Share

Attention

 “Irena Putri Wahyudi, jelaskan soal di papan tulis.”

Irena yang sedang mengkhayal iya-iya pun terkejut, soalnya bukan CEO ganteng yang ada di depannya tapi Pak Yanto dengan kacamata melorot ke hidung terus kumis nyeremin ala Pak Raden. Irena buru-buru ngusap ilernya pakai sapu tangan terus melihat ke arah Pak Yanto dengan wajah kikuk. Pak Yanto tahu muridnya ini sejak tadi melamun bukannya belajar.

“Hah?! Saya, Pak?”

“Ya, iya kamu memang saya panggil siapa?”

“Coba Bapak ingat-ingat mungkin yang Bapak maksud bukan saya,”

“Loh, kamu malah tawar menawar. Dipikir ini lagi transaksi sayuran apa? Udah sini maju!” Pak Yanto kesal lama-lama.

Irena beranjak dari mejanya, lalu ke papan tulis. Dia berkeringat dingin, sebenarnya dia tidak mendengarkan penjelasan Pak Yanto, Irena menggigit bibir bawahnya. Setahu dia Pak Yanto itu kalau marah suka gebrak meja, masih mending tapi gebrak meja daripada lempar meja.

‘Duh gimana ini ya, aku malah lamunin Tria tadi sih.’

“Irena buruan, teman-teman kamu sudah menunggu,”

“Ah … iya, Pak. Ini mau ditulis.”

“Heuh! Bilang saja kamu tadi sibuk melamun dan tidak memperhatikan pelajaran saya.” Loh kok Pak Yanto tahu ya? Apa dia keturunan ke-300 nya Suparman? Atau dia cucunya Eyang Subur? Atau mungkin Pak Yanto sesungguhnya keturunan hokage keempat.

‘Ah, kok Pak Yanto tahu sih?’

Irena mati kutu, harusnya dia tahu Pak Yanto punya jutsu yang bikin muridnya mendadak bisu. Oh demi kerang bikini bottom, Irena sangat takut. Katanya Pak Yanto galak sama muridnya yang bodoh. Pak Yanto kemudian bangkit dari kursinya.

“Hei! Arie Lucas, kemari kamu!” Pak Yanto

“Iya, Pak.” Arie yang kebetulan sedang jam pelajaran olahraga, lewat di depan kelas A. Pak Yanto memanggilnya, semua teman kelas Irena berdecak kagum pada sang ketua OSIS. Wajah tampan serta lengan kekarnya sudah terbentuk meski ia masih remaja, selain itu ia diberkahi otak encer. Tapi tetap di hati Irena yang paling tampan itu Satria, pokoknya dibandingkan Sehun juga ganteng Satria, namanya sudah terakreditasi A di dalam lubuk hatinya.

“Ada apa, Pak?”

“Arie, kamu masih ingat soal ini? Coba bantu Irena menyelesaikannya, sekalian supaya adik kelasmu yang lain tahu.” Kata Pak Yanto. Arie tersenyum lalu mengambil spidol dari Pak Yanto dan menuliskan jawaban dari soal yang ada di papan tulis. Irena memperhatikan penjelasan Arie. Teman-teman sekelasnya berdecak kagum, setelah kelas 12 Arie masih mengingat jelas semua pelajaran kelas 10.

“Bagaimana? Apa kamu paham Irena?”

“Hah? Apanya, Pak?”

“Ebuset dah, pelajarannya kamu paham enggak?”

“Err, iya … Pak, saya paham.” Padahal sebenarnya belum, daripada dapat coretan di pipi dari Pak Yanto mending iyain aja meski Irena enggak paham.

“Kamu sebenarnya pintar, hanya saja kurang konsentrasi. Arie bisa mengajari kamu selepas istirahat nanti, kamu bisa minta bantuannya. Arie pandai dalam semua mata pelajaran.”

“Iya, Pak.”

Iyain aja lagi, daripada kena kultum Pak Yanto. Sebenarnya Irena mana mau diajarin sama Kak Arie yang galak plus dikenal dingin kayak es di kutub utara itu. Mending diajarin Tria, enak sambil bercanda, cantik-cantik manjah ala-ala Siti Badriah.

Bel tanda istirahat berbunyi, Irena bisa bernapas lega berkat Arie ia tidak menerima hukuman Pak Yanto, menurut kelas sebelah Pak Yanto akan mencoret

pipi murid yang bodoh atau nakal dengan spidol. Irena sering sekali mendapati wajah penuh spidol anak-anak kelas C jika bubar pelajaran Pak Yanto.

Oke dia akui berhutang budi hari ini sama kakak kelasnya itu, Irena lupa mengucapkan terima kasih sama Arie dan buru-buru lari menghampiri Pie. Pie sudah menunggu di depan kelas, dia menarik tangan Irena ke kantin. Irena sebenarnya malas, soalnya pasti ketemu si Igna—kakak kelas paling menyebalkan dengan rambut jigraknya yang penuh gel. Irena duduk di bangku kantin dan tidak berselera makan, mungkin ia harus diet supaya kurus. Dalam pikirannya orang kurus itu cantik, tapi kalau melihat Pie yang kurus juga sama di-bully. Lalu yang cantik versi cowok itu seperti apa?

Maneh yakin enggak makan?”

“Hmm, aku minum jus saja.”

“Tapi ‘kan maneh punya maag, nanti bahaya kalau minum jus lemon. Bagaimana kalau roti saja dan pink milk.”

“Kamu pikir aku bayi apa? Minum susu segala.”

“Ayolah, nanti kalau maneh enggak chubby lagi enggak lucu.” Kata Pie sambil mencubit gemas kedua pipi chubby temannya itu. Pie berlari untuk segera mengantri membeli makan siang. Irena mengaduk-ngaduk jus lemonnya, ia membayangkan betapa asemnya jus itu. Irena melihat Rara sedang menikmati makan siang dengan Kak Mita mereka grup yang sempurna. Cantik, langsing dan populer. Sementara dia mah apa atuh, cuma remahan rengginang dari kumpulannya yang terbuang.

“Kamu tuh punya kebiasaan melamun, ya?”

Irena berjengit kaget, melihat kakak kelas yang galak dan dingin itu duduk di sampingnya. Dia begitu santai memakan makan siangnya, nasi goreng dengan telur dadar. Uh, wanginya membuat Irena ingin meneteskan air liur, perutnya lapar tapi dia harus tahan. Pie masih menunggu di sana dengan wajah kesal, sejak tadi Igna dan teman-temannya menyerobot antrian.

“Kalau mau kurus itu olahraga  bukan enggak makan, enggak makan yang ada kamu pingsan.” Arie berceloteh, Irena tidak menanggapinya.

‘Sabodo amat sih, siapa kamu sok care getoh sama aku,’

 Irena menatap ke arah lain, dilihatnya Satria sedang tertawa dan bercanda dengan teman-temannya. Irena ikut tersenyum melihat Tria, ‘Ah andai saja kami dekat, andai Tria punya perasaan sama denganku.’ Bathin Irena sambil tak henti memandang Tria.

Kalau kata lagu kesukaan Bang Hida tuh gini :

Sungguh sayang aku tak bisa langsung mengungkapkan perasaan yang kusimpan buatku tak tenang ini semua karena hubungan pertemanan kau sudah biasa anggapku sebagai kawan.

Friendzone itu pedih, Jendral!

 Arie melihat arah pandang Irena. Dia sengaja menjatuhkan piring Bu Centini hingga pecah, semua mata menatap ke arahnya. Bu Centini awalnya siap-siap bawa kemoceng buat mukul si biang onar, tapi saat melihat Arie kemarahan Bu Centini hilang mendadak. Enggak ada yang berani memarahi si pangeran es SMU Bakti Pertiwi. Terlebih dia tuh disayang semua guru dan staf sekolah, dengar-dengar ibunya penyumbang yayasan terbesar buat sekolah. Jadi jangan sampai deh buat masalah sama Prince Ice satu ini.

“Eh, Nak Arie … piringnya nakal, ya? Enggak apa-apa, Bu Centini masih banyak piring kok, mau dipecahin lagi juga boleh. Mau Bu Centini ganti nasi gorengnya? Nanti dikasih bonus deh telurnya dua, gimana?”

See, meskipun piringnya pecah Bu Centini malah nawarin ganti nasi goreng pakai nawarin telurnya dua lagi. Pernah dia enggak sengaja mecahin kaca jendela karena main bola, terus gurunya cuma bilang, “Enggak apa-apa, kaca mah banyak di toko matrial, nanti Pak Ence yang ganti.” Itu kata kepala sekolahnya. Coba kalau Igna yang mecahin alamat diceramahi habis-habisan terus suruh ganti rugi, secara dia sudah ada dalam daftar anak nakal yang sering buat onar. Arie Lucas is special something for life.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status