Pintu ruang divisi iklan itu terbuka, ketika briefing pagi baru saja hendak di mulai. Seorang office boy berdiri di bibir pintu dan maniknya berlari pada setiap orang yang berada di dalam sana.
“Maaf, Bu Fila,” kata sang office boy pada manajer iklan yang berada di sana. “Ada ibunya Mbak Rindu di depan.”
Semua mata peserta rapat yang ada di dalam ruang, reflek tertuju pada Rindu. Sementara itu, Rindu reflek mengumpat kesal di dalam hati. Untuk apa sang ibu datang ke kantor di pagi hari seperti ini, pikir Rindu.
Dengan terpaksa, Rindu meminta izin pada Fila untuk menemui ibunya, lalu bergegas keluar ruangan. Manik Rindu langsung mengarah pada seorang wanita paruh baya, yang saat ini duduk di kursi lobi. Ibunya itu menatap Rindu, tanpa menampilkan senyum sama sekali.
“Hai!” sapa Rindu tersenyum kecil, lalu menarik kursi yang berada di samping pria itu. Duduk di sana, lalu menoleh. “Sorry, ngantri isi bensin.”“Nggak papa,” jawab pria yang tadi pagi sempat Rindu perbincangkan dengan sang ibu. “Harusnya aku yang minta maaf, karena ngajak makan siangnya mendadak.”Rindu melempar senyum sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada pelayan yang baru saja datang dan berdiri di tepi meja. Rindu terburu melihat daftar menu yang sudah berada di meja sebelumnya.“Geprek kejunya satu, sama es cappucino.” Rindu kembali menatap Panji yang ternyata belum memesan apa-apa. “Kamu?”“Samain aja, tapi aku cappuccino panas.”
Rindu membawa motornya keluar dari area parkir kafe sembari terus mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya si Dewa itu masih saja mengawasinya sampai saat ini. Hampir saja siang ini Rindu akan mendapat makan siang gratis, tapi itu semua gagal gara-gara sang anggota dewan ter …. Rindu masih sempat-sempatnya menggeram, ketika baru saja memarkirkan motornya di sebelah warung sederhana pinggir jalan. Bayangan ayam geprek keju dan es cappucino olahan kafe, langsung terganti dengan bakso serta es teh yang sudah sering ia nikmati hampir setiap hari. Beruntung warung bakso yang dihampirinya kali ini rasanya lumayan enak. Jadi, perasaan kesal yang sedari tadi bergerombol di hati bisa terkikis sedikit demi sedikit. Yang aneh adalah, setelah Rindu pergi dari kafe tersebut, Dewa tidak lagi menghubunginya sama sekali. Bahkan, pria
“Kenapa, saya harus pindah kosan?” Rindu mengikuti Dewa yang melangkah pergi menuju dapur. Di dalam sana, Rindu kemudian melihat dua kotak pizza ukuran besar yang masih terikat rapi. Belum terbuka sama sekali. Walaupun cacing di dalam perutnya tiba-tiba memberontak, tapi Rindu harus menahan diri. Ada hal penting yang harus dibicarakannya terlebih dahulu dengan Dewa. “Karena kosanmu jelek,” jawab Dewa membuka tali yang mengikat boks pizza tersebut, lalu membuka kotaknya. "Ogah! Biar jelek gitu ju …" Rindu mengatupkan bibirnya, ketika melihat Dewa mengeluarkan ponsel dari celana pendek kargonya. Ia menduga, kalau ponsel pria itu baru saja bergetar dan Dewa ingin mengangkatnya. Namun, sepertinya dugaan Rindu telah salah. Dewa sibuk menunduk sejenak, lalu meletakkan bend
Kelopak mata Rindu yang memejam itu, seketika terbuka lebar. Mencoba mendorong kedua bahu Dewa yang kini menjelajahi lehernya.“Pak Dewa … bentar, hape saya bunyi,” ucap Rindu lirih dan berusaha menyadarkan diri. Jika bukan karena ponselnya yang kini berdering tanpa henti, Rindu mungkin sudah pasrah saja dengan permainan Dewa.“Paaaak,” rengek Rindu masih berusaha menyingkirkan Dewa yang terus saja menjalankan aksinya. “Pak Dewaa—”“Berisik, Rin!” decak Dewa kemudian menarik diri. Dan menatap lapar pada tubuh bagian atas Rindu yang hanya berbalut pakaian dalam berwarna hitam. Sedangkan seragam gadis itu, sudah Dewa lempar entar ke mana. “Nanti juga mati sendiri.”“Ya, tahu mati sendiri,”
Rindu menggeram. Memindahkan bantal untuk menutupi kepalanya yang masih terasa berat. Suara ponsel yang berdering tanpa henti itu, telah membangunkan Rindu dari mimpi indah yang tengah dirajutnya dalam lelap. Akhirnya, napas Rindu terbuang lega ketika dering berisik itu telah berakhir senyap. Namun, ketenangan yang baru saja hendak ia nikmati itu, kembali terusik karena ponsel miliknya kembali berdering dan memaksa Rindu untuk membuka mata. Rindu yang masih bertelungkup itu, menyingkirkan bantal dari kepalanya. Menoleh ke arah asal suara dan melihat sisi ponselnya yang tengah bergerak halus di atas nakas. Rindu mengerjap pelan ketika menyadari keberadaannya saat ini. Otaknya langsung bekerja cepat. Kembali mengingat seluruh kejadian panas yang dilakukannya bersama Dewa tadi malam. Rindu yang tidak memiliki pengal
“Gimana kosan barunya? Kalau kurang cocok, saya bisa minta Riko untuk cari yang baru.”Rindu ternganga merespons ucapan Dewa di telepon. Dengan fasilitas lengkap seperti sekarang, bagaimana bisa Rindu mengatakan kurang cocok dengan tempat tinggal barunya. Tempat yang dihuninya saat ini, merupakan kost eksklusif dengan fasilitas kamar layaknya hotel.Tempat tidur queen size yang sangat nyaman, lemari pendingin, televisi, serta ada pendingin ruangan yang mulai saat ini akan menjadi teman tidurnya setiap malam. Bahkan, Rindu juga melihat ada water heater di dalam kamar mandi.Apa ini?Hidup Rindu tiba-tiba saja berubah, dalam satu kerjapan mata.“Cocoklah, Pak!” seru Rindu menjawab pertanyaan Dewa s
Suara alarm yang berasal dari dari ponsel Rindu, membuat gadis itu terjaga dari tidurnya. Membuka mata, tapi masih enggan bangkit dari tempat tidur nyaman dengan selimut hangatnya.Begitu sadar, Rindu langsung menghela pelan. Sisi tempat tidur di sebelahnya kembali kosong. Pria yang sudah melalui malam panjang bersamanya kembali tidak ada di sampingnya.Rindu membalik tubuh, tanpa memedulikan dering alarm yang masih saja dengan setia membangunkannya. Beruntung Rindu sudah memasang alarm pagi, hingga ia tidak akan lagi kesiangan dan telat untuk pergi ke kantor.Rindu bangkit perlahan, sambil menahan selimut yang menutup tubuh polosnya di depan dada. Tubuhnya terasa lelah, tapi tidak lagi seperti yang sudah-sudah. Sepertinya, Rindu sudah mulai terbiasa menghabiskan malam dengan banyak kegiatan panas bersama Dewa.Namun, yang membuatnya kecewa ialah, pria itu selalu tidak ada ketika Rindu membuka mata. Rindu tersenyum miris. Memangnya, apa yang diharapkan ol
Lelah mendengar rengekan Rindu yang mengeluh lapar dan ingin makan nasi, Dewa akhirnya mengajak gadis itu keluar untuk mencari sarapan. Sebelum keluar rumah, Dewa sempat melirik jam dinding yang berada di ruang tengah. Jarum jam yang berputar di dalamnya, bahkan belum menunjukkan pukul enam pagi, tapi mulut Rindu itu benar-benar tidak bisa dibuat diam. Gadis itu merengek dan terus saja mengatakan bahwa dirinya tengah lapar dan tidak ingin makan apapun kecuali nasi.Sampai akhirnya, tibalah mereka di sebuah restoran cepat saji yang buka 24 jam. Di pagi hari seperti ini, keduanya tidak harus mengantri di depan kasir untuk memesan makanan.“Katanya mau sarapan nasi, kenapa sekarang malah pesan kentang sama ayam?” Intonasi kesal Dewa begitu ketara saat ini. Jangan-jangan, gadis itu hanya mengerjainya dengan merengek minta sarapan nasi, karena ujung-ujun