Angin pagi yang dingin menyapu halaman istana Gilingwesi, membawa aroma dupa yang menusuk hidung. Di tengah lapangan luas yang dikelilingi oleh pohon-pohon beringin tua, sebuah altar besar terbuat dari batu hitam mengkilap telah didirikan. Para pendeta berjubah putih berbaris rapi di sekitar altar, memegang genta kecil dan sulur-sulur asap wewangian yang mengepul dari mangkuk-mangkuk tembaga di tangan mereka. Matahari baru saja muncul di balik pegunungan, menyelimuti seluruh pemandangan dengan cahaya emas lembut.
Raka berdiri agak jauh dari kerumunan, di bawah naungan salah satu pohon beringin. Ia merasa tidak nyaman, bukan hanya karena pakaiannya yang masih belum sepenuhnya sesuai dengan adat setempat, tetapi juga karena atmosfer mistis yang hampir bisa dirasakan secara fisik. Bau dupa yang kental membuat kepalanya sedikit pusing, dan suara mantra-mantra para pendeta bergema seperti datang dari dimensi lain—terdengar jelas, namun juga samar-samar, seolah-olah ada jarak tak terlihat antara dirinya dan ritual itu.
"Kamu tidak perlu takut," kata Dyah Sulastri pelan, muncul di sampingnya tanpa suara. Gadis itu mengenakan gaun sutra hijau yang melingkar elegan di tubuhnya, dengan kalung emas tipis bertatahkan permata biru menghiasi lehernya. Matanya yang gelap menatap Raka dengan ekspresi tenang, meskipun ada bayangan kekhawatiran di dalamnya.
"Aku tidak takut," jawab Raka, mencoba terdengar yakin. "Hanya... ini semua sangat asing bagiku."
Dyah tersenyum tipis, lalu menunjuk ke arah altar. "Ini adalah ritual untuk memohon perlindungan kepada roh-roh penjaga kerajaan. Mereka adalah makhluk gaib yang menjaga keselamatan kita dari ancaman yang tak terlihat."
Raka mengikuti arah pandangnya. Di atas altar, seekor ayam jantan berbulu merah cerah sudah disiapkan, bersama dengan berbagai persembahan lain seperti buah-buahan, bunga melati, dan mangkuk-mangkuk berisi air suci. Salah satu pendeta, yang lebih tua dengan rambut putih panjang, mulai melafalkan mantra yang lebih keras. Suaranya bergema di udara, seolah-olah menembus dimensi lain.
Tiba-tiba, angin berhenti. Seluruh suasana menjadi begitu sunyi sehingga Raka bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Lalu, dari balik pepohonan, muncul sosok-sosok samar yang awalnya tampak seperti kabut tebal. Namun, ketika mereka semakin dekat, bentuk mereka mulai terlihat lebih jelas—makhluk-makhluk tinggi besar dengan kulit kebiruan dan mata yang menyala seperti bara api. Beberapa di antaranya memiliki tanduk melengkung, sementara yang lain memiliki sayap transparan yang berkilauan.
"Inilah Banaspati," bisik Dyah, suaranya nyaris tak terdengar. "Mereka adalah roh api yang melindungi kerajaan. Jika kamu tidak berniat buruk, mereka tidak akan menyakitimu."
Raka menelan ludah. Meskipun skeptisisme alaminya mencoba menyangkal apa yang dilihatnya sebagai ilusi atau trik optik, nalurinya memberitahunya bahwa makhluk-makhluk itu nyata. Ada kekuatan besar yang menguar dari keberadaan mereka, membuat bulu kuduknya merinding. Saat salah satu Banaspati mendekat, matanya yang menyala menatap langsung ke mata Raka. Tatapan itu membuatnya merasakan denyutan aneh di telapak tangannya, seperti gema dari energi cermin perunggu yang ia temukan di gua. Denyutan itu semakin kuat, hingga ia harus menahan napas untuk menahannya.
Pendeta tua itu melangkah maju, mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dengan gerakan lambat namun penuh otoritas, ia menuangkan air suci ke atas kepala ayam jantan tersebut. Seekor Banaspati mendekat, membungkuk rendah di depan altar, seolah memberi hormat. Pendeta itu kemudian meletakkan telapak tangannya di atas kepala makhluk itu, melafalkan mantra yang lebih panjang.
Raka merasakan getaran halus di udara, seperti resonansi gong yang dipukul jauh di kejauhan. Getaran itu membuatnya merinding, tapi juga menimbulkan sensasi aneh di dalam dadanya, seolah ada sesuatu yang bergerak di dalam tubuhnya. Ia menoleh ke Dyah, yang kini menundukkan kepala dengan mata tertutup rapat, seolah tengah berdoa.
"Kenapa mereka melakukan ini?" tanya Raka akhirnya, suaranya terdengar lebih pelan daripada biasanya.
"Untuk menjaga keseimbangan," jawab Dyah tanpa membuka matanya. "Kerajaan ini berdiri di ambang dua dunia—dunia manusia dan dunia gaib. Jika keseimbangan itu terganggu, maka malapetaka akan datang."
Saat itulah Raka menyadari betapa rapuhnya dunia tempat ia terjebak ini. Dunia ini tidak hanya dipenuhi oleh manusia, tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan supranatural yang tak terlihat. Ritual ini bukan sekadar tradisi atau upacara kosong; ini adalah cara untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka semua.
Namun, ada satu hal yang mengganjal di benaknya. Mengapa ia, seorang asing dari masa depan, dibawa ke sini? Apakah kedatangannya juga bagian dari keseimbangan yang mereka bicarakan? Atau justru sebaliknya—kedatangannya akan membawa malapetaka?
Sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, ritual berakhir. Para Banaspati perlahan menghilang, kembali ke tempat asal mereka, meninggalkan jejak-jejak cahaya redup di udara. Pendeta-pendeta mulai membubarkan diri, dan kerumunan pun mulai bubar. Dyah menarik lengan Raka pelan, mengajaknya kembali ke istana.
"Kamu akan terbiasa dengan semua ini," katanya sambil tersenyum. "Lama-kelamaan, kamu akan mengerti."
Namun, Raka tidak yakin apakah ia ingin terbiasa. Ia merasa ada rahasia besar yang belum diungkapkan kepadanya—rahasia yang mungkin akan mengubah segalanya.
Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan
Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh
Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l
Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang
Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka
Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu