Vivian merasa sesak napas karena begitu penasaran. Dia sangat ingin tahu apa yang terjadi dalam hidup Robin hingga cowok itu sudah menjadi pecandu alkohol sejak berusia sebelas tahun? Selain itu, dia juga hendak bertanya apakah sampai saat ini cowok itu masih kecanduan? Akan tetapi, tentu saja tidak etis mengajukan sederet pertanyaan saat mereka akhirnya menginjakkan kaki di titik Annapurna Base Camp.
Sesi foto pun dimulai. Semua berlomba-lomba berpose di bawah papan-papan petunjuk yang menegaskan mereka sudah tiba di Annapurna Base Camp, dengan latar belakang gunung-gunung bersalju. Setelahnya, rombongan itu memutuskan untuk memasuki ruang makan luas milik salah satu tea house.
Udara di luar begitu dingin hingga terasa menusuk ke tulang. Padahal, Vivian sudah melindungi sekujur tubuhnya semaksimal mungkin. Gadis itu mengenakan kaus tebal lengan panjang yang dilapisi down jacket serta sepasang sarung tangan. Juga topi dan penutup telinga. Dia memang t
Mungkin Robin kaget mendengar kata-katanya. Namun cowok itu tidak menunjukkan perasaannya di depan Vivian. “Oh, itu. Apa yang mau kamu tanyain?”Merasa mendapat angin, keberanian Vivian pun menggandakan diri. “Serius kamu kecanduan alkohol sejak berumur sebelas tahun?” tanyanya tanpa basa-basi. Suara gadis itu tetap direndahkan karena dia tidak mau ada yang mendengar pembicaraan mereka. Di sebelahnya, Robin mengangguk.“Iya, serius. Ngapain aku ngarang untuk hal kayak gitu? Bukan hal yang oke untuk dipamerin,” balasnya. Robin melipat tangannya di atas meja. “Pasti sekarang kamu jadi pengin tau apa penyebabnya,” dia menebak.Pipi Vivian mendadak terasa hangat. Namun dia mengangguk jujur. “Iya. Mau cerita?”Hanya ada jeda sekitar tiga detik sebelum Robin mulai buka mulut. Diawali dengan kematian ibunya yang mendadak sekaligus membongkar kenyataan bahwa ayah yang dikiranya sudah meninggal ternyata m
“Aku pengin tau apa aja yang kamu lakuin di tempat rehab. Boleh?” Vivian bicara lagi. Dia baru saja meneguk cokelatnya yang sudah hangat.Tawa Robin terdengar. “Dari tadi kayaknya kamu hati-hati banget mau nanya. Takut aku tersinggung atau apalah. Iya?”“Iya, dong. Takutnya kamu malah nggak mau cerita karena ngerasa aku terlalu bawel atau tukang ikut campur,” Vivian menyeringai. Kini, dia merasa lebih santai untuk mengajukan berbagai pertanyaan karena tampaknya Robin tidak merasa keberatan.Robin tidak langsung merespons karena Ben mengumumkan mereka akan kembali ke MBC maksimal satu jam lagi. Tidak ada yang mengisyaratkan keberatan. Sementara itu, sekelompok orang bergabung di ruang makan. Mereka membuat suasana kian riuh dengan obrolan tentang betapa indahnya tempat itu.“Di tempat rehab, para pecandu biasanya ngelakuin banyak hal. Dulu, aku ngejalaninya dengan setengah hati. Aku nggak pernah beneran pengin semb
“Pernah, berkali-kali malah. Tapi sampai sejauh ini aku bisa bertahan. Pokoknya, aku selalu berusaha menyibukkan diri. Supaya nggak punya waktu mikirin soal minuman lagi.” Cowok itu mengangkat gelas kopinya. “Lima tahun terakhir ini aku cuma minum macam-macam kopi.”“Wah, kalau gitu nanti kamu harus datang ke toko roti papaku. Kami juga nyiapin kopi aneka rasa. Kebanyakan idenya dari aku,” ungkap Vivian dengan bangga. Gadis itu tertawa geli karena kata-katanya sendiri. “Toko roti papaku namanya Super Bakery. Aku jamin, kami akan nyiapin kopi-kopi enak yang rasanya unik.”Robin memandang Vivian dengan penuh ketertarikan. Alisnya terangkat. “Serius?”“Apanya?” balas Vivian bingung.“Itu, kopi enak dan rasanya unik?”“Yup!” tegas Vivian, diikuti dengan anggukan mantap sebagai penegasan.Seperti kata-kata Ben, perjalanan pulang ke tea house d
“Nggak usah ngerasa bersalah, Bin. Tante Diana itu memang jahat, kok! Tega banget bikin anak umur sebelas tahun sampai kecanduan alkohol.” Gadis itu menghela napas. “Aku simpati sama kamu, bukan kasian lho ya. Jangan salah paham. Aku tau gimana rasanya ditolak sama orang-orang yang seharusnya jadi yang terdekat sama kita,” gumam Vivian.Gadis itu mungkin tidak akan tahu seperti apa penderitaan yang harus dilewatkan oleh Robin. Namun dia memiliki pengalaman yang bisa dibilang cukup mirip dengan apa yang dilalui oleh Robin di masa remajanya.Robin tertawa tapi terdengar pahit. “Oh ya? Memangnya kamu punya pengalaman buruk apa? Aku kok nggak percaya.”Vivian berhenti. Robin pun ikut-ikutan. Rudi dan Carlo melewati mereka, sibuk mengobrol tentang rencana untuk mendaki Rinjani akhir tahun ini. Gadis itu menatap Robin dengan serius. “Aku saranin, kamu harus percaya.”“Oh ya? Harus ada alasannya dong, Vi.&rdq
