"Gue, sih, nggak masalah lengser dari jabatan ketua BEM sama gelar mahasiswa teladan, tapi masalahnya ada sama bokap gue, Al. Kalau sampai bokap tau, tamat riwayat gue! Aduh, Al ... please bantuin gue mikir. Gue nggak tau musti ngapain sekarang!"
Racauan sang teman dari lima belas menit lalu hanya ditanggapi kekehan olehnya, laki-laki penyandang gelar dosen termuda. Ialah, Muhammad Alka Marshal, si tuan rumah sekaligus pendengar setia curhatan panjang dari seorang teman yang datang bertandang di malam hampir larut. Tautan jari tangan di atas meja dari awal sesi curhat, kini beralih disedekapkan depan dada.Wajah kusut laki-laki yang tidak lain adalah milik Abil, semakin kusut tatkala mendengar kekehan Alka. "Gila lo, ya, ketawa di atas penderitaan gue. Bukannya kasih solusi, atau apa, kek, malah ketawa."Sebelah tangan Alka memperbaiki kacamata yang membingkai iris berwarna abu dengan bentukan sipit. Lalu, kata demi kata bernada halus teralun merdu melewati bibir tipis kemerahannya. "Cinderella itu gadis yang baik dan pemaaf menurut saya."Seketika raut melongo dilayangkan Abil, lengkap dengan tatapan seolah menyimpan kalimat, 'gue minta solusi, lo malah curcol'. Laki-laki itu mendengus kesal. "Gue serius, Al, gue ngomongnya ke timur, lo malah ke selatan. Akh, rese lo, ya!"Protesan Abil menciptakan tawa kecil dari Alka. "Katanya minta solusi, saya sudah beri clue, kamu malah marah."Wajah keruh Abil sedikit berubah dengan sebelah alis terangkat. "Clue?"Alka mengangguk, lantas berkata, "Gadis yang kamu ceritakan itu, saya mengenalnya dengan baik. Dari segi fisik dan finansial, memang, dia kalah jauh dari kamu, tapi dari segi ..." Alka menunjuk-nunjuk dada kirinya. "She's an angel."Abil sampai tercenung atas penuturan Alka barusan. Seketika pikirannya melayang ke kejadian waktu lalu di cafe. Kalimat demi kalimat perdebatan antara dirinya dan gadis itu terputar kembali."Kakak salah. Time is not just for money, but time for the family, for friendship, for worship, for prayer, and for hope to God."Uang mungkin bisa membuat kita kaya, tapi tidak akan menjamin kita untuk bahagia. Sebab tidak ada kebahagiaan yang sempurna, selain dari keharmonisan keluarga yang utuh dan hubungan baik dengan Tuhan.""Nggak usah nyeramahin gue, deh, lo. Sok-sok-an ceramah tentang keluarga segala, cih! Omong kosong!"Sebagai korban broken home, lo nggak cocok ngomongin soal keluarga utuh. Gue bisa baca dari pandangan lo, kalo lo pernah ngalamin yang namanya 'broken home'. Iya, 'kan?""Kayaknya gue salah ngomong, Al," kata Abil seraya mengusap wajahnya kasar. "Padahal gue cuma iseng bilang dia punya keluarga broken home, taunya malah beneran. Tapi ... sebenarnya gue juga masih marah, karena tuh anak udah ngata-ngatain gue anak yang punya bokap gila tahta dan segala macem. Gue bener-bener nggak tau musti ngapain!"Ekspresi Alka tampak biasa saja menanggapi kefrustrasian temannya. Tidak tegang, tidak juga kasihan, melainkan netral. "Saya, kan, sudah bilang, Cinderella gadis yang baik dan pemaaf. Kenapa harus memusingkan diri? Lagi pula, kamu sendiri yang menyalakan pematik lebih dulu, pasti akan ada api yang tersulut setelahnya."Tepekur pada meja pantri, Abil berusaha mencerna lontaran kalimat dari Alka barusan. Mencari ujung pangkal clue tersebut. Sampai akhirnya, satu kata kerja tercetus di benak Abil. Minta maaf?***Setelah semalaman hampir suntuk memikirkan satu kata kerja yang berhasil membuat dua sisi dalam dirinya berdebat hebat, sekarang Abil kembali dirundung masalah. Kalimat pelecut dari Alka pun mencipta kesadaran dalam dirinya, tetapi tidak mampu menghempas rasa gengsi berlebih.Mondar-mandir di depan sebuah pintu tertutup, sesekali melirik ke arah ruangan yang dipenuhi pelajar lewat jendela. Beberapa menit berlalu, seorang dosen perempuan keluar dari pintu ruangan. Sebagai mahasiswa panutan, tentu Abil menampakkan sikap hormatnya pada dosen pengajar.Setelah dosen tersebut berlalu, Abil berusaha sabar menunggu seseorang yang akan menjadi objek pengutaraan permohonan maafnya. Satu per satu pelajar keluar, tetapi sosok itu belum juga tampak. Sampai seseorang yang dekat dengan si gadis membuat Abil segera mendekat."Stella," panggil Abil, langkahnya dan gadis yang dipanggil berhenti bersamaan.Stella membeliak, seperti mendapat sebuah kejutan, dan memang mengejutkan bagi dirinya. "Ka-kak Abil?" Berusaha memperbaiki sikap yang kentara sekali gugup saat berhadapan langsung dengan sosok pujaan hati."Gue ke sini cuma mau nyari Cinderella, temen lo, 'kan?"Mengangguk kaku, Stella mati-matian menahan tabuhan riuh di dalam sana. Jangan sampai Abil mendengar suara itu. Yah, walau kenyataan berkata, bahwa bukan dirinya yang dicari."Sekarang dia di mana?""El-Ela nggak, nggak ma–" Membuang napas sejenak, baru kemudian melanjutkan, "nggak masuk, Kak." Lantas mengembuskan napas lega. Padahal, ketika berhadapan dengan Abil di parkiran kemarin, Stella tidak segugup ini. Mungkin, karena situasinya berbeda?"Are you ok?" tanya Abil yang sedari tadi memperhatikan Stella berbicara dengan napas megap-megap, seperti orang sesak."Huh?" Seketika semburat merah jambu menggerayang di kedua pipi Stella, tetapi memang pada dasarnya pink karena blush on, jadi tidak terlalu kentara. Gadis itu tampak berusaha menutupi wajahnya dengan menunduk sembari meraup kedua pipi. "A-aku ng-nggak pa-pa, kok, Kak."Abil ber-oh ria. "Jadi, Cinderella nggak masuk karena apa?""De-demam tinggi, Kak." Stella menjawabnya masih dalam tingkah menunduk. Sesekali mengembuskan napas, sebuah usaha mengurangi kegugupan tingkat akut."Demam tinggi?" Pikiran Abil mulai berputar balik ke waktu lalu, ketika Rella pergi meninggalkannya di cafe. Tidak berapa lama selepas Jean mengatakan hal itu, hujan turun mengguyur bumi, dan dia masih setia tepekur di tempat yang tiba-tiba ramai pengunjung tersebut. Mungkinkah gadis itu hujan-hujanan, lalu jatuh sakit? Demikian asumsi yang terlintas di benak Abil."I-iya, Kak.""Oke, thanks." Nada suaranya terdengar tiada gairah. Tanpa permisi, laki-laki itu beranjak meninggalkan Stella yang masih sibuk dengan perasaan gugup dan malu-malu kucingnya.Stellah baru mendongak setelah Abil tidak ada lagi di hadapan. Terbengong cukup lama, gadis itu seperti orang bodoh yang telah menyia-nyiakan kesempatan emas. "Stella ... kenapa lo masih melihara kebiasaan lama, sih ...?! Ish, stupid girl!" Gadis itu menoyor kepalanya, merasa gemas akan tingkah sendiri.***Ting!Bunyi notifikasi pesan masuk dari gawai canggihnya membuat gadis gempal yang tengah tidur di ranjang itu terbangun seketika. Karena pada dasarnya, dia tidak benar-benar tidur, sebab kurang enak badan. Dengan tenaga yang tersisa, Rella mengambil gawai di samping kepalanya, lalu membuka pesan.[My Princess Ella, gue minta maaf, ya, malam ini nggak bisa tidur di kos. Setelah Mama, sekarang giliran Papa yang ngebet banget minta gue nginep di rumah. Lo pasti taulah, maksud Papa suruh gue nginep. Ya, itu, per-jo-do-han GILA! Cowok yang katanya dijodohin sama gue katanya mau dateng malam ini. Katanya doang. Padahal tiap ada pertemuan, dia nggak pernah dateng, katanya sibuklah, katanya ada kendalalah, katanya bla bla bla. Gue, sih, penginnya dia nggak dateng-dateng dan perjodohan ini dibatalin. Eh, kok gue jadi curhat, sih? Sorry, he he. Lo tidur jangan larut malam, ya, makan malam jangan lupa. Oke? See you soon, and get well soon my princess. Sleep tight, ya, muach.]-From StellaRella mengembuskan napas berat, lantas meluruhkan tangannya tanpa gairah. Jadi, malam ini dia benar-benar sendiri? Oh, malang sekali. Dalam keadaan sakit, harus tidur di kosan tanpa teman, serasa tidak memiliki keluarga satu pun. Nasib badan, perasaan sedih mulai merayapi batin Rella.Tiba-tiba panggilan alam membuatnya batal bersedih-sedih hati. Berusaha mengangkat beban tubuh, meski terasa dua kali lebih berat daripada waktu dia fit. Berhasil menapakkan kaki di lantai dengan bokong masih terduduk di tepi ranjang, pusing mulai menghinggapi kepala Rella. Rasanya seperti berada di roller coaster, berputar-putar. Sebelah tangannya memijit pelipis, berusaha mengenyahkan pening.Setelah dirasa baikan, Rella berupaya untuk berdiri dengan sisa-sisa kekuatan yang dimiliki. Sebuah kejanggalan hadir ketika sudah berdiri tegap. Menengok ke belakang, bercak merah ia temukan di ranjang bergambar langit biru berhiaskan awan. Lalu beralih ke celana panjang longgar berwarna biru yang ia kenakan. Merah juga.Rella memalingkan wajah ke depan seraya meringis sadis. Dua masalah sekaligus baru saja bertengger di pundaknya. Menstruasi di kala sakit dan stok pembalut habis. Ambyar![Assalamu'alaikum, El, aku cuma pengin kamu tau satu hal, kalo sebenarnya perjodohan antara Kak Stella dan Kak Alka itu murni karena paksaan dari Om Antonio sama Mama Gloria.][Kalo kamu nggak percaya, bisa tanyakan langsung sama Kak Alka, tapi aku yakin, kamu nggak akan mau ngelakuin itu. Jadi, di sini aku mau ngeyakinin kamu kalo di antara Kak Stella dan Kak Alka nggak ada perasaan cinta sedikit pun. Mereka murni berteman, nggak lebih. Aku lihat, Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Terbukti waktu aku ngembaliin sepatu kaca itu, dia keliatan kecewa banget, El.][Oh, iya, aku ngembaliin sepatu itu beberapa saat setelah kita ketemu di cafe J. Awalnya Kak Alka nolak ajakanku, tapi pas nyebut nama kamu dan sepatu kaca pemberiannya, akhirnya dia mau.][Aku yakin, seyakin-yakinnya kalo Kak Alka masih sangat mencintai kamu. Dan aku juga yakin, Kak Alka nerima perjodohan itu pasti karena ada alasan yang kuat dan nggak bisa disepelekan. Aku sedikit kenal gimana perangai Om Antonio. Kalo dia
Wanita dengan rambut hitam yang tercepol asal itu tengah sibuk mengemasi barang-barang ke dalam tas koper ketika seseorang menghubunginya via video call. Rella, setelah melihat pada layar gawai di samping tempat duduknya, seketika melebarkan kedua mata. “Kak Abil?!” pekiknya panik. Secepat kilat dia meraih ciput dan jilbab bergo yang ada di tepi ranjang, lantas memakainya tanpa bercermin. Gawai masih terus berbunyi, Rella segera mengambil dan meletakkannya ke bolongan berbentuk persegi panjang pada meja laptop yang biasa dia gunakan belajar jika ingin lesehan di lantai. Ini kali pertama Abil menghubunginya via vc, tentu saja Rella tidak cukup berani, tetapi ingin menolak pun rasanya segan. Setelah memastikan dirinya sudah siap, barulah Rella menggeser tombol hijau dan beberapa saat kemudian, wajah tampan Abil memenuhi layar gawainya. Rella mengerjap beberapa kali, mengatur gestur tubuh dan mimik wajah agar terlihat baik dan tidak tegang. Dia mengulas senyum canggung. “Assalamu'ala
Selepas puas bercurhat ria pada sang mama, kini Rella lebih lega untuk menarik dan mengembuskan napasnya. Meskipun masih ada sedikit perasaan kecewa dan luka yang terasa perih di dada. Namun, dia akan berusaha untuk ikhlas, merelakan segala alur yang telah dirancang Allah sedemikian rupa. Wanita itu membuka sebuah aplikasi sosial media dan mencari nama akun seseorang yang menjadi topik utama curhatannya barusan. Setelah masuk ke profil akun tersebut, dia mengklik bagian kirim pesan. Beruntung onstagramnya tidak diblokir juga, sementara itu nomor telepon dan wutsapp-nya sudah diblokir. Sebelum mengetikkan pesan, Rella mengatur napas, menarik seutas senyum penenang. Barulah jari-jemarinya bermain di layar keyboard dengan pelan bersama detakan jantung yang terasa lebih cepat. [Hai, Stel. Kabar baik? Aku harap sangat baik. Maaf malam-malam mengirimimu pesan lewat dm. Aku ... hanya merasa segan untuk memintamu bertemu langsung. Selain itu, aku juga nggak tau nomormu yang lain. Malam
Sejak diantar pulang ke kosan oleh Abil, Rella tidak henti-hentinya menangis. Pikiran dan hatinya benar-benar tidak tenang, kacau. Dia bukan menangisi perihal Alka yang lebih memilih wanita lain, melainkan tentang persahabatannya bersama Stella. Rella memang kecewa atas perlakuan Alka, sangat. Dua kali dilamar, tetapi bukan dirinya yang dinikahi. Namun, Rella sudah berusaha untuk merelakan, sebab jika memang Tuhan tidak menakdirkan mereka berjodoh, mau sekuat apa pun berjuang juga tidak akan pernah bersatu. Sekarang, pikirannya lebih terbuka untuk tidak lagi berlarut-larut menangisi perihal asmara. Itu semua tidak lekang dari bantuan Stella yang selalu setia memberi dukungan, juga nasihat dari Pak Psikolog alias Abil. Hanya saja, kali ini dia tidak yakin bisa lebih tegar. Kehilangan sahabat sungguh berkali-kali lebih menyakitkan dibanding kehilangan kekasih. Bagi Rella, sosok Stella tidak ada gantinya. Sahabat terbaik sejak awal masuk kuliah hingga masuk semester 6, rasanya ketika
Abil menatap lawan bicaranya sembari menahan amarah. “Lo berhutang penjelasan soal kejadian tadi pagi di rumah keluarga Stella. Soal pertunangan kalian yang katanya ... terpaksa?”Laki-laki berwajah lesu itu sekalipun tidak membalas tatapan Abil. Sepasang mata lelahnya hanya tertuju pada permukaan meja dengan segelas air putih yang baru saja ia hidangkan untuk tamu di depan. Alka mengembus berat. Sedikit pun tidak tampak bias keceriaan di wajahnya, hanya ada ketidaktenangan. “Kamu sudah mendengar semua perkataan Stella, apa masih kurang jelas?” Nada suaranya terdengar sangat malas untuk sekadar membahas permasalahan yang baru saja dilalui. Jika boleh, dia sendiri tidak ingin menghadapi alur serumit itu. “Jelas, tapi kenapa lo malah jalanin kalo lo sama Stella nggak mau? Lo udah sering bikin Ella sakit hati, Al, dan sekarang lo bener-bener ngehancurin harapan dia!”Alka memejam. Ia sangat sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, sangat sadar telah membuat luka baru untuk Rella di s
“Tiada yang lebih baik daripada melepaskan. Karena jika aku memilih untuk terus mempertahankan, mungkin retaknya akan terus berulang.” *** Bagaikan racun yang dibungkus kain sutera, begitulah Stella yang menjadi racun dan Rella sebagai pembungkusnya. Kebaikan Rella menutupi segala bentuk tujuan buruk Stella, tetapi lambat laun ketika seseorang memaksa menyingkirkan kain sutera, mau tidak mau racun pun tampak. "Kenapa kamu masih di sini?" "Stella, aku--" "Pergi!" Bahkan, Stella memilih menenggak habis racun itu tanpa sisa, sebab tidak ingin sahabat terbaiknya terluka lebih jauh karena mempertahankan pertemanan mereka. Dia rela menjadi jahat, asalkan Rella menjauhinya. Dia rela menjadi bilah pisau, asalkan tidak ada lagi luka yang tercipta setelahnya. Demi kebaikan Rella, Stella rela menjadi seburuk-buruknya manusia. Rella tidak pantas bersahabat dengan manusia berhati busuk. Rella tidak pantas bebuat baik pada manusia berhati rubah. Sungguh tidak pantas. Satu dua tete