Share

2. Waktunya Melabrak?

Dok, dok, dok!

Terdengar bunyi pintu digedor oleh Dara. Bukan pakai punggung jari tangan, melainkan menggunakan kepalan tangan yang dihantam-hantamkan ke pintu hingga menimbulkan suara yang teramat kencang.

"Kak Rian, buka!"

Dok, dok, dok, dok!

"Gue tau lo baru dateng. Lo ada di dalem, kan?!"

"Nggak!" seru Rian yang kini duduk menyandarkan diri di sofa sembari merenggangkan ikatan dasinya.

"Nah, tuh lo yang jawab. Kalo bukan lo, terus siapa?"

Mendengar itu, Rian tertawa kecil seraya membuka kancing lengan kemejanya lalu ia gulung sampai siku. Sedangkan Dara, ia tengah menempelkan telinganya di daun pintu, menunggu sahutan dari kakaknya.

"Jelangkung," jawab cowok itu, asal.

"Hah, mana ada! Kak, buka dong. Gue mau marah, nih!"

Mau marah tapi ngomong dulu? Kalau udah begini, emangnya reaksi apa yang diharapkan? Otomatis hanya semburan tawa yang dikeluarkan Rian untuk adik satu-satunya itu.

"Setan lo! Malah ketawa." Dara semakin kuat menggedor-gedor pintu. Emosinya juga makin meningkat. "BUKA, NGGAK?!"

"DARAAAAAA! BISA DIEM, NGGAK?!" Teriakan Nita dari bawah tangga menggelegar sampai ke atas.

"KAK RIAAAN, MA, YANG SALAAAAH!" balas Dara tak kalah keras.

"NGGAK USAH GANGGU KAKAKMU, DIA CAPEK BARU PULANG KERJAAA!!"

Tiba-tiba pintu terbuka dan menampilkan cengiran khas Rian. "Ada apaan emang?"

"Ada apaan, ada apaan! Awas," sahutnya ketus, kemudian mendorong sang kakak. Dara sendiri langsung masuk menyambar guling besar dari tempat tidur dan, "Hyaaaat...."

BUGH!

Dara menggebuk punggung Rian dengan kekuatan penuh.

"Wadow! Sakit tau, Ra."

"Bodo! Gue sekarang bener-bener marah sama lo."

BUGH, BUGH!

Kali ini gantian kepalanya kena timpukan.

"Kepala gue ini woooy! Paling nggak bilang dulu, gue salah apa?"

"Rencana yang lo kasih gagal total, Kak!"

"Rencana yang mana?" tanya Rian sembari membentengi kepalanya dengan kedua tangan.

"Yang ngasih ide gelap-gelapan biar gue dapat rezeki nomplok dari Kenn tuh siapa, hah? Mau berlagak lupa, lagi!" terang Dara melotot sambil berkacak pinggang, masih membawa guling di tangannya.

"Oh, itu," timpal Rian seraya menahan tawanya. Ia berdiri tegak dan mencoba menampilkan tampang serius. "Beneran dong itu ide jenius, kreatif banget. Harusnya lo sukses besar," imbuhnya, tak lupa ia memberikan dua jempol di depan muka adiknya.

Seketika dua jempol penghargaan dari Rian ditangkis Dara dengan amarah membara. "Sukses, pantat lo! Gara-gara rencana lo, gue malu abis!"

"Hah, kok bisa?" ujarnya, sok bloon.

"Yaa ... i-itu," Dara mulai gelagapan, sementara Rian mengerutkan dahi menunggu kelanjutan ceritanya, "waktu lampu udah dimatikan Tomi dari bawah meja, Kenn yang ada di sebelah gue langsung gue sergap. Cumaa—"

"Cuma?" kejar Rian, berusaha keras menyembunyikan mimik wajahnya agar tetap konsisten seriusnya.

"G-gue kira yang gue cium tuh si Kenn, ng-nggak taunya waktu lampu dinyalain Tomi, malah Paman Agus yang gue c-cium."

"APA?!" Kontan Rian melotot, matanya kayak mau loncat. "Paman Agus??"

Cewek itu mengangguk lesu. "Kayaknya Paman Agus keluar dari bawah meja deh, soalnya waktu lampu padam, berisik banget tuh di bawah sana."

"Tunggu-tunggu! Paman Agus anak buah mamanya Tomi, yang pernah ke sini juga sama Tomi waktu itu kan?"

Dara mengangguk lagi, cuma kali ini ia hanya diam. Pasrah, bagaikan orang yang sudah siap menunggu putusan hakim.

"Yang bener?" Rian mulai heboh, diserbu rasa penasaran. "Bapak-bapak yang udah punya anak, terus punya kumis tipis itu?"

"Iyaaaaaaaaaa."

Cowok itu mendadak bengong. Sepertinya berusaha mencari kepingan otak yang tercecer gara-gara kepalanya abis ditimpuk Dara. Tapi beberapa detik kemudian....

"Bwahahahahaha...." Rian ketawa ngakak. Kenceng banget. Dia sampai membungkuk-bungkuk sambil megangi perutnya.

"Nggak usah ketawain gue!"

BUGH!

Dara memukul lagi, untungnya saat ini Rian bisa menangkis pukulan itu dengan mudah.

"Bodoh, lo! Tolol! Hahahaha...," semburnya, lantas berjongkok dan memukul-mukul lantai dengan telapak tangan. Lebay banget.

"Udah gue bilang, jangan ketawa!" Mata Dara makin melotot selebar-lebarnya. Asap di kedua telinga pun udah mendesak mau keluar.

Namun sayangnya, Rian nggak peduli. "Ngapain lo pake acara nyium segala? Gue bilang lo bakal dapat rezeki nomplok, maksudnya lo kan udah tau di mana tempat duduk Kenn, nah lo tinggal pura-pura nggak sengaja jatuh di pangkuannya kek, minta dipegangin kek, apaan kek, hahaha. Masa gitu aja nggak paham hahaha ... astaga, kenapa gue punya adek sebodoh ini Tuhan, wuahahaha....." Suara tawanya makin parah. Menggelegar ke mana-mana.

"Heh, bukan gue aja yang mikirnya gitu, Frel juga menjurus ke situ. Makanya gue praktekin."

Rian tertawa lagi. Kayaknya ia masih belum puas ngetawain adiknya. "Ya, makanya kalian cocok banget jadi sobat. Pikiran kalian sama, pada kotor semua. Gue bilang gelap-gelapan, kalian nyambungnya soal gituan hwahahaha. Kalian bener-bener parah!"

Mendengar hinaan dari kakaknya, Dara makin geram. Emosinya mendidih, apalagi kini Rian udah menyangkutpautkan sahabatnya dari kecil. Rasanya pengin sekali ia telan hidup-hidup tuh anak.

"Diaaaam!!" teriak Dara. "Dasar kodok jelek, setan bulukan, mati lo di tangan gue!"

Baru aja Dara mengangkat guling di tangannya, Rian kelabakan dan buru-buru menginterupsi. "Oke-oke, gue diam. Lagian, gue capek ketawa mulu." Melihat adiknya yang belum menurunkan tuh guling, cepat-cepat ia mencari obrolan memancing lagi. "Kenn nggak akan mudah lo tipu. Gue kenal Kenn."

Satu detik.

Dua detik.

Dara membatu.

"Lo ... kenal Kenn?" tanya Dara kemudian. Ia melongo kayak sapi ompong. Sedangkan Rian mengangguk-anggukkan kepalanya memasang wajah polos.

Guling yang masih Dara pegang di atas kepala, seketika terjatuh. Merosot ke lantai. Matanya berkedip-kedip layaknya lampu disko. Lalu setelah itu....

"Kenapa nggak pernah bilaaaang?!!" pekik Dara dan sontak menjambak rambut Rian dengan sekuat tenaga.

Ini lebih sadis lagi. Rian mengaduh-aduh waktu rambutnya ditarik sedemikian kuatnya. Kalau boleh milih ia mending milih digebuk guling daripada rambutnya yang kena sasaran.

"Eh, sakit-sakit, Ra. Bisa rontok ini rambut. Lo cewek apa bukan sih? Mau jadi adek durhaka lo, ya?!"

"Bodo! Kalo gue jadi adek durhaka, lo juga jadi kakak durhaka."

Sekali entakan Rian bisa membalik keadaan. Kini Kepala Dara udah berada di bawah ketiak kakaknya. Cowok itu menjepitnya hingga Dara berteriak-teriak kesakitan.

"Kak Riiiiiaaan, sakit!"

Rian diam aja, ia masih menikmati menyiksa adiknya. Sedari tadi ia emang sengaja nggak membalas apa pun yang dilakukan Dara, tapi sekarang ia tergelitik memberikan satu pelajaran khusus buatnya.

"Kodok jelek, lepasin!"

Sekarang tangan Rian berpindah, bukan menjepit kepala Dara lagi, melainkan mengapit tubuh Dara dan diseretnya ke tempat tidur. Ia membanting tubuh adiknya asal layaknya karung beras, dan langsung menggelitik di sekitar perutnya.

"Aaaaa, hentikan, Kak. Geli, tau! Hahaha...."

"Bilang kodok jelek lagi!" Ia terus menggelitik adiknya tanpa ampun.

"Nggak, Kak, nggak. Udah, gue nyerah. Geli, sumpah. Hahaha...."

"Bilang ampun dulu."

"Iya, iya, ampun, hahaha ..., udah, Kak. Ampuuun!"

Serta-merta Rian berhenti dari tingkah menjaili Dara. Selepasnya, ia beranjak ke arah meja kerja dan mengambil sekotak martabak kesukaan adiknya, yang sempat ia beli saat pulang kerja tadi.

"Nih, dimakan dulu," kata Rian sambil menyodorkan ke depan Dara.

Cewek itu mengubah duduknya dengan bersila. Untung aja sebelum berniat melabrak, ia udah mengganti gaun merahnya dengan setelan pakaian tidur.

Dara meraih dan melihat-lihat sisi kotak putih polos itu. "Apaan nih, Kak?"

"Buka aja. Entar juga tau," balas Rian seraya membuka lemari pakaian.

Begitu membuka kotak tersebut, Dara spontan memekik kesenangan. "Kyaaa, martabak telur!" girangnya sambil melahap satu suapan penuh ke dalam mulut.

Melihat itu, cowok yang baru pulang kerja tersebut tersenyum geli sembari geleng-geleng kepala. "Gue sebenernya udah menduga rencana lo bakalan gagal lagi."

Dara nggak peduli. Juga nggak mengomentari apa pun. Ia lebih memilih memperbaiki cara duduknya senyaman mungkin, kemudian melahap satu suapan besar lagi. Seolah-olah emosi dan rasa malu dari tragedi memalukan beberapa waktu lalu, menguar entah ke mana.

Ya, selalu seperti itu. Dara tuh cepet banget marah. Emosinya bisa meluap-luap, apalagi kalau udah berantem sama kakaknya. Tetapi dalam hitungan detik pun, tuh anak bisa langsung turun emosinya jika di depannya udah ada sogokan jajanan sederhana berupa martabak telur.

Dara kini tengah menikmati martabak telur di pangkuannya, sambil mengamati Rian yang sedang mengganti baju kerjanya dengan kaus berwarna biru.

Kalau mau jujur, ia sendiri ragu menyebut kakaknya sebagai kodok jelek atau berbau-bau buruk lainnya, karena sesungguhnya kakaknya itu jauh dari kata jelek. Terkadang ia juga sangsi apa benar ia adik kandungnya, mendapati apa yang ada pada kakaknya itu berbanding terbalik dengan dirinya semua. Apalagi warna kulit yang ia punya sangat kontras dengan kulit kakaknya yang serba putih dan bersih. Kenyataan yang ... ugh sangat menyakitkan!

Rian emang mirip banget sama mamanya, putih serta mempunyai rambut lurus, sedangkan dirinya lebih condong kepada papanya yang hitam dan rambut keriting. Jika menginginkan rambut lurus, ia harus bersusah payah memakai alat catok untuk meluruskan rambutnya. Dan demi Tuhan, prosesnya lama banget, Dara sampai lumutan dan pengin pingsan.

Tiba-tiba Rian menggeser kursi kerjanya dan duduk di hadapan Dara. "Mau gue lanjutin nggak kenapa gue bisa kenal Kenn?"

Dara manggut-manggut dengan mulut penuh makanan. "Mau, mau!"

"Lo pernah bilang kan Kenn itu sepupu dari Tomi?" tanyanya yang segera dijawab anggukan oleh Dara. "Besok siangnya sebelum rencana lo dimulai, gue langsung kontak Tomi buat minta fotonya Kenn. Nah, dari situ gue tau wajah Kenn."

"Emangnya, lo tau Kenn itu siapa, Kak?" tanya Dara sehabis menelan suapan martabaknya.

