Cuaca di sore ini terasa dingin. Angin berembus pelan, membelai pepohonan, hingga daun-daunnya menari tanpa beban. Deru kendaraan di jalan terdengar bersahutan. Debu-debu trotoar beterbangan bagai berusaha lari dari kenyataan yang sebentar lagi akan menghempaskan mereka.
Kesedihan Rella juga dimengerti oleh langit. Rintik mulai berjatuhan, bersamaan dengan orang-orang berteduh di bawah naungan. Kecuali Rella, gadis yang menghentikan langkah di tengah guyuran hujan. Tidak peduli dingin menembus tulang. Ia merasa, hujan tengah memberinya rahasia terbesar. Ya, walau berjatuhan dari tempat yang teramat tinggi demi menyuburkan bumi, tetapi ia tidak pernah merengek ataupun menolak takdir Tuhan. Ia sangat tegar."... Marah aja tiap hari, biar gue nggak bosen liat wajah lo yang penuh lemak itu.""Orang tua lo pinter banget, ya, ngasi nama. Terus pangerannya segede apa kira-kira kalo tuan putrinya kayak lo?"Suara Abil terus berputar keras di telinga Rella. Kedua kaki yang memijak bumi tidak mampu lagi menopang raga. Rella menangis sekeras mungkin, tidak peduli orang yang menyaksikan berkata apa pun.Ya, bagaimanapun Rella mencoba setegar hujan, tidak akan pernah bisa. Karena hatinya tidak terbuat dari baja, melainkan sebentuk kaca yang mudah retak. Biarlah tangisnya terbawa derai hujan, tiada siapa yang tahu bahwa dia tengah menahan sakitnya hinaan.Rasanya sakit sekali, bahkan untuk sekadar menjelaskan lewat kata, itu tidak akan bisa, terlalu sakit. Bayangkan, ketika kamu memiliki kekurangan secara fisik, pasti akan sangat tertohok ketika satu orang saja menjadikannya sebagai bahan olokan. Oke, kamu merasa tegar, lalu membalasnya dengan segaris senyuman. Namun, tidakkah kamu berpikir, bahwa hasil dari ciptaan Tuhan terasa sia-sia, terasa tidak sempurna jika dijadikan bahan olokan? Sedang, orang yang menghina sendiri adalah hasil dari ciptaan Tuhan. Paham, 'kan?Orang yang dihina lalu menangis, merasa sakit, bukan berarti ia tidak bersyukur. Namun, sebenarnya air mata yang Tuhan keluarkan dari pelupuk matanya adalah tanda bahwa ia tengah menangisi orang yang menghina, karena betapa hinanya si penghina di hadapan Tuhan, sebab telah merendahkan hasil ciptaan-Nya, sedang dia sendiri tercipta bukan karena kemauan sendiri, tetapi atas kehendak Tuhan.Ya, manusia memang egois.***"Memaafkan memang sulit, Nde, tapi jika tidak memaafkan, itu akan menjadi beban dalam hidup kamu. Dendam, kebencian, itu adalah sifat tercela, nafsu syetan, sangat buruk. Lebih baik sekarang kamu shalat, baca ayat suci Al-Quran sama tafsirnya, renungi kesalahan yang pernah kamu perbuat. Minta ampunan sama Gusti Allah, minta diberi kelapangan hati. Udah, jangan masukkan kata-katanya ke dalam hati, nggak ada faedahnya. Lebih baik kamu muhasabah."Kalimat itu menjadi petuah terakhir dari sang ibu yang berada jauh di kampung. Sekembalinya ke kosan, Rella tidak langsung membersihkan diri dari bekas air hujan yang membasah di sekujur tubuh. Namun, memilih menghubungi sang ibu menggunakan telepon umum yang tersedia sepuluh meter dari tempat kos. Sedang, ponselnya tidak lagi bisa digunakan lantaran ikut kehujanan. Nasib, ya, nasib.Hampir lima belas menit bercurhat-ria dengan ibunya, sekarang gadis itu sudah kembali ke kos. Dengan mengenakan pakaian longgar tertutup, Rella mulai memakai mukena biru muda beserta bawahan warna senada.Di atas sajadah merah bergambar ka'bah yang tergelar, Rella bersujud sembah sebagaimana mestinya. Sujud terakhir begitu khidmat, cukup lama. Terguncangnya punggung menjadi pertanda bahwa untaian doa gadis itu dibarengi tangisan. Terduduk, membaca tahiatulakhir, lalu salam dengan pelan tanpa ketergesaan.Selesai berzikir dan bersholawat, Rella menjangkau benda tebal berbentuk persegi seukuran telapak tangan di nakas. Menggulir resleting, lalu membuka surah Ar-Rahman (Q.S 55 ayat 1-78), yakni surah yang diturunkan di Makkah, memiliki julukan Rasul Quran.Baru saja bibirnya membaca ayat pertama, rasanya begitu menggetarkan hati, hingga tangis tidak bisa dibendung lagi. Disertai isakan, Rella lantunkan ayat suci Al-Quran. Memetik pelajaran dari setiap arti yang terkandung.فَبِاَ يِّ اٰلَآ ءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِfa bi'ayyi aalaaa'i robbikumaa tukazzibaan"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"(QS. Ar-Rahman 55: Ayat 77)تَبٰـرَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِى الْجَـلٰلِ وَا لْاِ كْرَا مِtabaarokasmu robbika zil-jalaali wal-ikroom"Maha Suci nama Tuhanmu Pemilik Keagungan dan Kemuliaan."(QS. Ar-Rahman 55: Ayat 78)"Shodhokallahul'azim ...." Al-Kitab ia cium cukup lama, masih dengan sengguk yang belum reda dan derai air mata.Dosa demi dosa yang pernah ia lakukan di dunia, kembali terekam silih berganti. Begitu banyak dosa Rella terhadap Allah, Tuhan Semesta Alam. Betapa hinanya ia karena sering kali melalaikan panggilan Tuhan untuk bersujud sembah. Padahal dengan begitu, hatinya bisa tenang, luka bisa terobati, bahkan masalah bisa teratasi. Namun, namanya Rella adalah manusia biasa, yang tidak luput dari khilaf dan dosa.***Rella termenung cukup lama setelah menyelesaikan salat Isya, masih dalam keadaan mengenakan mukena di atas sajadah. Dia ingat betul kejadian waktu lalu di cafe. Sebelum Abil melayangkan kalimat menyesakkan itu padanya, Rella juga sempat melontarkan kata-kata tidak pantas dan seharusnya tidak terucap."Semua adik tingkat Kakak di kampus juga tau, kalau Kakak punya ayah yang pemaksa, pengekang, dan gila tahta, itulah kenapa saya juga bisa tau." 'Nggak heran anaknya juga pemaksa.'Menghela napas berat, Rella menyesali perbuatannya yang satu itu. Gara-gara terlalu menuruti rasa sakit hati, kalimat yang jelas-jelas menyakiti perasaan tersebut menyembur bagai api yang penuh kebencian. Mengucap istigfar berulang kali, lalu kembali tepekur pada gambar dua dimensi berbentuk Ka'bah."Memaafkan memang sulit, Nde, tapi jika tidak memaafkan, itu akan menjadi beban dalam hidup kamu."Nasihat sang ibu pun tidak pernah luput. Mulai detik ini, Rella putuskan untuk memaafkan Abil, baik secara lahir maupun batin. Lalu, apakah dia hanya akan memaafkan? Tidak dengan meminta maaf? Pikiran itu berkecamuk, membuat Rella mulai menimbang-nimbang.***Saklar lampu berbunyi, membuat ruangan berubah terang dan terlihat jelas. Stella tampak mengedarkan pandangan. Hingga di satu titik, matanya menilik tajam pada seonggok manusia."Ella?" bisik gadis itu, kemudian melangkahkan kaki jenjangnya ke arah Rella yang tertidur menyamping kanan di atas sajadah, masih memakai mukena. Berjongkok, Stella bergumam, "ini anak, kok, tidurnya di sini? Tumben banget."Tidak lama, alis Stella bertaut, perhatiannya fokus pada wajah sembap Rella yang sangat kentara. Kantung mata tebal dan memerah, ditambah bekas air mata yang mengering begitu jelas terlihat. "Ela habis nangis?" tanyanya lirih pada diri sendiri.Menyentuh lengan Rella, belum dua detik, ditarik kembali secepat kilat. "Astaga!" Beralih meniup tangannya yang terasa seperti menyentuh bara api. "Ella panas banget, demam kali, ya?"Stella menempelkan tangan di dahi Rella, lagi-lagi dalam sekejap mata ditarik kembali. "Ya Tuhan, lo, kok, panas banget, sih, El?"Bingung harus berbuat apa, hingga yang bisa dilakukan Stella hanyalah