Aya berlari-lari kecil saat melakukan pemanasan di dalam studio tempat ia belajar di kampusnya. Jurusan seni, konsentrasi seni tari, skripsi praktek tari Jawa tengah materi tesis Analisa dampak sebuah tari daerah pada budaya modern.
Ia sudah cukup melakukan pemanasan. Lanjut menggunakan selendang panjang berwarna hijau yang ia ikat di pinggang rampingnya. Ia merapihkan kunciran rambutnya. Lalu beberapa teman sekelas lainnya datang. Mereka ber tos ria sambil mempersiapkan diri.
Tak lama mereka berbaris sesuai tempatnya. Di depan cermin besar. Wajah mereka berubah serius lalu tersenyum. Perlahan, dengan mengikuti alunan lagu gamelan dan sinden jawa, liukan pelan, teratur, lembut dan anggun dari tubuh mereka pun tampak kompak.
Pentas tari akan menjadi penentunya di akhir semester nanti. Walau masih satu tahun lagi, akan menjadi penting karena juri dan dosen yang menilai memang orang yang kompeten dibidang tari tradisional.
Enam jam kuliah praktek hari ini menjadi hari terlelah Aya. Ia menatap jam di ponselnya. Jam empat sore. Ia harus buru-buru pulang untuk membantu orang tuanya bersiap dan berjualan setelah senja tenggelam.
"Aya! Mas mu udah nunggu tuh di parkiran mobil!" teriak Kartika dari pintu studio. Kartika juga menunjuk keluar jendela.
Tampak Rangga sudah duduk di bawah pohon. Di sebelahnya terparkir mobil Ghania. Aya mengangguk dan membawa semua perlengkapannya. Tubuhnya tak bercucuran keringat, selain karena ruangan berpendingin, tarian yang ia dan temannya latih juga tak memakan tenaga ekstra. Namun tetap fokus dan seiring dengan lagunya yang mendayu-dayu.
Lambaian tangan Rangga menyapa Aya. Kekasihnya itu sudah tak ada kegiatan lagi. Kerja pun ia belum bisa mulai karena dari cerita Rangga, ayahnya meminta bekerja dua minggu lagi. Hitung-hitung liburan.
"Heeiiii.." Rangga merangkul bahu Aya yang berdiri didekatnya lalu memeluk erat.
"Rangga. Ini kampus. Kamu nih!" ketus Aya. Ia merasa malu karena beberapa mahasiswa mahasiswi menatapnya dengan banyak indikasi pengGhibahan tiba-tiba.
"Eh, maaf Aya sayang." Rangga mengusap kepala Aya dan beranjak.
"Yuk. Aku punya kejutan buat kamu, ada di mobil." Rangga berjalan kearah pintu. Aya juga berjalan ke pintu posisi penumpang.
Mereka sudah duduk di dalam mobil, Rangga menyalakan ac mobilnya juga. "Cantik banget si pacarnya Rangga." Rangga memainkan wajah Aya dengan kedua jemari tangannya. Aya terkekeh.
"Kamu juga, ganteng banget si pacarnya Aya anak tukang nasi goreng...." Aya mengusap wajah Rangga.
Raut wajah Rangga sendu. Ia menghela napasnya. "Jangan mulai Aya. Jangan suka kayak gitu, aku, kan, udah bilang, profesi orang tua kamu bukan rendahan, justru aku bangga punya calon mertua kayak mereka."
Kedua mata Aya membulat. "Jangan gombal. Jangan ngomong hal yang nggak mungkin ngga" Aya kembali duduk dengan santai.
Rangga menggeleng pelan. "Aku maunya sama kamu Aya. Aku mau hadapin apapun rintangannya," tatapan mata Rangga begitu serius. Ia lalu mengambil sesuatu di jok belakang dan menyerahkan ke Aya.
"Happy aniversery empat bulan Aya. Faraya, calon wanita masa depan dan ibu dari anak-anakku." Aya diam. Ia justru terharu mendengar kata-kata Rangga. Keduanya tersenyum.
"Apa isinya, Ngga?" Aya menunduk, membuka bungkus kado berwarna silver.
"Buka", tunjuk Rangga dengan dagunya. Aya membukanya, perlahan mengeluarkan isinya. Dress cantik berwarna ungu muda dan sweater berwarna kuning terang diberikan Rangga sebagai hadiah.
"Terima kasih." Aya menatap Rangga sendu.
"Aku nggak siapin apa-apa buat kamu," keluh Aya tak enak hati.
"Nggak pa-pa, sayang terus sama aku udah cukup Aya." Belaian lembut di wajah Aya rasakan kembali. Ia memejamkan kedua matanya. Meresapi besarnya perasaan mereka terhadap satu sama lain. Begitu menggebu hingga debaran terus terasa.
"I will always love you Rangga," suara Aya terdengar berbisik. Rangga tersenyum.
"Aku juga, sayang," kecupan lembut dan penuh perasaan Rangga berikan kepada Aya di keningnya. Aya menbuka kedua matanya seraya kembali mengucapkan terima kasih.
***
Rangga merebahkan tubuhnya yang lelah. Ia pulang hampir tengah malam. Pintu kamarnya terbuka lebar. Sosok bunda berdiri di depan pintu kamar sambil bersedekap.
"Bunda akhir-akhir ini lihat kamu sering banget berangkat pagi dan pulang tengah malam. Ke mana kamu." ketusnya. Rangga menatap bundanya dan terduduk di atas ranjang.
"Ada urusan, Bun, sama temen," jawab Rangga santai.
"Bukan pacar?"
DEG. Rangga diam. Ia lalu menggeleng. Ia belum menyiapkan jawaban jika bundanya terus mencecar jawaban darinya itu.
"Yakin?" tanya penuh penekanan itu membuat Rangga mengangguk saja. Tak mau banyak bicara.
"Kalau gitu--" bunda berjalan mendekat. Duduk di tepi ranjang.
"Boleh dong bunda ajak kamu makan siang dengan Sonya dan Mamanya, besok siang jemput Sonya di rumahnya, ya."
Rangga menatap wajah bundanya lekat. Wanita yang melahirkannya itu menatap balik lekat sambil bersedekap.
"Nggak bisa. bun. Maaf." Rangga lalu beranjak dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
"Harus bisa. Bunda maksa." pinta bunda sambil beranjak.
"Senin besok kamu mulai masuk ke kantor Ayah. Sekalian besok kita beli baju-baju kerja kamu. Paham."
Klek. Rangga membuka pintu kamar mandi.
"Bunda. Bukannya dua minggu lagi? Rangga masih mau santai."
"Nggak. Senin besok. Titik. Lebih cepet kamu sibuk lebih baik. Dari pada kelayaban terus. Dan kenapa selalu pakai mobil Ghania. Kenapa sama mobil sport mewah kamu itu. Kamu pergi ke mana sampai kamu malu bawa mobil kamu itu!" tatapan penuh curiga bunda pancarkan ke arah Rangga. Ia diam. Tak mau menjawab.
"Kenapa? Kok diem. Tutupin sesuatu, 'kan. Bunda tau. Bunda tunggu penjelasan kamu." Pintu kamar di tutup bunda. Rangga duduk di tepi ranjang kembali. Ketakutannya datang. Bagaimana jika bunda tau semua yang sebenarnya. Tau apa yang ia tutupi beberapa bulan ini. Tau tentang Aya dan keluarganya.
'Ya tuhan, semoga semua baik-baik saja.' ucapnya dalam hati. Rangga lalu kembali berbaring di atas ranjang dan memejamkan mata. Bayangan Aya selalu muncul disetiap tidurnya. Seakan ia tak mau menghilangkan itu. Wanita itu berarti untuknya. Ia melihat masa depannya bersama Aya. Seorang yang begitu sederhana namun tetap mempesona.
***
Pagi menjelang. Rangga duduk di meja makan. Menyapa semua anggota keluarganya. Bunda menyiapkan sarapan untuk suaminya. Lalu untuk Rangga juga. Ghania tidak mau. Ia memilih makan pisang dua buah dan meminum susu.
"Ngga, materi yang harus kamu pelajari untuk mulai kerja ada di ruang kerja Ayah. Nanti kamu masuk di divisi personalia ya, mulai dari sana aja. Nanti dibantu Rizal. Kamu jadi staffnya Rizal dulu. Dia manajernya."
"Oke, Yah," jawab Rangga.
"Kenapa nggak langsung diposisi tinggi sih, Yah! Masa anak sendiri dijadiin staff biasa." protes bunda. Ghania memutar kedua bola matanya malas. Ia lalu beranjak dan meraih tangan bunda, ayah dan terakhir mencium pipi abangnya.
