Usia hubungan Rangga dan Aya masuk dua bulan lebih. Rangga pun sudah lulus, hanya menunggu jadwal wisuda di dua pekan mendatang. Ia masih tak bercerita kepada bunda dan ayahnya perihal hubungan ia dan Aya. Melihat tingkah laku bunda yang begitu ingin melihat sang putra memiliki tambatan hati, berkali-kali Rangga ingin dikenalkan dengan putri dari rekannya itu namun putranya mampu menghindar dan acuh.
Ghania di balik semua tingkah laku Rangga itu. Adiknya jengah melihat sikap bundanya yang begitu pengatur.
"Woi bang,lo jadi jalan-jalan sama kak Aya?" Rangga tampak bersiap dengan kaos dan celana jeans yang ia kenakan sambil mengangguk.
"Pake mobil gue aja" Ghania duduk di atas ranjang Rangga.
"Lo nggak jalan sama Reno?" Wajah Ghania kusut. Ia terkekeh sinis.
"Lagi ribut. Dikit, biasa lah"
"Nggak bubar tapi kan?" Rangga mengambil sepatu dari dalam lemari khusus miliknya lalu duduk disamping adiknya itu sambil memakai sepatu.
"Nggak lah. Ya, namanya hubungan bang, lo juga nanti bakal gitu" Ghania menatap lekat abangnya. Lalu memeluk Rangga dari samping dengan helaan nafas panjang.
"Semoga bunda kita nggak macem-macem mau jodoh-jodohin kita ya bang"
Rangga mengusak kepala adiknya itu sambil tertawa. Ia lalu berdiri dan menatap penampilannya sekali lagi didepan cermin. Memastikan ia sudah siap.
"Lo mau kemana emang nya bang?" Ghania ikut beranjak.
"Belum kepikiran, tapi kayaknya mau ke rumah tanye Adel deh"
"Di bogor? Lo mau ngapain?!" Ghania bersedekap.
"Kenalin Aya lah. Seenggaknya gue bisa lebih terbuka ke tante Adel dan om Faruk kan"
Ghania tersenyum lalu mengangguk. Tante Adel itu istri om Farum adik paling kecil dari bundanya yang begitu sederhana dan nggak sesukses bunda. Tinggal di bogor dan membuka usaha pusat oleh-oleh.
***
Rangga sedang bercengkrama dengan orang tua Aya, sambil menunggu kekasihnya itu turun dari kamarnya. Rangga nyaman berada di dekat orang tua Aya, ia bisa bebas menjadi dirinya sendiri. Kesederhanaan seseorang memang mampu menggerakan hatinya. Tak lama Aya turun dari lantai atas. Tampak cantik karena kemarin cerita ke Rangga kalau ia memotong rambutnya sedikit lebih pendek.
Rangga mengulum senyum. Ia begitu memuja gadis yang berdiri dihadapannya.
"Hati-hati ya, Rangga jangan ngebut-ngebut" ucap Ibu. Rangga beranjak dan mencium punggung tangan kedua orang tua Aya bergantian. Aya juga pamit.
"Ghania nggak pake mobilnya? Kenapa nggak naik motor aja ngga?" Keluh Aya yang merasa tak enak. Karena Rangga akan habis banyak uang jika terus menggunakan mobil jika pergi dengannya.
"Kita mau ke bogor sayang, kasian kamu kalo nail motor" Rangga masuk kedalam mobil. Disusul Aya.
Rangga menepati janjinya, ia sudah mengarah menuju ke pintu keluar tol bogor, ia senyum-senyum sendiri. Aya melirik.
"Kenapa kamu?" Rangga tak menjawab. Hanya mengusap kepala Aya dan membelai wajah kekasihnya itu.
"Kalau jatuh cinta sama kamu semudah dan sebahagia ini, aku udah ngejar kamu aja dari dulu ya" gombalan Rangga itu membuat Aya tersenyum.
"Belajar gombal dari mana kamu ngga" Aya membalas usapan diwajah Rangga. Membuat kekasihnya itu meraih jemari tangan Aya dan digenggamnya erat.
"Aku nggak akan lepasin genggaman ini Aya, aku sayang banget sama kamu" tatapan hangat Rangga begitu terasa. Aya menganggukan kepala.
"Cuma kamu ngga, cuma untuk kamu" Mereka saling melemparkan senyum.
Love bird, seakan semua rasa cinta dan panah asmara sang cupid terus mengelilingi mereka. Cara Aya memperhatikan Rangga yang begitu lembut dan penuh kasih, membuat Rangga semakin terjerumus kedalam rasa cinta yang begitu menggebu.