menyelimuti tubuh Rella dengan selimut tebal miliknya. Membiarkan gadis itu terlelap di atas sajadah yang ukurannya tidak seberapa."Sorry, El, gue nggak bakal bisa bopong lo ke ranjang, apalagi buat bangunin lo, mana tega gue?" ucap Stella penuh rasa tidak enak hati telah membiarkan sahabatnya terbaring di lantai beralas sajadah.Mengambil kompres dan air dingin, Stella mulai mengaplikasikannya pada dahi Rella. Selang lima menit, handuk putih dicelupkan ke wadah, lalu ditembel kembali pada dahi Rella.Hal itu dilakukan berulang-ulang sampai Stella menguap untuk ke sekian kali lantaran mengantuk. Akhirnya, Stella berhenti, gadis itu memilih memejam karena malam sudah sangat larut."Sleep tight, ya. Hope you nice dream my princess Ela."Beranjak dari samping Rella, Stella menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ketika berada di dalam, dilihatnya pakaian Rella yang menumpuk di keranjangan khusus cucian. Tanpa pikir panjang, disentuhnya kain biru muda yang berada paling atas. Basah. Pikiran Stella tertuju pada hujan beberapa waktu lalu yang menghalangi jalannya untuk kembali ke kosan dan mau tidak mau menunggu hujan reda, baru kemudian pulang. 'Jangan-jangan, Rella habis hujan-hujanan?' Pikirnya.[Assalamu'alaikum, El, aku cuma pengin kamu tau satu hal, kalo sebenarnya perjodohan antara Kak Stella dan Kak Alka itu murni karena paksaan dari Om Antonio sama Mama Gloria.][Kalo kamu nggak percaya, bisa tanyakan langsung sama Kak Alka, tapi aku yakin, kamu nggak akan mau ngelakuin itu. Jadi, di sini aku mau ngeyakinin kamu kalo di antara Kak Stella dan Kak Alka nggak ada perasaan cinta sedikit pun. Mereka murni berteman, nggak lebih. Aku lihat, Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Terbukti waktu aku ngembaliin sepatu kaca itu, dia keliatan kecewa banget, El.][Oh, iya, aku ngembaliin sepatu itu beberapa saat setelah kita ketemu di cafe J. Awalnya Kak Alka nolak ajakanku, tapi pas nyebut nama kamu dan sepatu kaca pemberiannya, akhirnya dia mau.][Aku yakin, seyakin-yakinnya kalo Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Dan aku juga yakin, Kak Alka nerima perjodohan itu pasti karena ada alasan yang kuat dan nggak bisa disepelekan. Aku sedikit kenal gimana perangai Om Antonio. Kalo dia
Wanita dengan rambut hitam yang tercepol asal itu tengah sibuk mengemasi barang-barang ke dalam tas koper ketika seseorang menghubunginya via video call. Rella, setelah melihat pada layar gawai di samping tempat duduknya, seketika melebarkan kedua mata. “Kak Abil?!” pekiknya panik. Secepat kilat dia meraih ciput dan jilbab bergo yang ada di tepi ranjang, lantas memakainya tanpa bercermin. Gawai masih terus berbunyi, Rella segera mengambil dan meletakkannya ke bolongan berbentuk persegi panjang pada meja laptop yang biasa dia gunakan belajar jika ingin lesehan di lantai. Ini kali pertama Abil menghubunginya via vc, tentu saja Rella tidak cukup berani, tetapi ingin menolak pun rasanya segan. Setelah memastikan dirinya sudah siap, barulah Rella menggeser tombol hijau dan beberapa saat kemudian, wajah tampan Abil memenuhi layar gawainya. Rella mengerjap beberapa kali, mengatur gestur tubuh dan mimik wajah agar terlihat baik dan tidak tegang. Dia mengulas senyum canggung. “Assalamu'ala
