Share

Kemampuan Mereka

Darah ada di mana-mana, seseorang tergeletak tak berdaya, di tangannya mengenggam sebuah kalung. Di hadapannya ada sesesok pria berperawakan tinggi. Terdengar tertawa puas karena melihat kondisi orang di hadapannya. Wajah pria itu tak terlihat samar, lalu perlahan-lahan hitam. Mahes memegang kepalanya yang serasa mau pecah karena rasa pusing menyerang dengan cukup parah. 

"Apa ini? Enggak. Enggak mungkin. Pasti cuma halusinasi," gumamnya sembari melepas genggamannya pada sebuah kalung. Lalu, sebuah tepukan di pundak membuat pria itu terkejut dan sedikit berjingkat. "Hes, lo kenapa? Sakit?"

"Hah, eh, enggak papa," jawabnya gelagapan dan bersikap biasa. Rasa pusingnya hilang sesaat ia melepaskan kalung itu. Dari arah belakang muncul Asep dengan ekspresi yang membuat Mahes langsung menundukkan kepalanya. Sementara itu, Bagas memandang acuh tak acuh dan memilih duduk untuk memakan sarapan yang sudah di siapkan. 

Mahes mengambil sendok dan memakan sarapannya perlahan sampai sebuah suara kembali mengejutkannya. "Kalung baru?" Asep bertanya sembari mengarahkan dagu menunjuk kalung yang ada di meja makan di depan Mahes. 

"Oh, ini, bukan. Ini Punya Taksa," jawabnya santai. Sementara itu Asep dan Taksa menyeringai. Bagas yang menyadari ada hal tak beres menelan ludah. 

"Dari mana lo tahu?" Kembali, Asep menanyakan hal yang membuat Mahes gusar. 

"Ya ... gue pernah liat Taksa pakai kalung ini," jawabnya senatural mungkin untuk menutupi kebohongannya. 

"Udah percaya lo?" Taksa menatapnya dengan seringai. "Gue mau tanya tentang masa lalu kalung itu." Taksa amat penasaran, sebab beberapa kali bertanya pada penjaganya tak mendapat jawaban. 

Kali ini Mahes yang menelan ludah. Ia gugup dan takut. Untuk menghilangkan rasa gugupnya ia meminum segelas air. Namun, bukannya hilang, rasa gugup itu semakin besar. Ditambah Asep dan Taksa menatapnya serius. "Kalian serem. Ada apa, sih. Gue ngerasa bego banget, dah." Ucapan Bagas membuat mereka menatapnya. Asep dan Taksa terkekeh melihat kepolosan adik bungsunya. 

"Kalau ucapan bisa aja disangkal, tapi kalau mengalami langsung tak bisa terelak lagi."

Taksa dan Asep membuat rencana untuk membuktikan bahwa Mahes memiliki kemampuan retrokognisi. Ditambah Taksa penasaran dengan masa lalu kalung itu memutuskan untuk menggunakannya. Karena selama ini ia selalu menutupi bahwa ia memakai kalung itu. 

Retrokognisi adalah kemampuan di mana seseorang bisa melihat masa lalu dengan memegang sebuah benda atau berada di sebuah tempat. Hal itu yang membuat Mahes bisa melihat masa lalu yang dilalui kalung itu hingga sampai di tangan Taksa. Kemampuan ini tidak hanya didapat oleh orang tertentu saja. Ada beberapa orang yang bisa memiliki kemampuan ini dengan belajar. Meski begitu seseorang yang mempunyai kekuatan ini tak bisa melihat masa lalunya sendiri. 

Mahes yang belum bisa mengendalikannya merasa kepalanya pusing dan kesakitan karena terlalu banyak melihat kejadian di masa lalu. Selain itu, hal yang dialaminya adalah kali pertama ia melakukan retrokognisi. Rasa lelah dan lemas dirasakan Mahes membuat Taksa dan Asep sedikit panik. Karena Mahes seperti itu karena ide konyol mereka. 

***

"Gue ngeliat kejadian di mana kita, lebih tepatnya kalian bertiga. Gue enggak ngeliat kalau ada gue di situ. Kalian terluka, bukan karena kecelakaan, tetapi seperti perkelahian." Taksa memberi tahu hal itu kepada Bagas dan Mahes. 

"Gue ngeliat darah. Kalung itu bersimbah darah." Meski belum menerima sepenuhnya. Mahes tak bisa mengelak bahwa ia memiliki kemampuan seperti itu. 

"Gue juga. Ada banyak darah, dan gue yakin itu darah kita. Kenapa masa lalu dan masa depan berhubungan dengan darah?" Taksa mencoba memahami hal itu. Mengapa kemampuan mereka menunjukkan hal buruk seperti itu. 

"Gue penasaran. Apa alasan pak Kiai bilang nyawa kita terancam ada hubungannya sama apa yang kalian lihat? Dan soal kemampuan kalian, gue yakin kita dapatin keistimewaan ini enggak kebetulan. Pasti ada sebab kenapa kita memilikinya," ujar Asep dengan wajah yang masih dibaluri masker. Pagi ini adalah jadwalnya merawat wajah.

"Asep bisa komunikasi, Mahes bisa liat masa lalu, Taksa masa depan. Kalian enggak penasaran sama kemampuan gue?"

"Astral projection, 'kan? Gue enggak tuli waktu pak Kiai jelasin hal itu." Asep menjawabnya dengan wajah tengil dan nada suara meremehkan. 

Bagas menyeringai, ia beranjak untuk mengambil selembar kertas dan kembali duduk. Ketiganya mengerutkan dahi, bingung. Apa hubungannya astral prokection dengan kertas. Jelas tak ada hubungannya. 

"Ngapain lo ambil kertas?" Pertanyaan Asep dibiarkan mengudara tanpa niat menjawabnya. Bagas justru terfokus pada kertas yang ia letakkan pada telapak tangannya. Masih dengan seringainya, Bagas membuang kertas itu ke udara dengan tetap mata yang terfokus menatapnya. Lalu sebuah api muncul dan membakar kertas itu. Kertas jatuh dengan berubah menjadi abu dan membuat ketiga lainnya melongo melihat hal itu. 

"Enggak cuma satu, tapi dua kemampuan sekaligus. Gila, keren, Men," ucap Bagas membanggakan dirinya. 

"Kok bisa? Itu apa?" tanya Taksa seperti orang bodoh dengan wajah cengo. 

"Pyrokinesis. Tapi belum yakin banget. Secara hal-hal seperti ini dianggap sebuah kebohongan. Yang gue tau sejauh ini itu, sih. Hasil nyari dari g****e."

"Seumur hidup gue baru liat ginian kecuali sulap," ujar Asep dengan raut kekaguman. 

"Bisa lo jelasin apa itu pyrokinesis?" tanya Mahes. 

"Pyrokinesis adalah kemampuan psikis yang diklaim memungkinkan seseorang untuk membuat dan mengendalikan api dengan pikiran. Itu yang gue baca. Cuma enggak tau juga. Gue rasa masih banyak hal yang bisa dilakuin dengan kekuatan ini. "

"Gue makin enggak ngerti kenapa kita punya kemampuan seperti ini. Ditambah pengelihatan kita soal masa lalu dan masa depan bikin gue enggak tenang. Meski enggak terlalu yakin, tapi gue rasa itu valid." 

Pagi itu sarapan diramaikan dengan pembahasan yang selama ini tak pernah mereka pikirkan. Bukan tanpa apalasan, Taksa terus memikirkan perkataan pak Kiai soal mereka. Meski belum tahu kebenarannya, ia percaya. Ingatan-ingatan masa lalunya mulai menguasai untuk menyetujui hal itu. 

***

"Bagaimana perkembangan tentang mereka?" Suara berat menyapa indra pendengaran dengan hawa yang menakutkan. Pakaian serba hitamnya memperjelas hal itu. Meski rambutnya ada sedikit uban tak membuat aura menakutkan dari sosok itu berkurang. 

Seorang pria berbedan kekar berkaos hitam, celana jins, dan jaket dengan warna senada menunduk dan mengeluarkan suara dengan nada bergetar karena ketakutan. "Maaf, Tuan. Belum ada perkembangan. Maafkan kami."

Wajah yang sudah menakutkan kini semakin seram. Awalnya seperti awan mendung, tetapi kini seperti sedang ada badai disertai petir. Mulutnya yang berwarna hitam mengeluarkan asap dengan jari yang mengapit sebuah pipa berwarna sedikit cokelat yang berasal dari gading. Harum tembakau memenuhi ruangan itu. 

Lelaki tua itu berdiri, berjalan mendekati lawan bicaranya yang berjumlah empat orang. Kembali, ia mengembuskan asap rokoknya. Kali ini tepat di wajah orang-orang itu. "Cari atau nyawa kalian sebagai gantinya." Suara itu terlontar dengan nada tegas dan ada tekanan dalam setiap intonasinya. Membuat pegawainya merinding dan segera menyanggupi. 

"Baik, Bos. Secepatnya akan kami berikan kabar lagi." Setelah itu mereka cepat-cepat pergi sebelum tuannya marah. Mereka beruntung kali ini Tuannya berbaik hati. Bila tidak mungkin saat ini mereka tinggal nama saja. 

"Tak akan kubiarkan kalian lolos dan menghancurkan apa yang sudah selama ini aku miliki. Bila ada yang harus mati itu adalah kalian." Kekehan menyeramkan keluar dari mulutnya. Membuat siapa saja yang mendengar akan bergidik ngeri. 

Selama ini orang itu dikenal sebagai pribadi yang kejam dan tidak memiliki belas kasih. Sudah banyak nyawa melayang karena kemarahannya. Bagi pegawainya, jika ingin nyawa selamat, maka, haruslah mengerjakan tugas dengan baik dan tanpa kesalahan apapun. Karena orang itu jarang sekali memberikan kesempatan kedua. 

"Benalu harus segera disingkirkan," ucapnya dengan sarat emosi. Di matikannya api pada rokoknya dengan cara menginjak-injak. "Akan kubuktikan ucapanku pada kalian. Lihatlah dari akhirat sana, kalian akan lihat akibat dari perbuatan kalian padaku," dengan kemarahan dan seringai menyeramkan ia berucap demikian. 

Ia kembali duduk di kursi kebesarannya, memandang kalender dengan wajah masam. Semakin dekat waktu menuju tanggal yang ia lingkari dengan warna merah. Meski masih terlihat bugar dan belum terlalu tua, tetapi ia tak mampu menghianati usia sebenarnya. Penyakit lupa sudah mulai menganggunya. "Aku harus segera mendapatkan persembahan untuk bertahan hidup." 

Di rabanya wajah yang sudah mulai terlihat banyak memiliki kerutan. "Tak akan kubiarkan kerutan ini ada semakin lama. Segera akan kusingkirkan," gumamnya dengan seringai menyeramkan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status