“Kenapa, saya harus pindah kosan?” Rindu mengikuti Dewa yang melangkah pergi menuju dapur. Di dalam sana, Rindu kemudian melihat dua kotak pizza ukuran besar yang masih terikat rapi. Belum terbuka sama sekali.
Walaupun cacing di dalam perutnya tiba-tiba memberontak, tapi Rindu harus menahan diri. Ada hal penting yang harus dibicarakannya terlebih dahulu dengan Dewa.
“Karena kosanmu jelek,” jawab Dewa membuka tali yang mengikat boks pizza tersebut, lalu membuka kotaknya.
"Ogah! Biar jelek gitu ju …" Rindu mengatupkan bibirnya, ketika melihat Dewa mengeluarkan ponsel dari celana pendek kargonya. Ia menduga, kalau ponsel pria itu baru saja bergetar dan Dewa ingin mengangkatnya.
Namun, sepertinya dugaan Rindu telah salah. Dewa sibuk menunduk sejenak, lalu meletakkan bend
Hola, moon maap atas kejadian di bab lalu ya. Babnya sudah di revisi dan sudah terganti dengan yang baru. Kalau ada yang belum berubah, sila logout dulu, baru masuk lagi. Atau, bisa juga bukunya di hapus dulu dari pustaka, baru nanti di add lagi. Sekali lagi moon maap dan kisssed so much atas perhatiannya...
Kelopak mata Rindu yang memejam itu, seketika terbuka lebar. Mencoba mendorong kedua bahu Dewa yang kini menjelajahi lehernya.“Pak Dewa … bentar, hape saya bunyi,” ucap Rindu lirih dan berusaha menyadarkan diri. Jika bukan karena ponselnya yang kini berdering tanpa henti, Rindu mungkin sudah pasrah saja dengan permainan Dewa.“Paaaak,” rengek Rindu masih berusaha menyingkirkan Dewa yang terus saja menjalankan aksinya. “Pak Dewaa—”“Berisik, Rin!” decak Dewa kemudian menarik diri. Dan menatap lapar pada tubuh bagian atas Rindu yang hanya berbalut pakaian dalam berwarna hitam. Sedangkan seragam gadis itu, sudah Dewa lempar entar ke mana. “Nanti juga mati sendiri.”“Ya, tahu mati sendiri,”
Rindu menggeram. Memindahkan bantal untuk menutupi kepalanya yang masih terasa berat. Suara ponsel yang berdering tanpa henti itu, telah membangunkan Rindu dari mimpi indah yang tengah dirajutnya dalam lelap. Akhirnya, napas Rindu terbuang lega ketika dering berisik itu telah berakhir senyap. Namun, ketenangan yang baru saja hendak ia nikmati itu, kembali terusik karena ponsel miliknya kembali berdering dan memaksa Rindu untuk membuka mata. Rindu yang masih bertelungkup itu, menyingkirkan bantal dari kepalanya. Menoleh ke arah asal suara dan melihat sisi ponselnya yang tengah bergerak halus di atas nakas. Rindu mengerjap pelan ketika menyadari keberadaannya saat ini. Otaknya langsung bekerja cepat. Kembali mengingat seluruh kejadian panas yang dilakukannya bersama Dewa tadi malam. Rindu yang tidak memiliki pengal
“Gimana kosan barunya? Kalau kurang cocok, saya bisa minta Riko untuk cari yang baru.”Rindu ternganga merespons ucapan Dewa di telepon. Dengan fasilitas lengkap seperti sekarang, bagaimana bisa Rindu mengatakan kurang cocok dengan tempat tinggal barunya. Tempat yang dihuninya saat ini, merupakan kost eksklusif dengan fasilitas kamar layaknya hotel.Tempat tidur queen size yang sangat nyaman, lemari pendingin, televisi, serta ada pendingin ruangan yang mulai saat ini akan menjadi teman tidurnya setiap malam. Bahkan, Rindu juga melihat ada water heater di dalam kamar mandi.Apa ini?Hidup Rindu tiba-tiba saja berubah, dalam satu kerjapan mata.“Cocoklah, Pak!” seru Rindu menjawab pertanyaan Dewa s
