“Mas, kamu di mana? Sudah siap?” Suara Asha terdengar riang di ujung telepon saat Zayyan mengangkat panggilan.
Zayyan terdiam saat suara Asha masuk ke dalam pendengarannya. Ia tak tahu harus berkata apa kepada Asha, karena dialah yang memberi janji kepada wanita itu untuk datang. “Mas Zayyan?” “Asha, Maaf. Sepertinya aku tidak bisa ke sana, karena Rana tiba-tiba pingsan dan kakaknya menunggui dia di sini. Mungkin lain kali saat ada kesempatan lagi,” jelas Zayyan dengan suara memelas. Perkataan Zayyan itu juga disambut hening, karena Asha juga tak langsung menjawab. Zayyan tahu wanita itu pasti kecewa, terlebih setelah terdengar suara tarikan napas yang samar-samar. “Maaf, ya?” Zayyan memelas, meminta maaf untuk yang kedua kalinya pada Asha. “Tidak perlu minta maaf. Aku bisa mengerti kok. Mungkin nanti aku datang ya? Sekalian menjenguk Rana,” Suara Asha terdengar manis dan merdu, membuat Zayyan semakin merasa bersalah. Zayyan tersenyum meski Asha tak bisa melihatnya. “Hmm. Nanti pulang jam berapa?” “Mungkin jam lima sudah pulang”. Zayyan melirik pintu kamar Rana dengan rahang mengeras, tapi ia segera kembali tersenyum saat berbicara dengan Asha. “Baiklah, kamu hati-hati, ya?” “Oke, Mas. Sampai nanti. Semoga Rana cepat sembuh”. “Ya, kamu terlalu baik, Sha,” lirih Zayyan dengan senyum lembut sebelum memutus sambungan telepon. *** Pukul empat sore. Kelopak mata Rana perlahan terbuka, mengerjap-ngerjap. “Uh… aku ketiduran?” lirihnya kebingungan. Zayyan menegakkan punggung dan mencondongkan tubuhnya ke arah Rana. “Kamu sudah sadar?” Rana menoleh ke arah Zayyan. “Mas, kok kamu di sini?” “Tadi kamu pingsan. Kenapa kamu bisa tiba-tiba pingsan?” Bukannya bersimpati, Zayyan justru langsung mengomeli Rana. Rana menghela nafas lemah. “Aku pingsan? Sejak kapan?” “Tidak tahu, pokoknya lama. Aku bahkan tidak jadi pergi dengan Asha,” dengus Zayyan kesal. Kini Rana memasang wajah melas. “Maaf, Mas. Kamu boleh pergi sekarang, kok.” “Sudah terlambat!” sahut Zayyan. “Lagi pula kakak kamu juga belum pulang, dia bisa menebas leherku kalau sampai aku pergi meninggalkanmu sekarang.” “Mas, minta air,” ucap Rana dengan suara lemah. Ia akan memanfaatkan situasi menguntungkan ini untuk sedikit bermanja-manja pada sang suami. Zayyan menatap Rana tajam beberapa saat, kemudian menghembuskan nafas pasrah. Ia mengambil teh manis buatannya di atas nakas dan memberikannya pada Rana. “Terima kasih.” Rana meneguk teh manis itu beberapa kali. “Udah sadar, Ran?” Tiba-tiba Arga sudah membuka pintu kamar Rana. “Eh, Kak.” Rana tersenyum tipis. “Sudah nih.” Arga mendekat, kembali memeriksa Rana. “Istirahat yang cukup, makan yang banyak, skripsi itu dikerjakan bukan dibuat stres. Kalau suami kamu yang berulah, bilang sama Kakak.” Entah bercanda atau tidak, tapi Rana senang dengan kalimat terakhir Arga. Ia tertawa pelan. “Makasih ya, Kak.” Rana tersenyum tipis. “Kakak tadi ke sini ditelepon mas Zay?” “Iya.” Rana beralih menatap Zayyan, tersenyum manis. “Terima kasih ya, Mas.” Zayyan mendengus pelan, masih kecewa tidak bisa pergi dengan Asha. “Ya,” jawabnya pendek. “Ya sudah, Kakak pulang, ya?” Arga menepuk pundak Rana pelan, berpamitan. Rana mengangguk, masih tersenyum. Arga menoleh pada Zayyan. “Jangan pergi ke mana-mana, jaga istrimu, Zayyan.” Zayyan hanya mengangguk kecil dan mengantarkan Arga hingga ke pintu, kemudian ia kembali masuk ke kamar Rana, duduk di kursi lagi. “Ada apa, Mas?” tanya Rana, meski ia tentu tak menolak ditemani begini oleh suami tercintanya. “Tidur. Apa kata kakakmu tadi? Tidur sekarang,” ucap Zayyan dingin. Rana mengernyit, tapi tetap menurut dan berbaring. “Tutup matamu terus tidur. Kata kakakmu kamu butuh banyak istirahat.” Meski merasa janggal dengan sikap Zayyan, Rana tetap patuh. “Oke,” sahutnya pendek sambil memejamkan mata, berusaha tidur. *** Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat saat Rana terbangun dari tidur. Di luar langit sudah gelap, begitu juga di kamarnya. Tampaknya Zayyan sengaja mematikan lampu agar dia bisa tidur dengan nyenyak. Rana tersenyum dan bangkit dari tidurnya karena ia harus menyiapkan makan malam. Ia sudah cukup istirahat dan tak sabar untuk memasak makan malam untuk Zayyan. Kali ini, pasti masakannya akan dimakan karena seharusnya pria itu berada di rumah setelah diancam oleh Arga. Sembari memikirkan menu yang akan ia masak hari ini, Rana menyalakan lampu dan menatap bayangan dirinya di cermin. Rambutnya kusut dan wajahnya pucat. Untungnya jejak darah di hidungnya sudah dibersihkan oleh Arga. Kakaknya itu memang selalu bisa diandalkan. Rana lalu memoles sedikit lipstik di bibirnya agar tidak terlalu pucat dan berjalan ke arah pintu sambil tersenyum tipis. Namun, begitu kamarnya dibuka, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Zayyan dan Asha yang sedang bercumbu di sofa ruang tengah apartemen mereka. Kedua bibir itu bertaut, kedua lengan Zayyan memeluk Asha erat. Suara ciuman mereka sampai ke telinga Rana, menyayat-nyayat hatinya. Rana mematung di tempat dan lidahnya membeku. “Mas, kamu tidak bisa menunggu sampai kita ke kamar?” desah Asha tertahan. “Kamu yang menggodaku, Asha. Bagaimana aku bisa menunggu sampai ke kamar? Lagi pula Rana tidur. Dia akan tidak tahu,” kata Zayyan dengan nafas terengah, kental oleh gairah. Ia baru bisa menggerakkan bibir setelah mendengar desahan kenikmatan Asha kala bibir Zayyan turun hingga ke leher wanita itu. “Mas?” lirihnya dengan suara bergetar. Zayyan dan Asha nyaris terlonjak kaget dan segera menjauh. “Rana?!” Zayyan terkesiap saat mendapati Rana menatapnya dengan air mata yang sudah meleleh. “Kamu….” Suara Rana tercekat di kerongkongan karena bibirnya bergetar menahan rasa sakit di dadanya. Hatinya semakin tercabik-cabik saat melihat bekas lipstik di bibir Zayyan dan seringai kecil di wajah Asha. Namun itu tak seberapa, karena begitu tatapannya turun ke bawah, ia bisa melihat kancing baju Asha telah terbuka sebagian. Air mata Rana mengalir semakin deras. Ia lalu menggeleng dan berusaha untuk kembali masuk ke kamar. Namun, Zayyan lebih dulu melompat dari sofa dan menahan pintu yang hendak Rana tutup. “Tunggu!” “Minggir!!” Rana berteriak dan berusaha untuk mendorong Zayyan dari pintu. Namun, pria itu bergeming dan mencengkeram pintu lebih kuat. “Rana, dengarkan aku. Tadi itu–” “Tidak perlu dijelaskan!” sergah Rana cepat. Gadis itu berhenti mendorong Zayyan dan kini menatap pria itu dengan terluka. “Kamu bahkan tak pernah menyentuhku. Apakah selama ini perasaanku hanyalah sebuah candaan bagimu?” Zayyan menelan ludah. Ini merupakan pertama kalinya ia melihat Rana meledak-ledak begini. Selama ini memang gadis itu selalu bersuara keras, tapi ekspresi wajahnya sangat ceria dan bersemangat. Bahkan selama mengenal Rana, gadis itu tak pernah sekalipun menangis di hadapannya. “Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjadi istri yang baik, meski kamu terus bersikap dingin dan ketus.” Air mata Rana terus meleleh. “Apa aku pernah memprotes sikapmu itu kepadaku? Tidak! Aku terima semua baik dan burukmu sembari terus berusaha untuk membuat kamu menyukaiku. Aku masih bisa mentolerirnya. Namun..” Bibir Rana bergetar, ia menatap Zayyan lekat. Zayyan bisa melihat luka dalam sorot mata Rana. Luka itu tidak pernah Zayyan lihat sebelumnya, tapi kini terlihat amat dalam dan lebar. “Aku kalah, Mas,” lirih Rana lemah. “Aku menyerah. Memang seharusnya aku tidak perlu memperjuangkan sesuatu yang memang tidak mau menjadi milikku.”Gavin berjalan menyusuri pusat perbelanjaan dengan pikiran masih dipenuhi kemarahan. Insiden di taman beberapa hari lalu membuatnya semakin terobsesi dengan Rana. Ia tidak bisa terima kenyataan bahwa perempuan yang dulu hampir ia miliki sekarang hidup bahagia bersama pria lain—dan bahkan sedang mengandung anaknya.Tanpa sadar, langkah kaki Gavin membawanya ke sebuah kafe. Saat ia hendak memesan kopi, seseorang yang tak asing baginya berdiri di antrean yang sama."Asha?" panggilnya dengan ragu.Wanita berambut panjang dengan gaun elegan itu menoleh. Mata cokelatnya membesar saat melihat siapa yang baru saja menyebut namanya."Gavin?" Asha mengerutkan kening. "Kamu ngapain di sini?"Gavin menyeringai. "Aku tinggal di Jakarta sekarang. Jadi... ya, menikmati hidup. Sambil cari pekerjaan yang cocok."Asha menatap pria itu dengan penuh selidik. "Aku dengar kamu baru keluar dari penjara."Gavin tertawa kecil, tetapi ada nada sinis di baliknya. "Berita menyebar cepat, ya?"Asha menyilangkan t
Keesokan harinya, Zayyan tidak menunda lebih lama lagi. Setelah insiden semalam, ia tahu bahwa mereka tidak bisa tinggal di apartemen itu lebih lama. Keamanan apartemen pun tidak cukup untuk melindungi Rana dan bayi mereka dari Gavin yang jelas semakin nekat.“Kita pindah ke rumah orang tuaku,” kata Zayyan tegas saat mereka bersiap untuk berkemas.Rana menatap suaminya dengan ragu. “Tapi rumah itu kan sudah lama kosong, Mas. Apa nggak terlalu berisiko?”“Aku sudah menghubungi orang untuk membersihkannya sejak tadi pagi. Kita bisa langsung pindah besok.” Zayyan meraih tangan Rana dan menggenggamnya erat. “Di sana lebih aman, Sayang. Lingkungannya lebih tenang, lebih privat, dan nggak ada orang asing yang bisa masuk begitu saja.”Rana menggigit bibirnya. Jujur, ia memang masih merasa trauma. Gavin semakin gila, dan ia tak ingin terus hidup dalam ketakutan. “Baiklah… Kita pindah.”Maka pagi itu, setelah sarapan bersama, Rana dan Zayyan mulai membereskan barang-barang mereka untuk pindaha
Keesokan paginya, Rana dan Zayyan duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi yang sudah mendingin. Mata mereka sembab karena kurang tidur. Petugas keamanan apartemen datang setelah Zayyan melapor, tapi seperti dugaan, Gavin sudah kabur sebelum bisa tertangkap. Tidak ada CCTV yang mengarah langsung ke balkon mereka, jadi tidak ada bukti konkret yang bisa diberikan ke polisi.“Aku nggak akan biarkan dia terus-terusan mengancammu.” Zayyan mengusap wajahnya dengan frustasi. “Aku akan urus ini. Kita harus keluar dari apartemen ini.”Rana menatap suaminya, hatinya berdebar. “Kita pindah?”Zayyan mengangguk. “Aku nggak bisa tidur dengan tenang kalau tahu bajingan itu ada di dekat kita.”Rana menghela napas panjang, lalu mengangguk setuju. “Baiklah. Aku juga nggak mau terus-terusan merasa takut.”Namun, sebelum mereka sempat membahas lebih lanjut, suara ketukan keras di pintu mengejutkan mereka. Zayyan segera bangkit dan berjalan ke arah pintu. Ia mengintip melalui lubang pintu dan wajahnya la
