Share

SIHIR CINCIN PENGANTIN

Telapak kaki yang basah baru saja menapaki keset tipis yang kusam. Seluruh batang betisnya dipenuhi butiran air. Tubuh bagian atas dan setengah pahanya hanya ditutupi kain jarik yang warnanya sudah pudar, sepudar isi dompetnya menjelang akhir bulan.

“Bedak sekarat. Body lotion mau habis. Sabun udah kombinasi sama air. Tck! Lengkap sudah derita akhir bulan,” keluh wanita itu ketika duduk bersimpuh di depan meja berkaki pendek. Selain cermin bulat yang dibingkai plastik hijau, meja itu juga menampung beberapa peralatan make up sekadarnya.

Ketika wanita itu menggosok rambut dengan handuk yang masih melilit kepala, ingatannya tersangkut pada satu benda yang disembunyikan di bawah bantal. Dia bangkit dan mengambil benda kecil itu. Cincin permata hitam. Dia tersenyum mengamati kilau permata itu.

“Kalau dilihat-lihat lagi, cincin ini ternyata cantik juga, ya. Kenapa tadi malam aku malah merasanya kayak horor banget?” gumamnya pada diri sendiri.

Tadi malam, Gami sempat memandangi cincin itu cukup lama. Ada rasa takut yang menyekat setengah hatinya. Pasalnya, benda itu milik pengantin yang tewas secara tragis. Dia takut arwah pemilik cincin akan menggentayanginya dan menyuruhnya mengembalikan cincin itu ke liang kubur.

Gami tahu pikirannya sudah terkontaminasi film horor. Namun, dia tidak bisa mengenyahkan ketakutakan itu. Dia buru-buru menyimpan cincin itu di bawah bantal. Kemudian bergegas tidur.

“Kayaknya bakalan pas, deh, di jariku,” ucapnya setelah mengamati ukuran lubang ring.

“Mbak Pengantin, Mas Pengantin--saya boleh nyobain cincinnya, ‘kan?” tanyanya pada cincin itu. Dia seolah meminta izin kepada arwah pasangan pengantin.

“Boleh, Gami. Pakai aja,” jawabnya sendiri sambil merubah suaranya menjadi jauh lebih lembut, seolah suara itu milik si pengantin wanita.

Merasa lucu dengan tingkah konyolnya, Gami pun tertawa sendiri. “Ini kalau ketahuan Bang Dira, aku bisa dimasukin ke rumah sakit jiwa,” katanya sambil berpindah ke meja rias.

Gami memasang cincin di jari manis kiri secara perlahan. Dia tertawa sendiri karena membayangkan Wiralah yang menyematkan cincin itu.

“Aku udah mulai gila, nih, kayaknya,” ucapnya sambil tertawa dan memandangi cincin yang tersemat indah di jari manisnya.

“Benar, ‘kan? Ukurannya pas banget. Jangan-jangan cincin ini memang ditakdirkan buat aku.” Ucapannya diakhiri dengan tarikan napas kaget setelah matanya tidak sengaja menangkap pantulan diri di cermin.

Ketika itu, reaksi tubuh Gami benar-benar spontanitas. Matanya membelalak sempurna, tangannya membekap mulut yang menganga, otot tubuhnya menegang tak terkira, dan napasnya tersekat entah di rongga dada yang mana.

“Astaga! Kok ...?”

Siapa yang tidak terkejut melihat perubahan diri seektrem itu? Gami yakin betul jika beberapa saat yang lalu, wajahnya masih sama; berjerawat, banyak flek hitam, komedo bertaburan di mana-mana, dan yang paling penting kulitnya masih kusam dan gelap. Sekarang ...?

“Ini beneran aku?” tanyanya sambil meraih cermin. Berusaha melihat pantulan diri dari dekat.

“Gila!” pekiknya saat menyentuh pipi. Biasanya, jemarinya akan langsung merasakan puluhan tonjolan keras seperti bisul. Sekarang, jarinya seperti mati rasa. Ya, dia tidak merasakan apa pun. Telapak tangannya seperti mengusap keramik baru yang mulus dan licin. Jerawat dan komedonya hilang entah ditelan bakteri apa.

Gami beranjak mematikan lampu untuk memastikan satu hal lagi. Setelah ruangan sedikit gelap, dia menyibak tirai dan membuka jendela. Dia kembali bercermin untuk memastikan warna kulitnya tidak berubah cerah gara-gara pantulan cahaya lampu.

Ternyata semuanya real. Bahkan rona kulitnya jauh lebih cerah saat terpapar cahaya mentari.

Seolah tidak cukup, Gami memeriksa kulit tangan, paha, dan betisnya. Ternyata tidak jauh berbeda dengan kulit wajahnya. Putih, cerah, dan mulus tanpa bulu.

“Ini kenapa, sih? Kok, bisa gini?” tanyanya panik. Tentu saja dia panik. Perubahan itu terlalu ekstrem. Dia memang terlihat jauh lebih cantik dan memesona melalui cermin. Namun, dia tidak mengetahui apa penyebab pastinya.

“Ini beneran aku, ‘kan? Beneran Gami, ‘kan?” tanyanya sampil menepuk-nepuk pipi. Mengamati sekali lagi setiap lekuk wajahnya. Namun, dia yakin betul bahwa wajah yang terpantul dalam cermin adalah Anggita Gamila. Bukan orang lain.