"Uang jajan kamu masih ada, Ghan?!" teriak bunda.
"Masih, Bun. Kalo kurang tinggal gunting," sahutnya asal. Bunda hanya bisa ngedumel dengan tingkah lalu Ghania.
"Rangga harus mulai dari bawah bun, biar paham struktur perusahaan kita. Bagiannya mana aja, sebelum nanti gantiin Ayah dimasa depan. Ya, 'kan, Rangga?" Ayah menatap Rangga yang mengangguk sambil mengunyah nasi goreng ayam buatan bundanya itu.
"Malu dong. Gantiin Rizal aja deh, Yah." kembali, kegengsian bundanya kambuh. Rangga dan Ayah diam. Tak mau menggubris dokter gigi yang juga punya usaha butik baju pengantin dan rias pengantin juga.
"Rangga. Inget. Jemput Sonya jam sebelas. Bawa mobil kamu sendiri. Ghania dijemput Reno kan?"
"Rangga nggak bisa, Bun. Ada urusan sama temen," jawab Rangga sambil beranjak. Ia membawa piring kotor ke dapur. Membuat bibi yang bekerja tampak bingung. Rangga juga mencuci piring bekas makannya.
Bunda dan ayah menatap bingung. Putranya tak biasanya begitu. "Rangga mau ke rumah temen." Ia meraih jemari bunda dan ayah. Diciumnya bergantian. Langkah Rangga terhenti saat bundanya memanggil. Ia menoleh. Menatap wanita itu dengan bingung.
"Kunci mobil, kartu kredit, siniin." perintah bunda dengan suara pelan namun dalam.
"Apa sih, Bun, kok gitu. Cuma karena Rangga nolak jemput Sonya?" Rangga protes.
"Sini semuanya. Yang tadi bunda bilang." Jemari bunda mengetuk-ngetuk meja makan. Matanya menatap tajam ke Rangga. Ia ingin kekampus, Aya hanya ada kuliah sampai jam sebelas. Sambil menunggu Aya, Rangga mau ke rumah salah satu temannya guna menunggu waktu jemput, niatnya sudah seperti itu, namun kini rasanya percuma.
"Bunda, please... Bun," pinta Rangga.
"Pilihan ada di kamu, lho." Kedua tangan bunda bersedekap. Tak ada pilihan. Ia kembali naik ke kamarnya dan berjanji akan menjemput Sonya sebelum bertemu bunda dan ibunda Sonya di Mall. Rangga mengirim pesan singkat ke Aya, bahwa ia tak bisa menjemput dan bertemu dengannya hari itu. Aya membalas dan tak masalah.
***
Akan selalu begitu. Bunda mendominasi semuanya. Mall begitu ramai. Wajar. Karena jam makan siang. Mall dipusat kota dengan berbagai merek mahal yang dijajarkan dan interior begitu wah. Membuat ia sadar siapa dirinya sekaligus benci kepada dirinya.
Sonya berjalan di sebelah Rangga yang memberi jarak dan tak berbicara. Di depannya, bunda dan orang tua Sonya berjalan sambil membicarakan sesuatu.
Toko perhiasan. Tujuan kedua orang tua itu. Rangga mendongak, menatap nama toko itu. Ia tahu berapa harga perhiasan di sana. Sonya duduk di sebelah ibunya, Rangga memilih untuk melihat-lihat cincin yang di pajang di etalase. Ia melihat satu cincin yang cocok untuk ia berikan ke Aya.
"Rangga," panggil bundanya. Rangga menghampiri. Ia melihat bundanya mengarahkan dua cincin.
"Yang kanan atau kiri?" tanya bunda.
"Buat apa?"
"Kanan atau kiri, Rangga...." Bundanya berbicara dengan penuh penekanan.
"Buat apa dulu," balas Rangga tanpa melihat ke Sonya ataupun ibunya.
"Buat cincin tunangan kalian berdua" jawab bunda. Rangga diam mematung. Tubuhnya kaku seketika.
Selalu. Akan selalu berakhir seperti ini. Bunda yang memulai semuanya kembali. Ia melirik ke Sonya yang diam sambil tersenyum menatapnya. Rangga membuang pandangan dan pergi begitu saja keluar dari toko itu.
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari