Mendung menghiasi langit pagi itu. Awan-awan hitam terlihat siap menjatuhkan bulir-bulir air. Udara dingin terasa menusuk tulang, membuat siapapun enggan beranjak dari kasur mereka.
Tapi tidak dengan Rain. Gadis itu sudah bangun sejak mentari belum menunjukkan sinarnya. Ia membantu bundanya untuk menyiapkan sarapan. Meski hari ini libur, bukan berarti ia tak memiliki kegiatan apapun."Mau dibatalin?" Lima menit yang lalu ia menerima telepon dari Khanza, temannya itu mengatakan bahwa rencana jalan-jalan mereka tetap dilaksanakan meskipun cuaca terlihat tak mendukung. Rain berusaha membatalkan rencana itu. Ia malas sekali pergi. Di cuaca seperti ini, biasanya Rain lebih memilih membaca novel sambil menikmati cokelat panas."Enggak pokoknya harus jalan!" Rain berdecak mendengar jawaban dari Khanza."Si Alif bilang gak bisa dateng Za.""Ya, kan masih ada lo sama Chandra." Khanza tetap bersikukuh ingin pergi."Tapi—"Rain melihat ke arah jendela yang menunjukkan pemandangan taman belakang rumahnya. Hujan mulai turun dengan deras. Airnya membasahi tanah dan dedaunan. Bau tanah basah langsung tercium. Baunya menenangkan."Hujan Za.""Kenapa pake hujan segala sih!" Rain tersenyum, sementara Khanza sepertinya kesal."Minggu depan aja, kalo gak hujan," saran Rain."Semoga minggu depan gak hujan," harap Khanza.Rain mengangguk, meski tak terlihat oleh Khanza."Yaudah Ra, gue mau ngelanjutin nonton film semalem. Bye Ra.""Iy—" Baru ingin mengiyakan, Khanza sudah menutup teleponnya terlebih dahulu. Rain tidak kesal, ia malah terlihat senang karena bisa membaca novel seharian."Gak jadi pergi?" tanya ayah Rain saat melihat Rain tersenyum."Nggak yah, kan hujan, hehe." Rain memasukkan sesendok nasi ke mulutnya.Rain sekarang memang sedang berada di meja makan. Ia dan keluarganya sedang sarapan bersama, bahkan Juan pun ikut."Yaudah bagus, ayah khawatir kalo kamu di luar pas lagi hujan kayak gini."***Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat. Rain yang sedari tadi membaca novel baru menyadari kalau hari sudah siang, benar kata bundanya kalau sudah berurusan dengan buku ia kadang lupa waktu. Rain menoleh ke jendela kamarnya. Hujan masih belum berhenti, malah terlihat bertambah deras dan disertai petir.Rain menaruh pembatas di halaman terakhir yang ia baca. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah balkon. Pintu balkonnya terbuat dari kaca, jadi Rain bisa melihat ke luar tanpa membukanya. Pandangannya terfokus pada apa yang ada didepannya. Ia melihat Fani yang berada di balkon rumahnya. Gadis itu awalnya terlihat menikmati hujan, tapi kemudian ia terkejut melihat Rain. Sementara Rain bingung, apalagi saat melihat Fani bergegas masuk.Dia kenapa sih, ngeliat gue kok langsung kaget gitu.Tak lama setelah itu, ponsel Rain berdering. Rain bergegas mengambil ponselnya. Terlihat nomor tidak dikenal yang menelponnya. Meski ragu, Rain tetap mengangkat panggilan itu."Bang Chandra gak sama lo?" Belum mengucapkan sepatah kata pun, Rain sudah diserbu dengan pertanyaan. Dari suaranya Rain tau, yang menelponnya adalah Fani."Enggak Fan, gue dari pagi di rumah. Kenapa?""Dia tadi pagi pamit pergi sama lo, sampe sekarang dia belum pulang." Terdengar nada khawatir dari perkataan Fani.Rain langsung teringat percakapannya kemarin malam dengan Chandra. Rain mengatakan akan ikut pergi bersama Chandra asal ia tidak berangkat berdua dengan Chandra. Jadi mereka memutuskan untuk bertemu di taman dekat komplek dan berangkat menggunakan mobil Khanza. Rain tidak bilang pada Chandra kalau rencana mereka batal, ia berpikir Chandra tak akan datang karena hujan."Lo udah telepon Chandra?" Rain ikut khawatir. Ia merasa ini adalah salahnya."Dia gak bawa hp. Bang Chandra juga gak bawa motor kak, dia bilang tempatnya deket, tapi sampe sekarang gak balik-balik.""Lo tenang aja ya Fan, gue bakal cari Chandra. Lo gak usah khawatir ya." Rain mencoba menenangkan Fani meskipun dirinya juga khawatir."Iya kak."Rain mematikan sambungan teleponnya dan bergegas ke luar kamar."Kamu mau kemana Ra?" tanya sang bunda ketika melihat Rain terburu-buru menuju garasi."Ada urusan sebentar Bunda.""Ra, masih hujan. Nanti aja kalo mau keluar nunggu reda." Sang ayah mengingatkan.Rain tak menjawab, ia sudah berada di garasi. Rain segera membuka pintu garasinya dan juga berlari untuk membuka gerbang rumahnya. Setelah itu Rain menuju mobil dan menjalankannya. Beruntung hari ini ayahnya libur bekerja, jadi Rain bisa menggunakan mobilnya.Selama perjalanan, Rain tidak henti-hentinya menggigit bibirnya. Dalam hati ia berdoa semoga Chandra tidak pergi ke taman itu.Taman itu tak jauh dari rumah Rain, tak membutuhkan waktu lama Rain sudah sampai. Ia segera keluar dari mobilnya dan tidak memperdulikan hujan yang semakin deras. Baju Rain basah karena hujan. Rain menoleh ke kanan dan ke kiri, ia tak mendapati siapapun. Tapi pandangannya terhenti di sebuah pohom, Rain melihat seorang pemuda sedang duduk dan memeluk tubuhnya."Chandra!" Rain segera berlari menuju Chandra."Lo itu bego ya?! Kenapa gak pulang aja?!" Rain membentak Chandra karena kesal pada Chandra yang seolah tidak peduli pada dirinya sendiri."Chan!" Rain kembali berteriak ketika Chandra tidak meresponnya. Hingga ia menyadari ada yang berbeda dari Chandra. Pemuda itu terlihat ketakutan, badannya gemetar, bibirnya membiru, dan wajahnya pucat. Chandra menutup telinganya setiap terdengar suara petir."Chan, lo kenapa?" Rain berjongkok. Ia berusaha memeriksa keadaan Chandra. "Chandra." Rain panik saat tiba-tiba Chandra kehilangan kesadarannya.***Rain berada di ruangan serba putih, di hadapannya yang terbaring seorang pemuda. Di tubuhnya terpasang selang oksigen dan infus. Ada rasa bersalah di hati Rain saat menatap pemuda itu."Maafin gue ya Chan."Pemuda itu adalah Chandra. Rain langsung membawa Chandra ke rumah sakit setelah meminta bantuan untuk membawa tubuh Chandra ke mobil. Dokter berkata bahwa Chandra terkena hipotermia dan kemungkinan juga ia memiliki trauma terhadap petir. Kondisinya sekarang sudah mulai membaik dibandingkan saat pertama kali Rain membawanya tadi.Rain sedang menunggu orang tuanya dan Fani, ia sudah menelpon mereka tadi."Bang Chandra!" Rain menoleh ke arah pintu, ia mendapati Fani dan keluarganya. Fani terlihat sangat khawatir, gadis itu berjalan cepat menuju ranjang Chandra. Rain langsung beranjak, ia memberikan tempat duduknya kepada Fani.Fani memegang tangan Chandra. Air matanya tidak berhenti mengalir sejak tadi."Chandra nggak apa-apa Fan, kata dokter sebentar lagi dia sadar." Rain mengelus pundak Fani dan mencoba menenangkan gadis itu."Iya Fani, gak usah khawatir ya. Bang Chandra gak kenapa-napa kok. Dia kan laki-laki kuat." Bunda Rain juga mencoba menenangkan Fani.Fani mengangguk pelan. Ia menghapus air matanya. "Makasih ya kak, tan." Fani menoleh Rain dan bunda Rain secara bergantian."Oh, iya, aku belum ngurus administrasinya," ujar Rain."Biar ayah aja, kamu ganti baju. Baju kamu basah." Ayah Rain segera pergi untuk mengurus administrasi Chandra."Iya Ra, kamu ganti baju aja. Ini bunda bawain baju ganti." Bunda Rain memberikan paper bag cokelat kepadanya."Iya bun." Rain langsung menerima paper bag itu dan berjalan ke kamar mandi.***Chandra sadar sejak beberapa menit yang lalu. Saat sadar, yang pertama kali dilihatnya adalah Fani. Ia sempat bingung kenapa dirinya berada di rumah sakit. Namun kemudian ia teringat bahwa dirinya menunggu Rain di taman dan tiba-tiba turun hujan"Lo sendirian Fan?" tanya Chandra"Ada kak Rain sama bundanya. Mereka lagi beli makanan."Chandra mengangguk sebelum ia kembali memejamkan matanya, kepalanya masih terasa berat."Kan gue bilang bakal hujan, kenapa masih pergi!" Fani terlihat marah, air matanya kembali mengalir.Chandra membuka matanya, ia menatap Fani dan tersenyum. "Udah janji Fan.""Biasanya lo juga gak peduli sama janji! Pasti karena taruhan itu kan! Gara-gara taruhan itu lo sampe kayak gini!" teriak Fani. Terlihat kilatan amarah di mata hazelnya."Fan! Kecilin suara Lo. Ini rumah sakit."Fani melipat kedua tangannya dada. Ia terlihat enggan menatap Chandra.Suara pintu yang terbuka mengalihkan pandangan mereka.Suara derit pintu yang terbuka membuat padangan Chandra dan Fani beralih ke pintu. Saat pintu terbuka terlihat bunda Rain dan Rain yang masuk. "Alhamdulillah kamu sudah sadar Chan. Gimana keadaan kamu sekarang?" "Udah lebih baik kok tante." Chandra tersenyum, ia sempat memandang pada Rain yang sedari tadi menunduk. Ia bersyukur dua orang didepannya tak mendengar teriakkan Fani tadi. "Oh, iya, Fan, ini makanan buat kamu, makan dulu ya." Bunda Rain memberikan bungkusan plastik kepada Fani. Fani menerimanya lalu mengangguk. "Tante sama kak Rain, udah makan?" tanya Fani, gadis itu terlihat membuka bungkusan plastik yang diberikan bunda Rain. "Udah kok Fan," jawab bunda Rain. Bunda Rain duduk disebelah Fani. "Tante, Chandra kapan pulang? Chandra gak betah disini. Tadi, nanya sama Fani dia malah gak mau jawab." "Kata dokter kamu bisa pulang nanti Chan," jelas bunda Rain. Chandra bersyukur bisa segera pulang dan tidak lagi merepotkan keluarga Rain. *** Malam sudah larut. Tadi sore C
Sudah hampir satu jam Chandra mendengar omelan mamanya. Sejak Chandra pulang tadi sang mama sudah berada di ruang tamu. Lama tidak bertemu bukannya saling melepas rindu, malah kemarahan dan cacian yang diberikan mamanya padanya. "Pintu gak dikunci! Adik kamu yang lagi tidur kamu tinggal! Dimana sih otak kamu! Gimana kalo adikmu itu kenapa-napa?! Di perempuan Chan! Kamu bisa gak sih jaga dia?! Kakak macam apa kamu ini!" bentak mama Chandra. Chandra hanya diam, ia sudah terbiasa dengan hal itu, jadi tak terlalu mendengarkan perkataan mamanya. Kantuk mendera Chandra sejak tadi, tapi mamanya tidak berhenti mengomel, Chandra hanya bisa menguap dan mengacuhkan perkataan mamanya. "Udah ma. Udah malem, Chandra mau tidur." Chandra terlihat menguap lagi. Kemudian Chandra beranjak namun mamanya menahan tangannya. "Kamu minum! Mama ngasih uang kamu bukan buat beli barang gak berguna kayak gitu! Jangankan jaga Fani, jaga diri kamu aja gak bisa! Mau jadi apa Fani kalo kamu yang ngerawat dia! Po