Tubuh gadis itu tergelincir dan akan terjerembap ke jalanan berbatu di depannya jika tidak bisa menemukan pegangan. Refleks, tangannya menggapai ke arah Robin. Begitu jari-jari Vivian menyentuh bagian depan jaket Robin, dicengkeramnya sekuat tenaga.Vivian memang tidak terpeleset karena Robin menyelamatkannya. Namun, posisi tubuh mereka menjadi sumber kehebohan baru. Saking takutnya terjatuh, gadis itu memeluk Robin dengan erat. Dia tidak tahu bagaimana cengkeraman di jaket bagian dada bisa berakhir dengan memeluk cowok itu. Sementara tangan kiri Robin melingkari bahu Vivian.“Ciee … ada yang bikin adegan klise sinetron berdua. Ceweknya mau jatuh, trus ditolongin, berakhir dengan posisi intim yang bikin deg-degan. Cuma Robin dan Vivian yang bisa kayak begitu. Setelah Nania nggak ada, kayaknya semesta makin mendukung.”Siapa lagi yang bisa seusil itu jika bukan Allan? Kalimat cowok itu masih dilengkapi dengan suitan nakal yang mengundang gelak.
Cowok itu memberi isyarat agar mereka kembali berjalan. Udara terasa makin dingin oleh tiupan angin yang cukup kencang. Sementara jarak dengan teman-teman mereka sudah kian jauh. Robin mendadak mengulurkan tangan kanannya.“Aku pegangi kamu ya, Vi. Jangan sampai kamu terpeleset lagi,” ucap Robin sembari melambankan langkah. Tawaran itu membuat Vivian menatap Robin sesaat.“Nggak usah dipegangin, kayak orang cacat aja. Aku bakalan lebih hati-hati,” janji Vivian. Namun Robin tampaknya tak sepakat.“Waspada itu penting. Karena aku nggak mau teman curhatku kenapa-napa. Kayaknya kita punya banyak hal yang bisa dibagi. Dan aku yakin, sesi berbagi cerita ala kita masih jauh dari selesai. Aku masih punya banyak kisah-kisah mengejutkan,” argumen Robin.Tanpa menunggu jawaban Vivian, Robin memegang tangan kanan gadis itu. Robin tetap tidak melepaskan tangannya hingga mereka tiba di tea house.*
Tatapan tajamnya dialihkan ke arah Vivian. Gadis itu merasakan kebencian yang berkobar-kobar di mata ibunya. Selama ini, tak pernah Vivian melihat sikap permusuhan sebesar itu yang ditujukan untuk dirinya.“Serena! Kamu nggak pantas ngomong kayak gitu. Jangan nyalahin Vivian untuk masalah kita. Kalau menurutmu aku yang salah dan punya segudang dosa, oke! Aku nggak keberatan. Tapi jangan tuduh Vivian jadi penyebab hal-hal buruk dalam hidupmu,” tukas Barry dengan nada tegas yang tak pernah didengar putrinya. “Dia sama sekali nggak bersalah. Justru dia yang menjadi korban karena punya orangtua egois seperti kamu dan aku.”“Jadi, kamu mau aku nyalahin siapa? Nyatanya, kamu dan Vivian memang jadi biang kerok untuk kesusahanku, kok!” Serena mengangkat dagunya dengan sikap menantang. “Kalau kamu nggak pernah bujukin Papa supaya nikahin kita, hidupku nggak akan kayak begini. Aku pasti bahagia bareng orang yang kucintai.”H
Bagi Robin, diabaikan saudara tirinya memang sesuatu yang menyakitkan. Namun dia tak pernah mengira jika Vivian mengalami hal yang jauh lebih buruk lagi. Seorang ibu adalah sosok terdekat bagi anak. Jika gadis itu tak pernah merasakan kasih sayang ibunya, Robin tak berani membayangkan kesedihan yang dialami Vivian.Dia memang cuma memiliki waktu sebelas tahun bersama ibunya. Namun selama itu pula Robin bisa sangat yakin bahwa dia melewati setiap detiknya dengan kebahagiaan melimpah. Ayah kandung yang sebelumnya dikira Robin sudah mati pun, sejak mereka bertemu, tak pernah memperlakukannya dengan dingin. Intinya, Robin merasa dicintai. Walau tentu saja hubungan dengan Ariel tak langsung akrab dan cair.“Aku memang beruntung. Walau mamaku cuma selingkuhan, tapi aku nggak merasakan penolakan dari papaku sama sekali,” kata Robin pada salah satu relawan saat terakhir kali menjalani proses rehabilitasi. “Itu yang sekarang ini bikin aku pengin beneran bersih