Rana masih duduk di meja makan, mencoba menenangkan perutnya yang masih sedikit mual. Ia tak menyadari bahwa seseorang tadi menguping dari luar.Beberapa saat kemudian, pintu apartemen terbuka, dan Zayyan masuk dengan kantong belanja di tangannya."Kamu baik-baik aja?" tanyanya begitu melihat wajah pucat Rana.Rana tersenyum lemah. "Barusan mual lagi, tapi sekarang udah mendingan."Zayyan langsung mendekat, menaruh belanjaannya sembarangan di atas meja, lalu berjongkok di depan Rana. Tangannya terulur, mengusap perut istrinya dengan penuh kasih. "Harusnya aku nggak ninggalin kamu sendirian tadi."Rana terkekeh. "Hei, aku baik-baik aja, kok. Jangan terlalu khawatir."Tapi Zayyan tetap menatapnya dengan serius. "Mulai sekarang, kalau ada apa-apa, langsung kasih tahu aku, ya?"Rana mengangguk dan menenangkan suaminya dengan kecupan di pipi. Mereka berdua tidak menyadari bahwa di unit apartemen seberang, seseorang sedang tersenyum miring sambil mengaduk kopi di hadapannya.***Beberapa Ha
Hari Minggu. Rana menikmati udara pagi yang segar sambil berjalan santai di taman dekat apartemen mereka. Sesekali ia memperhatikan Zayyan yang sedang joging, bergerak semakin jauh meninggalkannya. Sesekali juga, Zayyan menoleh ke belakang, memastikan sang istri baik-baik saja. Ia melambaikan tangan, yang dibalas lambaian tangan pula oleh Rana. Plus senyum manis terbaik. Rana terus berjalan santai, hatinya terasa hangat dan penuh. Dan tepat ketika ia hendak berbelok menuju jalur yang lebih teduh, suara yang sangat tidak ingin ia dengar tiba-tiba menyapa. "Pagi yang indah, kan?" Rana menegang seketika. Ia menoleh dan mendapati Gavin berjalan santai di sampingnya, senyuman licik tersungging di wajahnya. "Apa maumu, Gavin?" Rana mempercepat langkah, berharap bisa segera menyusul Zayyan. "Tidak ada. Aku hanya ingin ngobrol. Masa nggak boleh? Kita dulu pernah dekat, kan?" Gavin tetap mengikuti langkahnya, membuat Rana semakin gelisah. "Kita nggak pernah dekat," sahut Rana tajam. "T
Satu bulan kemudian. Rana sedang menjelaskan materi di depan kelas ketika kepalanya tiba-tiba terasa berat. Pandangannya sedikit berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Ia berusaha tetap fokus, tetapi rasa pusing yang semakin menjadi membuatnya tidak bisa berkonsentrasi. "Baik, untuk pertemuan hari ini cukup sampai di sini dulu. Saya ingin kalian membuat ringkasan dari materi kita hari ini dan dikumpulkan minggu depan," ucapnya, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya. Mahasiswa tampak bingung karena kelas berakhir lebih cepat dari biasanya, tetapi mereka tidak banyak bertanya dan mulai merapikan barang mereka. Rana menghela napas, berharap rasa pusingnya berkurang setelah ia duduk sebentar di kursinya. Namun, baru saja ia melangkah keluar dari ruang kelas, tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Dunia di sekelilingnya terasa berputar, dan dalam hitungan detik, semuanya menjadi gelap. "Bu Rana!" Beberapa mahasiswa yang masih berada di dekatnya langsung bergegas mena