Rangga tak bisa mendapatkan wanita yang ia cintai seumur hidupnya karena larangan orang tua. Bunda, yang menganggap jika Aya, wanita yang dicintai putranya bukan dari kalangan yang setara. Rangga berontak, namun kuasa Bundan yang mengancam akan mencabut semua fasilitas dan kenyamanan membuat Rangga mengalah dan melepaskan Aya. Perjodohan pun terjadi, Rangga menuruti keinginan Bunda walau hatinya hancur. Bahkan hingga ke dua pernikahan lainnya dengan wanita berbeda yang masih dipilih Bunda, tak mampu membuat Rangga melepaskan nama Aya di dalam hatinya. Ia sudah menyiapkan cincin yang hanya akan Aya kenakan, tapi apakah bisa, di saat Rangga ternyata harus kehilangan jejak Aya yang sedang mengandung anaknya. Mampukah cincin itu menemukan pemiliknya? Dan apakah Aya berhasil melahirkan anak mereka tanpa terikat pernikahan dengan kemandiriannya?
Lihat lebih banyakSeorang mahasiswa tingkat akhir turun dari mobil sport miliknya dan berjalan santai menuju ke area kampus. Suara gelak tawa para mahasiswa mahasiswi yang asik duduk di tangga kampus menjadi pemandangan biasa. Justru itu letak seru dan asiknya 'ngampus'.
Rangga. Cowok dua puluh dua tahun yang seumur hidupnya selalu merasa nyaman atas semua hal yang ia dapatnya dari keluarganya, begitu tampak luar biasa di mata para mahasiswi yang tak tersentuh olehnya. Rangga terkenal dingin juga kaku. Namun, hanya satu wanita yang tiba-tiba menarik hati Rangga yang begitu angkuh.
Faraya, atau biasa dipanggil Aya. Mahasiswi tingkat enam yang begitu acuh kepadanya di saat banyak wanita yang menggilai seorang Rangga. Aya sang ketua dewan kegiatan mahasiswa untuk kegiatan sosial kampus, memiliki cara berbeda untuk kenal dengan Rangga. Ternyata di balik ke acuhannya itu, Aya cukup mengagumi sosok Rangga.
Mereka akhirnya saling kenal, tapi bukan untuk asmara. Kenal karena Rangga dijadikan target penyumbang dana untuk kegiatan pembagian obat-obatan gratis di suatu lingkungan pemukiman padat.
Aya anak fakultas seni tari. Ia mendalami tari daerah. Walau menari sudah menjadi bagian dirinya, ia tetap menjalankan dan membantu melakukan pembukuan untuk usaha orang tuanya walau ilmu akuntansinya pas-pasan. Ia bukan anak orang kaya, kedua orang tuanya penjual nasi goreng jika malam hari dan pagi harinya berjualan nasi uduk.
Berkuliah lewat jalur bantuan subsidi silang, membuatnya merasa ringan dalam membayar biaya kuliah setiap semesternya.
Rangga begitu terpesona dengan Aya, rambut hitam sebahu, senyum ceria yang selalu membuat Rangga ikut tersenyum, cara Aya menyapa teman-temannya dengan ramah dan hangat. Membuat Rangga begitu mengaguminya.
Aya menatapnya. Ia melambaikan tangan dan berlari ke arahnya. Jantung Rangga berdetak sangat cepat. Hari itu untuk pertama kalinya mereka bertemu. Setelah selama ini lebih sering chat atau jika Rangga ingin menyumbang, langsung di transfer ke rekening yang disiapkan khusus pihak kampus. Tanpa bertemu langsung dengan penanggung jawabnya. Aya.
"Rangga."
"Aya."
Mereka saling menyapa. Keduanya tersenyum. Aya tampak sedikit malu dan gugup. Padahal biasanya ia tak begitu. Apalagi Rangga. Ia berusaha mengontrol kegugupanya lewat diam.
"Akhirnya bisa ketemu. Sorry ya, setiap mau ketemu langsung gue seringnya di lapangan. Lo juga sibuk skripsi, kan?" Diakhir kalimat Aya tersenyum. Rangga mengangguk.
"Ini." Rangga menyerahkan amplop coklat ketangan Aya. Wajahnya sumringah.
"Terima kasih ya, bermanfaat banget buat mereka."
"Sama-sama. Masih ada kelas habis ini?" Rangga menatap Aya yang mencoba mengingat jadwal kuliahnya.
"Enggak sih... kayaknya. Lagi loading lama nih otak gue kalo urusan kuliah." Ia terkekeh sebelum kemudian lanjut berbicara.
"Ada kok. Cuma praktek aja. Latihan tari Bali, bisa susulan juga. Kenapa?" Aya balik bertanya. Rangga menggelengkan kepala. Aya manggut-manggut, yang pada akhirnya membuat keduanya saling melempar tawa.
"Kalau begitu, gue ke basecamp. Terima kasih sekali lagi, udah mau jadi donatur tetap di setengah tahun ini, bye." Aya balik badan. Berjalan meninggalkan Rangga. Rangga hanya memperhatikannya sambil tersenyum.
Tiba-tiba Aya balik badan dan melihat senyuman Rangga. Alisnya mengkerut. "Ada yang lucu sama gue?" Aya menunjuk dirinya. Rangga menggeleng.
"Ada apa?" tanya Rangga balik.
"Mmm, kalau lo nggak ada kelas atau bimbingan, bisa ke base camp, bantu kita hitung obat dan pendataan. Karena bes-"
"Bisa. Ayok!" Dengan semangat Rangga berjalan sambil menarik tangan Aya.
Aya tertawa disela keterlejutannya. Rangga menoleh dan ikut tertawa tanpa melepaskan genggamannya.
***
"Ya, lo kok bisa ajak cowok dingin itu ke sini. Serem gue lihatnya," bisik Caca sambil melirik ke Rangga yang sedang menghitung jarum suntik yang akan digunakan untuk vaksin anak.
"Nggak dingin kok. Baik, suka ketawa." Aya tersenyum malu-malu. Caca melirik.
"Berarti sama lo doang dia gitu. Suka kali sama lo!"
"Ngaco lo. Mana ia orang sekaya dia suka sama gue. Ngaca lah, gue langsung." Aya menunjuk dirinya.
Rangga menoleh. Menatap Aya yang asik berbisik dengan temannya. Sesekali Aya tertawa. Tawa itu yang juga menggetarkan hati Rangga tanpa ia minta. Ingin tersenyum. Tapi tak mampu. Terlalu malu.
Sore menjelang. Rangga dan Aya berjalan menuju ke parkiran. "Terima kasih ya, Rangga, udah terlibat tadi. Makasih udah ikut repot hitung perlengkapan buat besok. Sekali lagi mak-"
"Aya gue suka sama lo." Rangga menghentikan langkah dan menatap Aya lekat. Aya melongo. Membuat Rangga terkekeh sekaligus gemas dnegan reaksi gadis di hadapannya.
"Heiii.." Rangga mengusap kepala Aya.
"Ta-tapi, Ngga. Nggak salah lo. Ih, ngaco kali lo. Ngigo ya!" kedua mata Aya terbelalak. Rangga menggeleng.
"Serius Aya. Gue suka sama lo," ulang Rangga. Aya lalu terkekeh dan manggut-manggut.
"Makasih kalau gitu," jawab Aya lagi.
"Kok makasih?"
"Ya terus apaan?"
"Bukannya kalau gue udah bilang suka, lo juga harus balas." Oh, Polosnya Rangga. Ya bagaimana, ia tak pernah pacaran dan mengenal cinta selama hidupnya itu. Semua di atur oleh bundanya. Tapi sekarang rasa itu begitu hebat dan menggila didirinya. Ia mau mengabaikan aturan bundanya.
"Balesnya apa?" Aya tampak bingung.
"Yaudah nggak usah dipikirin. Yang penting gue udah bilang gue suka sama lo. Ayo, gue antar pulang."
"Rangga tapi, lo yakin?" Keduanya saling menatap. Rangga mengangguk. Sedangkan Aya merasa risih dan ragu.
"Kita belum slaing kenal, Rangga. Baru hari ini kita bisa bareng, dan-"
"Gue suka lo Aya, Faraya. Apa lo nggak ngerasain juga? Mungkin ini pertemuan pertama kita setelah selam ini hanya kenal lewat saling sapa atau lewat chat. Gue janji akan ada pertemuan-pertemuan kita berikutnya. Nggak usah jawab sekarang, karena gue juga nggak memaksa. Biar lo rasain kehadiran gue dulu, oke?" Rangga mengusap kepala Aya yang hanya bisa diam.
"Rangga, tapi gue bukan anak orang kaya. Nggak pantes kalau lo suk--"
Lagi-lagi kalimat Aya di putus oleh Rangga sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya.
"Gue nggak peduli, Faraya, gue suka sama lo. Tolong jangan bahas masalah kaya dan miskin sama gue, karena hal itu nggak ada di hidup gue, semua sama rata, cuma kebaikan dan keburukan yang ada. Bukan perkara materi, paham, Faraya. Ayo pulang, gue antar, maaf kalau kesannya gue memaksa, tapi gue tau, kalau gue nggak bisa untuk diam dan cuma mengagumi lo dari kejauhan, sosok lo udah lama gue amati, dan ini benar, gue jatuh cinta sama lo." Rangga tersenyum, tak ada sikap dingin atau angkuh, justru Rangga begitu hangat dan mampu membuat Aya mengangguk saat Rangga ingin mengantarkannya pulang.
Aya merasa gugup saat sudah duduk di dalam mobil mewah itu yang seumur-umur tak pernah ia bayangkan akan bisa berada di dalamnya. Semua terlalu mendadak, ia seperti mendapatkan durian runtuh.
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen