenyum mengejek, begitu pandangan istrinya beralih pada beberapa karangan bunga yang terpampang memenuhi setiap sudut halaman depan Lazuardy Hotel & Resort. Mirza Akbar Lazuardy, deretan nama yang selama ini selalu memenuhi hati Prily. Hari ini suaminya sendiri yang mengantarnya bertemu sosok itu. Perasaan gugup bercampur takut, membuat wajah Prily seketika memucat.“Mas, kita pulang aja yu!" ajak Prily yang sedikit memelas. Jelas saja Arjuna menolak. Pria itu justru menarik lengan istrinya, lalu menggenggamnya perlahan. Dia harus menurunkan ego, setidaknya agar rencananya berjalan lancar. Tak hanya itu, Arjuna bahkan menarik pinggang ramping istrinya, demi memangkas jarak yang tercipta di antara mereka. “Kenapa mau pulang? Aku susah payah membelikanmu gaun. Kau juga sudah berdandan cantik. Sayang kalau kita tidak masuk ke dalam dulu. Ayolah, hanya
“Aku tidak suka perempuan yang ragu-ragu, kau yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan?” tanya Arjuna“Jelas, harusnya aku menyadari sejak dulu kalau kamu bukanlah pria yang layak untuk dijadikan suami!” tegas Prily, bersama dengan tatapannya yang tajam, menyiratkan bahwa benar yang baru saja dia katakan adalah sebuah kebenaran.“Perhitungan, pelit, semaunya sendiri. Suami yang selalu mengumbar kebaikannya pada semua orang, aku yang membiayai keluargamu, ini itu semua harus dicatat, katakan! Apa yang baik darimu? Enggak ada Mas.” Wanita itu bahkan menirukan gaya saat suaminya bicara.Ada kepuasan sendiri bagi Prily, setelah berhasil mengungkapkan semua yang dia pendam selama 5 tahun terakhir. Tak ada penyesalan sedikit pun. Dia tak salah dan tak perlu meminta maaf. Merasa bahwa kebenaran berada di pihaknya. Tekadnya sudah bulat, ia berjanji mulai hari ini tak akan membiarkan Arjuna menggoreskan lara di hatinya lagi. Entah dengan penolakannya atau mengabaiannya.“Hanya karena punya ba
“Cium aku!” Arjuna semakin menekankan wajahnya. Wanita itu sudah tak bisa menghindar selain menuruti kemauan pria mabuk yang berada di hadapannya. Ini sudah tidak benar, ia meyakinkan diri untuk tak larut dalam suasana. Sudah lama Arjuna tak pernah menyentuhnya, pria itu terlalu menjaga jarak sejak ia masuk rumah sakit. Masih terekam jelas bagaimana pria itu selalu mengumpatnya.“Aku tidak suka perempuan sakit,” katanya hampir setiap malam, ketika di mana seharusnya suami istri saling bicara. Dia justru memilih mengumpat habis-habisan. Belum lagi puluhan kalimat lain yang menyesakkan dada. Kini kalimat itu seolah terdengar bersahutan di indra pendengaran Prily. Perlahan hatinya berdesir nyeri, ada kebencian yang menjalar.“Ah, lepas! Pria jahat, kau itu jahat tahu!” Wanita dengan pasmina warna nude itu mengusap bibirnya dengan kasar, lupa kalau sebelum pulang dari pes ia baru saja touch up pewarna bibirnya itu, hingga sebagian pipinya menjadi merah. Ia mendorong dengan sekuat tenaga