Suara derit pintu yang terbuka membuat padangan Chandra dan Fani beralih ke pintu. Saat pintu terbuka terlihat bunda Rain dan Rain yang masuk.
"Alhamdulillah kamu sudah sadar Chan. Gimana keadaan kamu sekarang?""Udah lebih baik kok tante." Chandra tersenyum, ia sempat memandang pada Rain yang sedari tadi menunduk. Ia bersyukur dua orang didepannya tak mendengar teriakkan Fani tadi."Oh, iya, Fan, ini makanan buat kamu, makan dulu ya." Bunda Rain memberikan bungkusan plastik kepada Fani. Fani menerimanya lalu mengangguk."Tante sama kak Rain, udah makan?" tanya Fani, gadis itu terlihat membuka bungkusan plastik yang diberikan bunda Rain."Udah kok Fan," jawab bunda Rain. Bunda Rain duduk disebelah Fani."Tante, Chandra kapan pulang? Chandra gak betah disini. Tadi, nanya sama Fani dia malah gak mau jawab.""Kata dokter kamu bisa pulang nanti Chan," jelas bunda Rain.Chandra bersyukur bisa segera pulang dan tidak lagi merepotkan keluarga Rain.***Malam sudah larut. Tadi sore Chandra diperbolehkan pulang dan keluarga Rain yang mengantarkannya. Mereka berdiam di rumah Chandra cukup lama dan baru saja pulang.Setelah kepulangan keluarga Rain, bukannya istirahat Chandra malah duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya."Ngapain disini? Gak istirahat?" Fani yang melihat Chandra langsung menghampirinya."Enggak, habis ini gue mau keluar." Chandra masih terlihat asyik dengan ponselnya, entah sedang mengirimkan pesan kepada siapa.Sedangkan wajah Fani sudah terlihat kesal. Ia merutuki nasibnya, kenapa ia harus memiliki kakak yang keras kepala seperti Chandra."Ngapain sih bang! Udah malem! Lo baru pulang dari rumah sakit. Harusnya lo istirahat, bukan keluyuran!"Chandra menaruh ponselnya di saku. Ia beralih memandang Fani. Mereka terdiam dan saling menatap, suasana menjadi hening, suara-suara kendaraan terdengar di kejauhan. Chandra tersenyum lembut ke arah Fani, ia kemudian menaruh tangannya di kepala Fani. Chandra menepuk pelan kepala gadis berusia 15 tahun itu. Fani tersentak dengan perlakuan Chandra."Lo inget gak, dulu kalo lo nangis, gue sering nenangin lo dengan nepuk kepala lo kayak gini. Gak ada mama, apalagi papa. Kita hidup berdua setelah Oma gak ada. Sekarang gak kerasa, lo udah besar Fan, cerewet banget kayak Oma."Mendengar kata-kata Chandra, mata Fani langsung mengabur karena air mata. Memang benar, dulu papa dan mamanya tak ada disampingnya. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Apalagi setelah mereka bercerai, Fani tak pernah lagi mendapat kasih sayang dari keduanya. Saat Fani sedih, kesal, atau marah, Chandra lah yang selalu ada untuknya. Memang tidak terasa banyak sekali masa yang telah mereka lalui.Kini tepukan Chandra berubah menjadi elusan."Maafin gue ya, akhir-akhir ini gue sibuk sama Rain, sibuk sama taruhan itu. Gue sampe lupa kalo punya adek cantik yang harus gue perhatiin juga."Fani langsung berhamburan ke pelukan Chandra. Ia menangis di pelukan abangnya itu. Masalalu selalu bisa membuatnya menangis, apalagi hari ini ia merasa hampir kehilangan Chandra. Sudah cukup ia kehilangan Oma yang menyayanginya, ia tak mau kehilangan abangnya juga."Udah besar masih cengeng aja ternyata." Chandra menertawakan Fani, namun Fani tak meresponnya, ia masih terus memeluk erat abangnya sambil menangis.Chandra menepuk-nepuk punggung Fani. Fani yang kelelahan setelah menangis akhirnya tertidur di pelukan Chandra.Chandra yang sadar adiknya tertidur. Akhirnya memindahkannya ke kamar. Chandra menidurkan Fani dengan perlahan. Setelah menyelimuti Fani, Chandra mengelus kepala adiknya itu lalu mengecup keningnya."Good night cengeng, gue pamit pergi dulu ya. Lo gak usah khawatir, gue gak lama kok," bisik Chandra.Kemudian pemuda itu melangkahkan kakinya keluar kamar. Ia berjalan menuju garasi, Chandra mengeluarkan motor sport dari garasinya. Motor itu ia beli sendiri dengan uang hasil taruhan. Ya, Chandra memang senang mengikuti taruhan dan ia tak pernah dikalahkan. Taruhan kali ini dia juga harus menjadi pemenangnya. Ia tak boleh kalah, ia harus mendapatkan hati Rain.Chandra mulai menjalankan motornya dan menuju suatu tempat.***Terlihat sebuah bangunan tua yang nampak sepi dari luar, namun siapa sangka di dalamnya terdapat ruangan temaram yang menjadi tempat berkumpul para muda-mudi. Dinding-dindingnya dilapisi dengan cat yang mulai mengelupas, menciptakan kesan usia dan keakraban.Cahaya redup dari lampu gantung yang bergelayut di langit-langit memberikan nuansa misterius pada ruangan itu.Beberapa di antara mereka asyik memainkan kartu di meja bundar di tengah ruangan, sementara yang lain berkerumun dalam percakapan, mengisi udara dengan tawa dan canda. Sebagian lagi hanya duduk, merenung atau melihat ke arah kosong dengan pikiran melayang jauh.Tiba-tiba, suara gemuruh motor pecah memecah kesunyian. Sorot mata beberapa orang langsung tertuju pada pintu saat seorang pemuda turun dari motor sportnya dengan sikap percaya diri. Dia adalah Chandra"Wih, Chan, dah lama nih gak liat lo," sapa salah seorang dari mereka, suaranya pecah di antara keriuhan ruangan."Baru ada waktu nih, Arga mana?" jawab Chandra sambil membalas sapaan itu dengan senyum."Tempat biasa." Seseorang menunjuk ke meja yang berada di pojok ruangan."Oke, thanks Ri."Chandra segera menuju pojok ruangan. Ia melihat seorang pemuda seusianya sedang berbincang, pemuda itu di apit oleh dua orang wanita."Ga!" Panggil Chandra pada lelaki itu."Eh, Chan. Gimana kabar lo?" Arga langsung menyambut kedatangan Chandra.Chandra langsung duduk di kursi kosong yang berada di depan Arga. "Baik kok.""Udah lama lo gak kesini Chan," ucap seorang pemuda yang berada di sebelah Chandra. Pemuda itu bernama Aqin."Gue sibuk akhir-akhir ini.""Oh iya Chan, gimana taruhan kita?" Arga bersender di bahu salah satu wanita disampingnya."Taruhan apa nih, kok gue gak tau." Aqin memang tidak mengetahui taruhan yang diadakan Arga, karena ia tak sekomplek dengan mereka berdua."Taruhan cewek. Jadi gimana? Lo udah mulai dapetin hatinya?""Kalo hatinya sih belum, tapi dia udah mulai respek sama gue." Chandra mengambil sebatang rokok dan menyalakannya dengan pemantik."Wah, kalo taruhan cewek mah gue mau ikut. Pasti langsung klepek-klepek tuh cewek," ucap Aqin dengan percaya diri. Lelaki berdarah Jawa itu memiliki kulit yang eksotis, tubuh yang tegap dan berotot, hal itu membuat banyak wanita-wanita tergila-gila padanya."Mimpi Lo Qin! Cowok kayak Chandra aja susah ngedapetinnya. Apa lagi Lo!" timpal Arga. Chandra hanya tertawa apalagi melihat muka Aqin yang berubah masam. Saling mengejek seperti ini sudah menjadi kebiasaan diantara mereka."Seenggaknya gue udah pernah main sama cewek ya. Gak kayak Chandra, kang co*i." Kini Aqin yang tertawa. Diikuti dengan Arga dan dua wanita di sampingnya."Sia*an Lo!" Chandra terlihat kesal, membuat tawa Aqin makin menjadi."Malem ini mau ikut gue gak?" tawar Aqin setelah tawanya berhenti, pemuda itu menuangkan minuman beralkohol ke gelas untuknya dan untuk Chandra."Enggak." Chandra mengambil gelas berisi minuman beralkohol itu dan meneguknya."Nyoba lah Chan sekali-kali, pasti lo ketagihan. Perjaka atau enggak, calon istri lo nanti gak bakalan tau," ucap Arga dan diangguki oleh Aqin.Memang dari semua temannya, hanya ia yang masih perjaka. Benar kata Arga, perjaka atau tidak, istrinya nanti tak akan tahu. Tapi bukan itu yang menjadi alasan Chandra tidak pernah melakukan hubungan seks diluar nikah. Alasan sebenarnya adalah karena ia mempunyai adik perempuan. Setiap ingin melakukan itu, Chandra selalu teringat pada adik kesayangannya itu."Chan! Malah bengong! Mikirin tawaran gue?""Ogah gue, gak minat." Chandra menghisap rokoknya."Jangan nyesel ya Chan. Gue padahal lagi baik loh," goda Aqin."Dia juga bakal ngelakuin kalo kalah taruhan," Arga tersenyum mengejek.Aqin menatap kedua temannya dengan pandangan tidak percaya. "Eh, serius nih?"Chandra hanya memandang malas ke arah Aqin dan Arga, ia kemudian beranjak. "Dahlah gue mau pulang." Chandra mematikan rokoknya, lalu membuangnya."Ngambekan kek banci," ejek Aqin."Baru juga duduk Chan.""Adek gue sendirian di rumah," balas Chandra."Tumben jadi kakak yang baik," ucap Aqin"Gue dari lahir udah jadi kakak yang baik. Lo tuh, sodara laknat.""Bangs*t," umpat Aqin. ***Chandra mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi membela jalanan yang terlihat lengang karena malam yang sudah sangat larut.Tak memakan waktu lama, akhirnya ia sampai di rumahnya.Chandra berhenti di halaman rumahnya, ia bingung karena terdapat sebuah mobil yang juga terparkir di halamannya.Chandra memperhatikan mobil itu dengan seksama."Ini—""Baru pulang kamu?!"Sudah hampir satu jam Chandra mendengar omelan mamanya. Sejak Chandra pulang tadi sang mama sudah berada di ruang tamu. Lama tidak bertemu bukannya saling melepas rindu, malah kemarahan dan cacian yang diberikan mamanya padanya. "Pintu gak dikunci! Adik kamu yang lagi tidur kamu tinggal! Dimana sih otak kamu! Gimana kalo adikmu itu kenapa-napa?! Di perempuan Chan! Kamu bisa gak sih jaga dia?! Kakak macam apa kamu ini!" bentak mama Chandra. Chandra hanya diam, ia sudah terbiasa dengan hal itu, jadi tak terlalu mendengarkan perkataan mamanya. Kantuk mendera Chandra sejak tadi, tapi mamanya tidak berhenti mengomel, Chandra hanya bisa menguap dan mengacuhkan perkataan mamanya. "Udah ma. Udah malem, Chandra mau tidur." Chandra terlihat menguap lagi. Kemudian Chandra beranjak namun mamanya menahan tangannya. "Kamu minum! Mama ngasih uang kamu bukan buat beli barang gak berguna kayak gitu! Jangankan jaga Fani, jaga diri kamu aja gak bisa! Mau jadi apa Fani kalo kamu yang ngerawat dia! Po
Rain menoleh ke arah Chandra, di menatap Chandra seakan bertanya siapa wanita didepannya kini. Saat sedang berdebat di depan rumah Chandra tadi, tiba-tiba pintu rumah Chandra terbuka dan seorang wanita seumuran bunda Rain keluar dari sana. Wanita itu terlihat sedikit mirip dengan Chandra. Apa dia mama Chandra? "Kamu pacarnya Chandra?" Rain langsung kembali menatap wanita itu. "Eh, bukan tante. Saya tetangga di depan rumah. Saya juga teman sekelas Chandra," ucap Rain dengan sopan. "Keluarga yang baru pindah itu ya? Saya mamanya Chandra. Jadi kamu teman sekelasnya Chandra juga. Siapa nama kamu?" Chandra terlihat heran karena ibunya tiba-tiba menjadi lembut pada Rain. Ah, Chandra lupa, mamanya selalu menunjukkan sikap palsunya di depan para tetangga. "Rain tante." Rain tersenyum ke arah mama Chandra. Ternyata benar dugaannya. "Nama yang cantik, kayak orangnya. Kalian mau berangkat sekolah ya?" "Iya tante. Sebenarnya Rain juga mau nganterin ini." Rain memberikan rantang makanan ya
Suasana yang tenang berubah saat rintik hujan tiba-tiba jatuh membasahi bumi. Beberapa pengendara motor dan pejalan kaki sibuk mencari tempat berteduh. "Padahal cuma hujan air, mereka sampe kalang kabut kayak gitu. Gimana kalo hujan api." Chandra melihat ke luar tenda, terlihat para pejalan kaki yang berlarian mencari tempat berteduh. Chandra dan Rain sedang berada di salah satu tenda pedagang kaki lima. Chandra tiba-tiba mengajak Rain makan disana, ia tak tau kalau hujan akan turun. Beruntung mereka sudah disana sebelum hujan turun. Rain turut melihat ke arah yang sama dengan Chandra. Ini kali pertama makan berdua saja dengan seorang laki-laki. Biasanya Rain selalu makan dengan kakak atau ayah, jika harus dengan lelaki selain mereka biasanya ia ditemani oleh Khanza. "Kalo hujan api, pasti susah sih." Chandra tertawa, sementara Rain menatap ke arahnya. Ada rasa syukur saat melihat Chandra tertawa lagi. "Lo juga pasti neduh kan kalo hujan." "Mungkin iya, mungkin enggak," jawab Cha
Malamnya Chandra telah bersiap ke rumah Rain. ia memegang beberapa buku pelajaran dan alat tulis. Saat melintas di depan ibunya yang sibuk dengan berkas-berkas kantor di sofa, Chandra tak terhindar dari pertanyaan yang tak terelakkan. "Mau kemana?" Mama Chandra tak mengalihkan pandangannya dari kertas yang tengah dipegangnya. Chandra berhenti sejenak. Tatapan lelahnya beralih pada ibunya. Meski tahu pertanyaan itu hanya akan membuka pintu pada diskusi tak berujung, dia menjawab dengan singkat, "Rumah Rain." "Ngapain?" ibunya menyela. Chandra menggelengkan kepala, mengetahui bahwa alasan apa pun tak akan cukup memuaskan ibunya. Namun, ia tetap menjawab dengan sabar, "Ngerjain tu—" "Dia target kamu selanjutnya kan." Kali ini mama Chandra menatapnya dengan tatapan tajam. Chandra berdecak. Ia nampak tak suka dengan apa yang baru saja mamanya katakan, meski Chandra tak bisa mengelak perkataan mamanya. "Kamu emang sama kayak papa kamu! Brengsek!" Kata-kata tajam terlontar begitu saja
"Jauhin Rain kalo lo cuma datang buat nyakitin dia." Chandra diam, ia terkejut dengan perkataan Juan. Apakah Juan mengetahui yang sebenarnya? Apa mamanya memberi tahu semuanya pada Juan? Atau Fani yang memberi tahu Juan? Banyak pertanyaan muncul di otak Chandra. Keheningan semakin membuat suasana tidak terasa nyaman. Apalagi Juan masih menatap Chandra dengan serius dan Chandra pun masih terdiam, tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan. "Lo gak akan nyakitin Rain kan Chan?" Raut wajah Juan berubah. Ia tidak seserius tadi. Chandra bernafas lega, ternyata Juan belum mengetahui semuanya. "Gak mungkin lah bang." Chandra tersenyum kikuk. "Gue percaya sama lo Chan," ucap Juan dengan sungguh-sungguh. Hati Chandra kembali diliputi rasa bersalah mendengar ucapan Juan. Ia juga seorang kakak, ia tahu bagaimana rasanya jika adiknya disakiti. Apa Chandra harus mengakhiri taruhan itu dan mengaku kalah? Kenapa ia mulai goyah? Siapa Rain dan Juan. Mereka hanya orang asing di hidup Chandra. "Bang
