Share

06. George's Not Going Sleep

    "Hei, tahanan mati. Waktunya makan siang." Seorang tahanan yang mendapat tugas mengantarkan makanan kepada narapidana lain melempar begitu saja nampan berisi makanan ke dalam sel pria bertubuh besar yang pernah memiliki masa-masa penuh kejayaan.

    George mendapat tambahan hukuman dan dipindahkan ke sel khusus lagi, setelah dengan sengaja mencoba membunuh seorang pengedar narkoba yang mengatakan sesuatu yang terdengar konyol.

    George yang sejak awal hukumannya selalu berada dalam sel khusus, ketika ditempatkan satu sel dengan orang lain membuat pria tua itu langsung bertingkah dan emosi dengan orang yang mencari gara-gara dengannya. Meski kepalanya dipenuhi uban, George masih bisa bergulat dengan lelaki yang lebih muda 40 tahun darinya dan memukulkan asbak rokok ke pelipis pria malang itu berkali-kali.

    George dibawa paksa oleh sipir-sipir penjara yang murka melihat sikap pria tua yang hampir mati. George tak keberatan, dia justru kembali ke sel lamanya yang semakin dilihat malah semakin memberikan perasaan damai dan puas dalam dirinya. "Inilah tempat yang paling menyenangkan," komentar George seraya bersenandung riang.

    Waktu itu, para sipir ditugaskan untuk membersihkan ruang isolasi yang dindingnya dihiasi noda merah yang sulit dibersihkan, juga ada noda kehitaman dan bau busuk yang menyengat seperti bau pada kotoran manusia. Para sipir mengernyitkan wajahnya seolah jijik, tapi mereka melakukannya agar lebih enak dipakai.

    George tak pernah menyesali perbuatannya atas aksi yang menyebabkan orang lain meregang nyawa. Justru yang ia sesalkan adalah terlambatnya aku memulai semua kisahnya dari awal.

    Jika itu terjadi lebih cepat, maka George bisa bertemu lebih cepat dengannya, detektif kepolisian yang merupakan idolanya. George ingin bertemu dengannya lebih dulu sebelum sosok itu bertemu dengan orang yang kelak akan menjadi rival George dalam segala hal.

    Seandainya saja kepribadiannya terbentuk lebih buruk dan parah lagi dari yang pernah ia rasakan, tentu saja George yang sekarang berusia 60 tahun dipastikan mati lebih muda dari yang seharusnya. Dengan kematian yang sama, yaitu kepala yang terpisah dari tubuh.

    Andai saja orang-orang baik itu tidak pernah ada untuk menolong dan membuat kondisi mentalnya menjadi goyah, mungkin saja George bisa lebih bersenang-senang daripada yang pernah ia rasakan sebelumnya.

    "Andai aku tak pernah bertemu dengannya, apa hidupku akan jadi lebih baik, ya?" gumam George bertanya sambil mengambil nampan makanannya di lantai. Hari itu pihak penjara memasak kare, dan karena dilempar begitu saja kuah karenya pun tumpah di lantai.

    "Dasar orang-orang sial," rutuk George, ia jadi teringat masa lalunya 59 tahun silam. Saat di mana dia hanya seorang anak kecil berusia empat tahun.

    ***

    "Sayang, sepertinya ada yang salah dengan putra kita, George."

    Di suatu pagi, Joly yang resah melihat George semakin menjadi-jadi akhirnya menyuarakan isi hatinya kepada sang suami—Erick Owens—saat mereka sedang duduk berdua di halaman belakang. Joly takut, ada sesuatu yang terjadi pada George. Wanita yang senang mewarnai ujung rambutnya itu mulai membahas setiap kejanggalan yang terjadi di rumah mereka.

    Mulai dari hilangnya hewan-hewan peliharaan, sampai berhentinya semua pengasuh George. Sekarang mereka tak lagi mempunyai babysitter, para pembantu rumah tangga pun beralasan mereka tak bisa melakukan dua pekerjaan sekaligus—membersihkan rumah dan mengawasi George.

    Sejak di mana George bermain bersama orang tuanya di halaman belakang dan menunjukkan mainannya yang tidak biasa, sejak itu pulalah Joly menatap putra semata wayangnya itu dengan tatapan berbeda.

    Dia tidak membenci anaknya, hanya saja dia merasa takut dengan kepolosan sang anak. Ada sesuatu yang membuatnya merinding setelah melihat bagaimana anaknya mencabut kaki tarantula berukuran besar dan beracun.

    Itu laba-laba eksotik yang disukai oleh Erick dan selalu diberi makan 3 kali sehari.

    George, setelah menunjukkan mainannya kepada orang tuanya terlihat biasa-biasa saja, seperti di hari-hari lain.

    "Sayang, kau tak peduli dengan anak kita, ya!?" Joly memelototi Erick yang sedang bermain dengan X001, seekor iguana yang baru berumur 8 bulan.

    "Ssst, tenanglah. Kau membuatnya takut," bisik Erick sambil menunjukkan iguana peliharaannya kepada sang istri. Joly mengernyit tidak suka.

    "Jauhkan reptil itu dariku!"

    Joly mendengkus sebal, sepertinya hanya dia yang benar-benar memikirkan kelangsungan hidup George di masa depan. Saat ini, George berusia empat tahun, bulan ke delapan nanti dia berulang tahun yang ke-5. Selain tak memiliki teman sebaya, George juga sering menyendiri di halaman belakang.

    Dia akan bermain balok-balokan yang selalu bertambah setiap harinya dengan suasana hati yang gembira, seakan ada yang menemaninya bermain. Joly ingin menyingkirkan semua balok-balokan itu, tapi dia tak ingin George menangis. Jika mainan itu bertambah lagi, Joly akan menyalahkan suaminya lagi kali ini.

    "George akan baik-baik saja, jangan terlalu mengkhawatirkannya." Erick yang telah selesai bermain dengan X001—nama iguana miliknya—pun beralih pada sebuah koran harian yang dibelinya dari pengantar susu.

    "Kau tak peduli dengan George, ya?" tuduh Joly dengan nada sinis. "Seharusnya aku menolak sejak tahu orang tuaku akan menjodohkanku denganmu."

    Erick terlihat tak peduli, ia membalikkan halaman pada koran yang dibacanya perlahan-lahan. Joly kesal, karena diabaikan sang suami. Erick jika sudah fokus dengan koran berisi berita terkini dalam sepekan terakhir, maka akan mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Dia akan terus membaca.

    "Erick! Anak kita bermain dengan hewan yang sudah mati! Dan lebih parahnya lagi, dia memutuskan semua kaki hewan itu!"

    Joly menggeram saat melihat ketidakpedulian sang suami. "Ada yang salah dengan George! Kita harus ke psikiater!"

    Belum lega juga perasaan wanita yang menikahi Erick Owens lima tahun lalu, terutama karena suaminya masih mengabaikan kegelisahannya. Meski ia sudah mengungkapkan isi hatinya tentang keanehan George yang bermain setiap hari dengan mainannya, Joly akan kembali terbayang dengan mimpi buruk yang dilihatnya sejak hari di mana George memperlihatkan tarantula mati itu kepada mereka.

    Malang betul nasib hewan bercorak cantik yang didapatkan Erick dari seorang kenalan, tubuhnya yang mulai membusuk pun tetap menjadi mainan George. Joly bergidik ngeri karena melihat anaknya meletakkan tarantula mati itu di dalam kotak mainannya tanpa merasa jijik. Joly hanyalah seorang ibu muda yang tak berani membuang bangkai hewan merayap, hasil karya tangan sang anak.

    "Kita bisa periksa keadaan George jika pergi ke dokter secepat mungkin! Aku rasa, dia tidak normal!"

    "CUKUP!" Erick membentak sang istri dan melirik wanita yang ia nikahi lima tahun yang lalu dengan tatapan sinis. Ia begitu kesal saat mendengar perkataan sang istri yang tiba-tiba menuduhnya melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ia lakukan. Suatu perbuatan yang sangat dibenci oleh Erick. "Hentikan omong kosongmu, George baik-baik saja. Dia hanya berbeda dari anak-anak lain karena dia istimewa."

    Genggaman tangan Erick pada kertas koran yang dibacanya mengerat. "Dan kata siapa aku tak peduli dengan anakku?" tanyanya sinis dan dingin. "Justru kau yang tak peduli dengan George. Kau mempercayakan pertumbuhan kita pada pembantu dan mengabaikannya saat ia menginginkan sesuatu darimu."

    "Hei, itu pekerjaanku! Aku ini wanita karir!"

    Erick menutup korannya dan menatap sang istri. "Sungguh? Bilang saja kau tak ingin mengurus anak-anak," sindirnya. "Kau bahkan berani menghina anakmu sendiri dengan mengatakannya tidak normal."

    "Dia juga anakmu, berengsek!" Joly tak mau kalah. "Jika kau mau, kau cari saja wanita lain untuk jadi ibu anak itu!"

    Erick terbelalak. "Joly Sphinger!" teriaknya.

    Joly mendelik. "Apa? Kenapa? Kau tak suka?" tanyanya ketus. "Ucapanku benar, 'kan? Cari saja wanita lain, yang bisa jadi pembantu sekaligus ibu dari anak-anakmu!"

    "Joly Sphinger, tarik ucapanmu," desis Erick sambil menahan gemeretuk gigi-giginya. Ia mencengkeram korannya hingga tak lagi berbentuk.

    "Apa lagi? Kau tahu sendiri bahwa aku ini memang tidak bisa memasak!" kilah Joly dengan sengit. "Mana aku bisa berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa! Lebih baik aku bekerja dan mengumpulkan uang!"

    Dengan kesal, Erick yang duduk di samping Joly pun membanting surat kabar yang telah diremasnya hingga terlihat seperti sebuah bola. Lelaki itu langsung menunjuk wajah istrinya tepat di hidung sang wanita. "Diamlah, itu memang kesalahanmu karena tak belajar memasak sebelum kita menikah!"

    "Apa?! Jadi kau menyalahkanku?!" teriak Joly kesal.

    "Oh, ya, jelas! Semua itu salahmu! Aku jadi semakin yakin dengan penyesalanku sewaktu menyetujui tawaran orang tuaku untuk menikahi wanita sepertimu!"

    Untuk yang ke sekian ratus kalinya dalam lima tahun pernikahan mereka, pasangan suami-istri itu kembali bertengkar, mengabaikan permasalahan yang seharusnya mereka bahas baik-baik sebagai orang tua dengan anak laki-laki mereka yang masih kecil.

    Tanpa pasangan itu sadari, George memperhatikan pertengkaran mereka dari balik jendela, menatap orang tuanya dengan tatapan kosong. Anak yang bahkan belum berusia lima itu telah mendengar pembicaraan orang tuanya dari awal sampai akhir tanpa berniat menginterupsi.

    Beberapa saat kemudian, George kembali ke teras depan, bermain balok-balokan kesayangannya seorang diri di sana, dan bertindak seakan tidak pernah mendengar atau melihat adu mulut orang tuanya di halaman belakang.

    Anak itu terlihat asyik bermain sendirian. Kemarin, sang ayah ada membelikannya mainan baru lagi, sebuah rubik dengan hanya memiliki empat warna saja. George berusaha mengotak-atik rubik itu dengan ekspresi wajah yang begitu serius. Ini pertama kalinya George memainkan sebuah rubik.

    "Wah, lagi main rubik, ya?" Tiba-tiba, sebuah suara membuyarkan konsentrasi George, putra pasangan Erick dan Joly Owens itu langsung menghentikan aktivitasnya saat itu juga.

    "Loh, kenapa berhenti?" tanya orang bertopi biru dengan nada kecewa.

    George mendongakkan kepalanya dan melihat seraut wajah asing yang sedang memperhatikannya. Laki-laki itu tersenyum lembut dan kembali menyapa.

    "Halo, umurmu berapa?" tanyanya sambil merapikan topi agar bisa melihat dengan lebih jelas lagi. "Kau hebat sekali, bisa memainkan rubik dengan jenis yang satu ini. Padahal rubik itu susah loh, karena harus membuat semua warnanya kembali ke posisi semula dengan pas."

    George memasang ekspresi datar saat ada orang asing yang tidak ia kenal berbicara padanya dengan nada bicara yang ramah. Anak berusia empat tahun itu sudah didikte oleh orang tuanya untuk tidak asal berbicara dengan seseorang, terutama orang yang belum pernah ditemuinya.

    George pun memperhatikan penampilan laki-laki muda yang menghalangi pandangannya dengan saksama. Menatap wajahnya yang tanpa kerutan dan kencang, George menebak laki-laki ini sebenarnya masih sangat muda, seorang remaja. Namun, dia sudah memiliki tubuh yang begitu tegap dengan tinggi sekitar 180 cm.

    George menebak tinggi orang asing ini setelah membandingkannya dengan tinggi sang ayah. Erick memiliki tinggi 182 cm.

    Pemuda yang diperhatikan George pun mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, ia menyadari tatapan penuh selidik dari anak kecil di depannya. Merasa ada yang salah, ia pun menundukkan badannya agar sejajar dengan si anak kecil.

    Sambil tersenyum kecil, ia berkata, "Aku bukan orang jahat." Dia berkata dengan mantap. "Namaku Sean, aku bekerja sebagai pengantar susu. Kebetulan aku tadi lewat setelah mengantar pesanan yang tertinggal di rumah sebelah. Dan kemudian, aku melihatmu bermain sendirian di sini."

    George, masih dengan ekspresi yang sama, menatap Sean tanpa kedip. Reaksi anak laki-laki itu membuat Sean menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia bingung harus berbuat apa untuk meyakinkan anak kecil di depannya bahwa dia tidak berniat melakukan sesuatu yang buruk.

    George mengalihkan pandangannya ke arah lain, lalu merapikan mainannya dengan cepat. Begitu selesai, anak itu langsung berdiri dan berjalan ke arah pintu, jika saja Sean tak segera menahan tangan kecilnya.

    "Tunggu, kau mau kemana?" tanyanya cepat.

    George meliriknya sekilas dan kembali menatap lurus ke depan. Ia lalu menjawab dengan suara pelan. "Mau menonton kartun," jawabnya singkat.

    Sean terlihat tertarik, ia jarang menonton televisi. "Memangnya animasi apa yang kau lihat?" tanyanya lagi.

    George tak berusaha melepas pegangan Sean, justru anak itu berbalik badan dan menatap laki-laki itu. "Spongebob," jawab George. "Mau lihat Spongebob Squerepants."

    Sean yang masih belum melepaskan genggaman tangannya pada George tersenyum lebar, gemas dengan ekspresi anak kecil di depannya. Pemuda itu lantas berdiri. "Aku juga suka animasi," ucapnya dengan ekspresi wajah yang riang.

    "Aku suka Plankton," kata Sean memberitahu. "Siapa tokoh favoritmu?"

    George memutar tubuhnya menghadap Sean dan kembali menatapnya. Ia merasa lehernya sakit karena terus mendongak untuk menatap pemuda itu. "Aku suka Squidward," jawabnya datar.

    Sean terpukau setelah melihat langsung kepribadian unik dari anak laki-laki di hadapannya. Dingin, tak peduli, selalu terlihat tak puas dengan dunianya. Benar-benar mengingatkan Sean pada tokoh di serial animasi Spongebob Squerepants.

    Tokoh kartun yang tak pernah merasa hidupnya bahagia, siapa lagi jika bukan Squidward?

    "Aku juga suka Squidward," ucap Sean memberitahu, dengan senyuman penuh percaya dirinya. "Tapi apa kau tahu bahwa ada sesuatu yang mengerikan tentang Squidward?"

    George tampak tertarik.

    "Di mana rahasia ini ... benar-benar mengerikan." Sean mengubah gaya bicaranya agar sama seperti pembawa cerita seram di saluran internet. "Kau akan merinding mendengarnya."

    Genggaman tangan mereka memang sudah terlepas, tapi George yang tertarik dengan apa yang baru saja diucapkan Sean pun meraih tangan sang pemuda. "Beritahukan cerita ini padaku," pintanya dengan ekspresi wajah yang serius dan datar. "Dan ceritakan apa pun yang kau ketahui tentang sesuatu yang mengerikan dalam cerita ini."

    Sean kembali tersenyum, membacakan cerita adalah momen kesukaannya.

    "Tapi sebelum bercerita tentang misteri dalam animasi Spongebob yang berhubungan dengan Squidward, pertama-tama izinkan aku untuk menceritakan kisah seorang saksi mata yang melihat sesosok makhluk misterius yang dijuluki Houle."

    "Hei, kenapa malah menceritakan kisah lain? Cerita Squidward! Aku mau dengar ceritanya!" protes George tak terima. Sean tertawa, lalu ia membuat gerakan dengan tangannya dan meminta George untuk bersikap tenang karena dia belum selesai menjelaskan.

    "Tenanglah, cerita ini hanya pembuka," ucap Sean sambil mengedipkan mata. George langsung diam di tempat. Sean kemudian melanjutkan ceritanya. "Seringkali, kehadiran Houle ini dikabarkan membawa kematian yang tragis."

    "Dulu, ada seorang anak yang berusaha mencari ibunya yang menghilang. Dia adalah salah satu saksi mata dari penampakan makhluk mengerikan ini," ucap Sean, ia telah memulai sesi dongengnya. "Dan yang akan anak itu temukan adalah cerita mengerikan yang akan menghantui siapa pun yang mendengarnya selama seumur hidup mereka."

    George jadi penasaran setelah mendengar cuplikan cerita yang baru saja Sean katakan. "Bisakah kau bercerita?" tanyanya tak sabar. Bagi George, ini sama menariknya dengan buku bergambar.

    George sudah terlalu bosan dengan buku yang dibelikan orang tuanya. Umumnya, buku-buku yang diberikan oleh Erick dan Joly kepada anak laki-laki mereka adalah tentang bagaimana mengelola bisnis dengan baik, dan George tidak suka belajar bisnis.

    Sean terkekeh dan menatap mata indah George yang terlihat seperti manik-manik biru yang indah. "Baik, baik, akan kuceritakan. Ini adalah kisah yang kudengar dari kedua orang tuaku. Mereka mendengar cerita ini dari nenekku, dan kini mereka semua sudah tiada."

    George mengangguk mengerti, dia tak memperhatikan. "Baiklah," ucapnya. "Sekarang lanjutkan cerita tentang Squidward yang sempat kau tunda."

    Sean mulai menceritakan kisah yang pernah didengarnya saat kecil. Dia akan bercerita dengan sungguh-sungguh kali ini, karena seperti yang ia katakan sebelumnya, bahwa dia mendengar cerita ini dari kedua orang tuanya sejak dirinya masih sangat kecil.

    "Ceritanya haruslah menyeramkan!" pinta George lagi, dia terlihat bersemangat.

    Sean terkekeh, merasa sedikit menyesal karena baru mengetahui jika di dunia yang luas ini ada seorang anak yang begitu mempercayai semua cerita yang ia bawakan. Sean merasa bahagia sekali, sebab ada orang yang mau mendengarkannya dengan baik.

    Anak yang menarik, gumam Sean dalam hati. "Jangan menangis ketakutan sampai tak berani ke toilet nanti," ucapnya menakut-nakuti George agar anak itu bisa menangkap maksudnya.

    George yang tak mengerti lawakan seorang remaja langsung mengendikkan bahu tak acuh. "Aku masih bisa menghadapinya, sengeri apa pun film yang orang-orang tonton, jika saat kutonton aku tak suka, aku langsung membuangnya loh."

    Sean terkejut. "Wah, kau hebat tak takut apa pun," ucapnya kagum.

    "Kata siapa?" George bertanya lirih. "Justru aku lebih takut kepada manusia, apa yang ada dalam pikiranku tentang mereka menjadikan semua cerita hantumu tak lagi menyeramkan untukku, Kak."

    ***

    George merasakan ada sesuatu yang salah di mulutnya, mungkin karena dia terlalu cepat menyendokkan makanan ke mulut sehingga bayangan puluhan tahun lalu kembali dan membuat George merasa ingin muntah.

    Buru-buru pria itu mengeluarkannya dari mulut agar mengetahui benda apakah yang masuk ke dalam mulutnya.

    "Berengsek, bahkan sekarang mereka menambah rambut pada daftar menu." George mengumpat dan melanjutkan makannya seorang diri. "Ah, masa lalu akan selalu jadi yang terbaik."

Psychopath Tender

Udah resivi yaa

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status