“Saat Raihan bilang tidak, rasanya agak mengganjal jika dia meneruskannya, jika Raihan bilang iya untuk pilihannya, maka Airin tidak akan ragu untuk mengiyakannya juga.!”
~Raihan dan Airin
2 Hari yang lalu
Airin terlihat memilih-milih sepatu di salah satu butik mode di mall di kawasan mall Suroria, pusat kota. dibelakangnya, Raihan yang dengan muka jengkel membawa seluruh hasil belanjaan Airin pasrah ditertawai oleh pelayan toko yang sedang mendampingi Airin di depannya.
Airin yang rupanya sadar, ikut tertawa bersama pelayan toko tersebut seraya menimpali,
“Biarin dia menderita hari ini, mbak. HAHAHAHA! 2 hari lagi dia bakal nikah, dan hidupnya bakal lebih susah lagi dari ini hahahaha.” Ucap Airin bersama dengan gelak tawanya yang membuat pelayan toko itu ikut tertawa bersamanya.
“Namanya temen mau nikah harusnya diapain, mbak? Disenengin kan? Ini malah dibikin susah! Coba lihat! Semua ini belanjaan dia, tapi semua yang bayar saya.” Protes Raihan.
“Eh diem lu ya kampret! 2 hari dari sekarang, gue udah nggak bisa nyusahin lo lagi! Cuma istri lo yang punya hak buat lo susah saat itu. Dan lo biarin gue nggak dikasih kesempatan nyusahin lo lagi? Oh, no! Nggak adil itu namanya!” Timpal Airin.
Perdebatan mereka disambut tawa dari pelayan toko yang tak habis pikir dengan tingkah mereka.
“Mbak yang ini ambil 2 ya, yang satu ukuran 38,5!” Ucap Airin pada pelayan toko itu.
“Eh ngapain sih banyak-banyak. Lu sepatu model sama mau beli dua pasang ngapain, sih?” Omel Raihan.
“Kalo mau protes, tanya dulu, kubis!” Umpatan andalan Airin keluar.”Ukuran 38,5 ukuran sepatu calon istri lo!”
Pelayan toko menyerahkan pesanan dan bill pembayaran kepada Airin.
“Nih! Bayar!” Seru Airin menyerahkan bill kepada Raihan.
“Gue yang bayar?” Raihan heran.
“Tadi gue bilang judul hari ini apa? Belanja ditraktir Raihan.Dari tadi juga lo yang bayarin, kan?” Airin protes.
“Itu sepatu 38,5 bakal lo kasih buat calon istri gue, kan?” Tanya Raihan.
Airin mengangguk.
“Iya, kenapa? Gue bakal hadiahin buat dia.”
“Tapi gue yang bayar?”
Airin hanya melihatnya heran tanpa berkedip.
“Konsepnya gimana, si!” Raihan terus protes. “Masak iya lo ngasih hadiah ke calon istri gue, tapi gue yang beliin hadiahnya?”
“Ya kan lo beli itu buat gue, kampret! Jadi itu barang gue. Karena itu barang gue, jadilah gue kasih itu sebagai hadiah ke calon istri lo. Any problems?” Penjelasan Airin tak elak ingin membuat Raihan melemparkan semua totebag yang ada di genggamannya ke muka Airin.
Sementara si pembuat penjelasan hanya tersenyum tanpa dosa di depannya disambut tawa renyah pelayan toko yang juga tidak menyangka akan kedatangan tamu aneh di tokonya hari ini.
“Bawain ini juga ya, bestie!” Goda Airin sambil menaruh totebag sepatunya bersama dengan totebag-totebag lain di tangan Raihan.
“Orang gila lu, Rin Sumpah! Makan gue sebulan, nih!” Teriak Raihan.
“Mari, mbak. Mohon dimaafin teman saya emang kadang suka kumat di tempat umum gilanya. Maaf ya mbak! Permisi.” Airin memegang pundak Raihan menuntun menuju keluar ruangan sambil terus menggoda pelayan toko.
***
“Raihan! Look!” Ujar Airin menunjuk salah satu stan di dalam mall.
“Engga.” Raihan tidak menoleh dan dengan yakin melihat wajah Airin di depannya tanpa menoleh ke arah yang gadis itu tunjuk di depan.
Kali ini ia tak akan tertipu lagi.
“Lo udah dapet banyak ini! Nggak usah lebih kalap lagi!” Raihan masih tersenyum sok manis.
