Share

5. Pagi di sekolah

"Janela yang kemarin datang itu beneran nyokap lo, Ra?"

Tuh, kan.

Seperti yang sudah Aurora perkirakan sebelumnya. Teman-teman sekelas akan menggila saat tau kalau Janela yang itu adalah ibu kandungnya.

Bukan cuma sekedar firasat percuma, Aurora sudah pernah menjalani hari-hari seperti ini saat masih SMP. Menjadi putri dari Janela Sarasvati yang namanya wara-wiri muncul di TV sedikit banyak memang merepotkan.

Aurora yang sedari tadi sibuk melukis kuku jemarinya menggunakan kutek mengkilap berwarna biru laut juga kuning itu cuma melanjutkan kegiatannya dengan tenang.

Menyapu kuas ke atas kuku dengan rapih, tidak melewati garis kuku atau mencoret kulit jemari. Setelah selesai Aurora meniup kuku-kukunya dengan angin yang pelan, matanya berbinar memandang jemari manis yang baru dibumbui warna beken semester baru itu.

"Mama kandung, Ra? Serius?" tanya Bian- teman satu kelas Aurora lagi. Seakan tidak menyangka Aurora yang Badung dan lenjeh ini adalah putri kandung Janela yang terkenal ramah juga anggun.

For your information, sekarang ini meja Aurora sudah dikelilingi para bandot baru gede.

Aurora mengangkat pandangan matanya. Ia melirik malas sebelum kemudian menarik napas, meletakan tangan di atas meja dengan gerakan lambat sembari menatap satu persatu teman laki-laki yang datang padanya sepagian.

Mama sudah tua tapi fansnya bujang semua, ya?

"Janela yang ikut Master Chef gara-gara gabut itu, kan?" celetuk teman Aurora yang lainnya.

Aurora mengedip sembari menganggukkan kepala santai, gadis manis dengan poni depan itu juga sempat melirik Asmeralda yang dari tadi diam saja, cuma melirik sesekali sembari bermain ponsel.

"Yang mantan pramugari? Yang ikutannya iseng tapi malah menang?"

Satu kali lagi Aurora mengangguk dalam.

Ya, benar yang itu. Yang ikut kompetisi memasak nasional dengan alasan seabsurd itu memang cuma Mama Janela.

"Iya dia emak gue, kenapa?" balas Aurora kemudian, mata dengan bulu lentik itu mengedip. "Mau tanda tangan?"

Seketika pekik antusias terdengar dari kerumunan itu. Teman-teman Aurora berganti ekspresi menjadi sumringah dalam satu detik.

"Boleh?" tanya Bian memastikan.

Aurora mengangguk tanpa ragu. Dia bahkan tersenyum manis sambil menyatukan tangan jadi satu.

"Boleh dong," balasnya. "Dua ratus aja, nggak mahal."

"Dua ratus ribu doang—"

"Juta."

Putus Aurora sembari lanjut menatap kuku-kukunya lagi. Sepertinya, dua ratus juta merupakan angka yang terlalu besar untuk diucapkan dengan nada santai tapi terdengar tak bercanda, apalagi yang mengucapkan adalah anak SMA.

Aurora memang tidak bercanda. Budgetnya memang segitu.

"Eh, mahal amat!" protes Bian, sepertinya Bian ini berperan sebagai pemimpin fanclub.

Aurora langsung melirik menghakimi. Ia juga mencebik sebal, dasar bujangan ngefans tapi tidak mau modal.

"Ih, mihil imit," mimik Aurora. Dia membuang napas sebelum kemudian mengibas rambut. "Mama gue itu bisnis women. Tanda tangannya emang mahal."

Tanpa pelu repot-repot melewati proses nego alot para Janela Lovers pun menyerah dengan cepat.

"Tapi diliat dari deket, Janela cantik banget ya," ujar Bian lagi, dengan senyuman bodoh, lalu begitu kalimat pentolan fanclub itu terucap para pasukan mengiyakan tanpa tunggu lama.

Oke. Mereka menyerah mengenai tanda tangan, tapi sepertinya belum menyerah membuat Aurora marah.

Kenapa nggak balik ke meja masing-masing dan malah ngumpul di sini, sih!

"Agak beda sama Rora," ucap Bian lagi, laki-laki tinggi yang merupakan anggota futsal itu pun menscan wajah Aurora tanpa tau malu.

Mulai dari rambut lurus panjang yang berponi depan, mata imut berbinar-binar, pipi tembam bulat yang makin terlihat apalagi saat rambutnya dikuncir seperti sekarang, sampai bibir kecil yang dibubuhi liptint cery.

Tanpa rikuh atau ragu sedikitpun Aurora merauk muka Bian dan mendorong wajah itu agar mundur, tidak sopan ya membanding-bandingkan wajah perempuan dengan perempuan lain, mau itu ibunya sekalipun.

"Kali ini gue kasih ampun, lain kali awas kalo lo banding-bandingin lagi," ancam Aurora dengan mata memicing, raut wajah marah yang masih saja terlihat lucu. "Lagian gue itu lebih mirip bokap."

"Gitu aja marah, orang ngomong belum selesai," cebik Bian pelan, ia bingung harus tertawa melihat wajah Aurora atau marah karena aset masa depannya dirauk tanpa dosa. "Ya lo beda sama Janela, orang cantikan lo, maksud gue gitu."

Tidak mempan.

Si kardus akan selamanya jadi kardus.

"Tapi Janela emang auranya nggak ketulungan, bersinar banget, diem aja keliatan ramahnya, anggun pula, mana lirikannya seksi mampus," ujar Bian lagi. Mendengar kalimat yang terdengar tidak enak di telinga itu Aurora pun terusik, kali ini tidak main-main, dia melirik dan menatap serius pada Bian, apa lagi setelah cowok itu melanjutkan. "Pantesan bokap lo berpaling dari mantan buat—"

"Oi!" potong Aurora dengan nada suara yang pelan. Mata gadis yang biasanya berbinar imut itu menatap dengan keseriusan tajam, mengintimidasi dengan betul sebagai tanda kalau ucapan mereka telah melewati batas. Amat berbeda dengan Aurora yang biasa.

Alda pun terdiam, dia sudah tidak memperhatikan berita baru yang disajikan ponselnya dan beralih mengangkat pandangan untuk melihat apa yang terjadi secara nyata.

Melihat raut wajah Aurora yang kecut, Alda pun menarik napas panjang.

Hening. Tidak ada satupun yang bersuara.

Bian pun tak urung menutup mulut, sepertinya teman satu kelas Aurora itu juga sudah menyadari apa yang salah dari ucapannya setelah tatapan Aurora menusuknya beberapa detik.

Aurora meraih tangan Bian di meja, menyentuh satu persatu jemari dan kukunya, sementara mata gadis itu masih menatap dengan tatapan yang seintens semula. "Lo ada mulut tuh dipake yang bener, nggak usah ngomong sembarangan. Mau gue kutekin kuku lo biar kita bisa rumpi bareng-bareng?"

Nada bicara yang Aurora keluarkan tidaklah tinggi, hanya nada suara biasa dengan kalimat yang sedikit kasar guna menyadarkan orang yang menyinggungnya, lebih-lebih gadis itu tidak pernah meninggikan suara pada siapapun, bahkan saat marah, dia hanya akan diam lalu berkata seadaanya.

Bian pun tersentak. Dia terlihat menelan ludah sebelum kemudian menarik jemarinya dari tangan Aurora.

"R-rora judes banget hari ini," ujar Bian dengan satu cengiran canggung. "Jangan judes-judes dong, Ra. Nanti gelar manusia paling kiyowo sejagad raya direbut orang lho!"

"Ya lo kalo ngomong yang bener. Tau batas, kan?" Aurora membuang napas. "Gue lagi pms, nggak usah deket-deket!"

Bian terlihat hendak menimpali kalimat Aurora namun Alda lebih dulu berbicara.

"Udah-udah, bentar lagi Pak Heru masuk," lerai Alda. "Balik ke meja masing-masing."

Tidak mendebat, para gerombolan tadi pun menuruti apa yang dikatakan Alda. Mereka bubar dan menuju meja masing-masing karena jam belajar akan segera dimulai.

Sejak TK mereka selalu bersama, jadi daripada kalimat, diam pun Alda mengerti bahwa ada yang mengganjal di batin Aurora. Ia juga tau betapa topik pembicaraan mengenai skandal aunty Janela dan uncle Theo di masa mudanya mengganggu ketentraman mental Aurora.

Hal ini sudah pernah terjadi waktu SMP. Bahkan lebih parah.

Dan karena itu juga, Aurora tidak ingin teman-temannya tau kalau Janela Sarasvati adalah ibunya.

"Panggilan kepada siswi 11-MIPA3, Aurora Jasmeen, untuk segera datang ke ruang BK, terima kasih."

Aurora mendelik. Dia menatap Alda dengan setengah terkejut.

"Anjir, kuku gue belom kering," dongkolnya. "Bisa nanti aja nggak sih setrapnya! Kan sayang kuku baru disuruh siram kembang satu halaman."

Alda mendecak, kepalanya juga digeleng-geleng seperti orang yang tak habis pikir.

