"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Taksa dengan raut wajah khawatir. Bagaimana tak khawatir, saat ini Bagas tak sadarkan diri. Ia merasa bertanggungjawab atas keadaan Bagas sekarang. Bagaimana pun ia yang tertua dan orang tua Bagas sudah memasrahkannya tanggungjawab itu.
"Tidak apa. Ia baik-baik saja saat ini. Sebaiknya kita segera menuntunnya pulang." Setelah mengecek keadaan Bagas. Pak Kiai beranjak dan meminta segelas air putih.
Di atas tempat tidur terbaring tubuh Bagas yang terlihat seperti sedang tidur. Namun, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Tubuh itu sudah tiga hari menutup mata dan tak dapat dibangunkan. Ia masih bernafas, tetapi tak merespons. Suara gaduh, menggoyang-goyangkan badannya tak berpengaruh sama sekali. Hal itu membuat Taksa, Mahes, dan Asep khawatir. Sudah manggil dokter. Menurut penjelasannya Bagas sehat, tidak ada gangguan medis atau apapun itu. Bukankah itu aneh?
Mereka akhirnya bercerita pada Seto dan ia kembali menyarankan untuk meminta bantuan pakliknya lagi. Namun, kali ini pakliknya yang dipanggil untuk datang. Mengingat kondisi Bagas yang susah bila harus dibawa dalam kondisi seperti itu. Mereka menduga tak sadarnya Bagas ada kaitannya dengan hal gaib. Sebab secara medis tak ada keanehan ataupun masalah serius.
Setibanya Pak Kiai, ia langsung menemui Bagas dan mengecek kondisinya. Ia tak memperlihatkan raut ketakutan atau kecemasan. Ia mengatakan bahwa Bagas baik-baik saja. Hanya saja rohnya sedang tidak berada dalam jasad. Pak Kiai meminta ketiganya untuk meletakkan Bagas di tengah-tengah sementara mereka duduk di sekitarnya.
Pak Kiai menuntun roh Bagas kembali. Katanya, Bagas secara tidak sadar menggunakan kemampuannya. Namun, karena tidak mengetahui ia memiliki kemampuan untuk mampu meninggalkan raga dan berjalan-jalan dengan rohnya. Ia tersesat dan tak bisa kembali. Untung saja ketiganya segera meminta Pak Kiai untuk membantu. Sebab bila terlalu lama Bagas di alam lain, ia bisa meninggal. Hal itu karena jasadnya akan melemah karena tak mendapat asupan.
Perlahan mata Bagas terbuka. Ia bingung dengan sekitarnya. Di mana ia dikelilingi oleh Taksa, Mahes, Asep, dan Pak Kiai. Setelah mendudukkan dirinya, Bagas langsung diberi segelas air putih oleh Pak Kiai. Karena merasa haus ia langsung meminumnya hingga habis. "Kalian kenapa? Kok natap gue gitu amat," ujarnya penasaran sembari mengembalikan gelas kepada Pak Kiai. Suaranya memang sedikit berbeda--seperti orang sakit.
Ketiganya langsung memeluk tubuh Bagas. Karena badannya masih lemas, mereka jatuh ke lantai membuat Pak Kiai terkekeh. "Woy apaan, sih. Awas-awas! Kalian ini kenapa, sih!" ucap Bagas dengan nada meninggi dan mencoba melepaskan diri.
"Kamu hampir saja tak bisa kembali. Mereka sangat khawatir. Untung saja tidak terlambat," tutur Pak Kiai membuat Bagas mengerutkan keningnya.
"Emang gue kenapa?" tanyanya kepada Taksa, Mahes, dan Asep saat mereka sudah kembali duduk.
"Lo hampir mati."
Bagas terdiam dan menampilkan wajah cengo. Sungguh Asep ingin memukul kepala Bagas. Namun, ia mengurungkan niatnya. Tak mungkin ia bisa bertindak demikian saat nyawa Bagas baru saja terselamatkan.
"Jadi itu bukan mimpi?" gumamnya pelan dan hanya dirinya sendiri yang mendengarnya.
***
Mereka berempat tengah berkumpul di kamar Taksa. Dengan Mahes dan Bagas di tempat tidur Mahes. Sementara Asep dan Taksa duduk di tempat tidurnya. Hari sudah telalu larut, bahkan sudah hampir pagi, tetapi mereka masih terjaga. Setelah pak Kiai pulang selepas Isya untuk ke indekos Seto, mereka masih memikirkan penjelasan demi penjelasan yang justru semakin dijelaskan semakin membingungkan. Tentang silsilah keluarga, masa lalu, dan masa depan yang mungkin terjadi.
"Lo percaya sama ucapan pak Kiai itu?" Asep membuka suara lebih dahulu dari pada ketiganya. Memang di antara mereka Asep-lah yang paling banyak bicara alias cerewet.
Pak Kiai mengatakan bukan hanya Asep yang istimewa dengan kemampuan bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk astral, pun dengan Taksa dengan kemampuan prekognisinya--kemampuan bisa melihat masa depan atau sesuatu yang akan terjadi, meski begitu bukan berarti seseorang yang memiliki kemampuan ini bisa melihat masa depan secara runtut dan terperinci. Namun, Bagas dan Mahes pun memiliki kemampuan yang berbeda dari keduanya. Pak Kiai menjelaskan bahwa Mahes memiliki kemampuan untuk mendengar mereka dan melakukan retrokognisi.
"Mau enggak percaya tapi gue ngalamin sendiri," ujar Bagas lemah. Tubuhnya belum begitu pulih. Masih sedikit lemas meski sudah diisi makanan.
Setelah sadar Bagas menanyakan hal yang dialaminya. Pak Kiai menjelaskan, secara tak sengaja rohnya meninggalkan jasad dan tersesat di alam lain. Ia tak menyadari karena menurut pengelihatannya tak ada yang berbeda. Ia merasa hanya beberapa jam di sana, tetapi ternyata ia sudah tiga hari tak sadarkan diri. Hal itu membuat tubuh yang ditinggalkannya menjadi lemah. Perbedaan waktu antara dunia gaib dan dunianyata cukup jauh. Beberapa saat di sana sudah berhari-hari di sini.
Hal yang terjadi pada Bagas bisa dibilang adalah astral projection. Astral projection sendiri adalah perjalanan di mana roh keluar dari tubuh dan melakukan perjalanan di alam lain. Bukan hal berbahaya jika sudah mampu mengendalikan, hanya saja di sini Bagas belum bisa. Hal itu yang membuatnya harus dituntun agar bisa kembali. Bila sudah terbiasa maka roh yang keluar mampu kembali pada jasadnya tanpa membutuhkan bantuan orang lain. Namun, juga harus hati-hati. Bisa saja roh saat di alam lain ditahan agar tak bisa kembali. Percaya atau tidak hal gaib selalu berdampingan dengan dunia nyata.
"Gue belum percaya. Bisa aja apa yang gue alami cuma kebetulan." Mahes menatap ketiganya dengan tatapan cukup meyakinkan. "Kata lo mereka bisa menunjukkan tanda kehadiran mereka ke siapa aja, kan, Sep? Enggak salah dong kalau gue anggap hal itu kebetulan." Mahes masih tak percaya dan menyangkal apa yang disampaikan pak Kiai tentang keistimewaannya. Menurutnya mendengar suara mereka tak terlalu istimewa dan tentang retrokognisi, selama ia belum pernah mengalaminya. Ia menganggap pak Kiai hanya mengada-ada.
"Gue setuju, sih. Lo enggak terlalu meyakinkan untuk memiliki kekuatan itu. Lagi pula gitu aja bisa dialami semua orang." Menurut pengalaman Asep. Bisa saja orang yang tak memiliki kemampuan istimewa bisa melihat dan mendengar mereka yang tak kasat mata. Di beberapa kasus orang biasa bisa melihat dan mendengar karena 'mereka' jahil, atau mereka memang sengaja menampakkan diri untuk meminta bantuan kepada manusia.
"Sa, jangan diam. Menurut lo gimana?" Asep menanyakan hal yang mungkin ia sudah tahu jawabannya. Sebab, hal yang terjadi pada Taksa sangat sulit disangkal bila tak berkaitan dengan hal gaib.
"Apa ada alasan untuk gue menyangkal dan menganggap semua hal itu kebetulan?" Taksa mengembuskan napas kasar. "Lo tau sendiri apa alasan gue percaya." Taksa mengusap wajahnya kasar.
***
Bagas masih tak percaya atas apa yang terjadi. Ia juga bingung dengan topik pembicaraan Taksa dan Asep. Sementara Mahes menjadi aneh dan lebih banyak diam. Dia juga lebih mudah marah dari biasanya. Ia mencoba memahami, tetapi ia tak bisa. Sebab ia tak tahu akar permasalahannya.
Bagas terdiam sendiri di kamar. Kata Taksa ia harus istirahat agar kondisinya segera pulih. Taksa pun berjanji akan menjelaskan semuanya. Di atas kasur bersprei warna merah tua Bagas menyenderkan badannya ke dinding. Pikirannya mencoba menampilkan apa yang ia lalui. Astral projection? Benarkah ia melakukannya?
"Jadi saat gue lihat badan gue sendiri itu bukan mimpi?" gumam Bagas.
Sebenarnya saat astral projection. Bagas memang melihat tubuhnya sendiri terbaring. Ia pikir itu adalah mimpi, ternyata saat itu rohnya melihar jasadnya sendiri. Namun, karena ketidaktauannya, bukannya kembali ia justru pergi dan berakhir tersesat di dunia lain. Ia bingung apakah harus memberi tahu sahabatnya atau hanya diam dan menyembunyikan kebenaran yang ada. Meski begitu, setengah dirinya mengakui. Bila diingat-ingat lagi sepertinya ia pernah mengalami hal di luar nalar lainnya saat kecil. Namun, ia tak dapat mengingat dengan jelas. Entah kenapa ingatan akan hal itu sulit diingat.
Tangan Bagas terulur mengambil ponsel di meja yang ada di sebelah tempat tidurnya. Segera mengeser ikon kunci dan berselancar di internet. Jarinya lihai mengetikkan rangkain kata. Ia sedang mencari tahu apa itu astral projection dan apakah benar ada atau hanya mimpi saja?
Setelah melakukan pencarian. Beberapa sumber menyatakan ada dan tidak. Ternyata hal itu bisa dijelaskan secara medis, pun bisa dilakukan manusia biasa dengan latihan agar bisa melakukan astral projection. Akan tetapi, Bagas tak melakukan latihan ataupun hal lain. Lalu bagaimana bisa ia melakukan demikin padahal tak pernah mencoba? Jangankan mencoba, tahu istilahnya saja baru tadi dari Asep. Ntahlah ia bingung. Kepalanya berisi kemungkinan serta sangkalan terhadap hal itu.
Lalu tiba-tiba tak sengaja ia membaca tentang suatu hal yang membuatnya sedikit mengingat masa lalu. Dahinya berkerut, matanya berfokus pada tulisan-tulisan yang tersusun rapih pada layar ponselnya. Dengan tampang penasaran ia menaruh ponsel itu kembali ke tempatnya dan kembali menyenderkan badan.
"Apa iya hal seperti itu nyata? Emang, sih, di cerita yang gue baca ada, tapi itu, kan fiksi." Dengan raut tak yakin dan penasaran ia mencoba mengingat suatu hal. "Kenapa hal itu tak terdengar asing," gumamnya.
"Gue coba, ah. Siapa tahu benar."
Tangan Bagas terulur dan terbuka, telapaknya menghadap ke atas. Matanya berfokus pada telapak tangan. Ia memikirkan suatu hal dan mencoba menciptakan apa yang ia pikirkan. Lalu tiba-tiba sebuah api menyala di telapak tangannya. Karena terkejut sekaligus kagum Bagas kehilangan fokusnya dan api itu hilang. Y
"Ja-jadi, gue beneran bisa."
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia melihat Taksa dari dalam toko sedang menanyakan beberapa orang yang membeli roti di tempat yang tak jauh dari toko Rengganis.Rengganis setia melihat Taksa dari kejauhan. Ia cemas, takut apa yang dikhawatirkan benar terjadi. Dan saat awal mereka memasuki toko semerbak harum bunga menusuk indra penciuman.Meski tak lama, hanya beberapa saat tetap saja sudah ada kejanggalan yang dirasa. Rengganis juga sempat bertanya pada karyawannya, tetapi menurut karyawan Rengganis semuanya normal-normal saja.Hanya saja tidak ada orang yang melihat ke arah toko roti Rengganis. Ada beberapa langganan yang hanya melihat dari kejauhan dan setelahnya berbalik arah menuju toko roti saingan Rengganis.Taksa kembali, setiap gerakannya tertangkap mata Rengganis."Bicarain di rumah aja. Enggak enak kalau di sini. Daripada rugi lebih banyak, mending sementara waktu tokonya tutup dulu. Soal roti, men
"Jadi gini, Rengganis punya toko roti. Udah turun temurun, tapi belakangan sepi. Oke kalau orang jualan pasti ada sepinya. Tapi ini aneh, karena toko rotinya udah lama, dan pelanggannya udah tetap gitu. Jadi, ya, gue berpikir negatif, dong," papar Mayang tentang kecurigaannya. Meski sedang tak sehat mulut Mayang tetap berfungsi dengan baik. Buktinya bisa berbicara panjang lebar dengan baik. Hal itu membuat Rengganis sedikit tersenyum kecil. "Lo ada curiga sama seseorang, Nis?" tanya Asep membuat Rengganis menoleh ke arahnya masih dengan senyum kecil. "Eh, enggak. Aku enggak curiga. Itu pemikiran negatif Mayang aja. Udah jangan didengerin," pinta Rengganis. Karena menurutnya tak ada hal-hal seperti itu. Mungkin memang roti di toko baru yang tak jauh darinya lebih enak dan lebih murah. Jadi pelanggan berpindah tempat. "Udah berapa lama sepi?" tanya Taksa yang sedari tadi diam. Rengganis menoleh dan ber
"Anak buahku menemukan salah satu dari mereka, Mo."Pria dengan ikat kepala hitam dan rambut yang mulai memutih mengatakan kepada lawan bicaranya dengan raut wajah datar.Begitupun dengan sang lawan bicara. Raut tak suka jelas tergambar pada wajah yang mulai menua itu."Kalau anak itu bisa menghalau santet yang kau kirimkan. Artinya dia bukan anak sembarangan. Kita harus bertindak, To."Mereka adalah Angkoro Darso dan Ki Broto. Keduanya bersekutu untuk kepentingan masing-masing. Tujuan mereka sama, untuk menghabisi keturunan musuh mereka. Yang tak lain Taksa dan kawan-kawannya."Apakah kamu sudah bisa melacak tempat mereka?" tanya Angkoro Darso dan mengepulkan asap dari rokok yang sedang ia hisap.Ki Broto menyeruput kopi dan menaruhnya. "Belum pasti. Tapi tak jauh dari tempatmu bertemu salah satu dari mereka dulu. Mereka membuka toko pakaian," jelas Ki Broto yang mendapat informasi itu dari anak buahnya. Yang tak lain adal
Matahari baru saja keluar dari tempat persembunyian. Rambutnya yang dikuncir ala kadarnya membuat aura cantiknya keluar. Ditambah kemeja yang kebesaran dan bawahan hot pans adalah perpaduan bagus dan berhasil membuat mata Taksa tak berkedip. Pagi ini Asep dan Taksa pergi ke rumah Rengganis. Mereka mengambil keputusan ini setelah berpikir beberapa hari setelah Asep pergi ke rumah Rengganis. Bagas dan Mahes tak bisa ikut karena ada urusan. Bagas dengan kuliahnya dan Mahes dengan bisnisnya. Rengganis membulatkan mata saat melihat siapa yang datang. Ia segera menutup pintu rumah dengan kasar sampai menimbulkan bunyi keras. "Sebentar, tunggu di luar dulu!" teriaknya saat berlari menuju kamar. Suara debaman pintu yang keras mengembalikan kesadaran Taksa setelah menikmati pemandangan yang menakjubkan. Asep terkekeh kecil melihat sikap Rengganis yang begitu menggemaskan. Ia menyerngitkan dahi
Asep pulang dari rumah Rengganis setelah mengatakan akan membantu mencari orang yang bisa menyembuhkan Mayang. "Sa, lo kenal Ki Broto?" tanya Asep saat baru memasuki distro. Pertanyaan Asep membuat dahi Taksa berkerut. Ia seperti pernah mendengar nama itu. "Enggak asing. Tapi gue lupa," jawab Taksa tetap melanjutkan pekerjaannya yang sedang memeriksa catatan barang masuk. Suasana distro sepi. Karena karyawan sedang istirahat siang dan Bagas serta Mahes ada di rumah belakang. Tersisa Taksa dengan pembukuannya. "Sa, bukannya lo pernah bilang tentang dia?" Asep merasa Taksa pernah bercerita tentang Ki Broto. Cuma ia lupa kapan Taksa pernah bercerita. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Taksa. Ia juga mencoba mengingat-ingat. Kemudian mata Taksa membulat. Ia ingat nama itu. Nama yang tak sengaja ia dapat dari kemampuan prekognisionnya. "Lo
Rengganis kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia marah karena Taksa tak mau menolongnya. Namun, ia juga mengerti alasan Taksa tak mau. Ia kemudian berjalan ke arah kamar yang ada di lantai dua. Ia membuka pintu dan melihat Mayang tengah terlelap. Ada perasaan lega saat melihat Mayang masih baik-baik saja. Ia menutup pintu pelan dan turun. Rumah Rengganis terdiri dari dua lantai. Rumah minimalis bergaya modern itu terlihat luas karena hanya ada Rengganis yang menempati. Saat ada Mayang pun rumah itu masih terasa luas. Ada pembantu yang membantu Rengganis mengurus rumah, tetapi hanya datang saat pagi dan pulang saat sore hari. Rengganis juga sebenarnya tak terlalu membutuhkan pembantu. Namun, saat banyak pesanan ia kerepotan. Rengganis memiliki toko bunga di pusat kota dan membuka toko bunga baru tak jauh dari rumahnya sekarang. Berawal dari kesukaannya merangkai bunga, ia mencoba membuka toko bunga dan berjalan baik.&n