Share

Panaas

"Hadiiii! Cepat bangun, Nak!" Emak menggedor pintu kamar. Aku yang sibuk menyesal serta merutuk kegagalan drama indah semalam, baru bisa tidur menjelang pagi. Suara jarum jam berwana merah yang sedang berlari-lari pun jelas kuhayati. Kupaksa dengan keras agar mata terpejam. Berhasil, tapi pikiranku terus mengingat kelakuan konyol yang akan membuatku tak berani menatap kumis laki-laki itu lagi. 

 

"Anakku tercintaaaa! Cepat keluar, Sayang!" Intonasi suara perempuan dibalik pintu semakin keras,walau bahasanya semakin halus. Aku menggeliat dan cepat membuang selimut untuk menghadap 'hakim segala urusan' di rumah ini. 

 

"Ada apa, Mak? Hadi masih ngantuk," sahutku sembari mengucek mata. Kubukakan pintu dan kembali tidur.

 

"Nanti siang, kamu bisa tidur lagi. Ini udah tengah lima, bentar lagi azan. Cepat siap-siap! Udah tahu mertuanya nginap, malah makin lama bangunnya. Kamu gak boleh kalah sama yang tua," ucap Emak. 

 

"Ya gak apalah, Mak. Yang udah tua lebih rajin sholat itu wajar," jawabku asal. 

 

"Ooh, kamu pikir sholat itu hanya untuk orang yang tua?" Emak mulai ngegas. Aku cepat duduk lalu berlari ke kamar mandi. 

 

"Punya anak laki kok bikin malu. Udah dipuji di depan besan, ternyata dia telat bangun." Emak bicara sendiri, tapi masih kudengar samar sebelum benar menghilang di balik pintu kamar mandi. 

 

Tunggu! Emak bilang kalau muji aku di depan besannya? Ah, benarkah? Aku akan cari tahu nanti. Perasaan, dari kemaren, sifat burukku saja yang diungkit-ungkit Emak. 

 

Aku mengguyur badan dengan air hangat seperti biasanya. Siapa yang menyiapkan? Ya, pasti menantu Emak lah. Dia selalu melakukannya tiap pagi, tapi belum pernah kuucapkan terima kasih. Aku harus berterimakasih kayak mana, ya? 

 

"Kahona pyiari heeei … kahona pyiari heeei."

 

Aku terus saja bernyanyi, mengingat senandung seseorang saat aku menggendong Ibu di plaza. Kali ini aku sambil ngebayangin Rika, sang primadona di rumah ini. 

 

"Hadiiii! Cepat keluar! Di kamar mandi gak boleh bercakap-cakap, apalagi nyanyi. Biar berfaedah, nanti kamu nyanyi aja saat mertuamu mau pulang," seru Emak. Aku cepat mengguyur badan dan keluar dari tempat karaoke ini. 

 

"Udah dibilangin, jangan nyanyi di kamar mandi, masih aja ngeyel," gerutunya sambil tangan beraksi seperti biasa. Sabarlah kuping! Suatu saat kamu akan rindu dijewer tangan tua itu. 

 

"Emak heran deh, kamu kayak niat banget mempermalukan gadis tua ini di depan mertuamu yang baru pertama nginap di sini." Aku memakai bajuku sambil terus mendengar omelan gadis yang katanya udah tua itu. Kalau masih gadis, aku dan adikku Nifa, anak siapa dong?

 

"Duluan ya, Mak!" pamitku, melebarkan langkah menuju teras rumah. Di sana, Bapak sudah menungguku. Kusampingkan rasa malu dan menghampiri mertua, karena sang muazin sudah menyeru dan mengajak setiap umat muslim untuk bersujud kepada Sang Khaliq. 

 

"Ayo, Pak!" ajakku. Bapak memutar badan dan ... si kumis sudah tak berjejak. Sepertinya Bapak jijik saat mengetahui kalau menantunya sudah menggerayangi kumis tebalnya. Bapak cepat bangun demi membabat hutan yang dikhilafi menantunya. Sekarang, aku jadi merasa kalah tampan. Ternyata, kumis itu yang menutupi aura ketampanan Bapak yang diwariskan pada putri semata wayangnya, Rika Ailopyu. Eh! Maksudnya Rika Yunita. 

***

 

"Udah siapin amplop kan, Di?" tanya Emak, mendekatiku yang sedang bersiap mau mengontrol perkebunan kelapa sawit. Hari ini jadwal pembersihan piringan kelapa sawit, mesin uang yang bisa hidup lebih lama dari umur manusia normal itu. Aku mempekerjakan belasan janda untuk melakukan kebersihan sekaligus memunguti brondolan yang mungkin terselip. 

 

"Amplop apaan, Mak?" Kami tidak mau ke kondangan. Ngapain Emak minta nyiapin amplop?

 

"Untuk dikasih sama mertuamu, lah," jawab Emak. 

 

"Uang semua dipegang siapa, minta uang sama siapa. Emak gimana sih? Hadi cuma punya sedikit uang pegangan," gerutuku. 

 

"Justru itu, kamu panggil Rika, minta uangnya, lalu kamu yang ngasih. Mertuamu lebih senang kalau kamu yang ngasih daripada anaknya, walaupun dengan sepengetahuanmu. Makanya emak lebih suka minta apa-apa sama Rika, padahal, uangnya kan hasil keringat anakku yang paling ganteng ini," ucap Emak, sambil mencubit pipiku. Pujian jalan, tangan juga beraksi. Emak, kapan sih aku bebas dari siksaan? 

 

Aku berjalan mengikuti Emak menuju ruang tamu. Di sana Rika sedang bercerita dengan ibu mertua. Semalaman sudah tidur bersama, sekarang malah gak ada puasnya. Apa selama tiga bulan ini, Rika sudah rindu, tapi takut mengatakannya padaku? Aku memang suami gak peka.

 

"Ri! Abangmu manggil kamu tuh," tutur Emak, tersenyum miring. Rika berjalan mendekatiku dan dengan pedenya berkata, "abang rindukah pada adek?" Dia pasti korsleting karena bergaul dengan Emak setiap harinya.

 

"Enggak," cetusku tapi kepala mengangguk. Heh kepala! Kalau enggak harus geleng, bukan ngangguk. Aku merutuk anggota badanku yang tak bisa kerja sama. 

 

Ini tak bisa dibiarkan. Aku berjalan cepat ke kamar demi menghindari tatapan dan senyuman milik orang tua dan mertua kami. 

 

"Kamu ada nyimpan uang kes?" tanyaku to the point.

 

"Ada, Bang. Sisa jalan-jalan kemaren," jawabnya, lalu mengeluarkan dompet lusuh dan beberapa lembar uang bergambar presiden pertama. Aku rasa, orang tak akan mau menjambret dompet milik Rika yang warnanya sudah butek dan terkelupas di beberapa bagian. Sepertinya, aku harus memberinya kejutan 

 

Kumasukkan beberapa lembar uang ke dalam amplop lalu menyalamkannya pada Ibu mertua. Mereka terlihat sungkan menerima pemberianku yang tak seberapa. Aku membawakan barang-barang yang entah apa saja yang diberikan Emak ke dalam angkot yang dibawa Mang Kusri. Pisang, rambutan, kelapa dan sekarung pakaian. Aku tak tahu pakaian siapa dan untuk siapa. 

 

"Hati-hati, Mang, bawa mobilnya! Jangan sampai orang tua dari menantu kesayanganku kenapa-napa!" pesan Emak. Mang Kusri langsung mengacungkan jempolnya. Ya elah, lebay banget si Emak. 

***

 

"Tumben belum berangkat, Bang?" Rika menghampiriku yang sedang mondar-mandir. Aku menunggu seseorang yang bisa membantuku hari ini. Aku sudah menelpon asistenku kalau akan datang terlambat.

 

"Assalamualaikum, Bu Rika!" Bu Leni berteriak.

 

Aku keluar setelah Rika menemui penjual baju dan aksesoris wanita itu. Etapi, kenapa Emak juga harus ikut keluar? Bisa runyam jadinya kalau berurusan dengan orang tua yang satu itu. 

 

"Ada apa kemari, Bu Leni?" Emak mengernyitkan keningnya. 

 

"Saya mau nagih hutang sama Bu Rika, ini catatannya, Mak," jawab Bu Leni. Ia mengangsurkan selembar kertas berwarna merah muda. 

 

"Gak mungkin menantuku punya utang. Dia yang  pegang uang suaminya sekarang," bela Emak. Rika menerima kertas itu beserta sebuah kresek warna biru. 

 

"Hadiii! Kamu nyita ATM yang Rika pegang, ya? Rika sampe ngutang lagi," hardik Emak dan langsung menjewer telingaku. Harusnya dia marah pada menantunya yang punya utang, eh, anaknya yang langsung kena imbasnya.

 

"Enggak, Mak. Itu utang Hadi. Aku mau minta tolong. Bayarin dulu, ya, Mak. Nanti aku akan memunguti brondolan, menjualnya, lalu mengembalikan uang Emak," ujarku menahan sakit. Bu Leni yang cukup akrab dengan keluarga kami terlihat menahan tawa.

 

"Dompet ini, Abang belikan untuk Rika? Bagus banget. Makasih ya, Bang," sorak Rika. 

 

Emak yang kebingungan segera meraih selembar kertas yang dipegang Rika. 

 

"Untuk istriku tersayang. Semoga dompet ini bisa mempercantikmu, walau harus kuakui, dompet ini yang semakin cantik karena kamu yang memakainya. Karena aku sudah memujimu, tolong bayarin dompetnya, ya. Abang gak ada uang" Emak membaca kuat-kuat sambil cekikikan. Semua isinya sesuai instruksiku pada Bu Leni. 

 

"Soswit banget deh, anak Emak ini. Adududuh. Manisku sekali. Walaupun gak modal sih," kekehnya lagi. Kali ini, dia mencubit pipiku dengan kedua tangannya. Gara-gara Emak ikut campur, suasananya tidak romantis lagi, tapi panaaaaaassss. Kumohon, taubatlah, Mak! Jangan permalukan anakmu teyuuus! 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status