Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Seorang mahasiswa tingkat akhir turun dari mobil sport miliknya dan berjalan santai menuju ke area kampus. Suara gelak tawa para mahasiswa mahasiswi yang asik duduk di tangga kampus menjadi pemandangan biasa. Justru itu letak seru dan asiknya 'ngampus'.Rangga. Cowok dua puluh dua tahun yang seumur hidupnya selalu merasa nyaman atas semua hal yang ia dapatnya dari keluarganya, begitu tampak luar biasa di mata para mahasiswi yang tak tersentuh olehnya. Rangga terkenal dingin juga kaku. Namun, hanya satu wanita yang tiba-tiba menarik hati Rangga yang begitu angkuh.Faraya, atau biasa dipanggil Aya. Mahasiswi tingkat enam yang begitu acuh kepadanya di saat banyak wanita yang menggilai seorang Rangga. Aya sang ketua dewan kegiatan mahasiswa untuk kegiatan sosial kampus, memiliki cara berbeda untuk kenal dengan Rangga. Ternyata di balik ke acuhannya itu, Aya cukup mengagumi sosok Rangga. Mereka akhirnya saling kenal, tapi bukan untuk asmara. Kenal karena Rangga dijadikan target penyumbang
Aya merasa kikuk saat Rangga mengantar hingga ke rumahnya. Bukan rumah besar, jangan bayangkan. Tapi rumah kecil merangkap tempat usaha orang tuanya di daerah kawasan padat penduduk.Kontras sekali daerah itu dengan apartemen-apartemen tinggi menjulang yang mengelilingi daerah tersebut. Aya memainkan jemarinya. Iya begitu gugup. Ia melirik ke Rangga yang tampak santai."Besok ke kampus jam berapa?" Rangga menoleh. Membuat Aya terkejut."Jam, jam tujuh udah di kampus." Aya semakin gugup. Ditambah jalanan ramai dengan motor berlalu lalang dan anak-anak kecil yang bermain di pinggir jalan. Mobil sport milik Rangga pasti sangat mewah masuk ke lingkungan itu."Gue turun di sini, Ngga, lo balik aja. Nggak akan bisa parkir."
Motor matic hitam itu sudah sampai di depan rumah Aya. Gadis itu terkejut karena ia tak menganggap pernyataan Rangga malam sebelumnya tentang ia yang akan menjemput Aya itu serius. Lelaki itu tersenyum sambil duduk diatas motornya. Aya menutup pintu dan berjalan menghampiri."Kamu, beneran jemput?" Aya masih mencoba yakin."Iya lah. Helm kamu, nih, Ay...." Rangga memberikan helm warna putih ke Aya. Dengan ragu Aya menerima. Namun ia segera menepis pikiran aneh nya dengan memakai helm tersebut dan naik membonceng Rangga."Kamu bawa jas alamater nggak?" Aya sedikit mendekat ke telinga Rangga saat berbicara."Nggak. Kalo aku nggak boleh kedalam, aku tunggu kamu di parkiran" Rangga menyalakan mesin motornya.
Layaknya pasangan muda yang baru jadian. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama secara intens. Rangga bahkan dengan rela menghabiskan sore hingga malam di waruny nasi goreng milik keluarga Aya. Kedua orang tua Aya begitu baik. Ia terbuka menerima kehadiran Rangga dihidup putrinya. Bukannya apa-apa, karena sejak dekat dan menjalin kasih dengan Rangga, Aya menjadi semakin ceria dan bersemangat menjalani hari-harinya.Rangga tak pernah menggunakan mobil mewahnya lagi. Ia sadar kalau Aya tak akan suka dan tak mungkin dibawa ke lingkungan itu.Jaket yang dikenakan Rangga ia lepas di digantung di dinding warung sambil kalender. Ia bergegas membantu bapak kekasihnya mengangkat keranjang bulat tempat nasi putih. Lalu merapihkan kursi-kursi dan terakhir, memasang spanduk."Makasih ya Rangga,b
Cinta ibu bagaikan telaga dikala haus melanda. Rasa sedih dan gundah pun seakan semua tertumpahkan disatu sosok, ibu.Namun, bagaimana mana jika sosok seorang ibu yang seperti itu tidak didapatkan Rangga. Seakan ia hanya robot yang harus menuruti semua yang diinginkan sang bunda.***Mentari pagi menyilaukan kedua mata Rangga yang tirai kamarnya disibak oleh Ghania. Adik satu-satunya. Ia duduk di tepi ranjang Rangga lalu menatap abangnya yang justru meringkuk."Bang bangun. Kita disuruh siap-siap ke acara lamaran Stefi. Buruaaannn... gue pusing nih denger bunda cerewet banget dari tadi" Ghania mendorong-dorong pinggang Rangga supaya abangnya itu bangun."He-em, udah disia
Usia hubungan Rangga dan Aya masuk dua bulan lebih. Rangga pun sudah lulus, hanya menunggu jadwal wisuda di dua pekan mendatang. Ia masih tak bercerita kepada bunda dan ayahnya perihal hubungan ia dan Aya. Melihat tingkah laku bunda yang begitu ingin melihat sang putra memiliki tambatan hati, berkali-kali Rangga ingin dikenalkan dengan putri dari rekannya itu namun putranya mampu menghindar dan acuh.Ghania di balik semua tingkah laku Rangga itu. Adiknya jengah melihat sikap bundanya yang begitu pengatur."Woi bang,lo jadi jalan-jalan sama kak Aya?" Rangga tampak bersiap dengan kaos dan celana jeans yang ia kenakan sambil mengangguk."Pake mobil gue aja" Ghania duduk di atas ranjang Rangga."Lo nggak jalan sama Reno?" Wajah Ghania kus