Share

6. Cowwo ilang

--

Setelah cuma diam setelah menerima perlakuan tidak mengenakan yang diterimanya beberapa detik lalu, Dante Andromeda masih harus melawan keterkejutannya sendiri saat tanpa aba-aba Aurora Jasmeen menarik dasi abu-abu yang ia pakai.

Menarik. Secara harfiah. Ditarik sambil dibawa bergerak jalan.

Percayalah. Dante tidak pernah diperlakukan demikian. Membayangkannya saja tidak sekalipun. Serius? Diseret-seret sepanjang koridor sekolah.

Dante melepas jemari lentik berkutek biru milik Aurora yang dari tadi berhasrat sekali mencengkram dasinya. Wajah cowok berkacamata itu super duper datar. Dia bercanda atau memang sebal saja? Tetapi Dante pikir sepertinya mereka tidak sedekat itu untuk bercanda dan tidak semusuh itu untuk beraksi terlampau memalukan seperti ini.

Gadis manis berseragam putih itu sontak berhenti melangkah, yang cantik bermata kucing khas itu sekilas menyirit tak suka. Berbalik menatap laki-laki tinggi yang berdiri di belakangnya dengan muka dingin.

"Jangan tarik-tarik dasi gue," jelas Dante dengan nada suara pelan yang tegas seraya membenarkan letak dasinya kembali.

Aurora mendecih sensi. Sok sekali dia ini.

Namun bukannya takut setelah mendengar peringatan dari Dante, Aurora malah beralih meraih tangan Dante. Tidak boleh dasi? Tangan boleh, kan?

Belum juga genap dua detik tangan besar cowok itu Aurora genggam, Dante lebih dulu menepis jemari Aurora dan menarik mundur tangannya. Aurora sampai tercengang.

Dante mendelik tak terima. "Jangan pegang tangan juga—"

"Terus gue harus pegang apa?!" selak Aurora sebal.

"Ya nggak usah pegang-pegang!"

Aurora terlihat lebih tak terima. "Lo boleh seenaknya pegang-pegang gue, sementara gue nggak boleh pegang-pegang Lo, gitu?"

Astaga.

Bukannya beberapa menit yang lalu Aurora menyuruh Dante untuk tidak melakukan hal itu lagi karena dia merasa tidak nyaman? Lalu kenapa Aurora malah melakukan hal yang sama pada Dante padahal tau rasanya setidak nyaman apa.

Ish! Dante menghela napas pelan.

Memangnya permasalahan utama yang sedang terjadi di sini adalah tentang itu, hah? Tentang pegang-pegang tidak jelas itu?

Jelas bukan. Aurora menyeret-nyeret Dante seperti debcolector begini harusnya karena hal yang lebih penting.

"Lo mau ajak gue ke mana?" tanya Dante kemudian. "Aturan dasarnya itu, ijin sebelum ajak orang lain pergi."

"Ambil Coco," sahut Aurora. "Lo yang tinggalin Coco di halaman belakang, jadi Lo juga harus ambil dia."

Manusia ini sebenarnya segabut apa sih, sampai perkara menelantarkan tas saja repotnya sudah seperti penelantaran anak.

Dante menarik napas dalam sebelum kemudian membuangnya, cowok itu menaikan tangan guna membenarkan letak kacamatanya. Apa Dante benar-benar harus meladeni manusia merepotkan ini sepagian?

"Gue nggak bisa ikutin Lo, jam pelajaran—"

Tentu saja.

Sebelum kata-kata Dante berakhir, Aurora lebih dulu menarik tangan Dante, bukan hanya untuk digenggam, kali ini langsung diseret berjalan menuju halaman belakang.

"Gue nggak peduli ya sama pelajaran yang Lo agung-agungkan itu," celetuk Aurora penuh kekesalan. "Bodo amat! Intinya sekarang ikut gue! Ini adalah konsekuensi karena Lo ninggalin Coco sendirian! Mending Lo titipin ke Bu Lasmi sekalian daripada ditinggal! Seenggaknya BK lebih layak dari keramik halaman belakang, tau nggak!"

