"HYAAHHH! Terima ini!""Psyuu psyuu, TEMBAK KAKAK!"Gelak tawa yang keras, sesekali didampingi oleh bunyi pistol mainan anak-anak, adalah suara yang beberapa Minggu ini selalu didengar oleh George, yang tempat tinggalnya bersampingan dengan rumah anak-anak tersebut.Kadang-kadang, ketika ada kegiatan di luar rumah, tepatnya mengurus kegiatan di sekolah ataupun badan amal di Gereja, George tidak akan pulang ke rumah. Namun, ketika tidak ada yang bisa dilakukan oleh pemuda itu, ia hanya akan menghabiskan waktunya bersantai di tempat tinggal yang diberikan oleh sang ibu.Tetapi, bagaimana ia bisa tenang beristirahat jika selalu mendengar suara bising dari luar?Satu-satunya tempat kedap suara di rumahnya hanyalah gudang penyimpanan yang berada di ruang bawah tanah. Mustahil jika ia tidur dan beristirahat di sana. Kecuali tempat itu ia ubah menjadi kamar.Mungkin, bisa saja nanti ia mengubah tempat itu untuk keperluannya mendatang, tapi tidak untuk sekarang.George punya kebiasaan baru la
George tiba di rumahnya sekitar pukul 6 sore, kegiatan yang berlangsung dari pagi itu membuat seluruh tubuh George terasa sakit. Pemuda itu tampak kelelahan. Sebelumnya, George sempat berharap, setelah sampai di rumahnya yang nyaman dan tenang, maka ia akan langsung tidur di pembaringan.George membayangkan ia yang sedang duduk bersantai, memandangi perapian sembari menikmati minuman teh aroma mint.Pemuda dengan marga keluarga Owens itu tersenyum senang, merasa tidak sabar lagi memasuki rumah. George memutar gagang pintu perlahan, bayangan serta aroma manis dari teh yang dibuat olehnya sendiri terus bermunculan di kepala George.Melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu, George juga merasa bahwa kakinya itu semakin pegal saja karena dibawa berdiri terlalu lama. Mungkin selepas membersihkan diri, dan meminum teh hangat beraroma kesukaannya, George akan mandi.Lalu tidur dengan perasaan damai.George masuk dalam rumahnya, berjalan menuju kamar yang terletak dekat dapur, mengganti pakaian
"Kak George! Kenapa kita tidak langsung pulang saja, Kak?"Wah, hutannya lebat sekali!""Apa di sini akan ada serigala yang muncul tiba-tiba, Kak? Hiiyyy, takut ...."George menghela napas panjang, tampaknya kebiasaan buruk itu akhir-akhir ini sering ia lakukan. Sebab, ada banyak hal yang memancing kemarahan putra keluarga Owens tersebut dan menguji kesabarannya. Ia lalu menatap datar pada anak perempuan yang berjalan memimpin di depan.Setelah pulang dari berbelanja keperluan sekolah, seperti perlengkapan klub dan peralatan praktikum, George mengajak Tasia berkeliling. Pemuda itu lalu membawa gadis kecil tetangganya ke hutan lindung, ingin memperlihatkan sesuatu yang menarik kepadanya.George merapatkan jaket kulit hitam yang terbuat dari kulit buaya pemberian ibunya yang berharga, menyembunyikan hadiah kecil untuk si gadis manis yang tengah memperhatikan alam sekitar."Ini pertama kalinya Tasia pergi ke hutan! Indah sekali ... seperti surga!""Tasia ingin ke surga?" George menghenti
George menatap api yang menyala-nyala dalam tungku perapian rumahnya, matanya lantas melirik jam yang berada di depan tungku. Waktu makan malam telah tiba."Halo?" George menyapa sang pengangkat telepon di seberang sana dengan ramah. "Apa paman sekeluarga sudah makan? Bagaimana keadaan Bibi Maia?"''Kami belum makan, Nak. Kasus Tasia membuat makan kami sekeluarga tidak teratur, tidur kami pun jadi tak nyenyak. Tetapi bibimu baik-baik saja sekarang.''"Jaga kesehatan kalian untuk Tasia, kalian tidak mau 'kan ia di surga sana melihat kalian menderita seperti ini?" George berjalan pelan menuju dapur, dan duduk tepat di salah satu kursi. Di hadapannya, tersedia banyak sekali hidangan enak buatannya."Oh ya, apa Paman, Bibi, dan juga Michael bisa ke rumah sekarang? Saya sedang ingin makan malam bersama kalian bertiga."Terdengar hening selama seperkian detik. Lalu terdengar jawaban dengan suara yang parau. "Baiklah, kami akan ke sana. Terima kasih atas tawaranmu, George.""Ahhh, tak apa, P
Kepergian anak perempuan kesayangan mereka, membuat pasangan Hendrik dan Maia berniat untuk pindah jauh ke luar kota. Meski mereka sekeluarga belum genap setahun tinggal di daerah itu, namun Maia tidak sanggup lagi tinggal di tempat yang membuatnya harus mengenang sang putri yang telah pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.Walaupun sudah lewat beberapa bulan sejak kepergian Tasia, keluarga kecil itu masih belum bisa melupakan kesedihan yang mereka rasakan.Hari yang cerah di pagi Senin, ketika persiapan mereka bertiga sudah selesai disiapkan, dan mobil-mobil pengangkut barang mereka telah berangkat sedari tadi. Sebelum pergi, Hendrik sekeluarga ingin berpamitan dengan George Owens, tetangga yang sudah banyak membantu keluarga mereka dalam memberikan dukungan untuk kembali menjalani kehidupan yang lebih baik selepas kepergian Tasia. Mereka berutang banyak pada remaja laki-laki berparas tampan itu."Ehh? Paman dan Bibi akan pindah?"Hendrik mengangguk. "Iya George, kami akan pinda
"Heh, apa dia mati?" George menendang kepala laki-laki yang terkapar di bawah kakinya beberapa kali dengan sepakan kencang. "Hei, bangun."George lalu berjongkok, memeriksa urat nadinya dengan wajah serius. Kemudian mengalihkan mata tajamnya kepada dua orang yang tergeletak tidak jauh dari orang pertama. George lalu menghampiri mereka satu-satu. "Oh, ternyata semua masih hidup ya."Tatapan George seketika berubah dingin. Tangannya disedekapkan di dada. "Gara-gara sampah seperti kalian, aku harus mengulang pelajaran Kimia dan dipermalukan oleh para peneliti itu. Sialan."George lalu mengikat tangan laki-laki dewasa yang datang bersama keluarganya ke rumah orang yang akan mengantarkan mereka menemui Tasia, yaitu George Owens, tetangga tersayang mereka sendiri. Penyuka warna merah itu lalu mengambil peralatannya. "Kalian pikir aku akan dengan mudah memaafkan dan melupakan rasa malu yang terjadi saat itu? Heh, jangan membuatku tertawa."George memukul kencang kepala Hendrik dengan palu y
Empat jari terputus dari tangan mungil Michael yang terus meraung kesakitan, dan memicu kemarahan George. "Kau ini berisik seperti ibumu ya."Air mata terus mengalir, menuruni pipi-pipi berisi milik Michael. Tak bisa dipungkiri rasa sakit tak terhingga yang harus ia rasakan meski ia tidak mengetahui letak kesalahannya di mana, sampai ia harus diperlakukan kejam seperti itu. "Kau ... iblis. Pembunuh.""Ya, ya, ya. Aku memang hidup seperti iblis, untuk mencapai tujuanku maka itu diperlukan."George lalu berjongkok, lagi-lagi mengelus kepala Michael dengan lembut. "Apa kau mau melihat Tasia?"Remaja itu kemudian pergi meninggalkan Michael yang menahan kesakitan di tangannya yang terpotong."Hei, lihat ini," George memanggil Michael, menarik perhatian anak laki-laki itu yang langsung membulatkan mata. Seringai kejam George perlihatkan. "kakakmu tiba untuk menjemputmu.""KAKAK!" Michael langsung terdiam melihat bagian yang terputus dari tubuh sang kakak, sekaligus memandang ngeri pada teng
"Hei, Gracia, ayo pulang.""Tunggu, George," gadis itu sibuk merapikan buku-buku yang ada di mejanya, buku yang memenuhi mejanya tersebut lalu dimasukkan ke dalam tas, "aku hampir selesai."George mengangguk, pemuda itu berdiri seraya memasukkan kedua tangannya ke kantong celana. Tom dan Antonio yang bersama dengannya menatap George heran. Hal langka jika melihat seorang George Owens menunggui seorang gadis. Meski anak itu sudah sempat bercerita, jika Gracia adalah salah seorang temannya ketika ia sekolah menengah pertama. Bahkan, hal ini sudah berlangsung selama satu minggu. "Kita searah, 'kan?" tanya Gracia sambil menyampirkan tas merah mudanya ke bahu. George menggeleng, "Aku pindah rumah."Gracia manggut-manggut, "Benarkah? Lalu orang tuamu?""Hanya aku yang pindah karena itu rumah yang orang tuaku beri."Gracia memukul George sambil tertawa kecil, "Dasar orang kaya."Keduanya lalu berjalan beriringan, menyisakan dua orang sahabat George yang mengekor di belakang.***"Argh, men