Selepas puas bercurhat ria pada sang mama, kini Rella lebih lega untuk menarik dan mengembuskan napasnya. Meskipun masih ada sedikit perasaan kecewa dan luka yang terasa perih di dada. Namun, dia akan berusaha untuk ikhlas, merelakan segala alur yang telah dirancang Allah sedemikian rupa. Wanita itu membuka sebuah aplikasi sosial media dan mencari nama akun seseorang yang menjadi topik utama curhatannya barusan. Setelah masuk ke profil akun tersebut, dia mengklik bagian kirim pesan. Beruntung onstagramnya tidak diblokir juga, sementara itu nomor telepon dan wutsapp-nya sudah diblokir. Sebelum mengetikkan pesan, Rella mengatur napas, menarik seutas senyum penenang. Barulah jari-jemarinya bermain di layar keyboard dengan pelan bersama detakan jantung yang terasa lebih cepat. [Hai, Stel. Kabar baik? Aku harap sangat baik. Maaf malam-malam mengirimimu pesan lewat dm. Aku ... hanya merasa segan untuk memintamu bertemu langsung. Selain itu, aku juga nggak tau nomormu yang lain. Malam
Sejak diantar pulang ke kosan oleh Abil, Rella tidak henti-hentinya menangis. Pikiran dan hatinya benar-benar tidak tenang, kacau. Dia bukan menangisi perihal Alka yang lebih memilih wanita lain, melainkan tentang persahabatannya bersama Stella. Rella memang kecewa atas perlakuan Alka, sangat. Dua kali dilamar, tetapi bukan dirinya yang dinikahi. Namun, Rella sudah berusaha untuk merelakan, sebab jika memang Tuhan tidak menakdirkan mereka berjodoh, mau sekuat apa pun berjuang juga tidak akan pernah bersatu. Sekarang, pikirannya lebih terbuka untuk tidak lagi berlarut-larut menangisi perihal asmara. Itu semua tidak lekang dari bantuan Stella yang selalu setia memberi dukungan, juga nasihat dari Pak Psikolog alias Abil. Hanya saja, kali ini dia tidak yakin bisa lebih tegar. Kehilangan sahabat sungguh berkali-kali lebih menyakitkan dibanding kehilangan kekasih. Bagi Rella, sosok Stella tidak ada gantinya. Sahabat terbaik sejak awal masuk kuliah hingga masuk semester 6, rasanya ketika
Abil menatap lawan bicaranya sembari menahan amarah. “Lo berhutang penjelasan soal kejadian tadi pagi di rumah keluarga Stella. Soal pertunangan kalian yang katanya ... terpaksa?”Laki-laki berwajah lesu itu sekalipun tidak membalas tatapan Abil. Sepasang mata lelahnya hanya tertuju pada permukaan meja dengan segelas air putih yang baru saja ia hidangkan untuk tamu di depan. Alka mengembus berat. Sedikit pun tidak tampak bias keceriaan di wajahnya, hanya ada ketidaktenangan. “Kamu sudah mendengar semua perkataan Stella, apa masih kurang jelas?” Nada suaranya terdengar sangat malas untuk sekadar membahas permasalahan yang baru saja dilalui. Jika boleh, dia sendiri tidak ingin menghadapi alur serumit itu. “Jelas, tapi kenapa lo malah jalanin kalo lo sama Stella nggak mau? Lo udah sering bikin Ella sakit hati, Al, dan sekarang lo bener-bener ngehancurin harapan dia!”Alka memejam. Ia sangat sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, sangat sadar telah membuat luka baru untuk Rella di s
“Tiada yang lebih baik daripada melepaskan. Karena jika aku memilih untuk terus mempertahankan, mungkin retaknya akan terus berulang.” *** Bagaikan racun yang dibungkus kain sutera, begitulah Stella yang menjadi racun dan Rella sebagai pembungkusnya. Kebaikan Rella menutupi segala bentuk tujuan buruk Stella, tetapi lambat laun ketika seseorang memaksa menyingkirkan kain sutera, mau tidak mau racun pun tampak. "Kenapa kamu masih di sini?" "Stella, aku--" "Pergi!" Bahkan, Stella memilih menenggak habis racun itu tanpa sisa, sebab tidak ingin sahabat terbaiknya terluka lebih jauh karena mempertahankan pertemanan mereka. Dia rela menjadi jahat, asalkan Rella menjauhinya. Dia rela menjadi bilah pisau, asalkan tidak ada lagi luka yang tercipta setelahnya. Demi kebaikan Rella, Stella rela menjadi seburuk-buruknya manusia. Rella tidak pantas bersahabat dengan manusia berhati busuk. Rella tidak pantas bebuat baik pada manusia berhati rubah. Sungguh tidak pantas. Satu dua tete