Share

Cewek Agresif VS Cowok Polos
Cewek Agresif VS Cowok Polos
Penulis: malapalas

1. Salah Target

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa ... tidaaaaaaaaaak...." Suara menggelegar itu bersumber dari Dara, cewek peran utama di cerita ini.

Dia lari pontang-panting sambil tak henti-hentinya mengelap bibirnya. Dara malu berat, tanpa menoleh ke kanan kiri ia berlari keluar ruangan dengan kecepatan kilat. Ia tak menghiraukan tatapan aneh dari orang-orang di restoran itu, ia bahkan mendadak tuli saat sang manajer restoran menanyakan keadaannya.

Yang ia pedulikan sekarang cuma nasib bibirnya. Ia pengin nangis, tapi lebih dominan malu. Ngenes dan segala macam wabah terasa menyerangnya sekarang.

Bayangin aja, udah sewa tempat mahal-mahal di restoran elit punya keluarga Tomi, belum lagi pesan semua menu makanan seabrek yang harganya bisa ngalahin beli motor baru, bukannya berhasil malah rencananya gagal total hanya karena ia salah target.

Salah targetnya nggak tanggung-tanggung. Ia salah nyosor orang. Bukan sembarang orang, melainkan sama bapak-bapak yang udah berumur 40-an tahun. Hueek!

Diusapnya kembali bibirnya dengan kasar, sambil mempercepat langkah menuju parkiran mobil.

"Acaranya udah selesai, Non?" tanya Pak Komar yang panik melihat anak dari majikannya keluar restoran dengan tampang mengerikan.

Warna bibir dari lipstik merah yang Dara pakai, cemong sana-sini.

"Pulang, Pak!"

"Sekarang, Non?" tanya Pak Komar lagi. Nggak tahu situasi sedang dalam keadaan darurat.

"Nggak, Pak, masih lama. Tahun depaaan. Jauh kok, jauh." Lalu matanya melotot sembari berkacak pinggang. "Ya ... sekaranglaaah!"

"I-iya, Non." Kalau udah begini, Pak Komar nggak mau ngebantah, bisa-bisa perang drama di mulai lagi.

Beliau lekas membuka pintu mobil untuk Dara, kemudian menstarter dan menjalankannya dalam diam.

"Stop, stop, Pak," seru Dara sembari menepuk-nepuk bahu Pak Komar dari belakang hingga membuat beliau mengerem mendadak.

"Duh, Non, kalau minta berhenti jangan mendadak gini dong, Non. Untung jalan lumayan sepi," kata Pak Komar sambil mengelus dadanya. Takut kena serangan jantung.

Dara cengengesan, tapi cuma bentar. Abis gitu, "Pak, liat tuh ada supermarket. Turun gih, belikan gue tisu. Nih uangnya."

"Beli berapa, Non?"

"Semuanya."

"Eh, nggak salah, Non? Ini kan uangnya seratus ribu. Harga tisu palingan cuma sepuluh ribuan doang, Non."

"Haduh, Pak. Nggak usah banyak ngomong, deh. Gue bilang semua ya semua." Tak ada beberapa detik matanya berubah berkaca-kaca. "Gu-gue, gue ... abis ketiban sial nih, Pak. Kasian amat kan gue? Makanya, cepetan! Huaaaa...."

Tanpa ba-bi-bu, Pak Komar langsung lari terbirit-birit, mematuhi perintahnya. Kasian, beliau sampai hampir kesandung batu di perjalanan. Saking pengin cepat-cepat dapat tuh tisu.

Melihat Pak Komar memasuki mobil sambil membawa sekantong plastik besar, Dara langsung menyambarnya. Ia buka dan mengambil beberapa lembar tisu secara asal dari kemasan.

"Gu-gue apes banget hari ini, hiks," mulai Dara dan dibarengi sesenggukan seraya menghapus warna lipstik dengan tisu di tangannya. "Padahal niat awalnya gue kan mau nyiiiiuum Kenn."

Gleg!

Pak Komar yang lagi fokus menyetir refleks menelan ludahnya dengan memasang muka seperti abis salah minum obat.

"Tapi ... malah kena Paman Agus." Dara bergidik ngeri saat sekelebat bayangan rasa yang sempat ia cicipi tadi. "Uueeek," Dara ingin muntah tapi nggak ada satu pun yang keluar. Ia benar-benar mual mendadak.

Buru-buru ia mengobrak-abrik tas tangannya, lantas mencomot kaca kecil. Ia ambil lagi segenggam tisu dan mengusap bibirnya di depan kaca yang ia bawa. Lagi, lagi dan lagi, sampai-sampai nggak terasa udah abis dua kemasan tisu.

"Aaaaaah, ini mah abis berapa banyak tisu pun nggak akan mempan, nih. Hilang sih hilang, tapi kan rasanya masih tetap. Huuaaaaa...." Dara mencak-mencak, menangis, meratapi nasib buruknya. "Keeeenn, lo tadi kenapa harus pindah duduk, sih?! Kenapa bukan lo yang gue cium?? Huuaaaaa."

Dara mewek, menumpahkan isi hatinya, masa bodoh sopirnya mau mendengarkan apa nggak.

"Gue suka banget sama lo, Kenn. Dari sekian banyak cowok yang gue temui, gue rasa cuma lo yang super keren. Pokoknya ganteng level dewa!" ujarnya bersemangat ketika mengucapkan kalimat terakhir. "Oh, Keeenn, lo nggak tau betapa gue termehek-mehek sama lo. Gue dandan seseksi ini buat siapa coba? Buat lo. Gaun merah mentereng ini juga demi siapa coba? Ya, demi lo. Liat, semua sia-sia," lanjutnya, lalu menarik sepasang kaus kaki yang berada di balik dadanya.

Ia menatap kaus kaki itu dengan miris. Ia goyang-goyangkan dan mengerang. Padahal udah ia siapkan matang-matang, tapi malah berantakan semua.

Sementara Pak Komar, beliau memilih menjadi batu, tak mengeluarkan sepatah kata pun dan berusaha secepat mungkin agar lekas sampai di rumah. Kepalanya udah pusing, pening mendengar perkataan ceplas-ceplos dari majikan kecilnya.

***

Sesampainya di halaman depan rumah, Dara berteriak sekencang-kencangnya, meneriaki semua nama pembantu yang berjumlah enam orang.

"Gue mau kalian semua carikan kembang tujuh rupa. Sekarang!"

"Baik, Non," kompak mereka semua, meskipun kenyataannya pertanyaan-pertanyaan pada berjubel di kepala.

Para pembantu itu hanya bisa balik badan memunggungi Dara, nggak jalan, tetapi saling sikut satu sama lain serta bisik-bisik sendiri.

"Memangnya buat apaan sih kembang tujuh rupa?" tanya Tukiyem, gadis desa yang polosnya kebangetan.

"Nggak tau, mungkin buat manggil jin." Ini jawaban ngawur Paijo.

"Oh, buat sesajeeeen...." Nah ini nih, si Mbok Darmi yang apa-apa selalu dikaitkan dengan berbau-bau kejawen.

"Buat persembahan gitu, ya?"

"Kayaknya bukan. Aku yakin buat keramasan. Itu tuh siraman untuk calon pengantin." Sriani yang sok tau ikut angkat bicara.

Dara sih mau aja jadi pengantin tapi juga bukan hari ini. Ya, kali, usianya kan masih 16 tahun. Ini aja masih jomblo, ngejar pangeran juga belum kesampaian.

"Oh, aku tau. Palingan buat nyantet orang."

"YA, BUAT NYANTET LO PADA!" sembur Dara saat itu juga sambil melotot murka. Lagian, bisik-bisik tapi suaranya nggak dikecilin sama sekali. Dikira telinga dia budek, apa!

Serta-merta mereka semua berbalik dengan tampang cengengesan, ada yang garuk-garuk kepala sama lengan. Memasang wajah tanpa dosa.

"Ya, udah sana! Ngapain kalian pringas-pringis? Pokoknya malam ini harus dapet. CEPETAN!!"

"I-iya, Non." Setelahnya, para pembantu itu lari kocar-kacir.

Sebenarnya kalau boleh jujur, mereka nggak ada satu pun yang takut sama omelan Dara, bisa dibilang itu lebih normal untuk ukuran manusia. Masalahnya, majikannya ini kalau udah kumat bakal bikin repot semua warga rumah. Ia sering melakukan tindakan di luar nalar. Maksudnya, di luar batas wajar. Tuh anak bisa ceramah sepanjang hari non stop. Dan mereka, nggak ada satu pun mau kebagian diceramahin Dara yang terkenal lebay dan bikin sakit kepala.

"Ada apa sih, Ra? Malem-malem teriak-teriak kayak apaan aja. Tadi mama denger kamu minta kembang tujuh rupa, buat apaan coba?" tanya Nita—sang mama—tiba-tiba datang dari dalam.

"Haduh, Mamaaa. Anak cantikmu yang super duper seksi, baik hati, ramah, tidak sombong dan juga manisnya yang nggak ketulungan ini lagi ketiban sial, Ma."

"Udah, udaaaah. Mama udah pusing, denger ocehan kamu makin tambah pusing. Jawab yang bener, jangan ngelantur ke sana kemari."

"Ih, Mama. Nggak banget, deh," gerutunya kesal. "Dara tuh butuh sesuatu yang bikin apa ya, emm ... kayak—"

"Buat apa?!" potong sang mama dengan suara yang nggak ada lembut-lembutnya. Tatapannya memicing ke arah Dara seraya melipat kedua tangan di depan dada.

Sedangkan Dara sontak mengentakkan kakinya ke lantai, menghirup udara panjang lalu diembuskan dengan gaya lebay.

Ia menatap sang mama sejenak, kemudian melengos sambil manyun. "Buat menyucikan diri, Ma...," sahutnya sembari menyeret kakinya ke dalam rumah, dengan tak lupa membawa plastik yang berisi tisu di tangan kanannya.

Mendengar jawaban Dara, Nita hanya geleng-geleng kepala. Ia menghela napas dalam. Terkadang bertanya-tanya sendiri, dulu waktu hamil ia ngidam apa sampai punya anak sedemikian luar biasa.

Tapi jika dipikir-pikir, jawaban Dara tadi ada benarnya juga. Ia niatnya emang menyucikan diri dengan kembang tujuh rupa, cuma bedanya bukan tubuhnya, melainkan di bibirnya.

Dara nekat ingin menyucikan bibirnya agar kembali seperti semula. Biar bersih dan suci lagi. Biar nggak ada sesuatu apa pun dari Paman Agus melekat di bibirnya. Ih, amit-amit!

Di dalam kamar, sambil menunggu pesanan kembangnya datang, ia mengaduk-aduk meja riasnya yang berisikan berbagai macam alat kosmetik. Dara mengambil pensil bibir dan ia oleskan pada bibirnya. Tak selang berapa lama ia berganti memoleskan scrub bibir, dihapus lagi pakai tisu, ganti dengan masker bibir, hapus lagi, yang terakhir ia mengganti dengan lip gloss.

Tak ada beberapa detik Dara cepat-cepat berlari ke kamar mandi, menggosok-gosokkan bibirnya dengan sabun cuci muka serta air dari semua bekas kosmetik yang telah ia gunakan.

Sungguh, Dara frustrasi. Pokoknya ia bernafsu ingin membebaskan bibirnya dari segala macam musibah. Musibah yang nggak dia inginkan. Termasuk pencemaran racun dari bibir si paman yang udah mempunyai anak dua.

"Udah ilang belum ya, bekas bibirnya?" tanya Dara dengan dirinya sendiri di depan kaca. Ia monyong-monyongkan tuh bibir, mencoba meneliti kira-kira masih ada apa nggak bekas bibir Paman Agus yang menempel di sana. "Kayaknya udah, deh."

Namun, tahu-tahu bayangan kejadian saat dia sendiri yang mencium Paman Agus—yang dikira Kenn—dengan penuh perasaan di tempat gelap, mencecap-cecap kayak minum kecap, itu kembali melayang-layang di kepalanya, Dara kontan berteriak histeris. "Ampuuuun! Tuh bapak-bapak nggak capek apa ngejar gue terus?!"

Ia menggebrak wastafel di depannya. "Auw, sakiiiit!" ringisnya kesakitan.

Dara udah nggak tahan lagi, ia berbalik ke kamar dan loncat ke kasur, bergelung di selimut sambil teriak-teriak kayak orang gila.

Tok, tok, tok!

"Non Dara, Non. Buka pintunya, Non." Suara gedar-gedor dari luar membuatnya spontan menghentikan kelakuan abnormalnya.

"Siapaaaa...?"

"Saya, Non. Tukiyem."

"Ada apa, Yem?" Suara Dara mengudara sembari menyingkap selimut sampai batas perut.

"Non, ini kembang tujuh rupa udah dapet."

Seketika ia bangun dari tidur, lalu segera mungkin membuka pintu kamar. "Mana? Mana?"

Si Tukiyem buru-buru menyerahkan bungkusan plastik itu kepada majikannya."Ini, Non."

"Dapet dari mana, nih?" tanya Dara sambil membuka plastik itu dengan semangat membabi buta.

"Temannya Paijo ternyata jualan kembang kayak ginian, Non. Cuma ... karena udah malem, kembangnya agak layu, Non."

"Oh, nggak apa-apa. Nggak masalah. Yang penting dapet." Dara tersenyum tiga jari. "Bentar, lo di sini dulu ya," tambahnya seraya masuk ke dalam lagi dan mengambil uang seratus ribuan sebanyak enam lembar. "Ini, buat kalian pada. Dibagi ya."

Mata Tukiyem membola, ia mengangguk-anggukkan kepala antusias. "M-makas—"

BLAM!

Pintu keburu ditutup. "Sama-sama!" teriak Dara dari dalam kamar, terus ngacir ke kamar mandi untuk selesaikan ritual menyucikan diri atas nama bibir.

Beberapa menit kemudian, terlihat Dara keluar dari kamar mandi. Wajahnya cerah secerah lampu petromaks, senyum semringah tak luntur dari bibirnya. Sang kekuatan memancar pada gerak-gerik tubuh yang kelewat membara, seakan hari ini adalah hari di mana telah dilahirkannya kembali bibir yang suci dari hadas dan najis.

"Huft, akhirnya ... suci juga nih bibir. Udah wangi nih, udah wangi. Secara, baru dimandikan oleh keharuman kembang tujuh rupa yang berbeda-beda. Haruuuum...." Dara mulai kumat, ia meniup-niupkan napas dari mulutnya. Memonyong-monyongkan bibir, sesekali ia belai lembut bagaikan iklan seprai yang mejeng di layar kaca. "Kayak hidup lagi, gitu," tambahnya sembari senyum-senyum sendiri. Mulai sedeng nih anak. Nggak waras!

Tiba-tiba, terdengarlah suara nyanyian serta siulan dari luar kamarnya. Ia hafal banget siapa yang baru pulang kerja malam-malam gini. Kebiasaan. Ada tiga kemungkinan tuh anak pulang malam. Pertama, ia lagi dapat proyek besar dan rapatnya baru selesai. Kedua, nggak ada apa-apa, cuma sekadar malas-malasan terus ketiduran di kantor. Ketiga, apa lagi kalau bukan abis dari kantor terus mampir ke cewek-cewek mainannya yang seabrek. 

Dan Dara nggak peduli kakaknya itu dalam tahap pakai alasan yang pertama, kedua atau ketiga. Yang ia pedulikan sekarang harkat dan martabatnya kini udah jatuh terinjak-injak.

Mengingat lagi siapa dalang dari rencana busuk itu, Dara langsung geram setengah mati. Kebetulan. Kali ini ia nggak akan lepasin tuh setan buluk dengan mudah.

Cklek.

Bunyi pintu di sebelah kamarnya terdengar samar, bersamaan dengan emosi Dara yang naik ke ubun-ubun. Ia menggertakkan gigi dengan napas yang tak beraturan. Mata menajam, kedua tangan terkepal erat, hidung kembang kempis diiringi aura gelap yang kian memancar.

Dara mulai bersiap mengeluarkan seluruh kekuatan yang ia punya. Menghirup udara sebanyak-banyaknya, dan....

"KAK RIIIIIAAAAAANNNN!!!!!"

...........................***...............................

malapalas

NB :Untuk yang penasaran si Dara sampai salah nyosor Paman Agus, yang belum tahu kalian bisa baca JUDUL : FREL. Disana ada awal mula Dara membuat rencana laknat untuk Kenn dan apa saja yang telah dilakukan Dara untuk Kenn.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status