Keheningan membungkus suasana dalam mobil. Bayangan keluarga pengantin yang bertumbangan di lantai terputar ulang dalam ingatan Gami dan Wira. Isak pilu dan teriakan histeris masih meramaikan pendengaran meskipun kenyataannya tidak ada siapa-siapa di sekitar keduanya.
Ya, pasangan tragis itu meninggal di meja operasi. Keluarga yang tidak siap melepas kepergian keduanya, lantas meluapkan perasaan dengan tangisan dan amukan.
“Tragis banget, ya, Mas,” ucap Gami dengan sorot mata kosong ke depan.
Wira hanya menanggapi dengan gumaman. Bibirnya enggan bergerak. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus berkomentar apa. Duka yang dirasakan keluarga telah menular ke dalam hatinya.
“Semoga kita enggak kayak gitu, ya, Mas.”
Kali ini Wira menoleh dengan sebelah alis terangkat. Dia tidak mempermasalahkan doa yang dipanjatkan Gami. Hanya saja, kata ‘kita’ cukup mengganggunya. Bukan terganggu dalam artian tidak suka, tapi lebih seperti merasakan sesuatu yang aneh menyentuh hatinya.
Meskipun tidak ikut menoleh, Gami merasakan tatapan Wira. Dia menyadari bahwa pria itu terganggu dengan doanya. Untuk itulah dia menyengir lebar, lalu memberikan klarifikasi.
“Maksud saya, semoga Mas Wira panjang umur. Kalau menikah nanti bisa langgeng sampai akhir hayat. Punya banyak anak. Kalau perlu bisa ngerasain capeknya jadi kakek-kakek.”
“Begitu juga dengan saya. Semoga saya bisa menikah sama Mas Wira, terus bisa produksi anak banyak-banyak, dan masih bisa bergulat di ranjang meskipun udah jadi nenek-nenek,” tambahnya. Kemudian menoleh dan melemparkan cengiran yang lebih lebar.
Meskipun diutarakan dengan cengiran, bukan berarti Gami bercanda. Dia sangat serius. Harapannya untuk bisa menikah dengan Wira adalah satu hal yang nyata. Cengiran tadi hanya kamuflase agar Wira tidak menganggapnya serius hingga merasa terbebani atau tidak nyaman dengannya.
Beruntung Wira benar-benar tidak menanggapi serius. Alih-alih merasa kesal karena Gami merobohkan tembok pembatas antara majikan dan asisten, Wira justru merasa terhibur. Dia senang karena Gami tidak pernah kikuk dan sungkan kepadanya.
Selama ini, Wira sudah sering mendengar Gami menggombalinya. Bahkan wanita itu terang-terangan menunjukkan rasa sukanya. Namun, tidak mudah baginya untuk membedakan, apakah sikap Gami padanya benar-benar tulus karena rasa suka atau hanya cari muka dan sekadar bercanda.
Apakah Wira menyukainya? Tentu saja. Ketimbang Adisti yang selalu sungkan dan tidak berani menatap majikan, Wira lebih menyukai ketidaksopanan Gami. Terlebih lagi Gami adalah pengasuh kucingnya. Tidak mungkin, ‘kan, Wira membiarkan orang yang tidak dia sukai merawat peliharaannya?
Jadi, jelas bahwa rasa suka yang dirasakan Wira hanya sebatas itu. Bukan rasa suka pria pada wanita.
“Oh, ya. Tanganmu, ‘kan, lagi luka. Besok enggak usah bersihin rumah belakang. Biar Adisti aja yang ngerjain,” kata Wira.
Seharusnya Gami senang dibebastugaskan. Anehnya, keningnya malah berkerut tidak setuju.
“Kok, Adisti, Mas?”
“Terus siapa? Saya?”
Gami menggeleng. “Bukan gitu maksud saya. Saya enggak rela kerjaan saya diambil Adis. Nanti kalau Mas Wira juga diambil sama dia gimana?”