Airin cemberut.
“Kalo gue nggak beli kebaya, pas nikahan lo, gue mau make apa?”
“Nah baju segala macem dari tadi mau lo buat apa? Heh!”
“Ya beli aja gitu. Kapan lagi kan gue ditraktir orang? Gue jomblo, sekalinya punya pacar, LDR. Hehe ..” Airin memasang puppy face agar kembali lolos merayu Raihan.
Raihan yang cukup muak dengan rayuan Airin akhirnya menyerah. Mereka pun masuk ke dalam butik kebaya dan sekali lagi, Raihan lah yang akan membayar nantinya.
Di dalam butik, terbalik Airin lah yang kesal kepada Raihan. Laki-laki itu yang paling kencang menolak saat diajak belanja sesuatu, tapi jika sudah masuk ke toko, dia lah yang paling cerewet tentang pilihan Airin.
Lihatlah seperti saat ini, Airin sudah memilih 11 potongan kain dan kebaya, tapi tak ada satu pun yang cocok dengan kemauan Raihan. Sementara Airin, menurut-menurut saja dengan apa yang ia katakan. Saat Raihan bilang tidak, rasanya agak mengganjal jika dia meneruskannya, jika Raihan bilang iya untuk pilihannya, maka Airin tidak akan ragu untuk mengiyakannya juga.
“Please ini terakhir!” Kata Airin dengan wajah malasnya.
“Nah make ini dong dai tadi. Bagus nih!” Puju Raihan pada akhirnya.
“Tadi kan ada model kaya gini bgst! Kok lo tolak?”
“Ya tadi kan bukan warna ini, Rin! Kalo yang ini sesuai sama konsep besok!”
Airin hanya tersenyum datar sambil menyerah menghadapi Raihan. Untung saja hari ini laki-laki itu yang akan menanggung seluruh biayanya. Jadi dia masih bisa menahan batas kekesalan walau sangat menjengkelkan.
***
Setelah menaruh belanjaan di bagasi, Airin dan Raihan memutuskan untuk berkeliling food court tempat mereka biasa mampir saat SMA dulu. Tempat itu bagai surga makanan yang tak ada habisnya, terutama mereka berdua yang sama-sama suka berwisata kuliner.
Setiap kali ada waktu senggang, Airin dan Raihan akan selalu mampir ke sini. Gedung food court ini awalnya hanya komplek outdoor yang tiap stan nya mengelilingi beringin besar di tengah. Bahkan Raihan dan Airin datang ke acara grand opening nya dahulu saat jumlah stan masih 15 biji.
Sekarang, tempat itu sudah bertumbuh dan makin besar, dengan 3 tingkat gedung yang masih tetap mengelilingi beringin di tengahnya. Mereka berdua juga menjadi salah satu dari sekian penanam modal saat tempat ini dikembangkan menjadi food court raksasa di kota ini.
Di tempat ini pula, Raihan bertemu dengan Zahra, calon istri yang akan ia nikahi keesokan hari, pada 5 tahun yang lalu. Disini pula tempat Airin biasa makan saat bertemu sang kekasih yang berprofesi sebagai seorang tentara, setiap beberapa bulan sekali karena mereka menjalani LDR.
“Kalo lo udah nikah, lo bakal pindah dong?” Sahut Airin setelah Raihan berkata bahwa dia sudah membeli rumah baru untuk pernikahannya.
Raihan mengangguk sambil menyeruput iced boba latte nya.
“Terus gue gangguin siapa nih abis ini?”
“Gimana kalo Parjo aja suruh pindah dinas kemari?” Parjo adalah nama panggilan mereka untuk Farhan, paca Airin.
“Enak emang kalo ngomong doang!” Sewot Airin.”Ini dibayarin juga, kan?” Airin memastikan pembayaran dari seluruh makanan di depannya.
“Mau bayar sendiri?” Raihan tersenyum menggoda.
“Nggak jadi nanya.” Airin memalingkan muka meminum white coffee nya.
Setelah 20 tahun lebih mereka bersama, rasanya mungkin akan aneh bagi salah satunya untuk mulai menjaga batasan masing-masing mulai 2 hari lagi. Terkadang Airin mulai membatasi acara merepotkan Raihan untuk membiasakan agar ia tak lagi mengandalkan dia untuk segala permasalahannya.
