Rasanya baru kemarin, Irena meninggalkan acara camping penuh kesan. Bagaimana tidak, dua hari itu ia dan Tria dekat satu sama lain. Tria pribadi yang hangat, murah senyum dan juga suka membaca manga. Selama kegiatan camping, Tria banyak membantunya dan memberi kesan yang baik.
Saat berangkat kemah, dia pikir bakalan menyebalkan melihat kakak kelasnya yang galak dan Rara yang menempel padanya. Tapi semua berubah sejak avatar Aang menyerang eh maksudnya saat Tria datang. Irena sering dibuat terkejut dan terheran-heran, bukan karena Tria makan daging ayam dengan sayur kol, tapi perbuatannya selalu sukses bikin si cewek melting tingkat dewa 19.
“Capek? Ya udah kamu istirahat aja dulu. Biar aku saja yang bawa airnya,” sambil senyum ala iklan pasta gigi. Siapa coba yang enggak melting digituin, berasa jadi cewek-cewek di film superhero gitu. Lagi capek bawa air, napas Rabu-Kamis terus Tria datang nolongin sungguh nikmat mana lagi yang Irena dustakan?
“Makasih, ya Tria.” Irena malu-malu Miaw, Tria cuma senyum terus mengusap poni cewek chubby di depannya, makin melayang rasanya.
“Buruan jalan! Malah pacaran.” Ketus si ketua OSIS sekonyong-konyong koder dari belakang, Irena menggerutu kenapa sih kakak kelasnya itu selalu datang tak terduga dan saat dia lagi merangkai momen manis sama Tria?
Itu enggak sekali dua kali, kemarin saat disuruh bantu nyuci sayuran buat dimasak. Irena sama Tria lagi asyik ngobrol sambil bercanda, terus Kak Arie datang nyuruh Tria pergi. Gantinya dia yang sama Irena bersihin sayuran buat dimasak. Enggak asyik rasanya, tiap hari dipelototin gitu, Kak Arie mirip werewolf. Ya soalnya kalau ganteng-ganteng serigala nanti Aliando kesinggung jadi ganti aja werewolf. Terus paling kesel tuh pas Irena sama Tria lagi ngobrol berduaan sambil cerita soal masa kecil Tria, Kak Arie datang terus nyelip di tengah-tengah.
“Cowok sama cewek enggak boleh berduaan soalnya yang ketiganya setan.” Akhirnya Irena sama Tria masuk tenda masing-masing, gagal deh momen romantismenya. Rasanya Irena ingin berteriak, ingin menangis, tapi air mata telah tiada lagi … eh tunggu bukannya itu lirik lagu Mbak Dedew, ya? Intinya Irena pengen protes tapi lihat mata Kak Arie yang kayak werewolf itu dia kicep mending diem-diem bae.
Sampai pulang pun kembali ke sekolah, Kak Arie maksa dia lagi buat sebangku sama dia. Alasannya karena badan Irena gede nanti takut kegencet anak lain. Kalau badan dia ‘kan tegap katanya enggak mudah tumbang mau digilas badan anak gajah juga. Tapi Irena bersyukur karena di mobil ada Tria meskipun Tria duduk sama Rara, kesel. Enggak apa-apa toh Tria sama dia udah tukeran nomor w******p jadi bisa chatingan kalau malam.
Irena sudah 3 bulan menjadi murid SMU, tentunya dengan banyak duka daripada sukanya. Ia pikir bakalan sekelas dengan Pie, ternyata Pie di kelas B. Irena hanya bisa pasrah kali ini ia sendirian dengan teman-teman yang belum mengenalnya, bahkan ia duduk sendirian. Murid kelas A tidak seperti murid kelas B atau C mereka terlihat ribut apalagi kelas C terkenal dengan kenakalan dan keusilannya. Sementara kelas B kelas yang biasa saja, mereka masih bisa ribut mengobrol dan bahkan membawa ponsel ke kelas. Sementara kelas A dengan ketua kelas super ketat. Jangankan membawa ponsel, isinya adalah sekumpulan anak-anak rajin dengan otak encer kualitas super, padahal Irena merasa dirinya enggak pintar-pintar amat kenapa masuk kelas A?
Kalau istirahat anak-anak kelas A lebih milih ke perpus daripada kantin. Moto mereka adalah, belajar nomor satu yang lain nomor sekian. Pulang dari sekolah bahkan mereka mengikuti les lagi.
“Arrghhh! Stres.”
Irena ngacak kepalanya yang terasa berputar, setiap hari makan kalkulus sama aljabar, dia khawatir nanti otaknya kisut kebanyakan mikir. Lirik kanan kiri semua sibuk sama buku masing-masing, ah mana enggak ada yang bisa pakai cuci mata lagi. Ada satu ketua kelas, tapi dia orangnya pendiam sekali. Contohnya kalau Irena tanya atau sapa jawabannya cuma dua kalau enggak ‘Ya’ jawabannya ‘Tidak’.
“Rip, besok ada ulangan?”
“Ya.”
“Rip, lagi flu ya? Kok dari tadi pakai masker?”
“Ya.”
“Rip, mau ke kantin?”
“Tidak.”
Duh, Irena berasa ngomong sama robot bionik tahu enggak, mendingan dia main pou sekalian atau talking angela. Mereka lebih lancar kalau diajak curhat atau ngobrol, mereka juga enggak pernah diam saja kecuali kalau ponselmu eror.
Satu kelas tapi berasa beda kelas, ini kayak satu rumah tapi kamu enggak merasa ada di rumah. Semua tampak asing, sibuk dengan urusan masing-masing. Antara satu dengan yang lain hanya bicara seadanya, kadang Irena ingin pindah kelas saja. Ke tempat Pie misalnya atau kelas C. Huh! Beruntungnya Rara bisa satu kelas dengan Satria. Bisa melihat Tria setiap hari, menatapnya sedang menulis tentunya lebih berfaedah rasanya. Kadang Irena suka alasan pada gurunya.
“Pak, saya permisi mau ke toilet.”
Padahal sebenarnya Irena diam-diam lihat Tria yang lagi main basket sama teman-temanya, lihat dia keringetan terus nyapu poninya ke atas itu rasanya adem. Lihat dia lap keringat terus seragamnya tersingkap sedikit memperlihatkan tonjolan otot perutnya, Irena dadakan sesak napas mau meninggoy rasanya. Padahal tadi pagi udah sarapan roti tapi roti sobek di depannya tidak bisa diabaikan.
“Ir, kamu kok di luar? Bukannya lagi pelajaran Pak Yanto ya?” tanya Tria sambil senyum membuat pipi chubby Irena merona terus merasakan gejolak dalam perutnya.
“Ah, itu … itu ….”
“Kamu, balik ke kelas sana.” Lagi-lagi Kak Arie melotot, ‘mengganggu kesenangan nan haqiqi ini saja,’ gadis itu mendengkus dalam hati.
Irena terpaksa kembali ke kelasnya, jengkel sebenarnya. Masih ingin lihat roti sobek Tria, eh?
“Perhatikan semuanya, Bapak akan menjelaskan tentang rumus ini. Kalian perhatikan baik-baik ya, anak-anak.” Pak Yanto mengetuk papan tulis dengan penggaris kecil.
“Jika himpunan xy bertemu dengan x-2+y.”
Pak Yanto sedang menjelaskan rumus di depannya, tapi pikiran Irena masih melayang ke lapangan basket. Membayangkan Tria berkeringat, terus buka baju seragamnya lalu basahi rambutnya pakai air mineral habis itu rambutnya dikibas ala iklan sampo ke belakang. Rasanya ada manis-manisnya gitu, oleng brother gadis chubby ini. Dia bukan meshoom loh, dia cuma penasaran saja. Gimana rasanya kalau bisa bersandar di dada bidang Tria yang pelukable, terus gelayut manja di lengannya yang glendotable, karena di mata Irena cowok bernama Satria itu bener-bener suamilable, tuh pikirannya saja langsung suami bukan pacar lagi. Yang jelas, kalau Irena nikah sama Tria, itu bisa memperbaiki kualitas dan kuantitas keturunan Tatang Wahyudi bin Haji Juki. Dia bayangin Tria pakai baju ala-ala CEO di Good Novel gitu, terus ngedip manja sambil bilang, “Hey! Baby girl why you so mad? You can call me your dad.” Makin oleng dia, Irena melotot memikirkan khayalannya serasa nyata di depan mata. Tanpa sadar mulutnya terbuka terus ngeces.
Enggak tahu Pak Yanto udah menatap dia face palm dari tadi.
“Irena Putri Wahyudi, jelaskan soal di papan tulis.”Irena yang sedang mengkhayal iya-iya pun terkejut, soalnya bukan CEO ganteng yang ada di depannya tapi Pak Yanto dengan kacamata melorot ke hidung terus kumis nyeremin ala Pak Raden. Irena buru-buru ngusap ilernya pakai sapu tangan terus melihat ke arah Pak Yanto dengan wajah kikuk. Pak Yanto tahu muridnya ini sejak tadi melamun bukannya belajar.“Hah?! Saya, Pak?”“Ya, iya kamu memang saya panggil siapa?”“Coba Bapak ingat-ingat mungkin yang Bapak maksud bukan saya,”“Loh, kamu malah tawar menawar. Dipikir ini lagi transaksi sayuran apa? Udah sini maju!” Pak Yanto kesal lama-lama.Irena beranjak dari mejanya, lalu ke papan tulis. Dia berkeringat dingin, sebenarnya dia tidak mendengarkan penjelasan Pak Yanto, Irena menggigit bibir bawahnya. Setahu dia Pak Yanto itu kalau marah suka gebrak meja, masih mending tapi gebrak meja
Semua orang menatap ke arah meja Irena, Bu Centini ketar-ketir soalnya pangeran sekolah udah lama enggak bad mood, sekalinya dia lagi kesel bikin orang ketar-ketir enggak karuan.“Enggak usah deh, aku udah enggak lapar.” Jawab Arie meninggalkan bangku Irena, Irena menatap kepergian kakak kelasnya itu dengan bingung, sementara kakak kelas yang lain serta teman-temannya menatap Irena, seolah cewek itu melakukan kesalahan besar membuat seorang Arie bad mood. Pie tergopoh-gopoh kembali ke meja dan melihat Irena yang masih bingung.“Maneh ada masalah apa sama si ketua OSIS itu?”“Sumpah, Pie. Aku enggak ngapa-ngapain, suer deh.” Irena benar-benar bingung kenapa Arie marah.“Duh, kalau Kak Arie bete semua orang pasti kena amuk deh.”“Hah, serius? Kamu tahu dari mana, Pie?”“Semua orang tahu itu, kamu saja yang sibuk liatin Tria.” Pie mendeng
Irena entah harus merasa bersyukur atau tidak, dia bisa seharian semalaman latihan bersama Satria, meski kenyataannya Satria berada jauh dari tempatnya. Irena satu kelompok dengan Arie dan Igna, sementara Satria dengan Rara. Sementara itu dadanya terasa sesak dan patah hati, melihat Rara begitu serasi dengan Satria. Pedih banget rasanya, melihat seseorang yang kita sukai bersama orang lain. Meskipun di hadapannya ada bakso enak dan es teh manis, tetap saja Irena enggak bakal tergoda.“Mereka sangat cocok dan serasi, ah Rara memang cantik dan Satria juga tampan, mereka cocok kalau jadi pasangan kekasih.” Celetuk salah satu temannya, membuat Irena semakin miris.‘Iya sih aku mah apa atuh hanya remahan rengginang di kaleng Khong Guan.’Bukan hanya Irena yang berpikir hidup tidak adil, coba lihat Igna. Wajahnya kusut dan lingkaran hitam menghias matanya, tanda beberapa hari ini tidak bisa tidur. Igna menyukai Rara, tapi sayangn
Irena tidak sanggup lagi, lebih baik segera ke toilet, untuk menyelesaikan urusannya yang mungkin bertambah dengan menangis. Di perjalanan, dia melihat Arie bersama dengan Mita. Ah, mengapa dunia tidak adil? Irena juga ingin seperti Rara dan Mitha. Apa benar apa kata orang, orang ganteng hanya untuk orang cantik? Irena ingin sekali mematahkan persepsi itu karena benar-benar membuat dirinya atau orang lain yang mengalami hal yang sama seperti dirinya merasa tidak nyaman.“Ra, harusnya lu tahu gue suka sama lu.” Irena baru saja menyelesaikan urusannya, ia duduk sebentar di toilet tapi ia mendengar suara seorang cowok yang sedang menangis.‘Apa hantu? Kenapa ada suara cowok di toilet cewek?’ “Ra, gue sayang sama lu, kenapa sih lu milih si Satria itu.”‘Suaranya kayak Kak Igna?’ Irena membuka pintu dengan takut-takut. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, sosok cowok jangkung sedang m