"Sebenernya kalo dibilang tau, ya, nggak sebegitu tau," ucapnya. Rian melipat bibirnya ke dalam sembari berpikir sejenak. "Cuma, dulu perusahaan Kenn pernah pakai jasa perusahaan bokap buat bangun cabang di luar kota. Dan lo tau, setelah desain para arsitek selesai dibuat, hanya Kenn yang memegang kendali penuh keputusan bisa apa nggaknya proyek itu berjalan."

"Hah? Masa sih, Kak?" Dara menganga, kaget.

"Iyalah. Masa gue bohong?! Gue sendiri yang waktu itu ikut presentasi sama beberapa orang kantor."

"Lo kok nggak pernah kasih tau gue?"

"Buat apaan? Emangnya kapan lo tertarik sama perusahaan bokap?!" tukas Rian, nada suaranya agak meninggi. Sementara Dara cengar-cengir di tempat.

Perusahaan keluarga Dara emang bergerak dalam bidang kontraktor. Salah satu perusahaan yang nggak bisa dipandang remeh, karena perusahaan itu terkenal menangani beraneka macam proyek-proyek besar.

Udah banyak perusahaan ternama yang mempercayakan kepada perusahaan tersebut, dari pembangunan sebuah apartemen, mal, hotel berbintang, dan berbagai perusahaan besar lainnya.

"Gue kan nggak bisa terjun di perusahaan kayak gitu, Kak. Meski kata bokap bakal diajari terlebih dulu, yang namanya nggak tertarik ya ..., nggak bisa dipaksa," ujar Dara sambil manyun. Ia mengedikkan bahunya disertai kerlipan mata yang membuat mual Rian. "Gue sih lebih milih ngembangin butiknya nyokap, secara gitu gue kan juga suka fashion, hehehe...."

Rian hanya menggelengkan kepala. Tapi jika dipikir-pikir, mending Dara emang nggak usah ikut campur sama perusahaan bokapnya, ia khawatir bukan makin maju tuh perusahaan malah dibuat bangkrut dalam sekejap.

Kan sayang, bokapnya udah banting tulang besarin perusahaan, harus terpaksa gulung tikar hanya karena ulah adiknya. Bisa-bisa nanti si Dara bukan sibuk kerja, melainkan sibuk menyeleksi para cowok tertampan di kantor. Lebih gawatnya lagi, bisa jadi Dara membuat peraturan baru untuk para cowok terkeren dan tertampan akan mendapatkan gaji lebih besar ketimbang pegawai lainnya.

Rian bergidik ngeri. Ia nggak bisa bayangkan bagaimana nasib perusahaan jika dipegang Dara. Akankah menaikkan taraf hidup keluarga atau malah menyeret keluarga jatuh dalam jurang kemiskinan?

"Teruuuus, gue harus gimana dong buat dapetin Kenn, Kak?" Wajah Dara kembali tertutup mendung. Menekuk, tapi sambil nyemilin martabak. "Pangeran masa depan gue itu, Kak. Hiks."

Rian menghela napas sembari garuk-garuk kepala. "Kayaknya lo perlu ekstra usaha, Ra. Kenn kelihatannya cowok cerdas, nggak seperti lo yang bisanya hantam kromo."

"Maksud lo? Ekstra usaha kayak gimana? Gue udah ngelakuin semua, semuaa ..., semuanya, Kak." Nah, mulai lebay lagi si Dara. Kedua tangannya ia rentangkan semakin melebar, bagaikan ayam berkokok yang siap terbang tapi tetap nggak bisa-bisa. "Gue udah beli gaun ekstra mahal, ekstra terang mentereng. Gue juga udah siapkan restoran mewah dan menu yang harganya gila-gilaan. Kurang ekstra usaha apalagi coba?"

Dong, dong, dong!

Rian menggetok kepala Dara tiga kali.

"Dari dua kalimat yang gue sebutin, kenapa cuma kalimat pertama yang nyantol di otak lo, hah?! Denger baik-baik ya, Kenn itu cowoknya cerdas dan kayaknya punya posisi tinggi di perusahaan. Gue juga pernah dapat kabar bahwa Kenn menanam saham di beberapa perusahaan milik keluarganya, tapi soal itu gue nggak tau pasti. Kalo lo mau main-main sama cowok seperti Kenn, lo harus tau dulu siapa yang lo hadapi."

"Maksudnya apaan sih, Kak?"

"Ya, Tuhan ... nih, anaaaaak!" Rian sontak berdiri dan menjambak rambutnya sendiri. Ia benar-benar frustrasi. Ngomong dengan adiknya sama aja ngomong dengan ayam kalkun.

