"Goblok," umpat Aurora.Aurora menyilangkan tangan di depan dada, mendongak, matanya menatap Dante dengan tajam. Dante tidak menyembunyikan kerut di dahinya ketika Aurora mengumpat padanya, dia menyipitkan mata dan mendecak tak suka."Ck! Kotor mulutnya.""Otak Lo tuh kotor." Aurora tidak mau kalah. Jangan salah, Aurora bisa jaim kepada orang yang dia suka tapi jika dia mau saja. Untuk saat ini, Dante memang pantas diumpati. "Menurut Lo? Gue jalan dari bawah and ketemu papah mertua sambil pamer kutang? Lu pikir gue nggak waras? Tadi gue pakai jaket, Dante."Jika Aurora adalah anak gadis yang normal, maka dia akan sangat malu untuk membicarakan ini. Kutang? Yang benar saja.Apa sih, memangnya ada yang lupa? Pertama kali Aurora berbicara dengan Dante saat ketua OSIS itu mencoba menjegal aksi bolosnya mereka sudah membicarakan pembalut dengan santai. Aurora juga sudah pernah melihat Dante tanpa sempak, setelah semua yang mereka lewati apa lagi yang bisa menyebabkan malu?Dante tidak men
"Bolos?"Kening cowok berkacamata itu mengernyit, siang ini setelah Dante menemui guru BK untuk beberapa keperluan dia dimintai tolong untuk mengantarkan lembaran latihan soal untuk Aurora, awalnya Dante akan memberikan soal itu pada Aurora nanti setelah mereka pulang, namun Bu Lasmi bilang harus segera diserahkan tidak boleh ditunda, maka mau tak mau Dante harus melangkahkan kakinya menuju kelas Aurora untuk memberikan kertas latihan soal ini.Saat itu sedang jam istirahat, tidak ada guru yang mengajar, kelas juga tidak begitu ramai, Dante mencari Aurora namun dia tidak menemukan keberadaan cewek itu, dan malah teman baik Aurora yang memiliki darah campuran keluar untuk menemui Dante, mengatakan kalau Aurora absen dari kelas hari ini.Dante cukup terkejut. Dia bolos?Benar, tadi pagi Dante berangkat sekolah lebih awal, dia sudah berangkat sebelum Aurora bangun, jadi Dante tidak tahu tentang ini."Sakit," balas Alda kemudian, Alda cukup canggung, dia dan ketua OSIS tidak pernah mengob
"Lo bikin orang-orang khawatir," ucap Dante, matanya tak lepas menatap gadis yang tengah berbaring dengan lemas itu. Dante mengingat ucapan Asmeralda tadi siang, entah mengapa dia merasa s suatu yang kurang benar sedang terjadi. "Nggak ada yang tahu kalau Lo tinggal di sini sama gue? Kakak atau bahkan teman baik Lo? Gue ngerasa jadi orang nggak bener karena ngumpetin anak orang."Apa lagi saat ini Aurora sedang dalam mode ngambek yang tidak bisa dihubungi, Dante biasanya tidak peduli dengan urusan orang, namun karena dia menjadi sasaran bertanya teman-teman Aurora, mau tak mau dia harus peduli.Jika kali ini Aurora benar-benar sakit karenanya, karena bir yang dia minum, Dante mempunyai tanggungjawab besar untuk hal ini.Aurora baru bangun, nyawanya masih entah separuh entah seperempat, yang jelas dia belum sadar sepenuhnya, namun Aurora bisa menangkap maksud dari perkataan yang Dante ucapkan."Nggak ada lah, gila kali, bisa diseret balik kalo sampe mereka tau, mereka juga nggak akan t
“Susah banget sih! Bisa stress lama-lama! Baru sembuh meriang bukannya diajak healing malah dicekoki latihan soal!”2 hari sudah berlalu. Aurora sudah sepenuhnya sehat kembali setelah seseorang menusukkan jarum infus yang paling dia benci seumur hidup ke nadi dan bahkan menghabiskan 2 kantong vitamin dengan bantuan Tuan Pacar.Aurora bahkan tidak sadar kapan tepatnya dokter datang memeriksa dan memasangkan infus di tangannya, sadar-sadar Dante sudah tertidur di samping kasurnya dengan buku terbuka, tak ingin mengganggu maka Aurora kembali tidur, dan Dante membangunkannya pagi-pagi untuk sarapan.Punggung tangan Aurora masih diperban bekas infus, namun di antara jemarinya yang sedikit gemuk imut itu malah ada bolpoin dan otaknya dipaksa berpikir saat seharusnya tidak.Memiliki pacar seorang Dante Andromeda memang sebuah keberuntungan, benar Aurora tidak memungkiri itu, Dante ganteng dan pintar, bisa dia gunakan untuk pamer ke kanan kiri, namun ada sisi gelap yang mau tak mau memb
-A/Nsebenere ini bisa jadi 2 chapter tapi saya malaszz bagi2injadi... happy reading - Aurora bersiap kabur dan sudah menarik Dante untuk lari tapi cowok itu malah diam seperti patung, tubuhnya tinggi tegap, tidak tergoyahkan, dibandingkan dengan Aurora tentu saja dia tidak ada apa-apanya jadi jangan mimpi untuk bisa kabur, yang diajak kabur saja tidak mau koperatif. Lain dengan Aurora yang panik Dante malah tampak tenang, seperti biasa, tak terganggu, tidak menangkap sinyal bahaya yang kemungkinan sudah mendekat dengan langkah cepat yang dihentak marah. Mampus. Aurora melepaskan tangan Dante, berhenti menariknya, sudah tidak bisa kabur lagi, sudah tidak mungkin, dia berdiri di belakang Dante dan berpura-pura santai seolah tak takut. Awalnya Ares hanya menemani Alda membeli beberapa makanan ringan untuk teman nonton di rumah, tidak tahu kalau ternyata di swalayan ini dia malah dikejutkan oleh presesi bocah tantrum yang sudah menghilang sok misterius selama beberapa hari itu. Oh
--"Ayo pacaran!"Siang itu. Di taman belakang sekolah, seorang gadis berseragam putih abu-abu memberanikan diri untuk bertanya. Tidak, bukan hanya sekedar bertanya. Lebih tepatnya ia mengajak, atau mungkin normalnya itu menawarkan sebuah kesepakatan dalam hubungan.Sebagai salah satu dari banyaknya remahan rengginang yang mengagumi sosok paling berbahaya pesonanya di seantero sekolah ini, Aurora tentu bisa dibilang nekat.Laki-laki yang sedari tadi fokus membaca buku di tangan pun mendongak, kerut di dahinya tak dapat disembunyikan, menandakan kalau ia terganggu. Mengedar pandangan ke sekeliling taman, memastikan kalau gadis berponi depan yang terlihat pucat ini benar-benar bicara padanya. Setelah yakin kalau ia yang ditembak laki-laki itu pun menghembuskan napas pelan.Oke. Bukan itu yang penting. Aurora lebih memfokuskan mata untuk tidak menyia-nyiakan bagaimana indahnya paras sang rupawan, laki-laki itu dengan matanya yang tajam memancarkan sorot penilaian tanpa repot-repot menyor
Beberapa bulan sebelumnya...--"Panggilan kepada siswi 11-MIPA3, Aurora Jasmeen, untuk segera datang ke ruang BK."Siang itu harusnya menjadi siang yang indah.Harusnya...Kalau saja suara itu tidak terdengar, kalau saja suara dari pengeras yang ada di tiap kelas itu tak berbunyi dan menyebut nama sang protagonis, pasti dunia akan lebih damai.Kalau saj—Wait wait wait!Protagonis?Who?Suasana kelas yang sepi karena ada pada masa istirahat seketika kian jadi sepi.Seorang gadis yang tengah menenggelamkan muka ke atas meja itu sontak mendongak. Rambutnya sedikit berantakan, wajah imut lengkap dengan poni depan itu terlihat datar sekali.Barusaja bangun tidur.Apa dunia ini tidak punya simpati? Kenapa langsung mengirim petaka pada anak gadis yang baru bersua mimpi?"Yang namanya Orora Melati mana orangnya?"Aurora melirik sedikit ke arah kanan, tepatnya pada siswi berseragam yang mempunyai wajah kebarat-baratan. Asmeralda sudah sejak orok menyandang gelar sebagai sahabat Aurora. Tapi
"Mau kemana?" tanya Alda sembari mengikuti gerak-gerik tubuh gadis di depannya. Pertanyaan itu terdengar saat Aurora barusaja kembali ke dalam kelas. Kelas juga masih ramai, bell baru saja berbunyi dan guru belum ada yang masuk. Mungkin sedang dalam perjalanan, jadi Aurora harus cepat-cepat. Benar. Setelah menempuh pemikiran panjang, Aurora akhirnya memutuskan apa yang akan ia lakukan. Gadis manis berponi depan itu menjawab tanpa menoleh pada sahabatnya. "Mau ngelabrak Cassy. Dasar bocah bego! Idiot! Ngumpetin begituan aja kaga bisa. Hih! Udah sukur gue pinjemin!" selak Aurora bersama emosinya yang belum stabil. Asmeralda menganggukan kepala. Ia mengerti. Aurora memang bukan orang dermawan, dia tidak memaafkan secara cuma-cuma bahkan untuk hal kecil sekalipun. Hal serupa ini sudah pernah terjadi, dan yang pasti nanti Aurora dan Cassy akan bertengkar, setelah bertengkar mereka bertiga akan kembali bermain bersama lagi. Sudah biasa. "Terus ngapain beres-beres tas?" tanya Alda la