"Beneran kamu mau pulang bareng Khanza?" tanya Chandra. "Iya, emang kenapa sih!" Rain, Chandra, dan Khanza kini sedang berada di parkiran. Mereka bertiga baru saja pulang sekolah setelah seharian bergelut dengan tugas dan materi. Suasana di parkiran masih terlihat ramai dengan para siswa yang ingin pulang atau sedang menunggu teman mereka. Rain berkata berkata ia pulang bersama Khanza, karena gadis itu akan menginap di rumahnya. Tapi Chandra sejak tadi memaksa mengantar Rain, dengan alasan takut terjadi sesuatu dengan gadis itu. Terjadilah perdebatan diantara mereka. "Udahlah Chan. Lo pulang aja, Rain aman sama gue," ucap Khanza yang lelah melihat perdebatan antara Rain dan Chandra. Jika terus begini kapan mereka akan pulang. "Aku ikut aja ke rumah Za, sekalian bantu ngemas barang," tawar Chandra. "Nggak usah! Barangnya Khanza udah siap, tinggal ambil doang!" tolak Rain dengan tegas. "Yaudah aku bantu naikin barang." Chandra masih saja keras kepala. "Kan gue udah bilang gak us
Mobil Khanza memasuki halaman rumah Rain. Setelah mobil itu berhenti, terlihat Rain dan Khanza keluar. Khanza segera menuju kursi belakang, sementara Rain menunggu Khanza yang mengambil barangnya. Khanza menutup mobilnya setelah mengambil sebuah koper kecil dan juga tas sekolahnya. "Rumah Chandra dimana Ra?" tanya Khanza ketika ia sudah berada di sebelah Rain. "Tuh di seberang." Khanza melihat rumah yang berada tepat di depan rumah Rain. "Pantesan Chandra nempel mulu sama lo." Rain tidak mendengarkan, ia melangkahkan kakinya ke dalam. "Tunggu Ra!" Khanza berjalan menyusul Rain dan mulai memasuki rumah Rain, sesekali ia menoleh ke kanan dan kiri, melihat-lihat sekitar rumah Rain. Rumah Rain yang sekarang terlihat lebih besar, meski tak sebesar rumahnya. Tak banyak yang berubah, barang-barang di sana masih sama hanya tata letaknya yang berbeda. "Khanza." Khanza menoleh saat seseorang memanggilnya. Ia tersenyum mengetahui bunda Rain yang memanggilnya. "Bunda." Khanza segera mengha
Chandra terlihat sibuk menata dan memindahkan barang di kamarnya. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, namun lelaki itu masih berbenah. Ini adalah kebiasaan Chandra ketika merasa stress. Ia akan menata ulang barang di kamarnya untuk mendapatkan suasana baru, tak peduli malam ataupun siang. Chandra melakukannya sesuka hatinya. Tadi siang mamanya kembali ke Singapura untuk urusan pekerjaan. Itu yang membuat Chandra berani menata ulang kamarnya, jika ada sang mama pasti ia akan dimarahi habis-habisan. Mamanya akan berkata Chandra buang-buang waktu untuk hal yang tidak berguna. Chandra merasa sedikit bersyukur mamanya kembali ke Singapura, namun ia juga sedih. Bagaimanapun mamanya adalah orang yang melahirkannya, ia kadang rindu pada mamanya. Apalagi Fani yang sangat butuh kasih sayang seorang ibu. Di tengah kegiatan Chandra, tiba-tiba Fani muncul dan berdiri di pintu. "Bang, pembalut gue habis." Chandra menoleh sekilas ke arah Fani lalu melanjutkan kegiatannya. Ia hanya mengangguk dan me