Airin mulai menahan diri untuk tidak langsung memberi tahu Raihan tentang segala kerepotannya seperti biasanya. Padahal Raihan hampir tahu segala hal tentang dirinya, tentang apa yang dia suka dan tidak, bagaimana sifatnya, bagaimana Airin ngambek, dan segala macamnya, hanya Raihan yang paham itu semua. Walau Airin ada pacar pun, dia tidak sebebas seperti saat ia bicara pada Raihan.
Untuk masalah kekasih, baik Raihan dan Airin sudah memiliki kekasih masing-masing. Dan dari mereka semua, sama sekali tidak ada yang keberatan tentang kedekatan Raihan dan Airin.
Kekasih Airin juga merupakan teman sepermainan Raihan, dan calon istri Raihan adalah teman SMP mereka yang kembali bertemu dengan Raihan di bangku kuliah.
“Han..” Sahut Airin tiba-tiba.
“Hmm?” Dibalas deheman Raihan.
“See you, ya!” Ucap Airin tulus.
Raihan kebingungan.
“Emang lo mau kemana?”
“Ya kan, lo besok nikah!”
Raihan melempar sedotan ke arah Airin.
“Apaan sih lo kayak gue mau pergi jauh aja.” Raihan melengos.
“Ih gak bisa diseriusin banget ni orang.” Airin beranjak. “Udah ayok! Nggak mau ke butik buat coba baju nikahan lo?” Airin menendang kaki Raihan yang terjulur keluar.
Raihan yang oleng karena kehilangan sandaran otomatis langsung mengumpat Airin. Dia bangkit dan menarik kerudung belakang Airin yang membuat tatanannya rusak.
Mereka keluar gedung food court bersama dengan pertengkaran kecil nan heboh yang membuat mereka terlihat akrab satu sama lain.
Sepasang sahabat yang sudah saling mengenal selama 20 tahun, yang tanpa diduga dalam suatu hari, diiringi kejadian klise dan sangat tak bisa diterima logika kebenarannya, hanya berdiri mematung, saling berpandangan dalam diam. Tak satu patah kata pun keluar dari mulut mereka walau pandangan mata mereka saling berebut dan mencoba untuk mengatakan banyak hal dari sana.Airin tak pernah memandang Raihan selama ini. Sejak dahulu, gadis itu enggan untuk menatap mata siapapun terlalu lama, kemalangan yang sering ia terima di sepanjang hidupnya membuat dia memiliki rasa empati berlebihan yang menganggap bahwa semua orang punya banyak masalah dan tak seharusnya menjadi penopang masalahnya. Tapi pada orang lain, dia melakukan kebalikannya.Kepada Raihan contohnya.Airin menjadi orang yang tahu betul bagaimana Raihan struggling menjalani hidupnya sendiri, yang baginya nampak lebih berat daripada apa yang ia rasakan. Menjadi korban perundungan hanya karena kondisi lahiriyah manusia, sungguh tida
“Harus banget, ‘mas yang nganterin?” Tanya Raihan kala sedari tadi pagi, Tito yang sejak kembali ke rumah seminggu lalu itu hanya mendiamkan dan sesekali mendengus sinis padanya, memaksa untuk mengikuti dirinya entah kemana.Pertanyaan Raihan tentang tujuan kemana sang adik hendak membawanya pergi sama sekali tak digubris. Pria muda yang gerak geriknya sangat jelas masih menaruh kesal pada sang kakak itu hanya mengatakan satu kalimat ‘hari ini ikut adek.’yang bagi Raihan terasa seperti perintah.Ia tak mampu menolak maupun mengabaikan permintaan sang adik, karena jujur, di dalam hatinya, ada sedikit rasa bersalah karena membiarkan hal yang tak normal terus terjadi seolah tak ada apa-apa di sana. Melihat sang adik mau untuk setidaknya meminta suatu hal, walau tak jelas maksudnya, membuat Raihan sedikit bisa bernafas lega.“Aku nggak pernah minta apa-apa sebelumnya, ‘kan? Setelah ini, semuanya aku pasrahin ke mas, gimanapun mau mas Raihan.” Tito sedikit menambahkan clue setelah mereka s