Masih mending ayam kalkun bisa dijual terus dapat banyak untung, nah kalau adiknya, emang siapa yang mau?

Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya. Mencoba bersabar, kemudian duduk lagi menghadap Dara. "Jadi intinya, lo harus cari tau dulu siapa Kenn, baru lo pasang strategi lagi," jelasnya seraya menekan di setiap kata-kata yang ia ucapkan.

Dara bertepuk tangan heboh. Ia menjentikkan kedua jarinya. "Aha! Ide bagus. Gimana kalo kita sewa orang yang udah ahli buat cari tahu info siapa Kenn sebenarnya?"

"Kita? Lo aja, kali."

"Kok cuma gue? Lo juga harus tetap tanggung jawab dong, Kak. Kan lo yang buat gue salah target."

"Heh, bocah!" Rian menoyor dahi Dara. Lama-lama geregetan juga. "Lo yang salah nyosor orang, ngapain gue yang mesti tanggung jawab?"

"Pokoknya gue mau lo yang tanggung jawab. Siapa coba yang kasih ide laknat itu?" Dara mendelik, namun, mendapati Rian nggak terpengaruh, kontan ia mengubah mimiknya menjadi adik ternelangsa sedunia. "Uang tabungan gue udah nipis nih, Kak. Gara-gara buat beli gaun sama sewa tempat, juga makanan di restorannya Tomi, hiks, hiks. Lagian, kan CEO kayak Kak Rian pastinya punya banyak uang."

"Siapa bilang gue CEO?" sahut Rian tajam sambil menyentil jidat Dara. "Gue cuma manajer biasa, masih perlu belajar banyak. Masih jauh kalau sampai di posisi itu!"

"Ya, tapi kan, Kak Rian digaji bokap jauh lebih besar dibanding manajer lain," jawab Dara, meringis sembari mengusap-usap keningnya. "Apalagi sama gue. Uang gue mah apaan atuh, cuma angka nol di belakang koma. "

"Nggak sekalian bilang, remahan di dalam kaleng khong guan?" sindir Rian yang kontan membuat Dara terkikik-kikik.

"Ayolah, Kak. Pliisss, nggak kasian apa sama adek lo ini. Ya, Kak? Kaaaak...."

Rian diam. Melipat tangannya di depan dada. Tak menghiraukan rengekan Dara.

Sementara itu, cewek yang kini memakai setelan baju tidur bermotif polkadot, menyodok-nyodokkan kotak putih di lengan Rian. "Nih, demi lo, gue bagi deh martabak kesukaan gue, hehehe...." Ia cengengesan.

"Dih, ngerayu." Rian melirik sekilas. "Ck, cuma sepotong, lagi!"

"Kan tinggal ini doang, Kak," ucapnya lirih, tapi seenak udelnya ia malah asal comot sepotong martabak yang tinggal seuprit itu, lalu dimasukkan ke mulutnya.

Seolah-olah sedari awal emang dia nggak punya niat buat ngasih ke siapa pun juga.

Tiba-tiba Rian berdiri dari duduknya. Dara kelabakan. Ia refleks menangkap paha kanan kakaknya yang terlihat akan berbalik, membuat ia terjatuh ke bawah dan ikut terseret.

Masalahnya tuh anak nggak mau diam, malah berteriak-teriak layaknya orang teraniaya.

"Lo apaan sih? Lepas nggak?!" perintah Rian seraya menggerak-gerakkan kakinya.

"Nggak! Pokoknya Kak Rian harus bantu gue," sahut Dara, semakin mempererat dekapan tangannya.

"Astaga, ini gue mau ambil minum, Ra. Nggak usah lebay, kenapa sih!"

"Nggak mau. Kak Rian harus bilang iya dulu. Cari orang untuk disewa dan bayarnya pake uang Kak Rian ya? Ya, ya, ya? Pliiiiisss...."

Rian mengusap wajahnya kasar. Mau tidak mau, ia akhirnya mengangguk menuruti kemauan adiknya, hingga membuat Dara langsung lonjak-lonjak saking senengnya.

"Heh, jangan seneng dulu! Sekarang gue mau tanya, lo tadi kan barengnya sama Frel, pulangnya lo sama dia juga nggak?"

Seketika Dara berhenti dan menepuk jidatnya. "Ya, ampuuuuun, gue lupa. Frel ketinggalan!"

...........................***..............................

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status