Share

Keistimewaan Taksa

Sepulang dari tempat paklik Seto, keadaan kembali seperti semula. Tidak ada gangguan, pun kecurangan karena telah dibersihkan. Distro kembali ramai, tetapi Taksa menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Lebih banyak diam dan enggan tersenyum, hanya senyum palsu karena tuntutan agar pembeli menganggapnya ramah. Bagas, Mahes, dan Asep tak mempersalahkan hal itu. Bagi mereka jika Taksa sudah siap, pasti ia akan menceritakan alasannya. Sebab sebelumnya, saat ada masalah ia selalu seperti itu. Bagi Taksa biarlah ia yang menganggu masalah sendiri, sahabatnya tak perlu ikut menanggungnya. Meski hal itu tak akan terjadi, Bagas, Mahes, dan Asep akan selalu ikut memikul beban yang sama pada akhirnya. 

Belakangan Taksa sering melamun dan tak fokus. Pekerjaannya pun berantakan, untung saja hal itu bisa ditangani Mahes dan Asep. Sementara Bagas, bisnis bukanlah keahliannya. Asep melihat hal aneh pada Taksa. Ia sangat ingin menanyakannya, tetapi bingung bagaimana memulai hal itu. Ia beberapa kali memergoki Taksa berbicara, meski begitu ia tak melihat siapa yang diajak bicara. Namun, belakangan ia sadar, mungkin jika orang lain yang melihat akan mengira Taksa berbicara sendiri. Sebab yang diajak bicara oleh Taksa adalah makhluk tak kasat mata. Asep mengetahuinya saat Mahes bercerita akan ketakutannya karena Taksa suka berbicara sendiri. 

"Gue khawatir sama Taksa, dia suka ngomong sendiri." Saat itu Asep sadar, bahwa hanya ia yang mengetahui bahwa Taksa sama sepertinya. Namun, ia tak mengerti kenapa Taksa menyembunyikan dan menunjukkannya sekarang. "Apa hal itu yang membuat Taksa menjadi pendiam atau ada alasan lain," pikir Asep. 

***

Malam kian larut saat Mahes melintasi jalan kota yang mulai sepi. Sisa-sisa hujan terlihat dari hadir genangan yang ada. Ban motor melintas dan membuat air terciprat ke sisi jalan. Pengendara mengendari dengan kecepatan sedang. Angin malam menusuk kulit meski sudah mengenakan jaket berkupluk berwarna hitam. Suasana sunyi membuat bulu kuduk Mahes meremang. Meski begitu ia tampak biasa saja, ia bukanlah penakut seperti Bagas. 

Ia pulang ke distro setelah menempuh tiga puluh menit perjalanan setelah pergi dari rumah. Tadi pagi ia dihubungi untuk pulang karena ada sedikit masalah bisnis yang harus ia selesaikan. Keluarganya memiliki usaha tour and travel. Meski tak sekaya Taksa, tetapi ia tetap mendapat cap anak orang kaya sejak zaman sekolah. 

Saat sedang asik berkendara, tiba-tiba telinganya mendengar suara tabrakan. Lalu riuh orang yang memekik karena keterkejutan. Langkah-langkah mendekat para saksi mata didengarnya jelas. Suara itu nampak tidak jauh, karena penasaran ia memutar arah dan mencari sumber suara. Namun, ia tak menemukan tanda-tanda adanya kecelakaan di daerah itu. Kembali, suara aneh menyapa gendang telinganya. Kali ini suara sirine mobil ambulan yang terdengar. Samar-samar suara meminta tolong terasa amat dekat dari tempatnya saat ini. 

Karena merasa ada keanehan serta bulu kuduk yang semakin tegak karena merinding. Mahes menancapkan gas untuk kembali ke jalurnya dan segera pulang. Namun, suara minta tolong masih terdengar meski samar-samar. Suara itu seperti mengikuti dirinya. 

"Apa lagi ini? Gue enggak sompral enggak nantang kenapa mistis gini. Ya Tuhan, lindungi hambamu yang sempurna ini," gumamnya dengan tetap memacu kuda besinya dengan kecepatan cukup tinggi. 

Beberapa saat kemudia ia telah sampai di rumah, lebih tepatnya distro yang menyatu dengan rumah di bagian belakangnya. Setelah menaruh motor, ia segera menuju dapur dengan membawa kresek berukuran sedang berwarna merah. Ia menaruh beberapa bahan makanan ke dalam kulkas dan menata mi instan di rak dapur bagian atas. Setelahnya ia segera membersihkan diri. Di kamar ia melihat kasur di sampingnya kosong dan masih rapi. Itu artinya Taksa belum tidur, tetapi di mana Taksa sekarang? Malam sudah larut, motornya pun ada di rumah. Lalu di mana dia berada? 

Saat sedang memakai baju, samar-samar ia mendengar percakapan setelah suara pintu tertutup. Ia tak langsung keluar untuk memastikan karena sudah mengenal suara yang didengar. Memilih diam dan menguping. 

"Lo serius? Sejak kapan. Lalu apa maksud lo kita dalam bahaya?"

"Gue enggak tahu sejak kapan. Tapi setelah minum air yang disugukan gue langsung liat apa yang tadi gue bilang ke lo. Gue udah tanya. Dan ternyata udah sejak kecil."

"Terus ... dia siapa?" tanya Asep. Karena penasaran Mahes membuka pintu sedikit untuk melihat apa yang terjadi. Mahes melihat Asep menatap jendela. Bukan, mungkin yang dimaksud Asep di belakang Taksa. Saat ini Taksa berdiri membelakangi jendela, sementara Asep duduk di pinggiran sofa. 

"Saya hanyalah seorang penjaga. Saya ditugaskan untuk melindungi Tuan Taksa."

Mahes terbelalak. Ia mendengarnya. Mendengar suara tanpa wujud. Ia yakin ia tak salah mendengar. 'Sialan. Apaan ini, gue kenapa.' Belum hilang rasa terkejutnya ia kembali dikejutkan oleh sebuah fakta yang diungkap Taksa. 

"Kita semua istimewa. Lo, gue, Mahes, bahkan Bagas. Gue enggak paham gimananya. Tapi pak Kiai bilang pengelihatan gue enggak akan membuka semuanya. Disaranin untuk tanya ke nyokap bokap. Karena mereka yang lebih tau kita dari siapa pun."

"Apa lo juga liat kematian kita?" Taksa menggeleng. Ia tak tahu, bahkan ia mendapatkan pengelihatan hanya sesekali dan sekilas. Ia belum bisa mengendalikannya dan menggunakan sesuai keinginan. 

"Apa benar yang gue denger?" Suara Mahes mengudara, membuat Taksa dan Asep terkejut. Mereka berdua memandang Mahes kikuk. Karena kebenaran itu mereka sembunyikan. 

"Lo dengar semuanya? Lo nguping? Sejak kapan?" Asep memberondong banyak pertanyaan kepada Mahes yang berdiri di depan pintu kamar. Menyender pada kusen dan tangannya bersidekap di depan dada. Matanya menatap sedikit tajam dengan wajah serius menyiratkan ketegasan untuk dijawabnya pertanyaan. 

"Apa benar yang gue dengar?" Kembali Mahes menanyakan hal yang sama. Ia enggan menjawab pertannyaan Asep. 

Suasana tegang tercipta di antara ketiganya. Kesunyian malam membuat hawa yang sudah dingin menjadi lebih dingin karena diamnya mereka. Taksa menatap Mahes, ia bingung memulai dari mana untuk menjelaskan semuanya. Sebab ia juga masih meraba untuk bisa memahami. 

"Sambik duduk enak kali, ya, enggak pegal apa kaki kalian," ujar Asep berusaha membuat suasana untuk lebih hangat. 

Mereka bertiga duduk di sofa depan TV. Ada sofa yang disusun membentuk huruf U di depan TV. Asep berada di tengah, sementara Taksa di samping kanan dan Mahes di samping kiri. "Jadi, siapa yang mau jelasin?" tanya Mahes menatap Asep dan Taksa bergantian. 

Asep dan Taksa saling berpandangan. Asep menghela napas panjang. Ia tahu Taksa bingung. Ia mengambil alih untuk menjelaskan. Setidaknya ia sudah tahu yang sebenarnya. Meski baru mengetahui hal itu kemarin malam saat memergoki Taksa sedang berbicara dengan penjaganya di dapur jam dua pagi. Saat itu pun ia tak sengaja terbangun, tetapi ia bersyukur, karena itu bisa mengetahui kebenaran lebih awal. 

"Kita enggak bermaksud menyembunyikan kebenaran dari lo atau Bagas. Serius, gue baru tahu kemarin malam. Itu pun secara enggak sengaja. Dan lo tau sendiri Taksa orangnya gimana." Mahes menarik napas panjang dan membuangnya. Ia tahu bahwa Taksa tak akan mengatakan suatu hal sebelum ia benar-benar siap dan yakin. 

"Jadi, sebenarnya ada apa? Kenapa sama kita berempat? Lalu, lo punya penjaga maksudnya gimana?"

Kembali, keterkejutan menjumpai Taksa dan Asep. Bagaimana Mahes mengetahui penjaga Taksa. Perasaan baik Asep maupun Taksa tak menyinggung hal tersebut. Lalu, bagaimana Mahes mengetahuinya. Keduanya menatap Mahes. 

"Gue dengar suara. Bukan suara kalian atau pun Bagas. Gue paham suara lo berdua pada. Tapi ini beda. Dan saat dengar hawanya beda. Mana gue enggak ngelihat apapun." Mahes menyenderkan punggungnya pada sofa setelah menyelesaikan kalimatnya. 

"Serius lo denger suara selain gue sama Taksa?" Asep memastikan dan mendapat jawaban mantap dari anggukan Mahes. 

"Gokil. Jangan-jangan kemampuan lo bisa mendengar tapi gak bisa lihat." Asep menarik sudut bibirnya, matanya berbinar. "Setelah Taksa dengan kemampuan prekognision, lo bisa mendengar mereka. Sejak kapan?"

"Gue juga enggak, tahu. Cuma baru tadi pertama kali kayaknya," jawab Mahes sedikit tak yakin. "Eh, tapi maksudnya prekognision apa?" 

"Prekognision adalah kemampuan untuk mengintip masa depan. Ada dua macam cara bagi pemilik kemampuan ini untuk mendapatkan gambaran masa depan. Pertama mereka bisa melihat secara langsung--biasanya tanpa aba-aba sekilas gambaran ditunjukkan. Kedua adalah mereka yang membaca tanda-tanda dari berbagai macam data, dan membuat sebuah analisa tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Pun dengan memegang suatu benda. Gokil, sih, kemampuan ini." Asep menjelaskan dengan wajah antusias. Wajahnya berseri-seri saat menjelaskan hal itu. 

"Sebelum malam ini pernah mendengar suara? Lebih tepatnya setelah pulang dari rumah pak Kiai?" tanya Taksa memandang Mahes dengan tatapan yang tak depat diartikan olehnya. 

"Pernah sekali, suara minta tolong, tapi gue liat gak ada orang. Oh, iya. Pernah, belum lama ini. Motor gue macet di jalan gelap deket pohon. Kayaknya juga abis ujan gitu. Anjir, ada suara ketawa. Gue pikir halusinasi gue aja karena emang hawanya serem. Jadi waktu itu.... Kampret," umpat Mahes saat menyadari bahwa sebenarnya saat itu ia mengalami gangguan gaib. 

"Apa setelah dari rumah pak Kiai?" tanya Taksa kembali dengan pertanyaan yang sama. Ia curiga, ada hal yang dilakukan pak Kiai. Sebab jika benar mereka berubah setelah dari sana. Taksa yakin ada apa-apanya di minuman yang disuguhkan. 

Mahes dan Asep tak mengerti kenapa Taksa berkata demikian. "Tapi setelah dipikir-pikir. Iya, deh, Sa. Apa ini ulah pak Kiai?" Mahes ikut menaruh curiga kepada pak Kiai. 

"Keistimewaan ini enggak bisa didapat atau diberi gitu aja secara singkat. Gue rasa kita emang punya kemampuan ini sejak kecil." Asep mengatakan hal demikian bukan tanpa sebab. Karena yang ia tahu tidak bisa kemampuan seperti itu diberikan secara singkat. Apalagi diberikan tanpa sebuah tujuan. Pasti ada alasan yang tepat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status