Share

Bab 11 - Di Antara Tiga Pria

Keheningan tercipta beberapa saat setelah Rella mengungkapkan tentang kondisi tubuhnya yang sudah membaik atas jawaban dari pertanyaan Abil dan Alka. Tentu hal itu membuat Rella sempat melambung, tetapi sebisa mungkin menyadarkan diri. 

Tidak lama, seorang waiter sekaligus barista di cafe itu datang membawa pesanan. Tidak lain adalah Jean. Ketika meletakkan secangkir air putih hangat ke hadapan Rella, ia berkata, "This is your water my princess Ella."

Rella mendongak kaku, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Mengulas senyum, lantas menjawab lirih, "Thankyou, 'my prince' Jean." Dua kata yang mungkin terdengar memalukan itu diucap sangat-sangat lirih oleh Rella. Ya, pastinya memalukan, apalagi di depan para penyandang gelar 'the most boy'.

'Eh, siapa juga yang akan cemburu? Pak Alka, kan, bukan siapa-siapa aku. Akunya aja yang terlalu tinggi harapan. Huft!'

"Ekhem ... maaf, yang tadi itu sudah biasa kalian lakukan atau baru kali ini?"

Pertanyaan dari sosok berkemeja hitam, tiba-tiba saja membuat semua mata beralih menyoroti sang empunya suara. Coba tebak, siapa dia. Of course, he is Muhammad Alka Marshal!

Jean menatap Alka dengan sorot biasa, sedangkan Rella kian menenggelamkan wajah karena dia yakin, saat ini pasti kedua pipi gembilnya semerah kepiting rebus. Laki-laki berdasi kupu-kupu dengan nampan di tangan kanan itu menampilkan senyum, masih pada posisi bersitatap dengan Alka.

Tunggu, ini seperti ajang memperebutkan cinta seorang Cinderella. Yang benar saja, bisa-bisa Rella gagal move on lagi!

"Kita cuma sahabatan dan yang tadi itu hanya sebatas candaan," kata Jean dengan senyum lebar yang masih terpatri.

Tidak butuh waktu tiga detik untuk membuat Rella mendongakkan kepala. Raut gadis itu berangsur lega, tetapi segera sadar, sebenarnya, dia lega karena apa? Apakah karena Jean berkata jujur atau Alka tahu jika di antara dirinya dan Jean tidak ada apa-apa?

"Benarkah? Saya pikir kalian ada hubungan ... ya ... seperti itu," balas Alka dengan sedikit kekehan setelah terdiam beberapa detik.

Jean pun turut terkekeh renyah. "Tidak, tidak. Kalaupun ada, memangnya Pak Alka siapanya Ella? Jika Bapak kekasihnya, maka saya mundur, karena saya jauh berada di bawah Bapak."

Rella menatap tajam Jean, berharap laki-laki itu enyah sekarang juga. Namun, yang ada malah semakin diteruskan.

"Dia salah satu murid saya di kelas," jawab Alka seraya menaikkan kedua sudut bibir.

Jleb!

Apakah Rella kecewa? Seharusnya tidak, 'kan? Akan tetapi ..., dari sorot matanya, cukup untuk mendeskripsikan bagaimana perasaannya saat ini. Sedikit muram, lengkap dengan senyum kecut.

"Boleh saya minta kertas kosong?" tanya Alka pada Jean.

Alhasil, membuat Jean mengangguk, lantas merobek selembar note kosong yang berada di saku celemeknya. Menerima benda bergaris-garis tersebut, Alka mulai mengeluarkan bolpoin dari saku kemeja, kemudian membubuhkan tinta hitam di atas kertas itu.

Hening menyelimuti, hingga akhirnya Alka menyerahkan kertas yang sudah terlipat rapi pada Jean. Tanpa bertanya apa pun, laki-laki itu menerima, lalu membaca isinya tanpa suara.

Jean menarik sebelah sudut bibirnya seraya berkata, "Oke. Thanks, Pak, nggak bakal saya lakuin lagi."

"Terima kasih," balas Alka.

"So, selamat menikmati waktu kalian di cafe J. Semoga terhibur dengan alunan musiknya." Jean meninggalkan ketiga pemuda tersebut dengan raut penuh arti.

Rella tampak tercenung, memikirkan isi dari kertas yang ditulis oleh Alka. Apa isinya, hingga Jean bisa berkata demikian? Kalimat itu berputar dan terus berputar di pikirannya, hingga ingatan tentang ucapan Alka beberapa menit yang lalu tidak lagi berkuasa.

"Oke, kita kembali ke topik awal," kata Abil berhasil mengalihkan perhatian Alka dan Rella. "Jadi tujuan gue ngajak kalian ketemu di sini, buat ngebahas masalah gue sama Cinderella. Tepatnya masalah bumper mobil gue yang kemarin ditabrak."

Kepala Rella terasa nyut-nyutan selepas mendengar kalimat itu mengalir deras bagaikan air terjun dari bibir Abil. Bahkan berhasil membuat jantungnya terpompa lima kali lebih cepat. Tatkala suara merdu khas milik Alka menyambut, tak ayal kian melipatgandakan debaran di dalam sana.

"Artinya, saya bertugas menjadi penengah, begitu?" utara Alka bertanya tanpa sedikit pun ketegangan menyambang di wajah rupawannya.

Abil mengiakan dengan sebuah anggukan. "Sekaligus menjadi saksi, tapi ini bukan masalah ganti rugi," katanya, berhasil menarik perhatian Rella untuk berhenti merunduk. Kali ini, laki-laki itu adalah sorotan utama, lantas dia kembali berujar, "melainkan yang gue ceritain ke lo waktu itu."

'... yang gue ceritain ke lo waktu itu? Maksudnya apa?' Netra Rella beralih menyoroti Alka yang masih anteng memfokuskan diri pada Abil. 'Sebenarnya mereka mau ngapain, sih? Kenapa Pak Alka harus ikut andil dalam masalah aku sama Kak Abil? Please ... jangan buat aku gagal move on!'

Merasa diperhatikan, Alka menarik kedua manik matanya ke arah Rella, sontak membuat gadis itu menahan napas dan segera membuang pandangan. Sebelah sudut bibir Alka terangkat samar untuk beberapa saat, lalu kembali menghadap Abil, mulai fokus mendengar setiap kalimat yang dilontarkan laki-laki dengan sweater putih gading tersebut.

"Masalah yang gue maksud itu, ketika gue sama Cinderella ketemuan di cafe ini, beberapa jam setelah kejadian di parkiran kampus," tutur Abil yang membuat Rella membulatkan mata, tentu gadis itu terkejut sebab Alka mengetahui masalahnya. Sangat memalukan.

"Tujuan kita awalnya buat ngerundingin ganti rugi, tapi ... ujungnya malah runyam dan bikin Cinderella nangis," ujar Abil melanjutkan.

Tenggelamlah wajah Rella untuk ke sekian kali. Merasa sangat malu karena Alka mengetahui semua masalahnya dengan Abil.

"Maka dari itu, tujuan utama gue ngajak Cinderella ketemu, karena gue mau minta maaf sama dia, dan lo sebagai saksinya." Raut keseriusan Abil tidak pernah berubah, benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan pertemuannya dengan Rella.

Rella dibuat tercengang atas pernyataan Abil. Minta maaf? Apa kepalanya sudah terbentur, lalu hilang ingatan? Demikian pemikiran Rella yang jauh dari kata masuk akal terhadap laki-laki itu. Kalaupun Abil hilang ingatan, bisa saja masalah waktu lalu tidak diingat. Ya, 'kan?

Menarik napas dalam, lantas mengembuskannya pelan, Abil terdiam sejenak guna menetralisir perasaan yang entah apa namanya, sulit untuk didefinisikan. Gugup? Mungkin, tetapi apakah dia gugup karena ingin mengutarakan maaf saja? Atau ... justru karena objek pengutaraan maaf? Entahlah, Abil sendiri tidak mengerti dengan situasi hati dan pikirannya.

Suasana hening beradu keseriusan. Hanya ada alunan musik yang berhasil menyuarakan keadaan, tegang, tetapi ada unsur perasaan yang tak karuan. Kedua tangan Abil mulai menyatu padu, saling beradu untuk kemudian menjadi pertanda bahwa kalimat yang sudah tersusun rapi di dalam otak siap diutarakan.

"Cinderella," panggil Abil dalam ritme cukup pelan.

Rella mendongak, menatap kedua manik Abil sejenak, lalu kembali menunduk. Mengambil napas melalui hidung, tersembus samar melewati bibir yang mulai memucat. "Iya, Kak?"

"Gue minta-"

Ting!

"Kak Alka!"

***

To be continue ...

[Kyuni's Note]: Siapa, tuh, yang dateng? Ganggu aja!

To be continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status