Sambil terus berjalan dengan tempo langkah yang cepat, Aurora tak henti-hentinya berbicara, dia bahkan tidak memberi jeda agar Dante tak bisa menyela. Dante pun tidak punya kemampuan untuk melawan si cerewet, dia biasanya tidak banyak bicara. Jadi tidak bisa.

Dante juga tak punya keinginan serta kekuatan untuk menolak. Akankah lebih baik ia menurut? Biar permasalahan ini cepat selesai, biar dendam tak jelas yang dimiliki Aurora pada dirinya impas hari ini juga dan cewek itu tak akan lagi mengganggu Dante kedepannya. Benar. Sepertinya begitu saja.

Kendati Dante masih berpikir kalau meninggalkan tas di halaman belakang bukanlah perkara besar. Jelas bukan hal besar! Dan ingat apa yang Aurora katakan pada Dante bersama teriakan beberapa saat lalu? Katanya tas itu lebih mahal dari dua ginjalnya. Huft, dasar perempuan.

Oke.

Dante sudah memutuskan untuk mengikuti ke mana langkah Aurora membawanya. Benar. Turuti saja biar cepat selesai.

Mengabaikan beberapa pasang mata yang melihat terang-terangan pemandangan langka antara Ketua OSIS tegas dan Troublemaker langganan BK bergandengan tangan, akhirnya sampailah mereka di tempat yang dituju. Tepatnya pada lorong yang ada tepat sebelum halaman belakang sekolah.

Aurora melepaskan tangan Dante yang semula ia genggam. Cewek itu melirik Dante dengan raut wajah dramatis sebelum kemudian menunjuk tas hitam miliknya.

"Liat! Coco gue!"

Dante menatap datar. Kenapa cewek ini lebay sekali. Memangnya apa yang parah? Dante bahkan meletakkan tas itu di atas kursi rusak yang tak terpakai. Bukan di atas keramik atau bahkan tanah langsung.

Tiba-tiba saja delikan dramatis di mata Aurora seketika raib. Wajah itu beralih datar dalam satu sekon. Aurora mengedip polos, lalu dengan santainya dia menabok lengan atas Dante.

"Bilang dong, kalo nggak di tanah," celetuk Aurora sambil nyengir kecil. "Bikin orang panik aja. Kalo tau Coco tidur di kursi kan gue bisa tenang. Dan nggak akan pake nyulik Lo ke sini, Ketos."

Dante hanya mendengarkan sembari membalas cengir tanpa dosa itu dengan tatapan dingin.

Memangnya Aurora memberi Dante kesempatan untuk bicara?

Tetapi daripada mendebat cewek yang sudah jelas tidak akan mau kalah ini Dante lebih tertarik untuk kembali ke kelas karena jam belajar sudah di mulai.

Tanpa berniat membuat perkara lain atau mengatakan apapun, Dante membalikan badan, dia membuang napas sembari mengangkat satu buku di tangan. Berniat membaca buku sambil berjalan, namun belum juga genap lima langkahnya tertunaikan. Tiba-tiba saja suara Aurora terdengar kembali memanggil namanya.

"Dante!"

Langkah Dante berhenti. Cowok berkacamata itu memejamkan mata sabar.

Niat untuk melunaskan masalah hari ini harus dipenuhi. Dante tak ingin berurusan dengan Aurora besok atau seterusnya.

Dante kembali, mendekati Aurora.

"Mana?" kata Aurora dengan nada panik. Cewek berpipi tembam itu sibuk merogoh isi tasnya sambil terus bertanya lagi. "Cowwo mana?"

Dante diam saja.

"Cowwo mana, ih?" tanya Aurora, sesekali mendongak melirik pada Dante, alisnya bahkan terlihat bertaut khawatir yang jelas tidak dibuat-buat. "Cowwo gue mana?!"

Dante benar-benar tidak mengerti apa maksudnya.

