Share

Memalukan

Author: Intan Resa
last update Last Updated: 2021-10-07 08:04:39

"Mak! Kita mau kemana ini?" tanyaku setelah berada di antara simpang arah ke rumahku dan rumah mertua. Hari  sudah sore dan seharusnya untuk pulang. 

 

"Pulang ajalah, Emak udah capek.  Mertuamu akan menginap di rumah kita," balas Emak yang mulai ngantuk. Aku mengangguk dengan malas. Niat hati untuk khilaf nanti malam, kayaknya akan gagal. Orang tua rempong yang ingin nimang cucu itu akan mengganggu kami. Perlakuan sama harapan tidak berbanding lurus. 

 

Aku menoleh pada Bapak yang sudah mendengkur  di sampingku, sementara Rika? Aku tak melihatnya duduk di samping Emak. 

 

"Mak! Rika di mana?" tanyaku khawatir. Emak tersenyum lalu memandang ke bawah. Astaga! Itu anak malah tidur. Pantas saja aku tak melihatnya karena kepala Rika di atas paha Emak. Aku juga terlalu panik setelah tadi malu dan tak berani menatap ke belakang. 

 

"Bangunkan ajalah, Mak. Nanti kaki Emak kebas," usulku. Sebenarnya kasihan juga sih, karena dia sudah capek menemani Emak dan Ibu mandi-mandi, tapi tidak basah. Setelah habis sholat ashar, Emak ngajak balik ke plaza. Kalian tahu mau ngapain? Sungguh di luar nalar. Mereka mau mandi bola. Aku tak tahu rayuan apa yang Emak keluarkan hingga wahana bermain untuk anak-anak itu bisa dimasuki anak-anak yang sudah tua. 

 

"Gapapa. Kamu hati-hati nyetirnya! Tak usah bayangin kalau kamu yang berada di posisi emak." Kan ... kan … kan ...? Aku hanya memperlihatkan baktiku pada Emak, tetap aja diledekin. Auw ah. 

 

"Kamu gak nanyain ibu mertuamu, Di?" tanya Emak. Aku memandang ke belakang, hanya mereka berdua.

 

"Mana Ibu, Mak? Apa ketinggalan?" Aku mulai panik. 

 

"Hmm. Ibu mertuamu tidur di kursi belakang. Anaknya aja kamu cariin, lah ibunya kamu abaikan." Emak mulai menggodaku. Aku tersenyum tipis, salah tingkah lagi. Sudah terlanjur digodain, aku menyempatkan mata untuk memandang sang permaisuri yang lagi ngences. Ahaa! Kartu merah muda nih. Aku bisa meledek Rika yang melukis sketsa pulau di baju Emak. 

***

 

"Besan! Bangun! Kita udah sampai," seru Emak.  Aku tak tahu besan yang mana yang dimaksud perempuan yang duduk dibelakangku. Kalau Bapak, aku bisa mudah membangunkannya, karena beliau tepat di sampingku. Kalau Ibu? Andai dia terbangun, apa harus keluar dari bagasi? Toh, menantunya saja masih molor di pangkuan Emak. 

 

"Mak! Bangunin Rika dulu, baru ibunya! Anak perempuan itu jangan suka dimanjain. Perlakuin mantu kok kayak ratu saja. Kalau dia ngelunjak, Emak juga yang susah," celetukku, lalu keluar hendak membantu Emak keluar. 

 

"Hadi! Kamu aja yang gantiin emak mangku kepala Rika, ya! Udah pegel," ujar Emak. Yaelah, kenapa gak dibangunin aja sih. 

 

"Bangunin ajalah, Mak! Kita akan istirahat di dalam," balasku cuek. 

 

"Cieee, yang pengen dua-duaan. Ya udah, kamu gendong Rika ke dalam," titah Emak. Aku sebenarnya ingin bersorak kegirangan, tapi kalau Rika bangun, gagal deh. Dengan muka malas, aku menggendong Rika ke dalam yang terus diledekin Emak dari belakang. Ah, perempuan yang sok muda itu kayak gak pernah jatuh cinta aja. 

 

Aku meletakkan Rika dengan hati-hati di atas ranjang yang menjadi saksi kalau ada seorang pria menatap istrinya penuh cinta. 

 

"Rika, sebenarnya aku sudah mulai mencintaimu. Tapi aku masih takut kalau sejarah mungkin terulang. Oleh karena itu jangan pernah sakiti hatiku! Jaga hatimu untukku seorang, Rika! Kuharap kisah cinta dalam rumah tangga kita bagai huruf idgham bilaghunnah, cuma lam dan ro. Ya, kumau hanya ada kita berdua, Sayang."

 

Aku berputar cepat, membelakangi Rika yang mulai menggeliat. 

 

"Makasih ya, Bang, sudah gendong Rika." ujarnya. Aku membalikkan badan, menatap perempuan yang sudah duduk di sisi ranjang sembari tersenyum. Astaga, dia tadi sudah bangun dan ini semua rencananya. 

 

"Oh, kamu sengaja membuat lutut dan tanganku kebas karena menggendong tubuhmu yang gendut?" sindirku.

 

"Oh, jadi jantung Abang berdegub lebih cepat karena keberatan, bukan karena deg-degan. Ternyata aku salah sangka," gumamnya. Ya ampun, dia tahu segalanya. Untung saja aku mengungkapkan isi hatiku tadi tanpa bersuara. Kuharap, dia tidak mengerti bahasa bibirku yang komat-kamit. 

 

"Geer banget," cetusku, lalu keluar karena kepanasan. Malu banget dah. Walau bibir tak berkata jujur, tapi tubuh ini selalu mempermalukanku. Mulai dari wajah yang memerah dan sekarang jantung yang berdisko ria. Duh, aku butuh angin segaar. 

***

 

Aku menemani Bapak menonton siaran bola. Kulirik jarum jam dinding sudah hampir tengah malam. Ketiga kaum perempuan masih sibuk cerita-cerita di atas kasur lantai yang digelar di ruang tamu. Mereka sesekali cekikikan tanpa sadar kalau ini saatnya memberikan haknya mata dan badan untuk istirahat juga tidur. 

 

"Udah tengah dua belas ya, Pak? Apa Bapak tidak ngantuk?" tanyaku dengan suara yang sengaja dikeraskan. Mereka tak menoleh sama sekali. Duh, Rika! Katanya cinta, tapi kok suaminya dianggurin. Emak sama Ibu juga gak pengertian. 

 

"Tidur duluan, Di. Sebentar lagi mau habis ini," balas bapak mertua tanpa menoleh padaku.

 

"Mak! Bu! Hadi tidur duluan ya!" pamitku, tapi mata melirik pada sang istri. 

 

"Iya. Tidur duluan sana! Berwudhu dulu, baru tidur. Kata Rika, kamu sering ngigau, mimpi buruk," balas Emak. Apa? Jadi mereka tadi sedang membicarakanku. 

 

Kenapa sih Emak dan Rika selalu memojokkanku? Harusnya, aku ini dipuja-puji karena menjadi anak dan menantu yang baik seharian penuh. Mereka tak memandang jasaku sama sekali. Huh. 

 

Aku memang sering bermimpi kalau Rika meninggalkanku pas lagi sayang-sayangnya, persis seperti sang mantan. Semoga saja aku tak pernah menyebut namanya, walau tanpa kesadaran.

 

Aku menuruti perintah Emak untuk berwudhu. Perempuan yang tak lagi muda itu  selalu mengingatkan anaknya seperti anak yang belum baligh. Selalu diingatkan mulai dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Sholat, makan, mandi dan tidur, tetap diomeli jika terlambat kulakukan. Kuharap, Emak tak memarahiku di depan cucunya kelak. 

 

Aku menarik selimut sampai ke kepala saat mendengar suara pintu yang dibuka sang pujaan hati. Lampu telah mati, menyisahkan sedikit cahaya yang menerobos dari ruang tengah melalui ventilasi di atas pintu kamar. Sungguh syahdu sekali. 

 

Karena aku masih enggan menyatakan perasaanku dengan lisan, sepertinya pura-pura khilaf bisa jadi solusi. Aku menahan kantuk sampai setengah jam hingga Rika tertidur pulas. Istriku memang mudah terlelap. 

