Matahari sore mulai meredup, menyelimuti istana Gilingwesi dengan cahaya oranye yang hangat namun suram. Raka berjalan menyusuri koridor batu yang dingin, langkahnya terdengar bergema di sepanjang dinding yang dipenuhi ukiran kuno. Ia masih memikirkan ritual suci yang ia saksikan pagi tadi—roh Banaspati, tatapan mereka yang menusuk, dan getaran aneh yang dirasakannya di dalam tubuhnya. Segalanya begitu asing, tetapi juga menarik. Ada sesuatu di balik semua ini, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
Saat ia melewati salah satu halaman dalam istana, seorang pendeta tua dengan jubah putih panjang mendekatinya. Wajahnya tertutup kerudung tipis, hanya meninggalkan sepasang mata yang tajam seperti mata elang. Pendeta itu adalah Resi Agung Darmaja, sosok misterius yang selalu tampak mengamati dari kejauhan. Raka pernah melihatnya di ritual pagi tadi, tetapi tidak sempat berbicara dengannya.
"Kau tampak gelisah, anak muda," kata Resi Agung Darmaja dengan suara rendah dan berat, seperti gema dari gua dalam. "Apakah dunia kami terlalu berat untukmu?"
Raka menoleh, sedikit terkejut oleh kedatangan mendadak pendeta itu. "Aku hanya... mencoba memahami semuanya," jawabnya setelah ragu sejenak. "Ini semua sangat berbeda dari dunia yang kukenal.
Resi Agung Darmaja tersenyum samar, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Dunia yang kau kenal? Apa kau yakin kau benar-benar memahami duniamu sendiri, Nak?" tanyanya dengan nada yang lebih filosofis daripada sinis.
Raka membuka mulut untuk menjawab, tetapi kemudian menutupnya lagi. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan bahwa ia berasal dari masa depan, dari dunia yang sama sekali berbeda dengan tempat ini. Bahkan jika ia mencoba, apakah orang-orang di sini akan percaya?
Resi Agung Darmaja melangkah lebih dekat, matanya memandang Raka dengan intensitas yang membuat pemuda itu merasa seolah-olah seluruh rahasia hidupnya sedang dibaca. Saat itu, Raka merasakan denyutan aneh di telapak tangannya, mirip dengan sensasi yang ia rasakan saat ritual suci. Denyutan itu semakin kuat, hingga ia harus menahan napas untuk menahannya.
"Kau bukan orang biasa, Nak," katanya pelan. "Kau disebut-sebut dalam ramalan kuno sebagai 'Orang dari Kala Lain'."
Raka mengerjap, bingung. "Orang dari Kala Lain?" ulangnya, suaranya terdengar seperti bisikan. "Apa maksudmu?"
Pendeta itu tidak langsung menjawab. Ia melangkah ke arah kolam kecil di tengah halaman, airnya tenang dan jernih, memantulkan bayangan awan yang bergerak lambat di langit. Namun, saat Resi berdiri di tepi kolam, bayangan di permukaan air tiba-tiba bergerak meskipun tidak ada angin. Bayangan itu membentuk pola spiral yang aneh, mirip dengan simbol di cermin perunggu yang Raka temukan di gua.
"Sejak zaman dahulu, para leluhur kami telah menerima wahyu tentang seorang asing yang akan datang dari waktu yang berbeda," kata Resi Agung Darmaja, suaranya bergema meskipun mereka berada di tempat terbuka. "Dia akan membawa perubahan besar bagi kerajaan ini—baik atau buruk, tak ada yang tahu."
Raka merasa ingin bertanya lebih banyak, tetapi kata-kata itu terdengar seperti sebuah kutukan, tetapi juga seperti sebuah panggilan. "Tapi... aku hanya seorang arkeolog. Aku tidak tahu apa-apa tentang ramalan atau takdir," protesnya, meskipun dalam hati ia mulai meragukan dirinya sendiri.
Resi Agung Darmaja tertawa kecil, tetapi tawanya terdengar lebih seperti desisan angin malam. "Takdir tidak peduli apa yang kau ketahui atau tidak ketahui, Nak. Itu adalah aliran sungai yang mengalir tanpa henti, membawa siapa pun yang terjebak di dalamnya ke tempat yang telah ditentukan."
Ia menatap Raka lebih lama, matanya menyipit seolah-olah melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain. "Kau membawa aura yang tidak asing... seolah kau sudah pernah di sini sebelumnya."
Setelah itu, Resi Agung Darmaja berbalik, melangkah menjauh dengan gerakan yang ringan namun penuh otoritas. "Pikirkan baik-baik, anak muda," katanya tanpa menoleh. "Karena pilihanmu akan menentukan nasib kerajaan ini."
Setelah Resi Agung Darmaja menghilang di balik pintu kayu besar, Raka berdiri diam di tepi kolam, pikirannya berputar-putar. Ia menatap pantulan wajahnya di air, yang tampak samar-samar karena riak kecil yang mulai muncul. Tiba-tiba, ia melihat kilatan cahaya samar di cermin kecil yang dibawa salah satu pelayan istana yang lewat di kejauhan. Pola di cermin itu mirip dengan simbol di cermin perunggu miliknya.
"Apa aku benar-benar bisa mengubah apa pun?" gumam Raka pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar. "Atau aku hanya... tersesat di waktu yang salah?"
Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan
Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh
Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l
Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang
Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka
Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu