Share

7. Sisi lain Chandra

Suara derit pintu yang terbuka membuat padangan Chandra dan Fani beralih ke pintu. Saat pintu terbuka terlihat bunda Rain dan Rain yang masuk.

"Alhamdulillah kamu sudah sadar Chan. Gimana keadaan kamu sekarang?"

"Udah lebih baik kok tante." Chandra tersenyum, ia sempat memandang pada Rain yang sedari tadi menunduk. Ia bersyukur dua orang didepannya tak mendengar teriakkan Fani tadi.

"Oh, iya, Fan, ini makanan buat kamu, makan dulu ya." Bunda Rain memberikan bungkusan plastik kepada Fani. Fani menerimanya lalu mengangguk.

"Tante sama kak Rain, udah makan?" tanya Fani, gadis itu terlihat membuka bungkusan plastik yang diberikan bunda Rain.

"Udah kok Fan," jawab bunda Rain. Bunda Rain duduk disebelah Fani.

"Tante, Chandra kapan pulang? Chandra gak betah disini. Tadi, nanya sama Fani dia malah gak mau jawab."

"Kata dokter kamu bisa pulang nanti Chan," jelas bunda Rain.

Chandra bersyukur bisa segera pulang dan tidak lagi merepotkan keluarga Rain.

***

Malam sudah larut. Tadi sore Chandra diperbolehkan pulang dan keluarga Rain yang mengantarkannya. Mereka berdiam di rumah Chandra cukup lama dan baru saja pulang.

Setelah kepulangan keluarga Rain, bukannya istirahat Chandra malah duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya.

"Ngapain disini? Gak istirahat?" Fani yang melihat Chandra langsung menghampirinya.

"Enggak, habis ini gue mau keluar." Chandra masih terlihat asyik dengan ponselnya, entah sedang mengirimkan pesan kepada siapa.

Sedangkan wajah Fani sudah terlihat kesal. Ia merutuki nasibnya, kenapa ia harus memiliki kakak yang keras kepala seperti Chandra.

"Ngapain sih bang! Udah malem! Lo baru pulang dari rumah sakit. Harusnya lo istirahat, bukan keluyuran!"

Chandra menaruh ponselnya di saku. Ia beralih memandang Fani. Mereka terdiam dan saling menatap, suasana menjadi hening, suara-suara kendaraan terdengar di kejauhan. Chandra tersenyum lembut ke arah Fani, ia kemudian menaruh tangannya di kepala Fani. Chandra menepuk pelan kepala gadis berusia 15 tahun itu. Fani tersentak dengan perlakuan Chandra.

"Lo inget gak, dulu kalo lo nangis, gue sering nenangin lo dengan nepuk kepala lo kayak gini. Gak ada mama, apalagi papa. Kita hidup berdua setelah Oma gak ada. Sekarang gak kerasa, lo udah besar Fan, cerewet banget kayak Oma."

Mendengar kata-kata Chandra, mata Fani langsung mengabur karena air mata. Memang benar, dulu papa dan mamanya tak ada disampingnya. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Apalagi setelah mereka bercerai, Fani tak pernah lagi mendapat kasih sayang dari keduanya. Saat Fani sedih, kesal, atau marah, Chandra lah yang selalu ada untuknya. Memang tidak terasa banyak sekali masa yang telah mereka lalui.

Kini tepukan Chandra berubah menjadi elusan.

"Maafin gue ya, akhir-akhir ini gue sibuk sama Rain, sibuk sama taruhan itu. Gue sampe lupa kalo punya adek cantik yang harus gue perhatiin juga."

Fani langsung berhamburan ke pelukan Chandra. Ia menangis di pelukan abangnya itu. Masalalu selalu bisa membuatnya menangis, apalagi hari ini ia merasa hampir kehilangan Chandra. Sudah cukup ia kehilangan Oma yang menyayanginya, ia tak mau kehilangan abangnya juga.

"Udah besar masih cengeng aja ternyata." Chandra menertawakan Fani, namun Fani tak meresponnya, ia masih terus memeluk erat abangnya sambil menangis.

Chandra menepuk-nepuk punggung Fani. Fani yang kelelahan setelah menangis akhirnya tertidur di pelukan Chandra.

Chandra yang sadar adiknya tertidur. Akhirnya memindahkannya ke kamar. Chandra menidurkan Fani dengan perlahan. Setelah menyelimuti Fani, Chandra mengelus kepala adiknya itu lalu mengecup keningnya.

"Good night cengeng, gue pamit pergi dulu ya. Lo gak usah khawatir, gue gak lama kok," bisik Chandra.

Kemudian pemuda itu melangkahkan kakinya keluar kamar. Ia berjalan menuju garasi, Chandra mengeluarkan motor sport dari garasinya. Motor itu ia beli sendiri dengan uang hasil taruhan. Ya, Chandra memang senang mengikuti taruhan dan ia tak pernah dikalahkan. Taruhan kali ini dia juga harus menjadi pemenangnya. Ia tak boleh kalah, ia harus mendapatkan hati Rain.

Chandra mulai menjalankan motornya dan menuju suatu tempat.

***

Terlihat sebuah bangunan tua yang nampak sepi dari luar, namun siapa sangka di dalamnya terdapat ruangan temaram yang menjadi tempat berkumpul para muda-mudi. Dinding-dindingnya dilapisi dengan cat yang mulai mengelupas, menciptakan kesan usia dan keakraban.

Cahaya redup dari lampu gantung yang bergelayut di langit-langit memberikan nuansa misterius pada ruangan itu.Beberapa di antara mereka asyik memainkan kartu di meja bundar di tengah ruangan, sementara yang lain berkerumun dalam percakapan, mengisi udara dengan tawa dan canda. Sebagian lagi hanya duduk, merenung atau melihat ke arah kosong dengan pikiran melayang jauh.

Tiba-tiba, suara gemuruh motor pecah memecah kesunyian. Sorot mata beberapa orang langsung tertuju pada pintu saat seorang pemuda turun dari motor sportnya dengan sikap percaya diri. Dia adalah Chandra

"Wih, Chan, dah lama nih gak liat lo," sapa salah seorang dari mereka, suaranya pecah di antara keriuhan ruangan.

"Baru ada waktu nih, Arga mana?" jawab Chandra sambil membalas sapaan itu dengan senyum.

"Tempat biasa." Seseorang menunjuk ke meja yang berada di pojok ruangan.

"Oke, thanks Ri."

Chandra segera menuju pojok ruangan. Ia melihat seorang pemuda seusianya sedang berbincang, pemuda itu di apit oleh dua orang wanita.

"Ga!" Panggil Chandra pada lelaki itu.

"Eh, Chan. Gimana kabar lo?" Arga langsung menyambut kedatangan Chandra.

Chandra langsung duduk di kursi kosong yang berada di depan Arga. "Baik kok."

"Udah lama lo gak kesini Chan," ucap seorang pemuda yang berada di sebelah Chandra. Pemuda itu bernama Aqin.

"Gue sibuk akhir-akhir ini."

"Oh iya Chan, gimana taruhan kita?" Arga bersender di bahu salah satu wanita disampingnya.

"Taruhan apa nih, kok gue gak tau." Aqin memang tidak mengetahui taruhan yang diadakan Arga, karena ia tak sekomplek dengan mereka berdua.

"Taruhan cewek. Jadi gimana? Lo udah mulai dapetin hatinya?"

"Kalo hatinya sih belum, tapi dia udah mulai respek sama gue." Chandra mengambil sebatang rokok dan menyalakannya dengan pemantik.

"Wah, kalo taruhan cewek mah gue mau ikut. Pasti langsung klepek-klepek tuh cewek," ucap Aqin dengan percaya diri. Lelaki berdarah Jawa itu memiliki kulit yang eksotis, tubuh yang tegap dan berotot, hal itu membuat banyak wanita-wanita tergila-gila padanya.

"Mimpi Lo Qin! Cowok kayak Chandra aja susah ngedapetinnya. Apa lagi Lo!" timpal Arga. Chandra hanya tertawa apalagi melihat muka Aqin yang berubah masam. Saling mengejek seperti ini sudah menjadi kebiasaan diantara mereka.

"Seenggaknya gue udah pernah main sama cewek ya. Gak kayak Chandra, kang co*i." Kini Aqin yang tertawa. Diikuti dengan Arga dan dua wanita di sampingnya.

"Sia*an Lo!" Chandra terlihat kesal, membuat tawa Aqin makin menjadi.

"Malem ini mau ikut gue gak?" tawar Aqin setelah tawanya berhenti, pemuda itu menuangkan minuman beralkohol ke gelas untuknya dan untuk Chandra.

"Enggak." Chandra mengambil gelas berisi minuman beralkohol itu dan meneguknya.

"Nyoba lah Chan sekali-kali, pasti lo ketagihan. Perjaka atau enggak, calon istri lo nanti gak bakalan tau," ucap Arga dan diangguki oleh Aqin.

Memang dari semua temannya, hanya ia yang masih perjaka. Benar kata Arga, perjaka atau tidak, istrinya nanti tak akan tahu. Tapi bukan itu yang menjadi alasan Chandra tidak pernah melakukan hubungan seks diluar nikah. Alasan sebenarnya adalah karena ia mempunyai adik perempuan. Setiap ingin melakukan itu, Chandra selalu teringat pada adik kesayangannya itu.

"Chan! Malah bengong! Mikirin tawaran gue?"

"Ogah gue, gak minat." Chandra menghisap rokoknya.

"Jangan nyesel ya Chan. Gue padahal lagi baik loh," goda Aqin.

"Dia juga bakal ngelakuin kalo kalah taruhan," Arga tersenyum mengejek.

Aqin menatap kedua temannya dengan pandangan tidak percaya. "Eh, serius nih?"

Chandra hanya memandang malas ke arah Aqin dan Arga, ia kemudian beranjak. "Dahlah gue mau pulang." Chandra mematikan rokoknya, lalu membuangnya.

"Ngambekan kek banci," ejek Aqin.

"Baru juga duduk Chan."

"Adek gue sendirian di rumah," balas Chandra.

"Tumben jadi kakak yang baik," ucap Aqin

"Gue dari lahir udah jadi kakak yang baik. Lo tuh, sodara laknat."

"Bangs*t," umpat Aqin. 

***

Chandra mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi membela jalanan yang terlihat lengang karena malam yang sudah sangat larut.

Tak memakan waktu lama, akhirnya ia sampai di rumahnya.Chandra berhenti di halaman rumahnya, ia bingung karena terdapat sebuah mobil yang juga terparkir di halamannya.

Chandra memperhatikan mobil itu dengan seksama.

"Ini—"

"Baru pulang kamu?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status