Home / Rumah Tangga / Ceraikan Aku, Mas! / Bab 6. Mayat Hidup

Share

Bab 6. Mayat Hidup

last update Last Updated: 2024-10-31 10:42:10

“Loh, kok pulang?” tanya Ambar saat mendapati Rana sudah berdiri di depan pintu rumahnya. “Sendirian? Zayyan nggak ikut?”

Rana berhambur memeluk mamanya. “Mama….” Ia terisak di pelukan sang ibu, tubuhnya berguncang hebat.

“Kenapa, Sayang? Kok tiba-tiba nangis gini?” Ambar membalas pelukan Rana, mengusap rambut putri bungsunya itu lembut.

Rana terisak semakin kencang. Tapi ia tak mengatakan sepatah kata pun.

Begitu juga Ambar, ia memilih membiarkan putrinya menumpahkan entah apa yang membuatnya menangis. Sembari tangannya terus membelai rambut dan punggung Rana.

Hingga beberapa menit kemudian, suara tangis Rana mereda.

Ambar melonggarkan pelukan, membelai wajah Rana lembut, membersihkan sisa-sisa air mata dari wajah cantik putrinya.

“Sudah mau cerita?” tanya Ambar pelan.

Rana menggeleng. “Mau istirahat,” lirihnya.

“Oke.” Ambar berusaha mengerti. “Mama anter ke kamar, ya?”

Kini Rana mengangguk, membiarkan mamanya mengantarnya ke kamar.

Ambar membaringkan Rana di tempat tidur dan menyelimutinya, persis seperti yang ia lakukan saat Rana kecil dulu.

“Ingat ya, Nak. Mama selalu ada di sini kalau Rana butuh,” tutur Ambar lembut sambil mengusap puncak kepala putrinya.

Rana mengangguk. “Makasih, Ma.”

Ambar tak langsung beranjak dari sana. Ia menunggu mungkin Rana mau sedikit membicarakan alasan ia menangis tadi.

Namun saat Ambar tak menemukan tanda-tanda bahwa Rana akan mulai bicara, akhirnya ia menghela nafas panjang dan membiarkan Rana beristirahat.

Begitu pintu tertutup, Rana meringkuk di bawah selimut. Ia kembali menangis, menumpahkan semua kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan yang menghimpit dadanya.

Bayangan Zayyan dan Asha bercumbu mesra terus berkelebat dalam benaknya. Menyayat hatinya, menghancurkannya hingga tak bersisa.

Rana bisa mentolerir sikap dingin dan ketus Zayyan. Tapi ia tak bisa mentolerir saat suaminya berani menyentuh wanita lain. Dan fakta bahwa ia bahkan tak pernah disentuh seperti itu oleh Zayyan, membuat luka itu seperti disiram garam. Pedih luar biasa.

Sementara itu di apartemen Zayyan, pria itu terduduk di sofa, Asha masih ada di sana.

“Rana sudah pergi, Mas?” Asha bertanya, mengusap pundak Zayyan lembut.

Zayyan tak menggubris, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Entah kenapa, tatapan Rana yang begitu terluka terus melekat di benaknya.

“Nah, sekarang sudah nggak ada yang ganggu kita,” ucap Asha, suaranya terdengar sedikit genit.

Ia juga memajukan tubuhnya, sengaja menempelkannya ke tubuh Zayyan.

“Minggir,” desis Zayyan dingin.

Asha terkesiap, menatap Zayyan tak percaya. “Mas, kamu kenapa?”

Zayyan menghela nafas berat. “Minggir, Sha. Jangan ganggu aku.” Suaranya melunak, tapi ia masih tak menoleh pada Asha.

Kedua alis Asha bertaut mendengar permohonan Zayyan. “Jadi kamu menganggapku ganggu kamu?”

“Bukan gitu….” Zayyan menghembuskan nafas berat. “Aku lagi nggak mood.”

Asha memicingkan matanya kesal. “Kenapa? Gara-gara Rana lihat kita berduaan? Kamu merasa bersalah sama dia?” tanyanya ketus.

Zayyan tak menjawab selama beberapa saat, mencoba mengenali perasaan apa yang sedang ia rasakan sekarang. Apa yang membuat hatinya terasa berat setelah melihat Rana menangis, meledak, dan menatapnya dengan sorot mata penuh luka.

“Kamu tuh cintanya cuma sama aku, Mas. Ngapain kamu merasa bersalah sama dia?” Suara Asha mulai melengking, ia kesal, tak suka melihat Zayyan mulai memikirkan Rana.

Zayyan menggeleng. “Tolong jangan bikin aku tambah pusing.”

“Jadi kamu menganggapku cuma beban sekarang?!” Asha meradang, berdiri.

“Sha, tolong ngerti. Aku lagi pusing.” Zayyan memelas.

“Gara-gara Rana memergoki kita berciuman dan kamu merasa bersalah?”

“Aku nggak tahu, tapi tolong jangan bikin kepalaku semakin sakit.” Zayyan mendesah berat, memijit pelipisnya.

Asha tertawa sinis, menyambar tasnya di atas sofa. “Aku pulang!”

“Mau ke mana, Sha?” Zayyan mendongak, mengernyit melihat Asha akan pergi.

“Buat apa aku di sini sementara kamu memikirkan perempuan lain?” jawab Asha ketus.

“Rana maksud kamu? Dia bukan perempuan lain, dia istriku. Wajar kal–”

“Aku pulang!” Asha memotong kalimat Zayyan, menghentakkan kakinya ke lantai kuat-kuat sambil beranjak pergi.

Zayyan ingin menahan Asha agar tidak pergi, tapi entah kenapa tubuhnya tak mau bergerak.

Sampai Asha membanting pintu apartemennya, Zayyan masih tak beranjak.

Pria itu menghela nafas panjang dan lelah, menyandarkan tubuhnya ke sofa.

“Apa yang sudah aku lakukan?” lirihnya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

***

“Makanan tuh jangan cuma dilihatin, dimakan,” tegur Arga saat melihat Rana hanya menatap piring di depannya.

Rana mendongak, tersenyum tipis, kemudian mulai mengambil sendok. Gerakannya lambat dan lemah, seolah ia tak punya tenaga untuk sekedar makan.

Ambar melirik putrinya. “Hari ini ngampus?” tanyanya, mencoba mengalihkan topik.

Rana menggeleng.

“Nggak ada kuliah atau janjian sama dosen pembimbing?”

Rana menggeleng lagi, menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya, mengunyahnya pelan. Ia kembali meletakkan sendok ke piring.

“Ran, kamu kenapa sih?” Arga sudah tak sabar.

Ambar menyentuh lengan Arga, menyuruhnya berhenti dan tidak memprovokasi Rana untuk sementara.

Arga mendengkus kasar. Ia menurut, tapi tidak setelah sarapan.

Begitu sarapan berakhir, Arga langsung menyusul adiknya ke kamar.

“Cerita nggak?” tuntutnya tanpa basa-basi.

“Cerita apa, Kak?” Rana menjawab malas, duduk di atas kasur dan mengambil buku.

“Kamu tahu nggak sih kalau kamu tuh kayak mayat hidup sekarang? Makan cuma sesuap dua suap, diajak bicara cuma geleng-geleng atau angguk-angguk. Kakak tahu ada yang nggak beres. Sekarang cerita sama Kakak!” Arga duduk di sebelah Rana, menatap adik bungsunya lekat.

“Nggak ada cerita apa-apa, Kak.” Rana tak mengalihkan tatapannya dari novel yang ia baca.

“Ran, kamu kira kamu bisa membodohi Kakak? Kakak tahu ada yang nggak beres. Sekarang cerita sama Kakak. Ada apa? Ada kaitannya sama Zayyan?”

Nafas Rana tertahan seketika, matanya kembali memanas saat adegan panas di sofa apartemen itu kembali berkelebat.

Rana menggeleng cepat. “Bukan apa-apa.”

Namun sayang, Arga sudah terlanjur menangkap reaksi Rana. “Jadi ada kaitannya sama Zayyan? Kenapa? Berulah apa lagi suamimu itu?”

“Bukan apa-apa, Kak.” Rana bersikeras, berusaha terlihat baik-baik saja.

Arga menyambar buku di tangan adiknya. “Kamu pikir Kakak percaya? Zayyan nggak ikut ke sini aja udah jadi tanda tanya besar, belum lagi kamu yang kayak mayat hidup ini, Kakak tahu ada sesuatu.”

Helaan nafas berat dan lelah lolos dari bibir Rana. “Udahlah, Kak. Jangan pedulikan Rana.”

“Kamu pikir semua orang kayak suamimu yang nggak peduli sama kamu? Kakak peduli sama kamu, makanya cerita sekarang.”

Rana terdiam, menatap kakaknya lekat.

Tiba-tiba, air matanya kembali menetes. Dadanya kembali terasa sesak.

Melihat sorot terluka di mata adiknya, Arga segera memeluk Rana. “Cerita, Ran. Biar Kakak bisa bantu,” bisiknya lirih.

Tubuh kurus Rana berguncang pelan di pelukan kakaknya.

“Aku… aku mau cerai aja, Kak. Aku nggak sanggup lagi. Aku mau melepas mas Zayyan, Kak. Aku nggak mau menggenggam dia erat-erat di pernikahan ini yang justru bikin tanganku sakit dan berdarah.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ceraikan Aku, Mas!   Bab 100. Persekongkolan

    Gavin berjalan menyusuri pusat perbelanjaan dengan pikiran masih dipenuhi kemarahan. Insiden di taman beberapa hari lalu membuatnya semakin terobsesi dengan Rana. Ia tidak bisa terima kenyataan bahwa perempuan yang dulu hampir ia miliki sekarang hidup bahagia bersama pria lain—dan bahkan sedang mengandung anaknya.Tanpa sadar, langkah kaki Gavin membawanya ke sebuah kafe. Saat ia hendak memesan kopi, seseorang yang tak asing baginya berdiri di antrean yang sama."Asha?" panggilnya dengan ragu.Wanita berambut panjang dengan gaun elegan itu menoleh. Mata cokelatnya membesar saat melihat siapa yang baru saja menyebut namanya."Gavin?" Asha mengerutkan kening. "Kamu ngapain di sini?"Gavin menyeringai. "Aku tinggal di Jakarta sekarang. Jadi... ya, menikmati hidup. Sambil cari pekerjaan yang cocok."Asha menatap pria itu dengan penuh selidik. "Aku dengar kamu baru keluar dari penjara."Gavin tertawa kecil, tetapi ada nada sinis di baliknya. "Berita menyebar cepat, ya?"Asha menyilangkan t

  • Ceraikan Aku, Mas!   Bab 99. Pindah Rumah

    Keesokan harinya, Zayyan tidak menunda lebih lama lagi. Setelah insiden semalam, ia tahu bahwa mereka tidak bisa tinggal di apartemen itu lebih lama. Keamanan apartemen pun tidak cukup untuk melindungi Rana dan bayi mereka dari Gavin yang jelas semakin nekat.“Kita pindah ke rumah orang tuaku,” kata Zayyan tegas saat mereka bersiap untuk berkemas.Rana menatap suaminya dengan ragu. “Tapi rumah itu kan sudah lama kosong, Mas. Apa nggak terlalu berisiko?”“Aku sudah menghubungi orang untuk membersihkannya sejak tadi pagi. Kita bisa langsung pindah besok.” Zayyan meraih tangan Rana dan menggenggamnya erat. “Di sana lebih aman, Sayang. Lingkungannya lebih tenang, lebih privat, dan nggak ada orang asing yang bisa masuk begitu saja.”Rana menggigit bibirnya. Jujur, ia memang masih merasa trauma. Gavin semakin gila, dan ia tak ingin terus hidup dalam ketakutan. “Baiklah… Kita pindah.”Maka pagi itu, setelah sarapan bersama, Rana dan Zayyan mulai membereskan barang-barang mereka untuk pindaha

  • Ceraikan Aku, Mas!   Bab 98. Teror Mengerikan

    Keesokan paginya, Rana dan Zayyan duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi yang sudah mendingin. Mata mereka sembab karena kurang tidur. Petugas keamanan apartemen datang setelah Zayyan melapor, tapi seperti dugaan, Gavin sudah kabur sebelum bisa tertangkap. Tidak ada CCTV yang mengarah langsung ke balkon mereka, jadi tidak ada bukti konkret yang bisa diberikan ke polisi.“Aku nggak akan biarkan dia terus-terusan mengancammu.” Zayyan mengusap wajahnya dengan frustasi. “Aku akan urus ini. Kita harus keluar dari apartemen ini.”Rana menatap suaminya, hatinya berdebar. “Kita pindah?”Zayyan mengangguk. “Aku nggak bisa tidur dengan tenang kalau tahu bajingan itu ada di dekat kita.”Rana menghela napas panjang, lalu mengangguk setuju. “Baiklah. Aku juga nggak mau terus-terusan merasa takut.”Namun, sebelum mereka sempat membahas lebih lanjut, suara ketukan keras di pintu mengejutkan mereka. Zayyan segera bangkit dan berjalan ke arah pintu. Ia mengintip melalui lubang pintu dan wajahnya la

  • Ceraikan Aku, Mas!   Bab 97. Ancaman Serius

    Rana masih duduk di meja makan, mencoba menenangkan perutnya yang masih sedikit mual. Ia tak menyadari bahwa seseorang tadi menguping dari luar.Beberapa saat kemudian, pintu apartemen terbuka, dan Zayyan masuk dengan kantong belanja di tangannya."Kamu baik-baik aja?" tanyanya begitu melihat wajah pucat Rana.Rana tersenyum lemah. "Barusan mual lagi, tapi sekarang udah mendingan."Zayyan langsung mendekat, menaruh belanjaannya sembarangan di atas meja, lalu berjongkok di depan Rana. Tangannya terulur, mengusap perut istrinya dengan penuh kasih. "Harusnya aku nggak ninggalin kamu sendirian tadi."Rana terkekeh. "Hei, aku baik-baik aja, kok. Jangan terlalu khawatir."Tapi Zayyan tetap menatapnya dengan serius. "Mulai sekarang, kalau ada apa-apa, langsung kasih tahu aku, ya?"Rana mengangguk dan menenangkan suaminya dengan kecupan di pipi. Mereka berdua tidak menyadari bahwa di unit apartemen seberang, seseorang sedang tersenyum miring sambil mengaduk kopi di hadapannya.***Beberapa Ha

  • Ceraikan Aku, Mas!   Bab 96. Perkelahian di Taman

    Hari Minggu. Rana menikmati udara pagi yang segar sambil berjalan santai di taman dekat apartemen mereka. Sesekali ia memperhatikan Zayyan yang sedang joging, bergerak semakin jauh meninggalkannya. Sesekali juga, Zayyan menoleh ke belakang, memastikan sang istri baik-baik saja. Ia melambaikan tangan, yang dibalas lambaian tangan pula oleh Rana. Plus senyum manis terbaik. Rana terus berjalan santai, hatinya terasa hangat dan penuh. Dan tepat ketika ia hendak berbelok menuju jalur yang lebih teduh, suara yang sangat tidak ingin ia dengar tiba-tiba menyapa. "Pagi yang indah, kan?" Rana menegang seketika. Ia menoleh dan mendapati Gavin berjalan santai di sampingnya, senyuman licik tersungging di wajahnya. "Apa maumu, Gavin?" Rana mempercepat langkah, berharap bisa segera menyusul Zayyan. "Tidak ada. Aku hanya ingin ngobrol. Masa nggak boleh? Kita dulu pernah dekat, kan?" Gavin tetap mengikuti langkahnya, membuat Rana semakin gelisah. "Kita nggak pernah dekat," sahut Rana tajam. "T

  • Ceraikan Aku, Mas!   Bab 95. Rana Pingsan

    Satu bulan kemudian. Rana sedang menjelaskan materi di depan kelas ketika kepalanya tiba-tiba terasa berat. Pandangannya sedikit berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Ia berusaha tetap fokus, tetapi rasa pusing yang semakin menjadi membuatnya tidak bisa berkonsentrasi. "Baik, untuk pertemuan hari ini cukup sampai di sini dulu. Saya ingin kalian membuat ringkasan dari materi kita hari ini dan dikumpulkan minggu depan," ucapnya, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya. Mahasiswa tampak bingung karena kelas berakhir lebih cepat dari biasanya, tetapi mereka tidak banyak bertanya dan mulai merapikan barang mereka. Rana menghela napas, berharap rasa pusingnya berkurang setelah ia duduk sebentar di kursinya. Namun, baru saja ia melangkah keluar dari ruang kelas, tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Dunia di sekelilingnya terasa berputar, dan dalam hitungan detik, semuanya menjadi gelap. "Bu Rana!" Beberapa mahasiswa yang masih berada di dekatnya langsung bergegas mena

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status