"Mak! Kita mau kemana ini?" tanyaku setelah berada di antara simpang arah ke rumahku dan rumah mertua. Hari sudah sore dan seharusnya untuk pulang."Pulang ajalah, Emak udah capek. Mertuamu akan menginap di rumah kita," balas Emak yang mulai ngantuk. Aku mengangguk dengan malas. Niat hati untuk khilaf nanti malam, kayaknya akan gagal. Orang tua rempong yang ingin nimang cucu itu akan mengganggu kami. Perlakuan sama harapan tidak berbanding lurus.Aku menoleh pada Bapak yang sudah mendengkur di sampingku, sementara Rika? Aku tak melihatnya duduk di samping Emak."Mak! Rika di mana?" tanyaku khawatir. Emak tersenyum lalu memandang ke bawah. Astaga! Itu anak malah tidur. Pantas saja aku tak melihatnya karena kepala Rika di atas paha Emak. Aku juga terlalu panik setelah tadi malu dan tak berani menatap ke belakang."Bangunkan aja
"Hadiiii! Cepat bangun, Nak!" Emak menggedor pintu kamar. Aku yang sibuk menyesal serta merutuk kegagalan drama indah semalam, baru bisa tidur menjelang pagi. Suara jarum jam berwana merah yang sedang berlari-lari pun jelas kuhayati. Kupaksa dengan keras agar mata terpejam. Berhasil, tapi pikiranku terus mengingat kelakuan konyol yang akan membuatku tak berani menatap kumis laki-laki itu lagi."Anakku tercintaaaa! Cepat keluar, Sayang!" Intonasi suara perempuan dibalik pintu semakin keras,walau bahasanya semakin halus. Aku menggeliat dan cepat membuang selimut untuk menghadap 'hakim segala urusan' di rumah ini."Ada apa, Mak? Hadi masih ngantuk," sahutku sembari mengucek mata. Kubukakan pintu dan kembali tidur."Nanti siang, kamu bisa tidur lagi. Ini udah tengah lima, bentar lagi azan. Cepat siap-siap! Udah tahu mertuanya nginap, malah makin lama bangunnya. Kamu gak boleh kalah sama
"Mak, makasih ya telah melahirkan anak sebaik Bang Hadi untuk jadi suami Rika. Hari ini, Rika seneng banget." Emak merentangkan tangan dan saling berpelukan dengan menantunya.Aku mesem-mesem melihat pemandangan keakuran dua perempuan beda usia itu. Aku mulai berdehem agar segera dapat giliran. Saking seringnya berdehem, aku sampai batuk beneran."Kamu memang pantas mendapatkannya, Sayang. Emak dan mendiang bapaknya Hadi memang tim yang kompak, hingga menghasilkan anak yang ganteng dan mudah diatur," balas Emak. Huuhh. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Kapan giliranku ya?"Emak memang TOP, tegar, optimis dan prima," puji perempuan yang lebih muda."Tegar, Optimis, Prima? Tegar itu pengamen jalanan yang pernah terkenal itu kan? Ooh dia punya dua teman yang lain?" tanya Emak menggaruk-garuk kepala yang ditutupi jilbab sorong.
"Aaaah! Emak gak asyik," rengekku sambil menyurukkan kepala di ketiak Emak. Emak menoyor kepalaku yang berusaha sembunyi dari tatapan Rika yang ingin menyemburkan tawanya."Udah besar, masih saja suka bau ketek," ujar Emak, merapatkan siku ke pinggang. Waktu kecil, aku memang suka melakukan hal konyol itu. Sekarang, aku tak sengaja melakukannya. Duh, aku semakin tengsin jadinya. Tapi, syukurlah Emak baru mandi, sehingga bau parfum yang tercium indraku."Ya, sudah. Emak mau ngaji dulu. Kalian pergilah! Jangan lama-lama pulang!"Ya, apa salahnya pulang agak malam, sih? Kami ini kan pasangan halal. Kalaupun terjadi hal-hal yang diinginkan, aku sebagai suami akan jawab, Rika yang nangung. Itu sebagai wujud pasangan yang sama-sama bertanggung jawab."Ingat! Nanti kamu yang Emak hajar kalau Rika sampai kecapean dan masuk angin," pesan perempua
"Makasih udah khawatir sama abang, Rika," ujarku sesaat setelah berhasil berdiri lalu duduk di balai bambu."Ya, iyalah Rika khawatir. Masa baru tiga bulan udah jadi janda," jawabnya yang membuatku lesu. Harusnya kan dia bilang tak bisa hidup tanpa aku. Eh, enggak ding. Allah lah yang memberikan nafas, dan tidak akan tandingannya di muka bumi. Mencintai dan dicintai adalah kesempatan yang patut kusyukuri dalam doa-doa. Baru dalam doa, semoga nanti ada keberanian untuk mengungkapkan segala isi hatiku."Apa gak ada kata-kata yang lebih manis, sih Rika?" ucapku dengan wajah cemberut."Lalu kenapa tangan Abang dingin dan gemetar? Sekarang juga masih dingin? Muka Abang juga pucat." Rika mulai meraba keningku yang tidak panas. Dalam jarak sedekat ini, Rika terlihat lebih cantik."Abang belum makan siang. Sekarang udah sore aja," balasku malu-malu. Rika terbahak
"Ah, Abang dermawan deh. Diminta satu kata, dikasih bonus tiga kata. Aku jadi …"Tiiiiiiin. Suara klakson mengganggu suasana hati yang tak hanya berbunga, tapi juga berbuah."Maju, Bang. Nanti kita bisa didemo orang," ujar Rika cekikikan. Aku menoleh ke kaca spion dan nampaklah Fia dan lelaki yang memboncengnya. Huh, dasar iri! Mereka hanya naik motor dan jalan keluar masih lebar. Udah, ah. Yang penting hatiku sudah lega karena berhasil mengeluarkan isi hati. Kalau gengsi dipelihara, aku akan rugi lebih lama.Aku mengemudikan mobil dengan pelan. Andai ada nenek-nenek yang memakai tongkat sedang berjalan di samping mobil, ia pasti kalah. Bukan karena laju kenderaanku terlalu cepat, melainkan si nenek udah kecapekan dan gak jadi jalan. Eh, aku kok mulai membicarakan hal yang unfaedah. Intinya, aku ingin berlama-lama dengan Rika, walau hanya di dalam mobil yang melaju enggan, ber
[Cepat pulang, Bang! Mau makan]Pesan dari Nifa membuatku harus pulang walai kaki terasa gontai mau melangkah. Untung saja celotehan dari gadis kecil ini membuatku terhibur. Rasanya pengen punya banyak anak cewek, agar mereka juga bahagia nanti bila sudah dewasa karena dimanajakan mertua mereka. Uhh, pikiranku kejauhan. Satu aja belom jadi, udah mikir sampai anak menikah."Engkol! Kita mau kemana?" tanya gadis yang kugendong. Aku tersentak mendengar penuturannya. Kok engkol sih? Emangnya pamanmu ini motor bebek, sampai harus diengkol? Jangan sampai pula orang salah faham dan mengira kalau aku ini engkong-engkong yang menyamar menjadi pria tampan yang sudah menikah, tapi belum punya anak.Inilah salah satu polah asuh yang banyak gaya. Kenapa harus sok berbahasa asing sih? Nifa sejak gadis memang gaul dan aku rasa dia juga yang mempengaruhi Emak. Mereka biasa video call-an saat kutingg
"Gimana ini, Bang?" Ari menggaruk kepalanya yang mungkin gatal karena digigit kuntilanak, eh nyamuk."Kamu bawa uang? Kita bisa ke penginapan," usulku lagi. Ari menggeleng. Aku hanya membawa uang seadanya karena kupikir kita akan keluar sebentar saja," balasnya dengan wajah kebingungan.Rumah besar tapi tak bisa menampung anak menantu. Emak memang keterlaluan. Waktu aku masih remaja, Emak biasa melakukan ini. Tapi sekarang aku sudah menikah. Apa masih layak diperlakukan dengan cara yang sama? Apalagi sekarang ada menantunya."Maafkan Emak, ya, Ari," ujarku. Aku sungguh tak enak hati melihatnya."Sudahlah, Bang. Sampai kapan pun kita akan tetap seperti anak-anak di mata Emak. Kita yang salah, dan aku lah yang apes karena mengikuti Abang." Ari tergelak."Alhamdulillah, kita masih bisa tidur di mobil. Untu