Share

3. Atur Strategi

Author: malapalas
last update Last Updated: 2022-01-02 16:23:40

"Tom, tunggu!" Suara Dara melejit bak roket, menyerang sesosok cowok yang berjalan beberapa meter di depannya.

Cowok yang lagi memainkan kunci mobil di tangannya sontak berhenti dan berbalik ke belakang. Ia mengerutkan dahi begitu melihat sahabat centilnya berlari ke arahnya.

"Tom, huft, huft, huft...."

"Lo kenapa? Mau ngelahirin?"

"Sembarangan! Bentar, gue atur napas dulu. Huft, huft, huft, huft—"

"Oh, kirain abis ciuman sama Paman Agus, lo bakal langsung ngelahirin anak."

"Ngawur! Amit-amit, jangan sampai," pekik Dara, yang membuat Tomi langsung terbahak. "Ikut gue, yuk!"

"Eh, ke mana dulu?"

"Udah, ikut aja deh. Penting banget ini, demi  hidup dan mati gue."

Tomi mencibir, meskipun ia tahu setiap perkataan Dara nggak ada yang bisa dipercaya—kebanyakan suka dilebih-lebihkan—tetapi ia tetap pasrah saat tangannya diseret ke arah taman di belakang gedung guru.

"Ra, di sini aja. Nggak usah jauh-jauh."

"Di sini, ya? Bentar, bentar." Lehernya celangak-celinguk melihat ke segala arah.

"Lo kenapa, sih? Kesambet?"

"Gue lagi cek, nih. Siapa tau ada orang yang ngikutin kita terus mau curi dengar." Kepalanya masih aja sibuk menengok sana-sini. "Nggak ada kan, ya?"

"Nggak usah kepedean. Palingan yang ngikutin kita pada khawatir lo bakal perkosa gue."

"What?? Emang lo mau gue perkosa, Tom?" tanya Dara balik dengan mata yang berbinar-binar. Wajahnya juga spontan maju. "Mau, ya? Ya, ya, ya?"

Sontak Tomi menoyor jidat Dara dengan jari telunjuknya. "Ogah! Gue nggak bakal doyan sama lo meski datangnya Izrail."

"Sialan lo! Malaikat pencabut nyawa lo bawa-bawa. Emang gue cewek apaan?"

"Cewek sinting," sahut Tomi sekenanya.

"Ugh, sakit hati gue, Tom. Hiks, hiks," ucap Dara sembari bergaya sedih dan seperti biasa, tangannya menekan dada dengan lebay.

Cowok itu tertawa geli seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ada apaan lo bawa gue ke sini?"

Sepersekian detik wajah yang awalnya tampak sedih, kini seketika berubah normal dan serius lagi. "Oh, oke. Tapi ... lo harus jawab jujur, ya?"

"Ya, tergantung. Pertanyaan lo bermutu apa nggak?!"

"Oh, bermutu banget. Banget, malah!" ujarnya yakin. Ia berpikir sebentar, lalu tersenyum manis ke arah Tomi. "Lo ... tau nggak alasan Paman Agus ada di bawah meja?"

"Paman Agus lagi? Serius? Hahahahaha!"

"Hih, apaan, sih!" Dara memukul bahu Tomi sambil mencak-mencak. "Gue penasaran banget ini. Jawab, dooong...."

"Oke-oke, gue jawab," ucap Tomi kemudian, meskipun tawanya masih menyembul sedikit di sudut bibirnya. "Sorry, Ra. Nyokap gue ternyata diminta Kenn buat pasang Paman Agus di bawah meja sebelum kita masuk ruangan. Kenn udah curiga dari awal sama rencana yang lo bikin."

Dara tersenyum kecut, lalu menelan ludah susah payah. Benar dugaan kakaknya, Kenn cowok cerdas yang nggak gampang masuk jebakan.

Demi Paijo yang tadi pagi nyungsep di comberan, ia harus segera jalankan strategi barunya!

Dara memainkan bibirnya sambil memikirkan langkah pertama yang akan ia ambil. Namun, mendadak ia teringat sesuatu. "Tom, lo semalam bareng sama Frel, nggak? Duh, gue bener-bener lupa."

"Lo tuh, ya! Bukannya waktu berangkat dia barengnya sama lo ke restoran?"

"Iya, sih, Tom," jawabnya, lalu meringis. "Gue waktu itu nggak sempat mikir apa-apa. Gue keburu malu abis tau, nggak!"

Cowok yang mencangklongkan tas punggung di bahu kirinya itu sontak menghela napas. "Gue sebenarnya juga lupa ninggalin Frel. Setelah sadar ada yang nggak beres, gue langsung ajak pulang Paman Agus sama minta penjelasan nyokap di rumah," timpalnya. "Tapi untung tadi pagi waktu gue hubungi Kenn, dia bilang semalam udah antar Frel pulang."

Dara lega. Tetapi tak selang berapa lama ia baru sadar dan kontan menangkup mulutnya dengan kedua tangan. "APA?!" Matanya melebar. "KENN PULANG SAMA FREL??"

Tomi mengangkat sebelah alisnya sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"HUAAAAAAA! KENAPA SELALU FREL YANG BERUNTUUUNG??" Dara kembali mencak-mencak, malah lebih dahsyat lagi. Ia sampai naik ke atas bangku taman dan menangis kencang di sana. "KEEEEENN, LO PEKA DONG SAMA GUEEEE. HUUAAAAA!"

"Ra, Ra, lo ngapain di situ?" Tomi panik. Dengan segera ia menghampiri sahabatnya. "Turun, woy! Lo jangan bikin malu gue ya, Ra," tambahnya sambil menarik-narik rok seragam Dara. "Cepet, turun! Pake nangis, lagi! Kalo kumat jangan sekarang, elaah. Gue mampusin juga lo lama-lama. Lo turun nggak?"

Melihat Tomi yang menunjukkan wajah geramnya, serta-merta Dara turun dari bangku tersebut. Ia sesenggukan sembari mengelap ingusnya.

"Lo jangan marah gitu dong, Tom. Jahat banget sih sama gue. Hiks."

"Ya, elaaah, Ra. Lo jadi cewek drama banget sih. Soal Frel, kan lo sendiri yang salah. Kalo lo nggak ninggalin Frel, dia juga nggak bakal bareng sama Kenn. Masih untung ada yang mau antar Frel, kan?"

Dara mengangguk-angguk lesu. "Gue nggak marah sama Frel, gue juga nggak nyalahin Frel, kok. Gue cuma kasian aja sama nasib gue yang nggak pernah sekalipun bisa bareng sama Kenn," balasnya, lalu memasang wajah cemberut. "Boro-boro bareng, ngomong aja rasanya kayak sama kemoceng, dan gue debunya. Dia tuh nggak bisa gue jangkau, Tom. Jaaaauuuuuuh banget. Tapi gue suka. Dia ganteng, dia cool, dia keren, diaaaa—"

"Udah-udah! Kalo gue biarin, lo pasti bakalan ngelantur kayak biasanya," potong Tomi.

Cowok itu mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendapati beberapa cewek mencuri-curi pandang dan tersenyum ke arahnya. Seperti biasa, ia membalasnya dengan senyuman maut sang playboy, yang seketika mengakibatkan jantung mereka jumpalitan. Efek dari cowok ganteng mah gitu!

"Ada yang mau lo bicarain lagi nggak? Kalo nggak, gue mau langsung—"

"Eh, masih-masih," sela Dara sembari cengengesan, hilang udah tangisannya beberapa menit lalu. "Gue kali ini lagi jalanin rencana. Dan gue nggak mau diganggu. Nanti kalo Frel tanya kenapa gue jauhin dia, bilang sama Frel nggak ada apa-apa."

"Lo mau bikin rencana apa lagi?" tanya Tomi dengan pandangan penuh selidik.

"Ada deh. Pokoknya lo bilang gitu sama Frel, cuma buat sementara kok. Gue cuma mau mastiin aja. Nggak lebih. Ya, Tom? Ya, ya, ya?"

"Ya, udah, terserah lo. Asal jangan aneh-aneh. Awas aja sampai ada apa-apa sama Kenn. Gitu-gitu dia juga sepupu gue, Ra!"

"Iya-iya. Gue nggak bakal ngapa-ngapain Kenn. Emangnya gue punya tampang kriminal, apa!"

Sayangnya Tomi nggak menanggapi kicauan Dara. Ia memilih berbalik dan berjalan menjauh seraya menggandeng seorang cewek cantik yang tengah menunggunya di ujung belokan. Entah cewek mana lagi, yang pasti Tomi tahu tuh cewek sedari tadi memberikan kode-kode untuknya. Kode minta digebet.

Sementara Dara, yang awalnya mencebik setelah ditinggalkan, tak ada beberapa detik ia juga ikut melesat dengan semangat berkobar. Matanya mengedar ke segala arah, celangak-celinguk dengan pantat yang diserong ke kanan kiri dengan kepercayaan diri tinggi.

"Udiiiiiiiiiiin!" teriaknya begitu penglihatannya menangkap cowok yang ia cari. "Din, tunggu. Woy, Din!"

Dara mempercepat larinya di koridor sekolah. Sedangkan cowok tersebut berlagak nggak mendengar, masa bodoh. Ia lagi sibuk tebar pesona sama semua cewek yang ia anggap takjub akan tampangnya. Padahal, mereka lihatin dia tuh cuma karena heran sama penampilannya.

Bayangin aja, Udin memakai seragam putih sembari kerahnya ditegakkan, rambut mengkilat yang disisir menyamping dengan pucuk bagian depan menyembul ala gaya Superman, ia juga melipat bagian lengan pendeknya hingga ujung lengan teratas. Jangan lupakan juga gaya tiupan napas dari bibirnya dibarengi dengan telapak tangan yang diletakkan di bawah dagu, yang seketika membuat para cewek langsung muntah di tempat.

"UDIN SEDUNIIIIAAAAA!!"

Sontak si Udin mengerem langkahnya dan membalikkan badan dengan tangan yang mengelus-elus dada ketika mendengar suara terompet pecah milik Dara.

"Ra, jangan asal panggil nama orang, dong. Gue kan udah bilang dari awal perkenalan di kelas. Nama gue itu bukan Udin Sedunia, Ra, tapi ... SABARUDIN yaitu Udin yang nggak suka marah," ralat Udin saat Dara berhenti di depannya.

Dara spontan menggeplak lengan Udin. "Heh, siapa suruh waktu gue panggil, lo nggak noleh-noleh!"

Udin mengusap-usap lengannya. Pringas-pringis di tempat. "Lo sih nggak liat sikon, Ra. Gue kan lagi nyapa para penggemar. Coba liat di sekeliling gue."

Dara refleks mencari-cari di sekitarnya, tengak-tengok namun hanya kosong yang ia dapati. "Mana?"

"Lho, yang tadi ke mana, ya? Kok nggak ada?" Wajah pilon Udin tampak, plonga-plongo. "Kok cepet banget ngilangnya?"

"Ah, lo ngaco. Jangan-jangan penggemar lo setan lagi hahaha...." Dara ketawa ngakak.

"Yeeee, mana ada. Tadi jelas-jelas kakinya pada nempel di lantai kok. Pasti ini gara-gara denger suara lo nih, Ra. Pada bubar semua."

Cewek yang mengikat rambutnya menyamping itu sontak menempeleng kepala Udin.

"Adow!"

"LO BILANG APA?! GARA-GARA GUE?!" Dara murka sambil berkacak pinggang.

Cowok yang sampai sekarang tetap konsisten bahwa cita-citanya masih mau mondok di pesantren itu langsung keder. "Sabar, Ra, sabar. Hehehe." Udin cengengesan sembari pelan-pelan langkahnya mundur ke belakang.

Mendapati Dara yang masih pasang tampang horor, bahkan matanya kini sudah melotot bak calon mertua yang galaknya minta ampun. Ia akhirnya nggak ada pilihan lain kecuali ... LARI!

"Eits, lo mau ke mana?"

"Aduh-duh-duh, Ra. Telinga gue," rintih Udin saat telinganya udah keburu dijewer sama Dara. "Akit, Ra. Akiiiit...."

"Gue nggak peduli! Mau bilang sakitlah, akitlah, bodo! Pokoknya gue mau ngomong dulu sama lo, Din."

"Iya, Ra, iya. Gue nggak bakalan kabur lagi. Adow, tapi lepasin dulu ini."

Selepas Udin berucap, tangan Dara spontan terlepas. Cewek itu menyeringai puas.

"Ada apa emang, Ra?" tanya Udin kemudian, tapi matanya bukan terfokus pada Dara melainkan siswi-siswi yang mulai melewatinya. Ia bahkan dadah-dadah nggak jelas.

"Oy, Din! Serius, napa. Mau gue tempeleng lagi?"

Cepat-cepat Udin menoleh ke arah Dara. "Eh, iya-iya, Ra. Maaf. Sekarang fokus kok gue. Serius."

"Oke, gini." Dara menghirup napas panjang sebagai permulaan. Namun beberapa detik setelahnya, bukannya ngomong langsung, malah ia sibuk dengan masalah kulitnya. "Tapi kok, kulit gue kering begini ya, Din? Gue kemarin udah spa belum, ya?" Dara mengipas-ngipas wajahnya dengan telapak tangan kanannya. "Wajah gue kok jadi gerah gini? Tangan gue juga, Din."

Udin melongo. "Jadi lo dari tadi cuma mau ngomong gini doang ke gue, Ra?"

Seketika Dara sadar kembali. Ia terdiam sejenak, lalu cengar-cengir di hadapan Udin. "Nggak kok, Din. Itu tadi cuma permulaan."

Udin manggut-manggut kayak orang linglung.

"Jadi gini, Din. Pagi ini, eeee, gue ... mau kita saling tukar tempat duduk. Gimana?"

Udin masih manggut-manggut. "Kalo misalnya gue nggak mau gimana?"

"POKOKNYA LO HARUS MAU! TITIK!"

"Astagfirullah. Allahu akbar!" Udin terperanjat. "Itu kan cuma misal, Ra."

"Nggak ada misal-misal! Pokoknya gue mau lo turutin apa mau gue. Atau kalo nggak maauuu ...," Wajah Dara maju sambil mendelik tajam, "gue bakal minta sama nyokap buat nggak ambil lagi sepatu di pabrik keluarga lo. Kontrak kerja sama batal!"

"Ya, udah. Lo doang kan yang mutusin kerja sama? Ah, itu mah nggak ada efeknya buat keluarga gue, Ra," sahut Udin cuek. "Sepatu berhak tinggi khusus wanita karier buatan pabrik keluarga gue itu nggak ada yang nandingin. Udah tersebar di mana-mana. Udah terkenal...," lanjutnya mulai songong.

Dara mencebik. "Oke. Kita liat aja. Nanti di koran bakalan ada berita butik terkenal yang selalu mengusung brand ternama dari nyokap gue berseteru sama pabrik yang katanya terkenal tapi ternyata kualitas jelek, ancur, dan yang membuat itu terjadi adalah anaknya sendiri yang bernama Saaaabaaaaruuudiiiiiin."

"Lha, lha, kok gue diikut-ikutin, Ra?" protes Udin.

"Ya, iya. Kan tiap lo ikut-ikutan siapin barang kiriman di butik nyokap, selalu ada barang yang return kan? Ada kotoran remahanlah, sepasang tapi posisi kiri semua, kadang kanan semua. Ada yang penyok, bekas diduduki nih kayaknya. Malah ada bekas iler kayak lo yang sering ileran kalo tidur di kelas. Nggak salah lagi, pasti tuh kerjaan lo semua."

"K-k-kok lo t-t-tau semua, Ra?" Udin berubah gelagapan.

"Lo pikir gue nggak pernah ngecek langsung kiriman barang kayak gitu, hah?! Masih untung waktu itu gue nggak bilang sama nyokap, gue cuma minta karyawan langsung buat benerin semua. Palingan yang gue minta tukar cuma bagian sepasang yang salah."

Dara memelintir ujung rambutnya, dan berpikir lagi. "Tapi ... kalo lo nggak nurutin apa mau gue, terpaksa gue bakal bongkar semua ke nyokap. Biar nyokap marah, biar ngamuk, biar damprat nyokap lo. Terus kontrak kerja sama batal, nama baik keluarga lo tercoreng, terus apa lagi ya? Oh, lo bakal kena hukum, uang saku lo dipotong, lo nggak bakal dapat jatah makan, nyokap bokap lo kena stroke, sakit jantung, terus—"

"Ra, Ra, udah-udah!" Celotehan Dara langsung di-cut sama Udin. Dia jadi ikut ngeri sendiri. "Doanya jangan serem-serem gitu, dong. Iya, iya, gue bakal pindah bangku," imbuh Udin sambil cemberut yang nggak ada imut-imutnya sama sekali.

"Nah, gitu dong. Bagus!" Ia tersenyum semringah, lantas terdiam dan melihat Udin lagi. "Kenapa masih di sini? Cepetan masuk kelas!"

Tanpa menjawab, Udin langsung melengos dan berjalan ke arah kelas sambil menunduk. Ia menggerutu nggak jelas tanpa melihat depan, hingga akhirnya jidatnya kejedot tembok di paling ujung.

..........................***................................

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cewek Agresif VS Cowok Polos   105. TAMAT

    Beberapa bulan setelahnya....Pesta pernikahan itu digelar dengan sangat megah. Tampak di depan sebuah vila besar dan mewah dipenuhi dengan rangkaian bunga cantik. Beraneka macam bunga nan segar membentuk sebuah karya yang begitu memukau seakan ikut menyambut para tamu undangan yang akan datang.Tak hanya itu, selain memiliki kolam renang besar dan ruang internal dengan kamar-kamar yang menarik, vila 3 lantai tersebut juga dikelilingi pemandangan laut berwarna biru yang sangat indah. Pemandangan yang begitu menakjubkan, membuat kita merasa terhanyut oleh sentuhan pesonanya.Begitu masuk, kita akan disuguhi oleh permadani berlapis emas yang membentang dan berbagai furniture mewah dengan hiasan dekorasi pernikahan yang terlihat elegan dan menarik.Suasana sangat meriah dan bahagia. Para tamu undangan tampak antusias dan saling bersenda gurau sambil menikmati berbagai hidangan lezat yang menggugah selera.Ya. Rian dan Inez akhirnya telah resmi menikah. Dan hari ini adalah hari diselengga

  • Cewek Agresif VS Cowok Polos   104. Akhir dari Penderitaan

    "Kamu nggak apa-apa?"Mata Inez mengerjap pelan, tetapi hanya diam. Ia seolah belum bisa memahami kejadian terakhir yang terjadi di depannya.Pria itu memeluknya dengan posesif dan sangat hati-hati. Inez mengenal pelukan hangat itu, kepalanya mendongak dan menatap cowok di depannya.Seketika Inez menangis dalam pelukan itu. Ia terisak keras.Rian. Ya, Rian. Akhirnya kekasihnya datang dan menghajar pria brengsek itu. Tangisan Inez makin kencang, dan Rian pun makin memeluknya erat. Setelah beberapa saat ia buru-buru melepas pelukannya, dengan panik mengamati tubuh Inez dari bawah sampai atas. Seolah ia takut telah datang terlambat dan mengakibatkan sesuatu yang tidak ia inginkan terjadi pada cewek yang dicintainya."Sayang, lo beneran nggak apa-apa?" tanya Rian lagi sembari menangkup wajah Inez.Ia bahkan tidak sadar dua pertanyaan yang ia lontarkan barusan menjadi belepotan, dari memanggilnya dengan kata "kamu" lalu pertanyaan berikutnya menggunakan kata "lo". Rian benar-benar diserang

  • Cewek Agresif VS Cowok Polos   103. Kenyataan yang Telah Lama Disembunyikan

    Brak!Pintu itu dibuka agak kasar oleh seseorang hingga membuat Inez kaget dan terbangun dari tidurnya. Dan benar saja orang itu penculiknya, cowok brengsek yang juga adalah ayah tirinya Inez.Ari terdiam sejenak. Ia tidak boleh terlalu lama di satu titik jika tidak mau ketahuan, apalagi ada anak sekecil Tio dan Bella. Tempat persembunyian mereka terlalu berisiko dan ia tak mau terjadi sesuatu terhadap mereka semua.Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan mengajak mereka menjauh dari gudang. Ia meminta Dara menghubungi Rian, juga polisi untuk menyergap si pelaku secepat mungkin.Sementara itu, Inez yang terbangun dari tidurnya menyipitkan mata tatkala sinar matahari pagi masuk melalui pintu yang dibuka dan tepat mengenai netranya."Selamat pagi, Sayang."Mendengar suara menjijikkan yang ia kenal tersebut, seketika Inez tersadar, lalu menoleh ke arah sumber suara. Netranya membelalak panik. Saat Inez hendak bergerak ia merasa tangan dan kakinya tak bisa berfungsi. Sehingga ia haru

  • Cewek Agresif VS Cowok Polos   102. Penculikan

    Hari ini demi sang kakak, Dara terpaksa bolos sekolah. Mau bagaimana lagi, semalam kakaknya pulang larut malam dalam kondisi yang mengenaskan. Baju kantor yang kusut, bau dan kotor. Belum lagi rambut yang acak-acakan dan dengan wajahnya yang begitu menyedihkan.Saat ia menyerbu kamarnya dan memaksa Rian untuk bicara, ternyata hal yang mengejutkan terjadi. Calon kakak iparnya diculik.Oh, tidak! Itu memang hanya pemikiran Dara, akan tetapi begitu sang kakak menceritakan awal mula Inez menghilang, tentu saja semua berpusat pada kemungkinan tersebut. Dan Dara sangat yakin calon kakak iparnya yang cantik itu pasti diculik oleh pria brengsek yang telah memerkosanya dulu.Membayangkan kenangan buruk dari calon kakak iparnya itu lagi, Dara merasakan kesedihan yang mendalam. Menurutnya memori tersebut sangat kejam dan memilukan.Maka dari itu, pagi-pagi meski ia pamitnya pergi sekolah—saat ia tiba di depan gerbang dan setelah menyuruh sopir pribadinya pulang—nyatanya ia tidak masuk melainkan m

  • Cewek Agresif VS Cowok Polos   101. Rahasia Terungkap

    Rian segera memarkirkan mobilnya di depan minimarket begitu melihat mobil yang ditumpangi Desi dan Dina telah berjalan menjauh. Cowok itu sontak berlari mengejar Devita yang berjalan tak seberapa jauh darinya.Rian sengaja menunggu sampai Devita berbelok, di sebuah gang yang cukup sepi ia memanggil Devita yang kini menoleh ke arahnya."Tante, selamat malam," sapa Rian dengan sopan saat sudah tepat di depan Devita, dan memang saat ini waktu menunjukkan pukul 6.00 malam."Nak Rian? Malam juga. Ada apa kok malam-malam ke sini?" jawab Devita, dahinya berkerut bingung."Begini, Tante. Saya cuma mau tanya, apa ... Inez sudah pulang ke rumah?"Ada sekilas kilatan kaget terlintas di mata itu. "Bukannya Inez bersama Nak Rian?" tanya balik Devita. Tiba-tiba pandangannya meredup dan berubah sedih. "Semenjak Inez memutuskan pergi dari rumah, sampai sekarang dia nggak pernah pulang, Nak," lanjutnya, lalu berubah panik. "Katakan sama tante, apa terjadi sesuatu dengan Inez?"Sejenak Rian terlihat rag

  • Cewek Agresif VS Cowok Polos   100. Inez Menghilang

    Sore hari sekitar pukul 16.45 Rian tiba di depan rumah kontrakan yang bergaya minimalis, tentu saja menemui pujaan hatinya. Ia buru-buru memarkir mobil dan turun sambil membawa dua buket bunga yaitu mawar merah dan bunga tulip putih. Inilah alasan mengapa ia telat datang. Sepulang kerja bukannya langsung menemui sang pacar sesuai janjinya, ia malah mendatangi toko bunga terlebih dahulu.Cowok itu tak tahu pacarnya menyukai bunga apa, karena ia takut salah sehingga ia memilih dua macam bunga sekaligus agar nanti sang kekasih bisa memilih sendiri di antara kedua bunga tersebut. Setahu Rian dari pengalaman dia sebagai playboy selama ini—dari banyaknya cewek yang ia kencani—mereka lebih dominan menyukai bunga mawar dan tulip putih. Tapi jika nanti Inez tidak menyukai keduanya, ia akan dengan senang hati mengantar cewek yang dicintainya itu langsung ke toko bunga untuk memilih bunga kesukaannya secara langsung. Jangan lupa ia juga membelikan cokelat berbentuk hati untuk Inez dan berharap g

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status