Rangga yang begitu spontan dalam tindakannya, membuat Aya mendapat banyak pengalaman baru. Pernah Rangga mengajaknya pulang dari kampus naik KRL yang belum pernah Aya manfaatkan alat transportasi itu, begitupun Rangga. Mereka berdua malah tersasar hingga ke arah lain. Bukannya kecewa atau marah, Aya dan Rangga malah tertawa dan akhirnya bisa kembali ke kampus setelah bertanya-tanya ke petugas stasiun yang mengajari mereka.
Ada juga lainnya, saat setelah Aya pulang mengajar tari daerah di sekolah dasar dekat rumahnya, Rangga tiba-tiba datang sambil diikuti penjual es krim yang menggunakan sepeda. Ia mentraktir murid-murid Aya yang begitu senang bebas mengambil es krim.
Aya begitu menyayangi Rangga. Debaran jantungnya selalu berpacu cepat jika bersama Rangga. Bahkan saat Rangga datang menjemput atau mereka bertemu, rasa itu terus menggetarkan rongga dadanya.
"Kita udah sampai Aya, ini toko sekaligus rumah tante Adel dan om Faruk. Aku sama Ghania dekat sama mereka" Rangga memarkirkan mobilnya. Rumah kuno jaman belanda itu di beli lima belas tahun lalu oleh tante dan omnya. Bagian depan dijadikan toko, tengah hingga belakang dijadikan tempat tinggal.
Anak mereka dua. Dua-duanya kuliah di Jepang. Beasiswa, teknik sipil dan pertanian. Kedua anaknya memang suka dengan bahasa Jepang. Sejak kecil kedua orang tuanya sudah mengarahkan minat anak-anaknya.
Wanita berusia empat puluhan itu berjalan keluar toko. Dengan dress sederhana bermotif garis-garis, rentangan tangan tante Adel disambut Rangga dengan hangat.
"Gantengnya tanteeeee, apa kabar" usapan lembut itu membuat kedua mata Rangga terpejam.
"Baik, tante Adel apa kabar. Maaf mendadak, nggak kabarin tante" kekeh Rangga seraya melepaskan pelukannya.
Kedua mata tante Adel menatap Aya yang masih diam berdiri sedikit berjarak dari mereka.
"Aya? Pacarnya Rangga ya?" Tante Adel mengulurkan tanggannya kearah Aya. Aya menyambutnya lalu digandeng tangannya oleh tante Adel dan berjalan masuk kedalam toko. Aya menoleh ke Rangga yang hanya mengangguk sambil tersenyum.
Mereka duduk di ruang tamu. Masuk dari pintu yang terhubung ke toko didepan.
"Kamu kuliah jurusan seni tari Aya?" Tanya tante Adel. Aya mengangguk.
"Tante Aya juga mantan guru tari daerah Aya, makanya aku kenalin ke kamu, karena kalian pasti cocok" Rangga berjalan menghampiri, ia baru saja dari garasi belakang menghampiri om Faruk yang sedang merapihakan motor antiknya.
Aya beranjak karena melihat om Faruk berjalan dibelakang Rangga. Lalu mencium punggung tangan om Faruk dan kembali duduk.
"Om kaget, Rangga kesini bawa pacar. Kirain nggak laku-laku kamu ngga" ledek om nya. Rangga hanya terkekeh lalu duduk disebelah Aya. Bersandar di bahu Aya yang membuat kekasih nya itu risih dan malu.
"Uluuhhhh... manjanyaaaaaa" ledek tante Adel sambil melempar Rangga dengan bantal sofa.
"Rangga. Kasep. Udah dikenalin ke bunda belum?" Tanya om Faruk. Rangga diam. Ia menggeleng. Om Faruk dan tante Adel saling melempar senyum dan menganggukan kepala.
"Punten. Bapak, ibu, didepan rombongan dari acara keluarga kantor yang kemarin janjian mau kesini sudah sampai" ucap pegawai tante Adel.
"Eh iya. Atuh papah. Hayuk bantu mamah didepan" tante Adel beranjak.
"Aya boleh bantu-bantu tante?" Aya beranjak.
"Boleh Aya. Yuk.. yuk.. rame, mereka ada tiga bis. Papah ganti baju sana." Tante Adel menggandeng tangan Aya. Rangga tersenyum menatap tante Adel yang menyambut hangat Aya. Mereka menuju toko menuju pintu yang tersambung langsung ke depan.
Kedua mata om Faruk dan Rangga saling bertemu.
"Om tahu tujuan kamu kesini apa ngga. Om akan bantu kamu sebisa om ya. Tau sendiri kan sikap bunda kamu ke om sama tante mu kaya gimana, yang penting jangan kecewain dan bikin malu om sama tante"
Rangga mengangguk. Adik bundanya yang hanya beda usia satu tahun itu paham betul sifat kakaknya. Tak bisa ditentang. Seenaknya sendiri dan otoriter.
"Rangga cuma mau ada keluarga yang tau kalau Rangga udah punya pacar dan Rangga mau jalanin ini serius om. Rangga nggak main-main sama Aya"
"Om tau. Kelihatan dari sikap kalian berdua. Aya juga begitu lembut dan kelihatan sederhana. Tante mu pasti sadar itu juga. Dan untuk latar belakang keluarga Aya?" Mata om Faruk seakan meminta jawaban yang jelas dan jujur.
Rangga duduk tegap dan menarik nafasnya perlahan.
"Penjual nasi goreng dan nasi uduk om"
"Ok. Om paham. Kita tau ngga ini arahnya kemana. Kalian jangan kebablasan ya, saling jaga. Walau kedepannya om tau ini akan kemana arahnya"
"Iya om. Makanya Rangga bawa Aya kesini. Karena om sama tante yang paham bunda"
Om Faruk mengangguk. Ia beranjak.
"Ke depan sana ngga. Bantuin tante kamu, om ganti baju dulu"
Rangga beranjak dan berjalan ke area toko. Tak salah ia mengajak Aya ke bogor untuk bertemu om dan tantenya. Orang yang jauh berbeda dengan bundanya.
Tampak Aya dengan ramah membantu memasukan belanjaan pelanggan disaat tante Adel menjadi kasir. Keduanya tampak kompak. Rangga bersandar didekat pintu sambil tersenyum. Aya yang menyadari itu ikut tersenyum.
I love you Aya
Ucap Rangga tanpa bersuara. Aya mengangguk dan tersenyum. Kembali menyapa ramah pelanggan yang datang dan sibuk memilih oleh-oleh yang dijual di toko tante Adel dan om Faruk.
Tak terasa, lima bulan sudah kepergian Arinda. Suasana rumah juga mendadak berubah, tepatnya, Adam merasa rumahnya tak lepas dari tawa riang ketiga cucunya. Seperti hari itu, saat di mana Sean minta ditemani Opanya les berenang, sementara Aurora terus menempel minta selalu digendong Adam. Pun, Afika yang selalu melihat iri saat Opanya tak juga menggendongnya. “Sean, ke tempat les sama Mama aja, ya, pulangnya kita ke kantor Papa,” usul Aya saat menyiapkan bekal les berenang putranya di hari jumat itu. “Yaudah, Sean sama Mama. Tapi minggu depan sama Opa, ya,” pintanya. Adam mengangguk, ia menggendong Aurora di tangan kanan, lalu Afika di tangan kiri dengan pengawasan Ghania dan bibi. Bibi sekarang tak boleh memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah, ia fokus mengasuh dan memperhatikan cucu-cucu Adam. “Ayah, Aya pamit, sama Sean.” Aya menyalim tangan Adam, disusul Sean yang memeluk Opanya erat. “Ya, Jani dan Haris jadi pindah ke Jakarta?” tanya Adam. “Jadi. Haris sekarang jadi pe
Semua tak ada yang sadar, jika Arinda memejamkan mata. Senda gurau saat makan siang bersama, membuat semua anggota keluarga larut dalam suka cita. Rangga beranjak, menghampiri Arinda karena merasa curiga dengan wajah bundanya yang mendadak pucat. “Bunda,” sapanya sambil mengusap wajah Arinda. Tak ada respon. Kembali Rangga mencoba membangunkan bundanya, namun nihil. Semua panik, Adam beranjak cepat bahkan membuat gelas air minum jatuh dan pecah. “Arinda, Bunda…” panggil Adam yang mencoba membangunkan istrinya. “Bunda!” teriak Ghania yang sudah merasa jika Arinda tak sadarkan diri atau bahkan tak bernyawa. Sirine ambulance membuat semua mobil di depannya menepi, memberikan jalan untuk mobil emergency itu lewat. Rangga menemani Arinda di dalam Arinda. Tangan bundanya sudah dingin, namun nadi masih ada walaupun detak jantung lemah. Aya, dan semua anggota keluarga lainnya naik mobil lainnya. Anak-anak ditinggal di rumah bersama bibi, bahkan Ghania memaksa ikut. Bagusnya, Ghania sudah
Rangga dan Aya bahu membahu memindahkan tubuh Arinda supaya posisinya menjadi lebih nyaman. Rangga memegang tubuh bagian atas bundanya, sedangkan Dena mengangkat kedua kaki Arinda. “Satu… dua… tiga,” ucap Aya dan Rangga kompak, mereka memindahkan tubuh Arinda ke brankar yang ukurannya lebih kecil. Rangga bau membelinya, ia ingin Bundanya bisa menikmati udara luar, bahkan, ia meminta beberapa pekerja rumah yang sedang merenovasi paviliun belakang untuk tempat tinggal Ghania dan Reno, membuat jalur khusus supaya brankar bisa turun ke lantai bawah. Adam masuk ke dalam kamar, melihat anak juga menantunya sangat kompak. Ia menghampiri, “ini brankarnya bisa dibikin posisi setengah duduk?” tanya Adam. “Bisa, Yah,” jawab Rangga. Aya meregangkan otot-otot kaki Arinda perlahan supaya tak semakin kaku. “Bunda coba posisinya agak sedikit duduk ya, kalau sakit kasih tau Aya dan Rangga. Kedip mata Bunda beberapa kali, ya,” pinta Aya. Lalu Rangga menekan remote yang ada di samping brankar, per
Suara tawa Sean dan Aurora membuat kedua mata Arinda yang tertutup, kembali terbuka, kedua cucunya itu terdengar asik bercanda hingga membuat Arinda penasaran, sayangnya ia tak bisa bergerak di atas brankarnya. Telinganya terus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan Sean, sayup-sayup kalimat canda tentang adiknya yang menggemaskan, membuat Arinda tersenyum tipis. Pintu terbuka, terlihat Rangga berjalan mendekat. “Bunda, sudah bangun?” Tangan Rangga mengusap surai ibunya. Arinda yang hanya bisa mengedipkan mata, membuat senyuman Rangga melebar. “Bun, anak-anak main di sini boleh, ya? Bunda belum ketemu Aurora, ‘kan? Dia sudah tiga bulan usianya. Semenjak tinggal di sini, Bunda belum ketemu putri Rangga dan Aya.” Tak menunggu jawaban Arinda, Rangga berjalan keluar kamar lagi, tak lama ia kembali dengan menggendong Aurora. Bayi perempuan berpipi tembem itu tampak diam menatap Arinda, cucu dan nenek saling beradu tatap kemudian, Aurora menunjukkan cengirannya. Kedua bahu Arinda berg
Tak ada yang akan menyangka dengan kondisi Arinda, ia tak bisa bergerak, stroke yang diderita hanya bisa membuatnya tidur di atas ranjang tanpa bisa bergerak. Membuka mulut untuk bicara saja sulit. Bahkan, kini ia harus dipasang selang melalui hidung yang tersambung ke lambung untuk mendapat makanan. Arinda diperbolehkan pulang, kamar kedua orang tua Rangga di ubah penataannya. Kasur ukuran besar, berganti menjadi ranjang rumah sakit, juga sofa bed untuk Adam tidur. Arinda menggerakkan kedua bola matanya saat melihat suasana kamar yang berbeda. Di dalam hati ia menjerit, menangis, namun tak bisa apa-apa. Aya mendekat, ia menyeka air mata Arinda dengan tisu. “Bunda udah di rumah, Aya mau buatkan jus pepaya ya, untuk Bunda makan. Bibir Bunda Aya oles madu supaya nggak kering, ya.” Sambil tersenyum, Aya mengambil madu dari atas nakas, mengoleskan dengan cotton bud ke bibir Arinda. Aya selalu tersenyum, walau Arinda masih menunjukkan kebenciannya. “Mama,” suara Sean terdengar, mereka
Aya terkejut saat mendengar kabar Arinda sudah sadar, tapi ia tak bisa segera ke rumah sakit karena Aurora baru saja tidur. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Rangga juga tampak lelah tak hanya fisik, tapi hatinya juga. Aurora diletakkan Aya di box bayi dengan perlahan, tak lupa menyelimuti tubuh putrinya yang belum genap satu bulan usianya.“Aya,” panggil lembut Rangga. Tangan suaminya sudah memeluk pinggang Aya dari belakang. Ia meletakkan dagu di bahu istrinya juga.“Tidur, sayang, kamu capek banget,” ujar Aya sembar berbalik badan, tangannya terangkat mengusap wajah juga menyugar rambut Rangga yang baru selesai mandi.“Besok aja kita ke rumah sakitnya, ya. Tadi perawat bilang kalau Bunda juga belum bisa dipindah ke kamar rawat. Jadi mereka minta kita sabar lagi.&rd