Entah keberuntungan atau kemalangan yang menimpa Tito saat ini. Dia mendapat kesempatan untuk berdinas di pelabuhan di dekat rumahnya selama 2 bulan ke depan, harusnya dia bahagia karena tak lagi jauh dengan keluarga, tapi di sisi lain, dia harus terus menerus menghadapi fakta bahwa di hadapannya, kebingungannya tentang kepulangan Zahra dan kepergian Airin masih belum terjawab.Seperti hari ini contohnya. Walau Tito tahu pasti Zahra lagi yang akan menyambut kepulangannya, dia tetap saja masih terkejut dan terheran-heran, ditambah lagi dengan kelakuan sang kakak yang entah dia benar tidak peka atau pura-pura tidak tahu akan sikap risih yang jelas ditunjukkan di tengah keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja.“Mas.” Sapa Tito tegas, saat ini secara kebetulan mereka datang bersama dari tempat kerja, dan hanya ada mereka berdua di tambah Zahra yang menyambut seperti biasa di daun pintu.Kali ini dengan berdalih melepas tali sepatu, Raihan masih seperti hari kemarin, selalu menghindar
Sepulang dari mengantarkan Airin kembali ke rumah 2 bulan yang lalu, Tito yang disambut dengan kabar mengejutkan akan kembalinya Zahra, sama sekali tak dapat hidup tenang di tengah penugasannya.Tito tak sempat meminta penjelasan apapun saat itu, karena ia harus buru-buru kembali ke pelabuhan sebelum kapal tempat ia bertugas kembali berlayar. Alhasil, dua bulan belakangan, pikirannya tak bisa fokus pada penugasan, karena dipenuhi akan banyak pertanyaan yang ingin ia segera temukan jawabannya. Apalagi saat itu, dia kembali ke penugasan dengan keputusan sang kakak ipar yang bersikukuh ingin berpisah, segera saat ia melihat Zahra berdiri di rumahnya.Tito yang mengetahui bahwa sang kakak kesayangannya itu tengah berbadan dua, tak tenang kala membayangkan bagaimana ia harus hamil sendirian karena bercerai, dan calon keponakannya lahir dengan kedua orang tua yang sudah berpisah.Pertanyaan itu yang paling menghantui kepalanya hingga sekarang.Tetapi, di luar dugaannya, dimana dia berharap
Kembalinya Zahra (dari sisi Raihan)Dengan kembalinya Zahra di tengah kehidupan kami, tak mengartikan bahwa keadaan akan kembali seperti semula, seperti hari-hari sebelum pernikahan.Tidak sama sekali. Jika ditanya apakah saya bahagia? Tentu, sangat bahagia. Gadis yang sangat saya cintai di lima tahun belakangan itu, yang sama sekali masih belum saya terima kepergiannya. Ketika ia kembali, dalam keadaan bugar, di hadapan saya, belum mati, tentu saja saya sangat bahagia.Hal itu seolah mengembalikan semua kebahagiaan yang menyingkir dari hidup saya sejak 3 bulan ke terakhir. Tak ada yang mampu saya katakan selain bersyukur dan merangkul dia dalam pelukan hangat, menenangkan Zahra yang sedang menceritakan keadaan pilu, yang berhasil ia lewati selama 3 bulan pasca kecelakaan tragis itu.Bagaimana saya tega dan tak terharu tentang bagaimana Zahra mungkin ketakutan, sendiri melewati masa kritis di tempat dimana tak satu orang pun mengenalnya.Zahra adalah anak tunggal kesayangan orang tu
Airin, (masih) dari sisi Raihan (II)Sudah saya bilang kan, bahwa saya yang bodoh disini. Saya yang menjadi saksi Airin tumbuh bersama luka, saya juga yang menabur garam di atas lukanya.Membuat panas dan perih luka lama, serta menimbulkan luka baru yang menganga basah.Airin mencoba untuk tetap membuat saya nyaman sebagai suaminya, saya sadar itu. Walau mimpi buruk masih dialaminya tiap malam, dia masih bisa tersenyum di pagi hari sembari menyiapkan sarapan, padahal saya tahu, Airin benci menyiapkan makanan untuk orang lain sebelum dia sendiri makan dan buru-buru berangkat bekerja pula.Dia juga yang menyadarkan saya akan eksistensinya, kala dengan bangsatnya saya memikirkan orang lain saat kami berada dalam peluh di atas ranjang, padahal itu adalah sarana pelampiasan segala emosi saya.Bodoh, ‘kan? Memang.Dosa? Jangan ditanya. Mungkin karma untuk saya sedang dibuat list nya sekarang.Tapi bodohnya lagi, saya tak menyesal. Hanya setelah berhubungan badan itu lah, saya bisa memeluk A