"Kalo nggak mau disuruh siram kembang satu halaman ya lo nggak usah buat kerusuhan."

"Bu Lasmi kangen berat sama gue kayaknya," celetuk Aurora, gadis itu menepuk pundak Alda. "Saya pergi dulu ya, tolong jaga kawasan."

Aurora hanya mendecak sekilas. Ia pun langsung berdiri dari kursi dan berjalan keluar dari kelas menuju BK. Hukuman harus dilaksanakan. Di sekolah yang mirip dengan pangkalan militer ini apa-apa memang disandingkan dengan hukuman.

Sepertinya Bu Lasmi memang sayang sekali dengan Aurora. Setelah sampai di ruang BK Aurora hanya diberi wejangan panjang, mengagumkan sekali, bahkan sampai akhir kalimat dan pengusiran Aurora agar kembali ke kelas Bu Lasmi tidak mengatakan hukuman apa yang harus dilakukan Aurora hari ini.

Ini tanda-tanda empat puluh hari sebelum mati apa gimana?

Sumpah deh! Aurora cuma diancam untuk tidak bolos lagi dan diperintahkan kembali ke kelas.

Aurora memiringkan kepala saking herannya, dia kebingungan setengah mati, tentu dengan senang hati Aurora akan kembali ke kelas namun setelah mengingat sesuatu yang harus diambil gadis itu mengurungkan langkah, dia kembali ke dalam ruang BK, berdiri di depan meja Bu Lasmi.

"Tas saya mana, Bu?" tanya Aurora.

Bu Lasmi yang semula sedang menyusun berkas pun menyirit, terlihat bingung.

"Tas?" tanya Bu Lasmi balik. "Tas apa?"

"Tas sekolah," jawab Aurora.

"Emang ibu ada pinjam tas sama kamu?"

"Enggak—"

"Ya udah, silakan kembali ke kelas dan jangan bolos lagi."

Lah?

Kemarin tas Aurora tidak dibawa lho! Si ketua OSIS yang menyita. Iya! Si Dante! Dan Aurora yakin ketua OSIS menyerahkan tasnya ke BK. Tapi kenapa Bu Lasmi malah bilang tidak ada? Dan terlihat tidak tau mengenai tas Aurora sama sekali.

Tas itu nggak boleh hilang! Tas cantik kesayangan Aurora!

Masa sih, tas Aurora disita oleh Dante pribadi? Dia tidak menyerahkan itu ke BK? Tapi kenapa?

Setelah mendapat pengusiran untuk yang kesekian kalinya Aurora pun akhirnya keluar dari ruang BK. Dengan langkah gamang dia berjalan menuju kelas.

Memikirkan banyak kemungkinan.

Tiba-tiba langkah Aurora berhenti. Pikiran yang serupa dengan mimpi buruk tiba-tiba hadir di kepalanya.

Apa jangan-jangan tas Aurora dibuang? Dante marah karena kemarin Aurora memberinya jari tengah?

Atau...

Dante tak terima Aurora bodohi dan tas kesayangan Aurora dimutilasi?

Mata Aurora membelalak. Dia menutup mulut dengan tangan.

Jangan sampai! Jangan sampai! Amit-amit! Ya ampun. Awas saja kalau tas Aurora benar-benar dibuang, akan Aurora sumpahi agar Dante mencret tujuh hari tujuh malam.

Puncak dicintai ulam pun tiba.

Saat Aurora baru mengangkat kepala sosok laki-laki yang sedang menjadi topik perdebatan di kepalanya tiba-tiba muncul entah dari mana. Berjalan dengan langkah lebar, membawa dua paket buku di tangan, Dante sempat melirik Aurora sekilas sebelum mengalihkan pandangan seraya menaikan frame kacamata.

Tak perlu berasmumsi yang tidak-tidak, tanyakan saja langsung.

Aurora bersidakep. Dia menanti agar laki-laki itu sampai di tempatnya berdiri sekarang.

Saat sudah dekat, dan Aurora membuka mulut hendak menyapa, betapa mengejutkan karena Dante tak menghiraukan kehadiran Aurora, dia cuma berjalan, melewati Aurora seakan tidak pernah melihat Aurora sebelum ini. Seakan tidak ada permasalahan yang perlu mereka bicarakan.

Aurora tercengang.

Dia membalikan badan. Meneriaki punggung Dante.

"Oi Ketos!" panggilnya setengah berteriak.

Dan laki-laki tinggi yang menenteng buku paket di tangan itu tidak bereaksi. Dia lanjut berjalan, menganggap panggilan Aurora sekedar angin lalu.

Aurora lebih tercengang.

Bajigur!

"Dante!" panggil Aurora lagi.

Dan kali ini Dante tampak berhenti. Lelaki itu menghentikan laju kakinya, namun tidak membalik badan menghadap orang yang memanggil. Cuma diam tak bergerak.

Aurora mendengkus kasar sebelum melangkah. Kelihatannya Dante tidak ada niatan mendekati Aurora, jadi Aurora harus melangkah mendekat pada cowok itu agar bisa bicara dengan leluasa.

Dasar tembok raksasa, rutuk Aurora saat melihat punggung lebar Dante di depan mata.

Aurora mengetuk dua kali punggung itu menggunakan jari telunjuk.

Dan beberapa detik kemudian Dante pun menoleh, dia membalikan badan hingga berhasil berhadapan dengan Aurora langsung.

Tak mengatakan apapun. Dante lebih terlihat menunggu Aurora hendak bicara apa. Yah, Aurora yang memanggil, sudah sepantasnya ia juga yang memulai pembicaraan.

Aurora tertawa paksa.

"Lo nggak liat gue?" tanya Aurora.

"Liat," jawab Dante singkat.

"Lo nggak denger gue manggil?" tanya Aurora lagi.

"Denger."

"Terus kenapa sok cool kayak jamet karbitan?"

Aurora ini manusia teman-teman, wanita, cantik, kiyowo, imut-imut, bukan laler yang bisa diabaikan begitu saja!

Aurora menarik napas, mencoba menahan sabar, gadis yang rambutmya dikuncir tinggi itu mendongak lebih tinggi. Jemari panjang berhias warna biru dan kuning itu menunjuk dirinya sendiri.

"Gue ini ada perlu ya. Kalo nggak ada perlu juga ogah gue manggil-manggil Lo," ujar Aurora.

Dante tak menghiraukan. Dia justru lebih tertarik untuk menarik tangan Aurora, menyentuh jemari Aurora satu persatu.

Aurora terkesiap sekilas sebum terdiam.

Untuk pertama kali jemarinya digenggam oleh orang yang bukan ayah, kakak atau Ares.

Pandangan mata Dante yang semula berpusat pada jemari Aurora kini berpindah, Dante membalas pandangan mata Aurora tanpa ragu.

"Di sekolah nggak boleh pake kutek. Hapus—"

"Pertama mepet gue ke tembok, ke dua ambil liptint di saku dada gue, ke tiga pegang tangan gue tanpa ijin. Habis ini apa lagi?"

Aurora menarik tangannya dari genggaman Dante.

Sampai pegang-pegang padahal cuma mau menyuruh Aurora menghapus kutek? Dia ini bercanda atau apa?

Dante membuang napas, dia mengalihkan pandangan sekilas sebelum kembali menatap Aurora.

"Ada perlu apa?" tanya Dante.

Jadi rumornya benar? Dante hanya ngobrol dengan orang lain kalau ada perlu saja? Tidak senang basa-basi dan lebih suka bicara langsung ke inti?

What a sosiopath.

Oke. Kalau begitu, Aurora juga tidak boleh basa-basi.

"Tas gue mana?" tanya Aurora.

"Tas apa?"

"Tas unyu yang waktu itu Lo begal."

"Nggak ada sama gue."

"Nggak ada juga di Bu Lasmi."

Dante tak langsung membalas.

"Yang terakhir pegang itu Lo," ujar Aurora lagi. Dia tidak tertarik untuk membuat relasi buruk dengan orang lain, jadi sebisa mungkin Aurora bertanya dengan sebaik-baiknya. "Jadi tas gue di mana, Dante?"

Dante melengos. "Di tempat yang sama lo ninggalin tas itu kemarin."

Aurora melotot.

"Dari kemarin?" tanyanya tak percaya.

Dante mengangguk singkat, cowok itu juga melirik jam tangannya, kode, supaya Aurora tidak enak dan menyuruhnya pergi.

Enggak! Enak aja mau pergi setelah menelantarkan Coco!

Memikirkan Coco Chanel yang sudah ia modif sendiri tergeletak begitu saja di atas tanah membuat bulu kuduk Aurora merinding.

"Di tanah?" tanya Aurora lagi. "Di halaman belakang?!"

Dante mendecak. "Iya, kenapa sih. Gue buru-buru—"

"Dante!" selak Aurora, tanpa sadar ia maju dan menarik dasi abu-abu yang terselampir indah di kerah baju seragam Dante. Membuat si empunya dasi terdiam penuh keterkejutan.

Yang beberapa saat lalu protes karena Dante terlalu banyak melakukan skinship siapa sebenarnya?

Aurora melotot. "Lo tau nggak sih tas gue tuh limited edition, Coco lebih mahal dari dua biji ginjal lo!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lina Maryani
tetap keren seperti biasa...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status