Share

3. Atur Strategi

"Tom, tunggu!" Suara Dara melejit bak roket, menyerang sesosok cowok yang berjalan beberapa meter di depannya.

Cowok yang lagi memainkan kunci mobil di tangannya sontak berhenti dan berbalik ke belakang. Ia mengerutkan dahi begitu melihat sahabat centilnya berlari ke arahnya.

"Tom, huft, huft, huft...."

"Lo kenapa? Mau ngelahirin?"

"Sembarangan! Bentar, gue atur napas dulu. Huft, huft, huft, huft—"

"Oh, kirain abis ciuman sama Paman Agus, lo bakal langsung ngelahirin anak."

"Ngawur! Amit-amit, jangan sampai," pekik Dara, yang membuat Tomi langsung terbahak. "Ikut gue, yuk!"

"Eh, ke mana dulu?"

"Udah, ikut aja deh. Penting banget ini, demi  hidup dan mati gue."

Tomi mencibir, meskipun ia tahu setiap perkataan Dara nggak ada yang bisa dipercaya—kebanyakan suka dilebih-lebihkan—tetapi ia tetap pasrah saat tangannya diseret ke arah taman di belakang gedung guru.

"Ra, di sini aja. Nggak usah jauh-jauh."

"Di sini, ya? Bentar, bentar." Lehernya celangak-celinguk melihat ke segala arah.

"Lo kenapa, sih? Kesambet?"

"Gue lagi cek, nih. Siapa tau ada orang yang ngikutin kita terus mau curi dengar." Kepalanya masih aja sibuk menengok sana-sini. "Nggak ada kan, ya?"

"Nggak usah kepedean. Palingan yang ngikutin kita pada khawatir lo bakal perkosa gue."

"What?? Emang lo mau gue perkosa, Tom?" tanya Dara balik dengan mata yang berbinar-binar. Wajahnya juga spontan maju. "Mau, ya? Ya, ya, ya?"

Sontak Tomi menoyor jidat Dara dengan jari telunjuknya. "Ogah! Gue nggak bakal doyan sama lo meski datangnya Izrail."

"Sialan lo! Malaikat pencabut nyawa lo bawa-bawa. Emang gue cewek apaan?"

"Cewek sinting," sahut Tomi sekenanya.

"Ugh, sakit hati gue, Tom. Hiks, hiks," ucap Dara sembari bergaya sedih dan seperti biasa, tangannya menekan dada dengan lebay.

Cowok itu tertawa geli seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ada apaan lo bawa gue ke sini?"

Sepersekian detik wajah yang awalnya tampak sedih, kini seketika berubah normal dan serius lagi. "Oh, oke. Tapi ... lo harus jawab jujur, ya?"

"Ya, tergantung. Pertanyaan lo bermutu apa nggak?!"

"Oh, bermutu banget. Banget, malah!" ujarnya yakin. Ia berpikir sebentar, lalu tersenyum manis ke arah Tomi. "Lo ... tau nggak alasan Paman Agus ada di bawah meja?"

"Paman Agus lagi? Serius? Hahahahaha!"

"Hih, apaan, sih!" Dara memukul bahu Tomi sambil mencak-mencak. "Gue penasaran banget ini. Jawab, dooong...."

"Oke-oke, gue jawab," ucap Tomi kemudian, meskipun tawanya masih menyembul sedikit di sudut bibirnya. "Sorry, Ra. Nyokap gue ternyata diminta Kenn buat pasang Paman Agus di bawah meja sebelum kita masuk ruangan. Kenn udah curiga dari awal sama rencana yang lo bikin."

Dara tersenyum kecut, lalu menelan ludah susah payah. Benar dugaan kakaknya, Kenn cowok cerdas yang nggak gampang masuk jebakan.

Demi Paijo yang tadi pagi nyungsep di comberan, ia harus segera jalankan strategi barunya!

Dara memainkan bibirnya sambil memikirkan langkah pertama yang akan ia ambil. Namun, mendadak ia teringat sesuatu. "Tom, lo semalam bareng sama Frel, nggak? Duh, gue bener-bener lupa."

"Lo tuh, ya! Bukannya waktu berangkat dia barengnya sama lo ke restoran?"

"Iya, sih, Tom," jawabnya, lalu meringis. "Gue waktu itu nggak sempat mikir apa-apa. Gue keburu malu abis tau, nggak!"

Cowok yang mencangklongkan tas punggung di bahu kirinya itu sontak menghela napas. "Gue sebenarnya juga lupa ninggalin Frel. Setelah sadar ada yang nggak beres, gue langsung ajak pulang Paman Agus sama minta penjelasan nyokap di rumah," timpalnya. "Tapi untung tadi pagi waktu gue hubungi Kenn, dia bilang semalam udah antar Frel pulang."

Dara lega. Tetapi tak selang berapa lama ia baru sadar dan kontan menangkup mulutnya dengan kedua tangan. "APA?!" Matanya melebar. "KENN PULANG SAMA FREL??"

Tomi mengangkat sebelah alisnya sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"HUAAAAAAA! KENAPA SELALU FREL YANG BERUNTUUUNG??" Dara kembali mencak-mencak, malah lebih dahsyat lagi. Ia sampai naik ke atas bangku taman dan menangis kencang di sana. "KEEEEENN, LO PEKA DONG SAMA GUEEEE. HUUAAAAA!"

"Ra, Ra, lo ngapain di situ?" Tomi panik. Dengan segera ia menghampiri sahabatnya. "Turun, woy! Lo jangan bikin malu gue ya, Ra," tambahnya sambil menarik-narik rok seragam Dara. "Cepet, turun! Pake nangis, lagi! Kalo kumat jangan sekarang, elaah. Gue mampusin juga lo lama-lama. Lo turun nggak?"

Melihat Tomi yang menunjukkan wajah geramnya, serta-merta Dara turun dari bangku tersebut. Ia sesenggukan sembari mengelap ingusnya.

"Lo jangan marah gitu dong, Tom. Jahat banget sih sama gue. Hiks."

"Ya, elaaah, Ra. Lo jadi cewek drama banget sih. Soal Frel, kan lo sendiri yang salah. Kalo lo nggak ninggalin Frel, dia juga nggak bakal bareng sama Kenn. Masih untung ada yang mau antar Frel, kan?"

Dara mengangguk-angguk lesu. "Gue nggak marah sama Frel, gue juga nggak nyalahin Frel, kok. Gue cuma kasian aja sama nasib gue yang nggak pernah sekalipun bisa bareng sama Kenn," balasnya, lalu memasang wajah cemberut. "Boro-boro bareng, ngomong aja rasanya kayak sama kemoceng, dan gue debunya. Dia tuh nggak bisa gue jangkau, Tom. Jaaaauuuuuuh banget. Tapi gue suka. Dia ganteng, dia cool, dia keren, diaaaa—"

"Udah-udah! Kalo gue biarin, lo pasti bakalan ngelantur kayak biasanya," potong Tomi.

Cowok itu mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendapati beberapa cewek mencuri-curi pandang dan tersenyum ke arahnya. Seperti biasa, ia membalasnya dengan senyuman maut sang playboy, yang seketika mengakibatkan jantung mereka jumpalitan. Efek dari cowok ganteng mah gitu!

"Ada yang mau lo bicarain lagi nggak? Kalo nggak, gue mau langsung—"

"Eh, masih-masih," sela Dara sembari cengengesan, hilang udah tangisannya beberapa menit lalu. "Gue kali ini lagi jalanin rencana. Dan gue nggak mau diganggu. Nanti kalo Frel tanya kenapa gue jauhin dia, bilang sama Frel nggak ada apa-apa."

"Lo mau bikin rencana apa lagi?" tanya Tomi dengan pandangan penuh selidik.

"Ada deh. Pokoknya lo bilang gitu sama Frel, cuma buat sementara kok. Gue cuma mau mastiin aja. Nggak lebih. Ya, Tom? Ya, ya, ya?"

"Ya, udah, terserah lo. Asal jangan aneh-aneh. Awas aja sampai ada apa-apa sama Kenn. Gitu-gitu dia juga sepupu gue, Ra!"

"Iya-iya. Gue nggak bakal ngapa-ngapain Kenn. Emangnya gue punya tampang kriminal, apa!"

Sayangnya Tomi nggak menanggapi kicauan Dara. Ia memilih berbalik dan berjalan menjauh seraya menggandeng seorang cewek cantik yang tengah menunggunya di ujung belokan. Entah cewek mana lagi, yang pasti Tomi tahu tuh cewek sedari tadi memberikan kode-kode untuknya. Kode minta digebet.

Sementara Dara, yang awalnya mencebik setelah ditinggalkan, tak ada beberapa detik ia juga ikut melesat dengan semangat berkobar. Matanya mengedar ke segala arah, celangak-celinguk dengan pantat yang diserong ke kanan kiri dengan kepercayaan diri tinggi.

"Udiiiiiiiiiiin!" teriaknya begitu penglihatannya menangkap cowok yang ia cari. "Din, tunggu. Woy, Din!"

Dara mempercepat larinya di koridor sekolah. Sedangkan cowok tersebut berlagak nggak mendengar, masa bodoh. Ia lagi sibuk tebar pesona sama semua cewek yang ia anggap takjub akan tampangnya. Padahal, mereka lihatin dia tuh cuma karena heran sama penampilannya.

Bayangin aja, Udin memakai seragam putih sembari kerahnya ditegakkan, rambut mengkilat yang disisir menyamping dengan pucuk bagian depan menyembul ala gaya Superman, ia juga melipat bagian lengan pendeknya hingga ujung lengan teratas. Jangan lupakan juga gaya tiupan napas dari bibirnya dibarengi dengan telapak tangan yang diletakkan di bawah dagu, yang seketika membuat para cewek langsung muntah di tempat.

"UDIN SEDUNIIIIAAAAA!!"

Sontak si Udin mengerem langkahnya dan membalikkan badan dengan tangan yang mengelus-elus dada ketika mendengar suara terompet pecah milik Dara.

"Ra, jangan asal panggil nama orang, dong. Gue kan udah bilang dari awal perkenalan di kelas. Nama gue itu bukan Udin Sedunia, Ra, tapi ... SABARUDIN yaitu Udin yang nggak suka marah," ralat Udin saat Dara berhenti di depannya.

Dara spontan menggeplak lengan Udin. "Heh, siapa suruh waktu gue panggil, lo nggak noleh-noleh!"

Udin mengusap-usap lengannya. Pringas-pringis di tempat. "Lo sih nggak liat sikon, Ra. Gue kan lagi nyapa para penggemar. Coba liat di sekeliling gue."

Dara refleks mencari-cari di sekitarnya, tengak-tengok namun hanya kosong yang ia dapati. "Mana?"

"Lho, yang tadi ke mana, ya? Kok nggak ada?" Wajah pilon Udin tampak, plonga-plongo. "Kok cepet banget ngilangnya?"

"Ah, lo ngaco. Jangan-jangan penggemar lo setan lagi hahaha...." Dara ketawa ngakak.

"Yeeee, mana ada. Tadi jelas-jelas kakinya pada nempel di lantai kok. Pasti ini gara-gara denger suara lo nih, Ra. Pada bubar semua."

Cewek yang mengikat rambutnya menyamping itu sontak menempeleng kepala Udin.

"Adow!"

"LO BILANG APA?! GARA-GARA GUE?!" Dara murka sambil berkacak pinggang.

Cowok yang sampai sekarang tetap konsisten bahwa cita-citanya masih mau mondok di pesantren itu langsung keder. "Sabar, Ra, sabar. Hehehe." Udin cengengesan sembari pelan-pelan langkahnya mundur ke belakang.

Mendapati Dara yang masih pasang tampang horor, bahkan matanya kini sudah melotot bak calon mertua yang galaknya minta ampun. Ia akhirnya nggak ada pilihan lain kecuali ... LARI!

"Eits, lo mau ke mana?"

"Aduh-duh-duh, Ra. Telinga gue," rintih Udin saat telinganya udah keburu dijewer sama Dara. "Akit, Ra. Akiiiit...."

"Gue nggak peduli! Mau bilang sakitlah, akitlah, bodo! Pokoknya gue mau ngomong dulu sama lo, Din."

"Iya, Ra, iya. Gue nggak bakalan kabur lagi. Adow, tapi lepasin dulu ini."

Selepas Udin berucap, tangan Dara spontan terlepas. Cewek itu menyeringai puas.

"Ada apa emang, Ra?" tanya Udin kemudian, tapi matanya bukan terfokus pada Dara melainkan siswi-siswi yang mulai melewatinya. Ia bahkan dadah-dadah nggak jelas.

"Oy, Din! Serius, napa. Mau gue tempeleng lagi?"

Cepat-cepat Udin menoleh ke arah Dara. "Eh, iya-iya, Ra. Maaf. Sekarang fokus kok gue. Serius."

"Oke, gini." Dara menghirup napas panjang sebagai permulaan. Namun beberapa detik setelahnya, bukannya ngomong langsung, malah ia sibuk dengan masalah kulitnya. "Tapi kok, kulit gue kering begini ya, Din? Gue kemarin udah spa belum, ya?" Dara mengipas-ngipas wajahnya dengan telapak tangan kanannya. "Wajah gue kok jadi gerah gini? Tangan gue juga, Din."

Udin melongo. "Jadi lo dari tadi cuma mau ngomong gini doang ke gue, Ra?"

Seketika Dara sadar kembali. Ia terdiam sejenak, lalu cengar-cengir di hadapan Udin. "Nggak kok, Din. Itu tadi cuma permulaan."

Udin manggut-manggut kayak orang linglung.

"Jadi gini, Din. Pagi ini, eeee, gue ... mau kita saling tukar tempat duduk. Gimana?"

Udin masih manggut-manggut. "Kalo misalnya gue nggak mau gimana?"

"POKOKNYA LO HARUS MAU! TITIK!"

"Astagfirullah. Allahu akbar!" Udin terperanjat. "Itu kan cuma misal, Ra."

"Nggak ada misal-misal! Pokoknya gue mau lo turutin apa mau gue. Atau kalo nggak maauuu ...," Wajah Dara maju sambil mendelik tajam, "gue bakal minta sama nyokap buat nggak ambil lagi sepatu di pabrik keluarga lo. Kontrak kerja sama batal!"

"Ya, udah. Lo doang kan yang mutusin kerja sama? Ah, itu mah nggak ada efeknya buat keluarga gue, Ra," sahut Udin cuek. "Sepatu berhak tinggi khusus wanita karier buatan pabrik keluarga gue itu nggak ada yang nandingin. Udah tersebar di mana-mana. Udah terkenal...," lanjutnya mulai songong.

Dara mencebik. "Oke. Kita liat aja. Nanti di koran bakalan ada berita butik terkenal yang selalu mengusung brand ternama dari nyokap gue berseteru sama pabrik yang katanya terkenal tapi ternyata kualitas jelek, ancur, dan yang membuat itu terjadi adalah anaknya sendiri yang bernama Saaaabaaaaruuudiiiiiin."

"Lha, lha, kok gue diikut-ikutin, Ra?" protes Udin.

"Ya, iya. Kan tiap lo ikut-ikutan siapin barang kiriman di butik nyokap, selalu ada barang yang return kan? Ada kotoran remahanlah, sepasang tapi posisi kiri semua, kadang kanan semua. Ada yang penyok, bekas diduduki nih kayaknya. Malah ada bekas iler kayak lo yang sering ileran kalo tidur di kelas. Nggak salah lagi, pasti tuh kerjaan lo semua."

"K-k-kok lo t-t-tau semua, Ra?" Udin berubah gelagapan.

"Lo pikir gue nggak pernah ngecek langsung kiriman barang kayak gitu, hah?! Masih untung waktu itu gue nggak bilang sama nyokap, gue cuma minta karyawan langsung buat benerin semua. Palingan yang gue minta tukar cuma bagian sepasang yang salah."

Dara memelintir ujung rambutnya, dan berpikir lagi. "Tapi ... kalo lo nggak nurutin apa mau gue, terpaksa gue bakal bongkar semua ke nyokap. Biar nyokap marah, biar ngamuk, biar damprat nyokap lo. Terus kontrak kerja sama batal, nama baik keluarga lo tercoreng, terus apa lagi ya? Oh, lo bakal kena hukum, uang saku lo dipotong, lo nggak bakal dapat jatah makan, nyokap bokap lo kena stroke, sakit jantung, terus—"

"Ra, Ra, udah-udah!" Celotehan Dara langsung di-cut sama Udin. Dia jadi ikut ngeri sendiri. "Doanya jangan serem-serem gitu, dong. Iya, iya, gue bakal pindah bangku," imbuh Udin sambil cemberut yang nggak ada imut-imutnya sama sekali.

"Nah, gitu dong. Bagus!" Ia tersenyum semringah, lantas terdiam dan melihat Udin lagi. "Kenapa masih di sini? Cepetan masuk kelas!"

Tanpa menjawab, Udin langsung melengos dan berjalan ke arah kelas sambil menunduk. Ia menggerutu nggak jelas tanpa melihat depan, hingga akhirnya jidatnya kejedot tembok di paling ujung.

..........................***................................

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status