"Cowwo siapa lagi, sih?" balas Dante frustrasi.

Aurora benar-benar tidak bisa menemukan Cowwo di manapun. Cewek itu pun berhenti mencari di dalam tas, dia beralih mendongak sepenuhnya, menghadapi Dante.

"Anjing ucul yang gelantungan di sini!" jawab Aurora sambil menunjuk resleting tasnya. Gantungan boneka anjingnya hilang.

Mungkin, membuat nama yang sedikit unik adalah ciri khas Aurora Jasmeen.

Dante memejamkan mata sabar. "Ya mana gue tau anjing Lo itu ada di mana."

Dan Aurora hanya berdiri diam dengan mata yang terlihat berkaca.

"Udah, kan?" tanya Dante memastikan. "Tas Lo udah balik, normal no minus, barang Lo nggak ada yang ilang—"

Eh.

Lah kok nangis!

Frustasi yang semula merayap di dalam otak Dante dalam sekejap berubah menjadi rasa panik yang parah.

Aurora menangis. Pipi tembam gadis itu mulai digenangi air mata, hidungnya memerah lengkap dengan mata sembab yang sepertinya akan masih terus memproduksi air.

"C-cowwo il-ang!" kata Aurora diantara isakan. "Cowwo gue nggak boleh ilang, Dante, lu harus cariin."

Dante mengedip ragu. Pun dirinya agak gelagapan. Ia tidak pernah dihadapkan dengan tangisan seorang gadis, jadi Dante tak tau harus berbuat apa.

"E-eh, jangan nangis dong. Besok gue ganti deh bonekanya. Boneka anjing yang lucu kan? Mau berapa? Dua? Lima?"

Bukannya tenang. Tangisan Aurora malah menjadi tambah keras.

"G-ak bisa, Cowwo itu reinkarnasi K-uma. Nggak ada lagi pengganti di dunia."

Dante melipat bibir tebalnya ke dalam mulut.

Kuma siapa lagi itu? Merek pakaian olahraga?

Diantara kebingungan serta rasa gemas yang dirasakan Dante, Aurora masih setia menangis, tiba-tiba dirinya bernostalgia. Dulu sekali, saat anjing rumahnya mati Aurora tidak berhenti menangis tiga hari lamanya, hingga kemudian Papa membawa satu box besar berisi boneka anjing yang mirip dengan Kuma untuk menghiburnya.

Setelah waktu berjalan. Boneka-boneka di box besar yang semula penuh itu pun kian berkurang. Hingga sedewasa ini, tinggal satu boneka yang tersisa dan itu adalah Cowwo!

Mengingat Kuma lagi, raung tangis yang dikeluarkan Aurora bertambah keras.

"Kenapa malah tambah nangis, sih?" beo Dante panik, tangannya bergerak-gerak antara hendak memegang Aurora berupaya menenangkan atau tidak.

Sebelumnya Aurora menyuruh Dante untuk tidak menyentuhnya lagi, dan Dante juga tidak ingin dituduh mengambil kesempatan di dalam kesempitan, jadi daripada luput akhirnya ia memilih diam.

Dante memandang wajah Aurora yang basah. Tiba-tiba terpaku. Para gadis kalau menangis selalu lucu begini, ya? Mata berkaca-kaca, hidung memerah, beberapa butir air mata menggantung di ujung bulu mata, bahkan Aurora menangis tanpa rikuh sambil terus memeluk tas kesayangannya.

Dante membuang napas pelan. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku seragamnya.

"Udah jangan nangis," ujar Dante lembut. Mengulurkan sapu tangan yang ia bawa pada Aurora. "Gue harus gimana? Ngomong aja gak apa-apa, tapi jangan nangis."

Mendengarnya tangisan Aurora perlahan berhenti. Cewek berponi depan itu mendongak bersama sisa isak yang masih ada. Menatap bergantian antara Dante dan sapu tangan yang disodorkannya.