Wira tertawa lagi. “Kamu, tuh, ngomong apaan, sih? Melanturnya jangan kebangetan, deh.”
Gami kembali menggeleng. “Saya enggak lagi melantur, Mas. Tapi saya tersanjung, loh, atas perhatian Mas Wira. Jarang-jarang ada majikan yang ‘ngeh’ sama luka kecil kayak gini.” Dia mengguncang-guncangkan telapak kanannya yang dipenuhi goresan dan ditempeli plester luka.
“Gimana saya enggak ‘ngeh’ kalau kamu dapat luka itu waktu jalan sama saya.”
Gami mengulum senyum. Kemudian mencolek lengan Wira sambil tersipu. “Jadi ... Mas Wira nganggapnya kita tadi lagi nge-date, ya, Mas?”
“Hah?” Wira melongo. Jelas bukan seperti itu maksudnya. Namun, alih-alih meluruskan, dia memilih membiarkan Gami mengunyah pemahamannya sendiri. Lagipula Wira yakin, Gami tidak akan segegabah itu mengambil kesimpulan. Wanita itu hanya sedang menggodanya.
“Saya masih bisa kerja, kok, Mas. Lagipula saya, ‘kan, pakai sarung tangan karet.” Gami mengembalikan topik setelah senyumnya dapat dikendalikan.
“Emangnya kamu bisa megang gagang sikat?” Wira tidak yakin. Goresan sebanyak itu pasti akan menyulitkan Gami dalam menggenggam benda. Terlebih lagi yang terluka itu tangan kanan.
Untuk meyakinkan Wira bahwa ucapannya benar, Gami pun mempraktikkan langsung. Meskipun tidak bisa maksimal, dia berhasil mengepalkan tangan.
“Enggak usah dipaksain, Gami. Kamu pikir saya enggak dengar kamu meringis-ringis?”
Gami tersipu lagi. “Mas Wira perhatian banget, ish. Saya jadi ngebayangin gimana kalau nanti saya hamil dan melahirkan. Perhatian Mas Wira pasti ektra eksklusif.”
“Astaga ....” Wira tertawa sambil geleng-geleng kepala. Dia juga memalingkan muka. Menatap jalanan melalui jendela sekaligus menyembunyikan tawa yang tidak bisa reda secepat biasanya.
“Oh, iya.” Wira tiba-tiba teringat sesuatu yang berhasil meredupkan tawanya. Dia kembali menengok Gami. “Kamu belum jawab pertanyaan saya soal barang punya pengantin itu. Kamu masih simpan, ‘kan?”
Dalam detik ke tiga, Gami langsung menepuk dahinya. Dia merutuki ingatannya yang mulai menua. Bagaimana bisa dia lupa mengembalikan barang sepenting itu kepada keluarga korban?
“Saya lupa mengembalikan, Mas,” ucapnya penuh sesal.
“Jawab dulu pertanyaan saya, Gami. Kamu mengambil apa?”
“Cincin, Mas.”
“Cincin nikah?”
Gami menggeleng. “Enggak tau, Mas. Kayaknya, sih, bukan. Soalnya aku nemuinnya bukan di jari mereka, tapi di lantai--eh, bukan-bukan--di bagian dalam atap mobil yang jadi lantai. Mobilnya, ‘kan, terbalik,” jelasnya.
Kening Wira berkerut. Otaknya berusaha mencerna lamat-lamat penjelasan Gami.
“Mas sadar enggak kalau pengantin itu enggak pakai cincin?” tanya Gami.
Wira ingat saat di TKP Gami memberi tahu bahwa pasangan pengantin itu tidak mengenakan cincin. Sayangnya, meskipun sempat terkontak dengan kedua korban, Wira lupa mengamati jari manis keduanya. Alhasil, dia tidak mendapati dengan mata kepalanya sendiri kalau pasangan yang baru menikah itu tidak mengenakan simbol pernikahan.