 

Aku membalikan badan agar menghadap istriku. Dia juga menutup kepalanya dengan selimut. Tak biasanya. Ah, mungkin Rika tahu kalau aku akan .... 

 

Aku meletakkan tanganku di atas pinggang yang ramping itu. Tak ada pergerakan. Syukurlah, Rika sudah tertidur. 

 

Aku memejamkan mata agar tak malu bila ketahuan, lalu menarik selimut itu perlahan. Aku mulai merasa aneh saat meraba rambutnya yang pendek. Ah, mungkin Rika baru potong rambut. Batinku menolak. Aku semakin curiga karena meraba keriput di keningnya dan ... ada bulu-bulu di bawah hidungnya. 

 

"Aaaaah. Kenapa Bapak ada di sini?" teriakku. Bapak terkejut, begitu juga dengan ketiga perempuan lainnya. 

 

"Mak! Kenapa Bapak tidur di sini?" tanyaku, berlari ke belakang Emak. Aku takut kalau mertua mempunyai kelainan. 

 

"Maafin ibu, Nak Hadi! Sudah tiga bulan gak jumpa, ibu kangen sama Rika. Ibu mau tidur sama Rika malam ini. Makanya, Bapak tidur di kamar kamu."

 

Aku jadi tak enak hati sekaligus kesal, tapi entah pada siapa. 

 

"Hanya malam ini, Di. Besok, Rika akan dikembaliin kok. Kasihannya anak emak yang lagi bangun cinta, eh salah satu tukangnya lagi absen. Sini  peluk, Sayang," ledek Emak sambil membentangkan kedua tangannya. 

 

Aku tak berani minta maaf pada Bapak mertua.  Kuambil langkah seribu menuju kamar tamu dsn menguncinya dengan cepat. Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak saat Bapak menceritakan segalanya. Di rumah ini banyak kamar, kenapa harus menyuruh Bapak tidur di kamarku? Astaga! Malam ini akan terasa sangat panjang karena sibuk merutuk diri. Ini pasti rencana Emak. Ya Allah, berikan hidayah pada emakku yang jahil!

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
sylvia f
nda nyangka, bapaknya, hahahaha
goodnovel comment avatar
Riri Rere
hahahah lucu banget
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamat

    "Bang! Udah jadi mandi?" tanya Rika. Udah jelas ada handuk melilit di pinggangku yang ramping. Masih aja ditanya."Udah, Dek. Apa perlu abang mandi lagi?" tanyaku balik dengan kerlingan manja."Ish! Maunya sih begitu. Tapi, Abang dipanggil Emak tuh. Disuruh bawa si Kembar jalan-jalan." Ah, aku ikutan kecewa saat melihat istriku manyun. Ah, Emak gak sportif.***Usia pernikahanku sudah menginjak angka seperempat abad, tapi Emak tetap memiliki semangat yang menggebu. Badan Emak tak seenergik dulu, dimakan usia yang semakin menua. Mungkin karena selalu ceria dan suka merawat diri, Emak tetap tak bisa menyembunyikan sisa-sisa kecantikan masa mudanya.Bukan hanya Emak, Rika pun tetap awet muda. Emak tak mau kalau menantunya itu sampai kalah cantik darinya. Alhasil, Rika hanya terlihat lebih tua sedikit dari kedua anakku. Sedangkan anak yang ma

  • Catatan Utang Seorang Istri   Setelah Anak Mulai Besar

    "Kakak! Mending kasih namanya kayak ponakanmu. Nama jodohnya disandingkan langsung dengan namanya sejak baru lahir." Om windu mulai mengemukakan pendapat yang makin tak bisa kuterima."Oh, iya, ya. Khoir Cintaaaa ...." Emak mulai berpikir macam-macam."Repa," celetuk Tante."Boleh juga Adik ipar, Khoir Cinta Repa," ujar Emak. Ya Allah, ini tak bisa dibiarkan. Anak-anak akan diejek temannya nanti karena punya nama aneh."Bagus itu, Bi!" seru Santo, bersemangat. Pasti mau balas dendam karena sering kuejek. Ia melirikku dengan wajah tersenyum puas. Astaga! Kalau kugetok kepalanya, Emak si Santo, marah gak, ya?"Gimana menurut kamu, Di?" tanya Emak. Aku menitikkan air ingus dan juga air mata yang mengalir tidak di jalur yang benar. Cih! Asin banget dah. Campuran cairan yang berasal dari sumber yang berbeda itu, bermuara di bibir m

  • Catatan Utang Seorang Istri   Nama Untuk Si Kembar

    Bang! Kenapa Dede nangis terus?" tanya Rika dengan mata memerah, khas ngantuk. Sungguh abang tak tega, Sayang.Melihat Rika berdiri di dekat pintu, Om Windu ngacir ke luar. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Gara-gara dia, anakku terbangun. Dan sekarang, istriku tersayang juga ikutan melek.Nyonya Hadi Wijaya meraih anak perempuannya yang memiliki suara aduhai. Menggelegar bagai mengunakan pengeras suara. Sedangkan anak lelakiku langsung terdiam setelah saudaranya tertidur di pangkuan ibunya. Masih kecil, dia harus mengalah pada kakak perempuannya. Astaga! Semoga kamu tak bernasib sama dengan ayah, Nak! Selalu jadi bulan-bulanan para wanita di rumah kita."Dek! Kita kasih nama siapa ya pada si Kembar?" tanyaku, mendekat kepada istri yang bagai magnet. Aku yang bak besi langsung tertarik pada sang magnet yang menarik hati. Duh, daku sudah lama merindukan saat-saat bersam

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anakku Nangis Terus

    "Kak! Ubinya berapa satu?" ujarku sambil memilah umbi-umbian itu. Kalau dibilang ubi, maksudnya singkong, bukan ubi rambat maupun ubi talas. Aku bingung mau nanya harga per kilo atau per biji. Soalnya, satu biji saja ada yang sebesar betis orang dewasa, tapi bukan betis manusia kerdil ya."Satunya, ya satu, Dek," jawab penjual yang sedang mengunyah sirih. Perempuan ubanan itu mengulum senyum karena dipanggil 'kak'. Bukan karena aku tak bisa prediksi umurnya, keriput di tangan dan wajahnya sudah menjelaskan kalau si dia emang sudah nenek-nenek. Menyenangkan hati para wanita tak akan merugikanku.Aku hanya menggelengkan kepala saat senyum menakutkan si Ibu dipamerkan. Astaga! Becandanya gak lucu. Aku tahu, kalau satu biji ya emang satu. Aku bangkit dan menatap lurus pada lapak lain yang menjual ubi juga."Eh, Dek. Jangan merajuk lah! Sekilonya empat ribu. Kalau mau satu biji juga bisa. Tingg

  • Catatan Utang Seorang Istri   Tamu Tak Diundang Lagi

    "Hadi! Bangun, Sayang! Sahur!" Aku mendengar suara seorang gadis yang mengguncang bahuku dengan pelan. Sayang? Kaukah itu Rika? Sayangku?Aku tetap memejamkan mata dan menahan pergelangan baju wanita yang kini terdiam itu. Dalam sekejap, kutarik dia agar ikut naik ke atas ranjang."Hadiiiii!" suara mirip gendang yang dipukul sekuat tenaga. Astaga! Mungkin karena kangen bercampur masih setengah sadar, aku sampai mengira kalau suara yang memanggilku sayang itu adalah Rika Yunita, sang Nyonya Hadi Wijaya.Aku berjingkat dan mundur tak teratur hingga punggungku terasa dingin. Bukan karena keringat dingin, melainkan badanku yang hanya memakai singlet tersentuh tembok.Emak berdiri dan berjalan mendekatiku yang terperangkap. Tidak ada jalan lain lagi selain minta maaf."Emak! A-aku kira … aww, sakiiit!" pekikku. T

  • Catatan Utang Seorang Istri   Digodain Bapak

    "Di! Kamu itu beruntung punya Emak yang sayang pada menantu dan cucunya," ujar Bapak mertua setelah pekerjaan kami berdua beres. Ternyata, lebih ringan rasanya membereskan dapur daripada mengurus dua bocil. Sementara, kami bisa rehat sebentar sebelum mencuci baju. Mencuci baju anak dan istri saat baru lahiran adalah kewajibanku, kata Emak. Semenjak tidak wajib bayar spp lagi, kewajibanku makin banyak saja."Iya, sayang sih, Pak. Tapi Emak semena-mena pada anaknya," balasku, lalu menyesap teh manis yang kuseduh sendiri. Maklumlah, saat ini tidak ada yang melayani."Kalau sama anak sih, gak usah ditanya, Di. Setiap ibu akan menyayangi anak yang dia perjuangkan dari dalam kandungan, sampai dewasa. Bapak bilang gini, bukan karena Rika itu putri bapak. Tapi, saat melihat belahan jiwa kita tidak akur dengan mertuanya, hati kita akan dilema memilih diantara keduanya," sahut Bapak yang membuatku manggut-manggut.

  • Catatan Utang Seorang Istri   Anak-anakku Pro Emak

    "Ini air panasnya, Bu," ujarku dan meletakkan termos di samping tempat tidur mereka. Bapak tidur di kamar tamu, sedangkan Emak dan Ibu menggunakan matras springbed, mengapit kedua cucu mereka.Ingin kuangkat saja Rika dari matras single ke kamar agar di ada teman tidur. Kasihan istriku, dia mungkin kesepian, heheh.Ibu menyerahkan bayi perempuan yang mewarisi kecantikan istriku, agar mertuaku itu bisa membuat susu untuk anak-anakku."Kamu jangan cerewet seperti nenekmu yang itu, ya, Sayangku," bisikku sambil menunjuk Emak dengan dagu. Si Kakak terus saja menangis, tak sabar dengan gerakan slow motion dari Ibu. Tiba-tiba, aku merasa ada cairan hangat yang membasahi celana tidurku. Astaga!"Emaaak! Dia pipiiis!" seruku dan meletakkan bayiku yang masih saja berkoar-koar. Emak sama ibunya Rika terbahak-bahak dan mengatakan kalau cucu mereka protes

  • Catatan Utang Seorang Istri   Rempomgnya Punya Dua Bayi

    Sebagai istri, eh suami yang baik dan penyayang, aku harus bisa berbagi suka duka dengan istriku. Sakitnya adalah deritaku. Aku juga harus bisa menghibur batinnya yang kelelahan. Jangan sampai seorang istri merasa kalau suaminya tidak peduli lagi karena melihat badannya yang melar. Kalau tidak melar, tak akan bisa aku jadi seorang ayah.Hmmm, gimana kalau aku ikut menirukan dirinya, ya? Kayaknya Rika akan tertawa dan lupa deh sama sakitnya.Saat semuanya sibuk, aku mulai membongkar baju-baju di tas dan menemukan daster lengan pendek. Aku juga mengambil tiga kain gendong dan kerudung, lalu membawanya ke toilet. Yeah, saatnya berubah jadi bapak-bapak bunting.Aku berjalan dengan cepat menuju ruangan istriku untuk menghindari pandangan aneh dari orang yang berpapasan. Yang perlu kuhibur adalah menantu si Emak, bukan menantu orang lain.Tara

  • Catatan Utang Seorang Istri   Istriku Mau Lahiran

    Malam ini terasa panjang, karena Rika terus saja meringis dan mondar-mandir di ruang tamu, kamar hingga dapur. Emak menyuruhku mengikuti Rika kemanapun dia pergi, bahkan ke toilet. Takut kepeleset. Kalau diukur, mungkin jarak tempuh kami sudah beberapa kilometer. Untung saja, menjelang tengah malam, kedua mertuaku datang dengan raut khawatir.Emak sama ibunya Rika terus saja menyemangati istriku. Bidan yang rumahnya dekat dari istana kami ini sebenarnya sudah mengajak Rika ke puskesmas saja, tapi Emak menolak. Gak enak jagain orang sakit di sana, gak bebas, katanya.Ya iyalah gak bebas. Kalau mau bebas, lari-lari di lapangan, Mak! Saat menjaga istriku yang sedang kontraksi, rasa kantuk mulai menyerang. Tapi, rasanya tidak tenang jika istriku kesakitan, sedangkan suaminya ini bermimpi buruk. Aku yakin, baru saja melek, Emak akan menyiramku dengan seember air. Astaga! Aku tak mau membayangkan.&nb

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status