Pagi itu, Rangga sudah bersiap dengan dirinya yang akan membawa Aya bertemu Ibunya, tepat pada acara kumpul keluarga menjelang pernikahan Ghania dan Reno. Rangga sudah menjemput Aya di apartemennya sejak pukul enam pagi. Sean di bawa Ghania menginap dengan adik Rangga itu, sehingga ia bisa lebih memantapkan apa saja yang akan Aya lakukan juga bicarakan saat ada di antara keluarga besarnya, terutama Arinda – bundanya.
Rangga duduk sambil menunggu Aya bersiap, sudah tiga kali berganti pakaian dan itu membuat Rangga tertawa geli. “Udah cantik, Sayang, mau pakai apa aja juga cantik,” goda pria itu beranjak sambil mematikan TV dengan remot. Ia mendekat ke Aya yang berdiri di depan pintu kamar, mengenakan dres sebetis warna peach, yang juga menggerai rambutnya. Rangga mengecup kening Aya.
“Baju ini aja, kamu cantik dan anggun, Aya,” bisiknya lalu meraih jemari tangan Aya, di gandengnya erat. Rangga berdebar, ia begitu bahagia melihat Aya yang se
Hari bahagia Ghania tiba, semua tampak sibuk sejak pukul lima pagi, terutama sang pengantin wanita yang sudah berada di kamar hotel bintang lima itu yang perlehatan besarnya, akhirnya, di adakan di sana. Aya datang bersama Jani, sejak semalam, keduanya sudah berada di hotel itu juga, Ghania sengaja memesan kamar lebih untuk calon kakak iparnya itu.“Cantik, nggak?” tanya Aya yang mendadak grogi. Bagaimana juga, ia akan tampil bersama Rangga dan dipekernalkan sebagai calon istrinya. Siapa yang tak berdebar?“Cantik, dong. Kakakku sempurna. Mas Rangga pasti terkejut juga senang lihat Mbak Aya secantik ini,” ucap Jani sambil merapikan alat mekap. Aya memang tak mau ikut di mekap bersama keluarga besar Rangga lainnya, ia malu, lagi pula, jemari ia di tambah dengan dirinya sendiri yang pintar berdandan juga, sudah menghasilkan tampilan yang cantik, mewah, tanpa terlihat norak atau menor.Suara bel kamarnya berbunyi, Jani yang sudah memakai keb
Acara itu selesai pukul dua siang, Aya juga sudah kembali ke kamar hotel itu bersama Jani. Rangga dan Sean ada di kamar sebelah mereka. Bel pintu berbunyi lagi, Aya membuka pintu, ia sudah tampil sederhana kembali walau mekap di wajah belum sempat ia hapus. Pintu terbuka, dan…PLAK!Satu tamparan mendarat tepat di wajah cantiknya. Arinda melakukan itu lagi. Kepala Aya terhempas ke arah kanan, pedih, rasa tamparan itu bahkan membuat telinganya sedikit berdengung.“Bu Arinda! Kenapa pukul Mbak Aya!” teriak Jani kencang. Ia memeluk kakaknya yang masih diam.“Bilangin sama Kakak kamu ini! Jangan harap akan bisa menikah dengan Rangga. Sekali saya tidak akan merestui, akan tetap begitu.” tunjukkan begitu murka. “Bahkan sampai saya ma-ti!” bentaknya. Arinda berjalan meninggalkan kamar itu dengan cepat, sebelum Rangga muncul. Jani mengusap wajah Aya yang merah. Kakaknya itu hanya diam, lalu tersenyum masam.&ldquo
Kepala Aya menoleh ke arah jok belakang mobil, Sean tertidur pulas, masih dengan pakaian lengkap selepas dari acara pernikahan Ghania. Rangga ngotot minta bertemu kedua orang tua kandung Aya di desa. Aya sudah bilang, kalau Jani dan Haris yang sedang merencanakan pertemuan itu, karena Aya tidak mau membuat adiknya merasa diselip dirinya dan Rangga. “Nggak, pokoknya aku juga mau ngomong ke Ibu dan Bapak,” ucapnya tegas. Aya bisa apa, keras kepala Rangga memang seperti itu, dan Aya mengerti. “Rangga, kita mampir ke swalayan itu sebentar, kasihan Sean nggak bawa baju ganti, kita pasti nginap di sana, sekarang aja udah jam tujuh malam, Jani dan Haris juga masih di sana, mereka juga nginap,” pinta Aya. Rangga mengangguk, mereka memang sudah memasuki wilayah daerah kampung halaman Aya, hanya ada swalayan kecil, tapi menjual baju-baju. “Pakai ini buat bayar, jangan uangmu,” ucap Rangga sembari menyerahkan dompet, Aya mengangguk. “Sebentar, ya,” pamit Aya yan
Aya dan Rangga sedang duduk di teras rumah pria itu, sekembalinya dari rumah kedua orang tua Aya, keduanya semakin serius membahas banyak hal terkait rencana rumah tangga mereka. Sean asik bermain di rumputan, bocah itu sudah tidak lagi merasa jijik terhadap sesuatu yang berbau alam. Rangga memang rajin memberikan hal itu sebagai pelajaran bagi anak laki-lakinya, malas juga jika menjadi anak laki, tetapi jijik terhadap sesuatu yang belum tentu kotor. “Kita tinggal di sini? Apa Bunda nanti nggak coba untuk…,” ucapan Aya terhenti. “Kamu jangan khawatir kalau Bunda mendadak terror kamu atau ancam kamu, Aya, Bunda nggak senekat dulu. Sekarang, Bunda harus jaga imagenya, kan, akan repot kalau teman-teman sosialitanya tau.” Rangga tersenyum. Aya masih menatap ragu.“Rangga, kalau seumur hidup, Bunda nggak restui kita, gimana?&rdq
Aya kembali ke tempat tinggalnya di kota hujan itu, sejak pagi, ia sudah repot membuat makanan yang rencananya, akan ia bawa ke rumah Arinda. Seminggu sebelum ia dan Rangga menikah, Aya mau mencoba rencananya untuk meluluhkan hati Arinda, bagaiamapun juga, ia akan menjadi istri putra wanita itu.Tangan Aya terambil mengaduk adonan bolu ketan hitam, sambil menunggu matang lasagna yang sudah ia panggang. Jani berjalan mendekat, adik perempuannya itu duduk di kursi meja makan, menatap heran ke kakaknya yang sangat berusaha membuat senang hati Arinda. “Aku sangsi, kalau Bunda mau terima, Mbak,” ujarnya sembari meneguk air putih. Aya tersenyum, tangannya memegang loyang bulan berdiameter dua puluh senti itu mengetuk-ngetuk supaya di dalam adonan tak ada gelembung udara yang membuat kue jadi berongga.“Usaha dulu yang penting, Jani,” jawab Aya.“Terus, kalau nggak berhasi?” Adiknya itu bersedekap, menatap Aya yang meliriknya sekilas
Hari pernikahan tiba, Rangga, Ayah, Reno dan Ghania, hanya mereka yang berangkat ke rumah Agung dan Sari, Sean dan bibi sudah lebih dulu berangkat karena Aya yang meminta Sean supaya menginap di rumah kedua orang tua angkat, untuk lebih mengenal dekat. Aya mematut dirinya di cermin, ia cantik dengan baju pengantin model dres panjang hingga telapak warna putih tulang dengan payet dan itu hasil disain Jani. Rambut Aya di sanggul modern, Jani menyelipkan bunga mawar merah sebagai hiasan di sanggulnya. Begitu manis di lihat. “Mbak, ada bulan madu, nggak?” tanya Jani sembari memoles lipstick warna merah sebagai sentuhan akhir. “Nggak, cuma Rangga mau ajak aku ke satu tempat, katanya udah lama dia bangun dan jadi tempat healing dia selama ini,” jawab Aya. “Sean nggak ikut, ‘kan? Kalian harus nikmatin waktu berdua setelah selama ini berpisah. Aku yakin, Mbak, Mas Rangga degdegan banget pasti. Akhirnya b
Aya terengah, dadanya kembang kempis karena ciuman panas mereka, Rangga menatap lekat kedua mata istrinya yang sudah menatap sayu, dengan bibir membengkak namun mencoba terus tersenyum. Keduanya saling melepaskan apa yang terpakai di tubuh, hingga sama-sama tampak polos, Rangga mendekat, ia kembali menggendong wanita yang begitu ia cintai, membawanya duduk di atas ranjang sambil kembali berpagut mesra. “Aku masih nggak percaya kita begini, Aya,” bisik Rangga tepat di depan wajah istrinya. Suara deburan ombak sore hari itu, menjadi lagu latar keduanya yang saling tak kuasa menahan hasrat di dalam diri. Aya tersenyum, mengangguk, lalu Rangga menahan erangan saat ia berhasil melakukan penyatuan dengan posisi duduk memangku Aya, desahan lolos dari bibir wanitanya, Rangga dan Aya sama-sama mulai bergerak, perlahan dan semakin lama semakin menggila. Kamar begitu panas, peluh bercucuran, dan hal itu mereka biarkan, p
Rangga dan Aya sudah kembali dari bulan madu, keduanya sibuk pindahan untuk menempati rumah barunya. Sean begitu bahagia, karena rumah yang dibeli Rangga tak terlalu besar seperti rumah sebelumnya, cukup minimalis, karena Rangga ingin aktifitas anggota keluarga sehari-hari bisa ia pantau, tak terkesan lowong juga.Satu mobil box besar dari jasa pindahan tiba di depan rumah dengan cat putih itu, Aya segera mengarahkan pekerja pengangkut barang untuk menata barang-barang di dalam rumah. Seseorang datang menghampiri Rangga, tampak seperti pekerja kebersihan, keduanya berbicara, Aya hanya melihat sejenak sebelum kembali fokus dengan barang-barang yang diangkut pekerja.“Mbak Aya, kamar Bibi yakin, yang ada di sebelah kamar Sean? Apa nggak terlalu besar?” Bibi agak sungkan, Aya merangkul bahu wanita yang setia ikut ke mana Rangga pergi, juga yang tau Rangga sejak remaja. “Nggak, Bi, di atas kamar ada