Suara alarm yang berasal dari dari ponsel Rindu, membuat gadis itu terjaga dari tidurnya. Membuka mata, tapi masih enggan bangkit dari tempat tidur nyaman dengan selimut hangatnya.Begitu sadar, Rindu langsung menghela pelan. Sisi tempat tidur di sebelahnya kembali kosong. Pria yang sudah melalui malam panjang bersamanya kembali tidak ada di sampingnya.Rindu membalik tubuh, tanpa memedulikan dering alarm yang masih saja dengan setia membangunkannya. Beruntung Rindu sudah memasang alarm pagi, hingga ia tidak akan lagi kesiangan dan telat untuk pergi ke kantor.Rindu bangkit perlahan, sambil menahan selimut yang menutup tubuh polosnya di depan dada. Tubuhnya terasa lelah, tapi tidak lagi seperti yang sudah-sudah. Sepertinya, Rindu sudah mulai terbiasa menghabiskan malam dengan banyak kegiatan panas bersama Dewa.Namun, yang membuatnya kecewa ialah, pria itu selalu tidak ada ketika Rindu membuka mata. Rindu tersenyum miris. Memangnya, apa yang diharapkan ol
Lelah mendengar rengekan Rindu yang mengeluh lapar dan ingin makan nasi, Dewa akhirnya mengajak gadis itu keluar untuk mencari sarapan. Sebelum keluar rumah, Dewa sempat melirik jam dinding yang berada di ruang tengah. Jarum jam yang berputar di dalamnya, bahkan belum menunjukkan pukul enam pagi, tapi mulut Rindu itu benar-benar tidak bisa dibuat diam. Gadis itu merengek dan terus saja mengatakan bahwa dirinya tengah lapar dan tidak ingin makan apapun kecuali nasi.Sampai akhirnya, tibalah mereka di sebuah restoran cepat saji yang buka 24 jam. Di pagi hari seperti ini, keduanya tidak harus mengantri di depan kasir untuk memesan makanan.“Katanya mau sarapan nasi, kenapa sekarang malah pesan kentang sama ayam?” Intonasi kesal Dewa begitu ketara saat ini. Jangan-jangan, gadis itu hanya mengerjainya dengan merengek minta sarapan nasi, karena ujung-ujun
“Nggak pengen ngenalin cowok barunya, Rin?”Bibir Eca mengerucut untuk menunjuk seorang pria yang baru saja dihampiri oleh Rindu. Pria yang sudah pernah dilihat Eca, datang ke kantor untuk menjemput Rindu beberapa kali.Rindu menoleh pada Dani, orang suruhan Dewa yang baru saja masuk ke dalam mobil. “Bukan cowok gue, dia suruhan orang.” Rindu menyelipkan tangan ke siku Eca yang baru saja datang ke kantor lalu mengajaknya masuk ke dalam kantor.“Suruhan?” Eca yang baru melewati pintu lobi itu berhenti, lalu berbalik. Memandang sedan hitam mewah yang baru saja berlalu melewati pelataran gedung kantornya. “Lah, kalau orang suruhannya aja bawa mobil begitu, gimana bosnya? Tajir melintir dong, Rin?” cecar Eca.“Terus, kala
Devan hanya manggut-manggut ketika mendengar penjelasan Rindu. Di dalam penjelasannya, gadis itu juga mengutarakan sebuah permintaan pada Devan dengan sangat lancar, dan tanpa jeda sama sekali. Devan meresapi dengan seksama, dan pada akhirnya, ia menjawab semua penuturan yang dikatakan oleh bawahannya itu dengan satu kata. “No!” “Bapaak!” Rindu reflek merengek dengan wajah mengiba. “Kasihlah, Pak.” “No!” Devan kembali menjawab dengan kata yang sama. “Peraturan tetaplah peraturan. Kembali kuliah dan setelah lulus, silakan magang di redaksi.” Rindu berdecak tapi tidak bisa membantah. Usahanya, membujuk Devan agar menjadikan Rindu karyawan magang di bagian redaksi, hanyalah sia-sia belaka. Ternyata, hidup kaum jelata seperti Rindu, tidak bisa berjalan mulus seperti jala
“Sudah satu bulan lebih, Rik.” Dewa menutup pintu mobil yang baru dimasukinya dengan keras. Setelah mengikuti rapat kerja yang sangat menguras pikiran di dalam sana, akhirnya Dewa bisa keluar dan mendinginkan otak yang sedari tadi sudah mendidih. Riko yang sebelumnya diminta Dewa untuk menjemput pria itu, hanya bisa meringis datar. Riko menoleh pada Dewa yang duduk di sampingnya dengan serba salah. “Baru kali ini aku lihat kinerjamu lambat!” “Bukan lambat, Pak, Dewa,” ralat Riko sambil memasang sabuk pengaman dan menstarter mobilnya. “Tapi memang nggak ada yang harus dilaporkan. Kerjaan Rindu, ya, cuma begitu-gitu aja tiap hari. Ke kantor, keliling, dan nggak pernah ke klinik atau ke rumah sakti sama sekali. Apotek juga nggak.” “Yang MITV, apa ada perkembangan? Kenapa dia ke sana?” Riko menggeleng sambil terus berkonsentrasi dengan kemudinya. “Rindu ke sana karena ada urusan kerjaan.” “Panci?” “Panji, maksudnya?” tanya