Rain menoleh ke arah Chandra, di menatap Chandra seakan bertanya siapa wanita didepannya kini. Saat sedang berdebat di depan rumah Chandra tadi, tiba-tiba pintu rumah Chandra terbuka dan seorang wanita seumuran bunda Rain keluar dari sana. Wanita itu terlihat sedikit mirip dengan Chandra. Apa dia mama Chandra? "Kamu pacarnya Chandra?" Rain langsung kembali menatap wanita itu. "Eh, bukan tante. Saya tetangga di depan rumah. Saya juga teman sekelas Chandra," ucap Rain dengan sopan. "Keluarga yang baru pindah itu ya? Saya mamanya Chandra. Jadi kamu teman sekelasnya Chandra juga. Siapa nama kamu?" Chandra terlihat heran karena ibunya tiba-tiba menjadi lembut pada Rain. Ah, Chandra lupa, mamanya selalu menunjukkan sikap palsunya di depan para tetangga. "Rain tante." Rain tersenyum ke arah mama Chandra. Ternyata benar dugaannya. "Nama yang cantik, kayak orangnya. Kalian mau berangkat sekolah ya?" "Iya tante. Sebenarnya Rain juga mau nganterin ini." Rain memberikan rantang makanan ya
Suasana yang tenang berubah saat rintik hujan tiba-tiba jatuh membasahi bumi. Beberapa pengendara motor dan pejalan kaki sibuk mencari tempat berteduh. "Padahal cuma hujan air, mereka sampe kalang kabut kayak gitu. Gimana kalo hujan api." Chandra melihat ke luar tenda, terlihat para pejalan kaki yang berlarian mencari tempat berteduh. Chandra dan Rain sedang berada di salah satu tenda pedagang kaki lima. Chandra tiba-tiba mengajak Rain makan disana, ia tak tau kalau hujan akan turun. Beruntung mereka sudah disana sebelum hujan turun. Rain turut melihat ke arah yang sama dengan Chandra. Ini kali pertama makan berdua saja dengan seorang laki-laki. Biasanya Rain selalu makan dengan kakak atau ayah, jika harus dengan lelaki selain mereka biasanya ia ditemani oleh Khanza. "Kalo hujan api, pasti susah sih." Chandra tertawa, sementara Rain menatap ke arahnya. Ada rasa syukur saat melihat Chandra tertawa lagi. "Lo juga pasti neduh kan kalo hujan." "Mungkin iya, mungkin enggak," jawab Cha
Malamnya Chandra telah bersiap ke rumah Rain. ia memegang beberapa buku pelajaran dan alat tulis. Saat melintas di depan ibunya yang sibuk dengan berkas-berkas kantor di sofa, Chandra tak terhindar dari pertanyaan yang tak terelakkan. "Mau kemana?" Mama Chandra tak mengalihkan pandangannya dari kertas yang tengah dipegangnya. Chandra berhenti sejenak. Tatapan lelahnya beralih pada ibunya. Meski tahu pertanyaan itu hanya akan membuka pintu pada diskusi tak berujung, dia menjawab dengan singkat, "Rumah Rain." "Ngapain?" ibunya menyela. Chandra menggelengkan kepala, mengetahui bahwa alasan apa pun tak akan cukup memuaskan ibunya. Namun, ia tetap menjawab dengan sabar, "Ngerjain tu—" "Dia target kamu selanjutnya kan." Kali ini mama Chandra menatapnya dengan tatapan tajam. Chandra berdecak. Ia nampak tak suka dengan apa yang baru saja mamanya katakan, meski Chandra tak bisa mengelak perkataan mamanya. "Kamu emang sama kayak papa kamu! Brengsek!" Kata-kata tajam terlontar begitu saja
"Jauhin Rain kalo lo cuma datang buat nyakitin dia." Chandra diam, ia terkejut dengan perkataan Juan. Apakah Juan mengetahui yang sebenarnya? Apa mamanya memberi tahu semuanya pada Juan? Atau Fani yang memberi tahu Juan? Banyak pertanyaan muncul di otak Chandra. Keheningan semakin membuat suasana tidak terasa nyaman. Apalagi Juan masih menatap Chandra dengan serius dan Chandra pun masih terdiam, tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan. "Lo gak akan nyakitin Rain kan Chan?" Raut wajah Juan berubah. Ia tidak seserius tadi. Chandra bernafas lega, ternyata Juan belum mengetahui semuanya. "Gak mungkin lah bang." Chandra tersenyum kikuk. "Gue percaya sama lo Chan," ucap Juan dengan sungguh-sungguh. Hati Chandra kembali diliputi rasa bersalah mendengar ucapan Juan. Ia juga seorang kakak, ia tahu bagaimana rasanya jika adiknya disakiti. Apa Chandra harus mengakhiri taruhan itu dan mengaku kalah? Kenapa ia mulai goyah? Siapa Rain dan Juan. Mereka hanya orang asing di hidup Chandra. "Bang
"Beneran kamu mau pulang bareng Khanza?" tanya Chandra. "Iya, emang kenapa sih!" Rain, Chandra, dan Khanza kini sedang berada di parkiran. Mereka bertiga baru saja pulang sekolah setelah seharian bergelut dengan tugas dan materi. Suasana di parkiran masih terlihat ramai dengan para siswa yang ingin pulang atau sedang menunggu teman mereka. Rain berkata berkata ia pulang bersama Khanza, karena gadis itu akan menginap di rumahnya. Tapi Chandra sejak tadi memaksa mengantar Rain, dengan alasan takut terjadi sesuatu dengan gadis itu. Terjadilah perdebatan diantara mereka. "Udahlah Chan. Lo pulang aja, Rain aman sama gue," ucap Khanza yang lelah melihat perdebatan antara Rain dan Chandra. Jika terus begini kapan mereka akan pulang. "Aku ikut aja ke rumah Za, sekalian bantu ngemas barang," tawar Chandra. "Nggak usah! Barangnya Khanza udah siap, tinggal ambil doang!" tolak Rain dengan tegas. "Yaudah aku bantu naikin barang." Chandra masih saja keras kepala. "Kan gue udah bilang gak us
Mobil Khanza memasuki halaman rumah Rain. Setelah mobil itu berhenti, terlihat Rain dan Khanza keluar. Khanza segera menuju kursi belakang, sementara Rain menunggu Khanza yang mengambil barangnya. Khanza menutup mobilnya setelah mengambil sebuah koper kecil dan juga tas sekolahnya. "Rumah Chandra dimana Ra?" tanya Khanza ketika ia sudah berada di sebelah Rain. "Tuh di seberang." Khanza melihat rumah yang berada tepat di depan rumah Rain. "Pantesan Chandra nempel mulu sama lo." Rain tidak mendengarkan, ia melangkahkan kakinya ke dalam. "Tunggu Ra!" Khanza berjalan menyusul Rain dan mulai memasuki rumah Rain, sesekali ia menoleh ke kanan dan kiri, melihat-lihat sekitar rumah Rain. Rumah Rain yang sekarang terlihat lebih besar, meski tak sebesar rumahnya. Tak banyak yang berubah, barang-barang di sana masih sama hanya tata letaknya yang berbeda. "Khanza." Khanza menoleh saat seseorang memanggilnya. Ia tersenyum mengetahui bunda Rain yang memanggilnya. "Bunda." Khanza segera mengha