"Belum dipake," ujar Dante, merujuk pada sapu tangan itu. Barangkali Aurora curiga kalau sapu tangannya ini merupakan sapu tangan habis pakai.

Aurora menarik ingusnya sesekali. Dia pun menerima sapu tangan dari Dante kendati dalam tasnya ada tisyu yang belum dibuka.

Tetapi... ini pertama kalinya Aurora menangis di depan orang asing. Dan orang asing itu menawarinya kain kecil untuk mengusap air mata.

"Cariin. Cowwo. Sekarang. Juga."

Dante mengedip. Simpatinya perlahan mengikis.

"Jujur, Lo cuma mau ngerjain gue, kan?"

"Ih, enggak," sahut Aurora tidak terima dituduh demikian. Suaranya sengau, khas manusia selesai menangis. "Lo barusan bilang gue boleh minta apa aja yang penting nggak nangis!"

"Mana ada cewek segede ini nangis gara-gara boneka anjing ilang."

"Gak melek Lo? Ini ada, gue buktinya!"

Dante mengangkat jemari menekan pangkal hidungnya. Tiba-tiba saja kepalanya terasa pening bukan main.

"Ini abad dua puluh satu! Lo lahir tahun apa sih, masih ada orang pake sapu tangan," protes Aurora sehabis membuang ingus di sapu tangan yang Dante pinjamkan. "Jangan ngarep gue balikin ini sapu tangan dalam keadaan wangi dan terlipat rapih kayak di drama-drama ya. Kalo mau modus tuh pake cara yang trendi dikit."

Harus sekali ya meroasting di saat seperti ini? Lagian... Dante tidak berniat modus! Dante hanya sedikit panik karena ini pertama kalinya ia disandingi gadis menangis.

Nyatanya. Pribadi tenang yang tak banyak bicara seperti Dante bisa hilang kontrol begini bila dihadapkan dengan Aurora.

Dante menghembuskan napas dalam-dalam. Tanpa mengatakan apapun ia perlahan berjalan mengendap-endap seraya mencari bilamana ada boneka anjing di sana. Dari sudut ke sudut, dibalik kardus bekas, di bawah meja tak terpakai. Tidak ada.

"Itu di sana tuh coba cari!" titah Aurora terdengar, suara tangisnya juga terdengar mereda.

Dante mengabaikan, namun tak urung ia menuruti perintah Aurora, melangkah ke tempat yang gadis itu tunjuk. Dan nihil. Tidak ada.

"Udah gue bantu cari, meski gue nggak punya kewajiban buat ngelakuin itu." Dengan hela napas Dante bicara. "Dan nggak ketemu, gue ganti aja, gue beliin boneka anjing yang sama—"

"Gak mau! Gue maunya cowwo! Dia gak bisa digantiin! Lo cari yang bener dong, mata udah empat masih aja—"

Oke.

Kesabaran Dante sudah habis.

"Gue balik! Bodo amat sama Cowwo Lo itu! Nangis juga bodo amat gak peduli gue! Cari aja sendiri!"

"Dante!"

"Stop panggil-panggil nama gue seolah kita itu kenal deket."

"Nggak bisa gitu dong! Lo harus tanggung jawab! Gimanapun juga ini semua nggak akan terjadi kalo Lo nggak ninggalin—"

Saat itu, tanpa diduga ada siswi yang mendengar kalimat terakhir Aurora. Jika kalimat Aurora dan mata sembabnya digabungkan menjadi satu, tanpa bisa dicegah situasi itu menciptakan sebuah prasangka.

Siswi sekolah yang tak sengaja mendengar itu mengedip canggung sebelum kemudian mengambil langkah mundur beberapa saat kemudian.

Aurora membeku satu detik setelah sadar dengan apa yang ia katakan. Kenapa lu ngomong kalimat idiot begitu sih, Ra?! Kalo nanti ada rumor buruk nyebar gimana! Aurora sibuk dengan pikirannya sendiri sampai ia lupa bahwa ada korban lain juga.

Iya. Dante.

Dante bagaimana? Dante... selesai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status