“Coba sini cincinnya!” Wira menjulurkan telapak tangan kiri. “Saya mau lihat,” jelasnya.
“Eh, nanti aja, deh,” ralatnya tiba-tiba.
Tangan yang tadinya terulur sudah kembali meremas kemudi. Tangan itu harus bekerja sama dengan pasangannya untuk memutar setir. Mereka sedang menyeberang ke kompleks perumahan.
Wira terpaksa mengulur rasa penasarannya karena sebentar lagi mereka akan sampai di rumah. Tempat tinggal Wira tidak jauh dari gapura kompleks. Rumahnya terletak di sisi kanan. Berada di urutan ke tiga dari rumah-rumah megah yang menjadi pendahulunya.
Gami turun setelah Wira memberhentikan mobil. Dia membuka pagar lebar-lebar agar mobil bisa berlalu dengan mudah.
Adisti yang kebetulan hendak membuang sampah langsung menghampiri Gami. Dia tergopoh-gopoh menyeret kantong plastik hitam berukuran besar yang isinya penuh. Dia menanyakan kondisi pengantin yang menjadi alasan Gami dan Wira pulang terlambat.
“Enggak selamat,” jawab Gami sambil menggeleng prihatin.
“Kasian banget, ya. Belum ngerasain honeymoon udah berpulang,” timpal Adisti yang juga ikut berduka.
“Ya, mau gimana lagi? Namanya juga takdir. Seenggaknya, mereka udah nepati janji sehidup semati,” tanggap Gami.
Setelah itu, keduanya berpisah. Adisti lanjut membuang sampah, sedangkan Gami masuk ke rumah.
Sepanjang langkah, Gami memikirkan bagaimana cara mengembalikan cincin permata hitam yang masih tersaku aman di celananya. Dia menyesal tidak meminta nomor salah satu keluarga korban.
“Tapi, mana mungkin aku kepikiran minta nomor mereka? Situasinya, ‘kan, emang enggak memungkinkan,” gumamnya sambil membuka dan menutup pintu kamar.
Gami langsung mengempaskan tubuhnya ke kasur. Dia mengerang saat merasakan sakit di punggung. Entah karena apa.
“Gila! Capek banget! Tulang belulang rasanya pada rontok semua,” keluhnya sambil membenahi posisi agar semakin nyaman.
Sambil memejamkan mata, dia mendesah lega karena pulang dalam keadaan hidup. Dia juga bersyukur karena Wira tidak mendapatkan luka serius.
“Soal cincin biar dipikirkan nanti. Sekarang aku mau tidur dulu. Capek! Ngantuk!” ucapnya pada diri sendiri sambil memiringkan badan dan merengkuh guling.
Telapak kaki yang basah baru saja menapaki keset tipis yang kusam. Seluruh batang betisnya dipenuhi butiran air. Tubuh bagian atas dan setengah pahanya hanya ditutupi kain jarik yang warnanya sudah pudar, sepudar isi dompetnya menjelang akhir bulan.“Bedak sekarat. Body lotion mau habis. Sabun udah kombinasi sama air. Tck! Lengkap sudah derita akhir bulan,” keluh wanita itu ketika duduk bersimpuh di depan meja berkaki pendek. Selain cermin bulat yang dibingkai plastik hijau, meja itu juga menampung beberapa peralatan make up sekadarnya.Ketika wanita itu menggosok rambut dengan handuk yang masih melilit kepala, ingatannya tersangkut pada satu benda yang disembunyikan di bawah bantal. Dia bangkit dan mengambil benda kecil itu. Cincin permata hitam. Dia tersenyum mengamati kilau permata itu.“Kalau dilihat-lihat lagi, cincin ini ternyata cantik juga, ya. Kenapa tadi malam aku malah merasanya kayak horor banget?” gumamnya pada diri sendiri.
Wira menyorot tajam pada wanita asing di hadapannya. Siapa dia? Kenapa pagi-pagi ada di rumahnya? Kenapa menggunakan toilet khusus karyawannya? Kenapa hanya mengenakan kain jarik sedada? Kenapa memanggilnya ‘Mas’ seolah sudah akrab lama dengannya?Apakah dia penyusup? Jika benar, siapa yang sedang dia kuntit? Dira atau dirinya?Otaknya membentak menyuruh berteriak. Namun, nuraninya berontak dengan alasan kasihan.“Mas ... enggak kenal saya?”Pertanyaan macam apa itu? Jelas Wira tidak mengenalnya. Bertemu saja baru pertama kalinya.Wira ingin sekali membalasnya sarkas. Namun, sisi lembut hatinya melarang. Dia memilih bungkam. Membebaskan wanita itu berspekulasi sesuka hati.“Saya ... kakaknya Gami, Mas. Gita.”Benarkah? Wira baru tahu kalau Gami memiliki saudara, padahal sudah setahun wanita itu bekerja di rumahnya.Ah! Wira baru sadar bahwa selama ini jarang menanyakan hal-hal yang menyangkut
Gami masih mengagumi kecantikan sendiri ketika ketukan pintu berbunyi. Dia refleks meniarapkan cermin dengan keras sampai terdengar bunyi rengat. Namun, dia mengabaikan bunyi itu dan bergegas menggapai pintu.Ternyata, sang pengetuk pintu masihlah orang yang sama. Pria tampan dengan perawakan tinggi yang rambut gondrongnya sering dikuncir rapi.“Kenapa balik lagi, Mas? Udah kangen, ya, sama saya?” godanya sambil tersipu malu. Bahkan menghantamkan dahi sendiri ke papan pintu.Gandi yang semula berekspresi biasa saja berubah ‘ilfeel’ dalam sekejap. “Please, jangan ngarang, ya, Mbak. Saya ke sini mau cari Gami.”Mbak? Gami?Astaga! Gami lupa bahwa dia masih mengenakan cincin. Itu artinya, jati dirinya masih sebagai Gita. Pantas saja Gandi terlihat ‘ilfeel’. Bagaimana mungkin wanita cantik yang baru berkenalan dengannya sudah menggodanya sedemikian menjijikkan?Ah! Belum apa-apa dia sudah menghancu
Hidung kucing kampung berwajah lonjong tengah bergerak-gerak. Mengendus aroma asap yang bergoyang-goyang di atas genangan pekat.“Usro mau kopi juga?” tanya si pemilik kopi sambil mengangkat kucingnya dari nakas.“Tolong bawain ke balkon, ya, Gami,” pintanya sambil melangkah menuju tempat yang diinginkan. Juga mengelus lembus kepala anabulbetina yang meraung-raung entah karena apa.“Katanya Mas Wira ketemu sama kakak saya, ya?” pancing Gami yang mengekor sambil membawa cangkir kopi. Dia penasaran, apa yang dipikirkan Wira setelah bertemu Gita yang mulus dan jelita. Apakah tanda-tanda jatuh cinta sudah ada?“Itu yang mau saya omongin ke kamu,” kata Wira. Duduk bersila di kursi kayu. Membenahi tata letak pantat Usro agar nyaman duduk di pangkuannya.“Kamu lupa aturan di rumah ini?” lanjutnya dengan pertanyaan retoris. “Enggak boleh bawa siapa pun menginap di sini tanpa izin saya
Memble. Masam. Kusut. Kehilangan semangat hidup. Begitulah keadaan Gami usai mengobrol dengan Wira.“Kalau seorang Gita aja enggak bisa bikin Mas Wira terkesan, terus seleranya yang kayak gimana?” erangnya frustrasi sampai tega memberantakkan rambut sendiri. Kuncirannya pun kini tak lagi berbentuk.“Buat apa, sih, punya wajah cantik kalau enggak bisa bikin orang lain nyaman?” tirunya sambil bertandak. Meledek ucapan Wira yang menurutnya telah membunuh asa--asa untuk terlahir kembali sebagai Gita.“Sebenarnya kamu, tuh, maunya cewek yang kaya mana, Mas Wira?” tanyanya gemas seolah lawan bicaranya duduk di hadapan.“Saya harus berubah jadi apa supaya bisa mendapatkan hati kamu? Jadi guling biar bisa dipeluk tiap malam? Mungkin jadi baju biarbisa nempel terus sama kamu? Atau ... jadi jok mobil biar bisa nyium pantat kamu? Saya mau, kok, jadi benda mati apa aja asalkan bisa terus sama kamu. Masalahnya, saya haru
“Wira itu paling enggak suka sama cewek yang keganjenan kayak kamu.”Bibir Gami maju lima senti. Manyun. Kecewa karena usahanya untuk meraih perhatian Wira selama ini justru menjadi nilai minus.“Masa, sih, Bang?” Berharap Dira akan berkata ‘bercanda’.“Yeee, dibilangin enggak percaya. Ngapain nanya kalau begitu?”Sekarang Dira ikut memutar badan, sepenuhnya menghadap Gami. Berhubung masih dalam keadaan jongkok, pria itu melipat kedua tangan dan menopangkan di atas lutut.“Kalau mau mendekati Wira itu harus dengan cara yang elegan. You know elegant? Jangan flirting terus! Kamu harus jaga image! Aturannya begini: cewek itu dikejar, bukan mengejar; cewek itu dicintai, bukan mencintai; cewek itu ditembak, bukan menembak.”“Tapi, ya, Bang, kalau saya enggak gerak duluan, Mas Wira enggak akan--”“Itulah kesalahan kamu,” potong Dira. “Kamu pikir semua
“Tolongin, dong, Maaaas.” Gami memelas. Memasang wajah butuh pertolongan. “Saya enggak kuat, nih.”Ketika itu, posisinya tengah membungkuk. Memegang karung makanan kucing yang terbaring di pijakan motor metic.Gami baru pulang dari pet shop, membeli dua karung makanan kucing hingga perlengkapan mandi. Di teras, dia bertemu dengan Wira yang hendak joging sore. Pertemuan itu dia manfaatkan untuk flirting dengan Wira.“Biasanya kamu bisa, tuh, angkat sendiri sampai ke rumah belakang,” kata Wira sambil berpegangan pada kedua buncu handuk yang terkalung di leher. Tak ada niatan membantu. Wajah memelas Gami tidak membuatnya iba sama sekali.“Yah, Mas. Masa nolongin sekali doang enggak mau, sih? Saya ini cewek, loh, Mas. Masa Mas tega, sih, lihat saya angkat yang berat-berat kayak gini?”Gami menurunkan karung itu dari motor. Pura-pura kepayahan. Padahal biasanya dia mampu memanggul dua karung sekaligus.
Gami berdiri di depan cermin besar dan kinclong. Cermin itu memperlihatkan pantulan diri seutuhnya, mulai dari ujung kaki sampai kepala.Melalui cermin itu, Gami memandangi cincin permata hitam yang dipungutnya sekitar dua setengah minggu yang lalu. Cincin milik salah satu pengantin yang tewas dalam kecelakaan beruntun.“Maaf, ya, Mbak, kalau saya lancang memakai cincin ini tanpa seizin kalian. Tapi, saya membutuhkan kekuatan cincin ini untuk meraih cinta sejati saya,” ucapnya sambil mengusap-usap permata hitam. Memandang permata itu membuatnya merasa berhadapan langsung dengan arwah pengantin wanita.“Jangan marah, ya. Mbak sama Masnya, ‘kan, udah tenang di alam sana. Kalian enggak butuh lagi sama benda duniawi kayak gini. Nah, daripada enggak terpakai dan jadi barang rongsokan, mending saya yang pakai, ‘kan?” pungkasnya. Ditutup dengan cengirang lebar, seolah mengajak pemilik cincin bercanda dengan bujukannya.Selesai