“Perasaan kemarin aku enggak pakai skin care apa-apa. Langsung tidur aja. Kok, bisa jerawatku hilang enggak berbekas kayak gini,” cicitnya lagi sambil mengamati kulit wajahnya yang bening.

Perubahan itu sangat tidak masuk akal. Bahkan mustahil. Sekalipun dia memakai krim dengan harga jutaan, bisakah kandungan kimia menghilangkan jerawat dan memutihkan kulitnya dalam waktu sekejap? Kecuali jika krim itu mengandung sihir.

“Sihir?”

Ya. Jika keadaan itu tidak masuk logika, berarti hanya ada satu jawabannya, sihir.

“Tapi, sihir apa?”

Gami kembali duduk bersimpuh di depan meja. Cermin yang sejak tadi digunakan sebagai alat identifikasi ditelungkupkan di meja. Keningnya berkerut. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja sambil berpikir keras.

Otaknya berusaha menayangkan ulang adegan yang dia lakukan sejak bangun tidur. Namun, tidak ada hal aneh apa pun yang dia lakukan selain menyematkan ... cincin?

Gami melotot menatap cincin permata hitam yang berkilau di jari manisnya. “Enggak mungkin!” sangkalnya sambil menggeleng. “Mustahil!”

Untuk memastikan dugaannya benar atau salah, Gami pun mencopot cincin itu. Dengan jantung yang berdegup kencang, dia mengambil cermin. Seketika, napasnya tertahan dengan sendirinya.

Jerawat itu ada! Flek itu nyata! Warna kulitnya berbeda!

“Ini apaan, sih?” Dia buru-buru menelungkupkan cermin itu. “Mungkin cerminnya yang bermasalah.”

Gami buru-buru beranjak menuju toilet di seberang kamar. Ada belahan cermin yang menempel di dinding. Cermin itu memperlihatkan wajah yang sama seperti Gami yang biasanya, penuh jerawat dan flek hitam.

Ada rasa kecewa yang menyempil dalam benaknya. Ya, meskipun tidak masuk logika, dia tidak menampik jika sebelumnya dia sempat merasa senang karena perubahan wajahnya yang pasti akan membuat Wira jatuh cinta. Namun, begitu menyadari semuanya kembali seperti sedia kala, dia pun hanya bisa tersenyum legawa.

“Mungkin efek kebentur tadi malam, mataku jadi bermasalah,” ucapnya membesarkan hati.

Gami ingin menyudahi fantasi gila itu. Dia pun berpaling hendak membuka pintu. Namun, sebelum memegang gagang, hatinya tergerak untuk kembali memasang cincin permata hitam. Dia pun kembali menyematkan cincin itu di jari yang sama seperti sebelumnya.

Seolah dipermainkan keadaan, Gami kembali dibuat terkejut. Bagaimana tidak? Dia menyaksikan sendiri bagaimana perubahan warna kulit tangannya secara konstan dari cokelat cenderung gosong menjadi seputih salju.

Gami buru-buru kembali mengintip cermin. Benar saja. Gami versi cantik jelita kembali terpantul di sana.

“Berarti gara-gara cincin ini?” tanyanya sambil menatap cincin di jari. “Masa, sih? Enggak mungkin banget!”

Demi membuktikan dugaannya salah, Gami melepas cincin itu tanpa mengalihkan pandangan dari cermin. Dia sudah mewanti-wanti matanya untuk tidak mengerjap sedikit pun. Matanya harus menjadi saksi bahwa cincin itu tidak menyebabkan perubahan apa pun.

Gami tertawa miris setelah mendapati perubahan yang nyata setelah melepas cincin dan memasangnya lagi. Ternyata benar. Gami versi cantik adalah efek magic yang disumbangkan cincin itu. Sementara Gami versi dekil adalah dirinya yang asli ketika tidak mengenakan cincin misterius itu.

“Jadi cincin ini benar-benar punya kekuatan mistis?” Dia menatap nanar pada cincin itu.

Jelas, logika dan akal sehatnya menolak percaya. Namun, apa yang harus dia lakukan jika setelah memasang dan melepas cincin itu, perubahan visualnya benar-benar tertangkap secara kasat mata? Apakah dia masih bisa berucap tidak percaya?

“Okay, Gami. Sekarang bukan waktunya untuk mengurusi cincin ini. Kamu harus kerja! Kalau enggak, gaji kamu bakal berkurang dan kamu cuma bisa gigit jari pas awal bulan nanti,” ucapnya sambil menatap pantulan Gami versi jelita.

Gami pun bergegas keluar toilet. Dia tersenyum mendapati Wira hendak mengetuk pintu kamarnya.

Kebetulan Wira mendengar suara pintu terbuka di belakangnya. Saat menoleh, keningnya langsung berkerut melihat Gami.

“Ada apa, Mas?” tanya Gami sambil tersenyum.

Wira tidak menjawab. Badannya berbalik secara perlahan. Matanya menyorot penuh selidik.

“Kenapa, Mas?” tanya Gami lagi. Perasaannya mulai tidak enak. Sorot mata Wira benar-benar mengganggunya.

“Kamu ... siapa? Kenapa bisa ada di rumah saya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status