Danang tersentak dari lamunannya. Matanya berbinar saat menatap Sinta, sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya. Ia menggaruk pipinya yang mulai berkeringat, lalu berkata dengan nada jujur, meski suaranya terdengar sedikit serak, "Aku suka menatap wajah cantikmu, Sinta."
Sinta langsung tersipu mendengar kata-kata Danang. Pipinya memerah seperti buah delima yang ranum. Dengan gerakan pelan, ia mengelus pipinya menggunakan jari-jari lentiknya. "Mas ini bisa saja. Siapa bilang aku cantik? Itu kan cuma Mas yang bilang," balasnya dengan suara lembut sambil menundukkan pandangan, jelas tergambar rasa malunya.
Danang tersenyum simpul, pandangannya tetap tertuju pada Sinta. "Ya, aku bilang kamu cantik," ucapnya tegas, meski ia menundukkan kepala sedikit, menyembunyikan kegugupannya. Tangannya perlahan menyentuh gelas di depannya, memainkan ujung-ujungnya, seolah mencari sesuatu untuk menenangkan dirinya.
Sinta tertawa kecil, sua
Musik dentum bergema di seantero ruangan klub malam itu. Lampu-lampu berwarna menari-nari di langit-langit, berpadu dengan aroma parfum mahal dan alkohol yang menyengat.Sinta datang lebih dulu. Dia sudah duduk di sudut sofa bundar dengan sebotol minuman keras di depannya saat Sani dan Rina tiba.Keduanya terkejut melihat Sinta—yang biasanya menolak ajakan keluar malam dengan berbagai alasan—malam ini malah menjadi orang yang mencalling mereka.“Gila, Sin,” ujar Rina sambil meletakkan clutch-nya di atas meja. “Kau yang ngajak kita ke sini? Dunia udah mau kiamat ya?”Sani ikut duduk di samping Sinta. “Kau kenapa? Ada apa?”Sinta hanya menjawab dengan satu gerakan: mengangkat gelas, lalu menenggak isi minuman itu dalam sekali teguk. Wajahnya mengernyit sejenak, tapi dia kembali menuang lagi ke dalam gelas.
Suasana ruang rawat inap masih sunyi saat Endang mendorong pintu perlahan. Wajahnya terlihat letih tapi tetap rapi seperti biasa. Namun langkahnya langsung terhenti ketika matanya menangkap Danang yang sedang duduk bersandar di ranjang—sendirian.Endang menoleh cepat ke sekeliling ruangan. Tidak ada tas atau barang Dina. Tidak ada suara di kamar mandi. Sepi."Kok kamu sendirian, Dan?" tanyanya curiga, nada suaranya mulai naik satu oktaf. "Istrimu mana? Dina ke mana?!"Danang mengerjap pelan, seolah terbangun dari lamunan. Ia membuka mulut, namun tak langsung menjawab.Endang mendekat. “Kamu baru habis kecelakaan! Masih lemah begini! Dina ke mana, ha? Bukannya dia yang seharusnya jaga kamu?! Apa-apaan ini?!”Sebelum Danang bisa berkata apa-apa, suara langkah cepat terdengar dari arah luar pintu, lalu pintu terbuka. Dinda masuk, berhent
Sinta berjalan cepat dengan wajah memerah karena emosi. Tumit sepatunya menghentak lantai, menimbulkan suara tajam yang bersahut dengan gerutuan-gerutuannya.“Kurang ajar!” umpatnya, “Adik Mas Danang kurang ajar sekali ! Anak bawang tiba-tiba main seret-seret aku, kayak aku maling aja!”Ia terus berjalan, tapi pikirannya belum bisa lepas dari kejadian barusan. Napasnya masih memburu. Namun di tengah langkahnya yang terburu-buru, tiba-tiba ia berhenti. Alisnya berkerut.Sinta menoleh, seolah mencari sesuatu di udara. Lalu ia bergumam, “Tadi dia bilang aku apa sih?”Keningnya berkerut dalam-dalam, mencoba mengingat kembali.“Pelakor ! Dia memanggilku pelakor," ucapnya pelan, seperti baru sadar.Ia terdiam sesaat, lalu tertawa kering—penuh ketidakpercayaan. “Pelakor? Gila! Aku pelakor? Maksudnya
Dina terdiam, matanya menyipit. Ia hanya bisa melihat punggung wanita itu—rambut panjang tergerai, langkah cepat, dan sikap penuh percaya diri.Beberapa detik… satu menit… dua menit.Wanita itu tidak keluar.Ia mempercepat langkahnya. Rasa penasaran mencubit hatinya. Wajah perempuan itu tidak bisa dilihatnya.Dina berdiri tepat di depan pintu kamar yang tidak tertutup sempurna. Ia bisa mendengar suara perempuan itu dari balik pintu. Jantungnya berdegup keras, seperti tahu akan ada sesuatu yang tak ingin ia saksikan, namun juga tak bisa ia hindari.Perlahan, ia mendorong pintu beberapa senti—cukup untuk mengintip ke dalam.Jantungnya nyaris berhenti. "Dia... Wanita itu," gumamnya dalam hati.Sinta. Wajahnya jelas. Wanita dalam foto itu. Wanita yang menjadi duri dalam rumah tangganya.
Dina sudah hampir satu jam duduk di taman. Saat menjaga Danang, ia lebih suka duduk di luar. Dia malas untuk satu ruangan dengan Danang, saat Danang tidak tidur. Jika dia lihat Danang tidur, baru Dina masuk. Ponsel Dina berdering saat ia sedang duduk taman rumah sakit, tak jauh dari kamar Danang. Nama “Tante Hanum” terpampang di layar. Dina segera mengangkatnya.“Assalamu'alaikum , Tante?”“Walaikumsalam Dina, kamu sibuk? Tante mau ketemu. Bisa kita ngobrol?”Dina menarik napas. “Saya di rumah sakit, Tante.”Hanum langsung panik. “Hah? Kamu sakit, Nak?”“Bukan. Mas Danang, Tante. Dia kecelakaan, sempat dioperasi. Sekarang dirawat di sini.”“Ya Allah… Tante ke sana sekarang.”Sambungan terputus setelah Dina mengatakan ruma
Deni dan Johnny baru saja turun dari angkot sepulang sekolah. Karena Deni hari ini tidak bawa motor. Depan pos ronda dekat rumahnya. Pak Johan, salah satu tetangga yang cukup dikenalnya duduk di pos ronda, memanggilnya.“Den, kamu sudah dengar kabar di pasar tadi pagi?” tanyanya sambil menatap Deni dengan wajah serius.Deni mengernyit. “Kabar apa, Pak?”Pak Johan menoleh kanan kiri, lalu berbisik, “Itu, soal juragan Zuki yang ngomong aneh-aneh soal ibumu.”Deni terdiam. Wajahnya langsung berubah. “Maksud Bapak apa?”“Dia bilang di depan orang-orang kalau ibumu janda, dan… ya, nadanya enggak pantas. Banyak yang dengar,” kata Pak Johan pelan."Bapak tidak bohong?""Nggaklah Den. Untuk apa bapak bohong. Bapak ini sudah kenal lama dengan almar