Share

Kesal Sekaligus Bahagia

"Pak? Apa Bapak gak keberatan kalau Hadi yang menggendong Ibu?" tanyaku memohon. Ini bukan minta persetujuan, tapi meminta pertolongan mertua yang baik kepada menantunya. Selamatkan Hadi, Pak, seperti Emak yang selalu memuji Rika. 

 

"Ya enggak keberatan lah, Di. Toh, kamu yang gendong, bukan bapak," balasnya. Hadeeh, Bapak malah jaka sembung, alias tak nyambung. 

 

"Maksudnya …."

 

"Andai Bapak juga bisa naik tangga berlari ini, Hadi tak perlu repot menggendong ibu mertuamu. Bapak tak keberatan kalau Nak Hadi yang gendong Ibu, justru kamu yang keberatan. Walau kecil, beratnya lumayan juga," bisik Bapak. Astaga! Dasar mertua tak berperikemenantuan. 

 

"Apa tidak ada tangga selain yang tangga berlari ini? Ibu malu dan segan," ujar Ibu anaknya yang terus mengamit lengan Emak. Di sini sedang ada ibunya, tapi aku yang harus menjaganya. Emak juga sengaja mau membuat anaknya merana dan mendewikan anak orang lain. 

 

"Ini namanya eskalator, Bu. Kalau mau naik tangga,  ada di ...."

 

"Hadi! Cepatlah! Emak sudah lapar. Jangan permalukan emak karena tak memiliki anak yang berbakti pada mertuanya. Ayo, Rika, kita duluan!" Emak memandangku sinis, bagai terdakwa yang melakukan dosa besar. 

 

Kupersilakan satpam menuntun Bapak sampai ke lantai tiga. Aku menatap ke belakang dan ... puluhan orang sedang kasak-kusuk karena menungguku yang belum juga bergerak. 

 

Aku memasang wajah ramah dan menggendong Ibu dengan cepat. Semoga mereka tak berpikir kalau aku adalah brondong simpanan emak-emak. Fokus Hadi, jangan sampai Ibu terjatuh gara-gara memikirkan apa isi kepala orang lain. 

 

"Kahona pyiari heei … kahona pyiari heeei." Seseorang bernyanyi di belakangku. Ini bukan adegan romantis, tapi penyiksaan batin. Huh, ingin kulakban mulut yang menghasilkan suara cempreng itu. 

 

"Alhamdulillah, sampai juga. Makasih ya, Pak!" ucapku pada Pak Satpam sembari memberikan selembar uang warna biru. Aku menyusul rombongan rempong yang sudah memesan ayam berbalut tepung kriuk-kriuk itu. 

 

Kami masuk ke plaza ini terus saja dipandangi orang lain. Kalian tahu kenapa? Ya, betul. Karena mereka punya mata. Itu alasan utamanya dan tentunya ada alasan lain yang hanya bisa kuduga-duga. Kami, para lelaki terlihat ganteng kuadrat, tapi harus memakai baju couple dengan istri masing-masing. Semoga saja tidak ada yang kenal denganku di sini. 

 

"Ayo kita selfi dulu. Hadi, siniin hape kamu!" ujar Emak. Aku memberikan benda canggihku sambil geleng kepala. Bukan karena gak mau ngasih, tapi karena tingkah dan bahasa Emak yang berlebihan. 

 

"Selfi itu siapa, Bu? Apa ada keluarga yang mau datang lagi?" Oalah, Bapak bingung terus mendengar istilah gaul si Emak. 

 

"Maaf ya, Pak. Itu loh, berfoto maksudnya," jawab Emak cengar-cengir mendengar kedua besannya kebingungan. Bapak dan Ibu manggut-manggut. Seorang laki-laki berambut pirang yang juga mau memesan makanan, dimintai Emak agar mengabadikan momen kebersamaan kami. Aku terus mengawasi pria itu karena takut kalau dia melarikan ponselku yang mahal. 

 

Cekrek cekrek cekrek. Kami berfose sesuai arahan Emak. Tak hanya kami yang bergaya, si fotografer dadakan pun harus bergaya agar fotonya bagus. Hampir sepuluh menit waktuku habis sia-sia. Ini bukan kebiasan seorang lelaki. 

 

"Ini hapenya, Bang. Apa saya sudah boleh pergi?" tanya pria itu takut-takut. Benarlah istilah 'jangan suka menilai orang lain dari luarnya saja.' Dia sangat baik, sehingga kukeluarkan juga selembar uang untuknya sebagai ucapan terima kasih, juga permintaan maaf karena mencurigainya.

 

"Makanannya sudah datang. Ayo besanku! Ini adalah hasil keringat anak menantu kita. Selagi kita masih hidup, kita ciptakan kenangan baik untuk mereka ingat. Kelak, bila kita sudah tiada, mereka akan menceritakan hal-hal yang baik kepada anak-anak mereka," ujar Emak, mempersilakan mertua mencicipi.

 

"Mak! Jangan bilang gitu dong! Masa mau makan harus mewek duluan. Emak! Bapak! Ibu! Kalian harus sehat dan panjang umur, agar waktu kita untuk berbahagia lebih lama lagi. Kalian harus ikut melihat anak-anak kami besar dan tumbuh dewasa!"

 

Aduuh! Perkataan mengandung bawang merah yang terucap dari bibir istriku membuat kami semua tak kuasa menahan buliran bening yang menerobos keluar dari sudut mata. Aku akan protes kalau ayam crispy di depanku menjadi asin karena kejatuhan ingus yang juga ikut keluar. 

 

Ini semua gara-gara Emak dan Rika. Mereka berkonspirasi membuat kami menangis untuk bisa bersyukur atas nikmat yang Allah karuniakan. Ingin kupeluk Rika yang duduk di sampingku, tapi ...takutnya Rika sombong dan tak hormat lagi padaku. 

 

Ah sudahlah. Tahan selera! 

***

 

"Dek! Kalau dari pakaiannya, aku tahu kalau mereka berpasangan. Tapi melihat bajumu yang lain dari mereka, aku bisa mengambil kesimpulan. Kamu adalah jomblo yang meminta jodoh di mesjid ini."

 

Astaga! Seorang anak muda sedang merayu Emak yang sedang menjangkau tas mukenanya setelah usai memakai sandal. Pintu masuk jamaah laki-laki dan perempuan memang berdekatan. Pemuda yang sepertinya baru lulus SMA itu niat banget datang ke teras di mana Emak, Rika dan Ibu sedang duduk. Ingin kuhajar lelaki itu, tapi melihat tanggapan Emak, sepertinya lebih seru. 

 

"Dek! Abang baru putus cinta. Abang yakin, kamulah perempuan yang dikirimkan untuk mengisi hatiku yang kosong," lanjutnya, karena Emak tak juga menimpali. Emak pun berbalik perlahan, dan ....

 

"Ma-maaf, Bu. Saya kira …." Dia tidak berani melanjutkan kalimatnya. 

 

"Ayo kita selfi dulu," ujar Emak. Ia keluarkan ponsel bermerk buah-buahan dan berswafoto dengan pemuda yang masih melongo. 

 

"Makasih loh, Bang, sudah menyatakan cinta padaku. Kebetulan, saya juga jomblo. Perkenalkan, ini menantu, besan dan itu anak saya yang paling besar. Terima kasih telah menerimaku apa adanya. Hadiii! Ayo salam calon suami emak!"

 

Aku yang menahan tawa sontak terdiam. Apakah ini bagian dari rencana Emak atau memang Emak ingin membuka lembaran pernikahan yang baru. Aku berjalan pelan mendekati pemuda yang sudah pucat itu, lalu menyodorkan tangan. Dengan cepat, ia meraih tanganku dan menciumnya. 

 

"Heh, kebalik. Harusnya anak yang nyalam bapaknya," cetus perempuan yang kini terlihat serius. Aku pun terpaksa melakukannya. 

 

"Bu! Saya pergi dulu, kebelet," serunya, lalu berlari sekuat tenaga meninggalkan kami. 

 

"Nomor telepon kamu belum, loh," teriak Emak, tapi tak digubris pemuda itu lagi. 

 

"Dasar! Udah tahu Emaknya digodain abege, kamu malah tertawa. Kamu rela kalau Emak dinikahi anak ingusan?" seru Emak mengulum senyum sambil mencubit perutku. Aduuuh, aku salah lagi. Padahal, Rika yang duduk di dekatnya juga hanya senyum-senyum. Serba salah memang. Kaum adam harus terima dengan keputusan sepihak dari hakim segala urusan itu. 

 

Emak dan Ibu berjalan duluan sambil bercerita, menyusul Bapak yang sudah menunggu di dekat mobil. Tumben Emak gak bawa menantunya ini. 

 

"Kamu kasih pelet apa sih sama Emak, Ri?" cecarku, mencekal tanganya Rika.

 

"Emangnya ikan, Bang? Masa' perempuan sesoleha Emak bisa kena pelet. Rika hanya menyayangi Emak seperti ibu sendiri. Emak tak mau marah sama Rika, karena sayang. Rika juga tak bisa emosi sama Abang, karena cinta,"  ujarnya malu-malu. Ia memilin-milin ujung jilbab warna hijaunya. 

 

Astaga! Rika beneran berani nyatakan cinta padaku. Aku harus jawab apa? 

 

"Ooh! Jadi maksud kamu, Emak marah padaku karena tidak sayang padaku?" seruku. Oh, mulut. Kenapa kata-kata itu yang keluar untuknya. Kuharap ia tidak merajuk dan mengadu sama orang tua dan mertuanya.

 

"Ada orang mengekspresikan cinta dengan kemarahan. Pipi Abang sudah merona. Itu sudah cukup membuktikan," jawabnya. Sebuah cermin kecil ia letakkan di atas tanganku, lalu berlari meninggalkan suaminya yang terperangah. Abang bukan bermaksud mengusirmu, Rika. 

 

Kupandangi cermin kecil itu dengan seksama. Astaga! Kali ini, aku tak suka dengan warna kulitku yang tak bisa berbohong. Mungkin aku harus segera mencari krim penghitam wajah. 

 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
jajiju
so sweet they two
goodnovel comment avatar
Ayun Retno
ya Allah AQ ngakak terus bacanya .........
goodnovel comment avatar
Riri Rere
mantapppp sekalii
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status