Motor gede itu keluar dari tempat latihan, Irena duduk nyaman di belakang sang ketua OSIS dan Igna mendengkus sendirian di luar pagar, dia pun menelepon temannya buat datang menjemput lagipula otaknya butuh di refresh, barangkali nongkrong di base camp atau di tempat latihan band bisa membuatnya lebih segar.“Kak Arie kok ngajak saya, kenapa enggak ngajak Kak Igna aja?” tanya Irena di jalan. Arie fokus mengendarai motornya.“Karena aku pengennya kamu, bukan Igna.”“Hah?” Irena merasa pendengarannya berdengung dadakan, perkataan kakak kelasnya itu ambigu, dia jadi mikir aneh-aneh jadinya. Irena berusaha menormalkan detak jantungnya yang mendadak seperti bedug di malam takbiran. Motor Arie melaju di atas jalan kota Jakarta, Irena tanpa terasa memegang pinggang kakak kelasnya itu dan menyenderkan kepalanya di punggung Arie. Entah kenapa, bersama Arie segala kesedihan di dalam rongga dadanya perlahan hilang.“Ma
Kata orang cinta pertama itu sering meninggalkan kesan yang dalam, sedalam palung Mariana. Kalau kata Slank terlalu manis untuk dilupakan tapi, juga terlalu sakit untuk dikenang.Irena kudu kuat menerima kenyataan kalau Tria sekarang sudah sold out dan pemenangnya adalah Rara. Kebencian di hati Pie semakin menumpuk terhadap Rara dan Tria, mereka seolah-olah pamer kemesraan dan sering membuat Irena terlihat terluka. Seperti siang ini, mereka jalan bergandengan tangan sambil mengumbar keromantisan ala drama Korea.“Boleh kami di duduk di sini?”“Memangnya bangku cuma ada di sini? Cari saja tempat lain.” Pie mendengus kesal.“Irena saja tidak keberatan, kenapa kamu sewot?!” Rara mencebikkan bibirnya. Dia dan Satria duduk di depan Irena dan Pie yang sedang makan siang di kantin. Irena hanya tersenyum miris, melihat kemesraan dua sejoli di depannya, udah kayak Galih dan Ratna versi now. Pie kesal pada Tria, co
Lagi dan lagi kakak kelasnya itu menjadi penolong untuknya saat dia terluka, sementara itu manusia lain di sana tertawa keras, seakan dia adalah badut yang lucu dan patut untuk ditertawakan. Rasanya ingin menangis keras, namun dia hanya menahanya di dalam hati. “Terima kasih, Kak Arie.” “Hmm sama-sama, lain kali berhati-hatilah.” “Terima kasih, Kak.” Arie berlalu dari hadapan Irena dengan wajah dinginnya, Pie terlihat terburu-buru mendekati Irena. “Ngapain Kak Arie?” “Ngasih ini.” Irena menunjukkan sebungkus tisu basah pada Pie. “Hoh? Jadi dia beli ini tadi buat kamu, dia sampai diolok-olok sama teman-temannya.” “Hah serius?” “Iya serius, Kak Arie baik ya sama maneh. Hmm jangan-jangan dia—” “Stop enggak usah diteruskan dan jangan mengada-ngada. Mana airnya aku haus.” Irena seperti ikan mujair yang kehausan, dia meminum habis air mineral yang diberikan Pie padanya. Rasanya cukup sak
Di ruang BP, mereka bertiga duduk berjejer di bangku menghadap Pak Mujiharto yang menatap ketiga muridnya satu per satu dengan tatapan tajam. Kumisnya yang tebal bergerak-gerak seperti ulat bulu dan kacamatanya selalu merosot ke hidung. Arie Lucas duduk di tempat lain memandang ketiganya. Jujur dia sejak tadi mengikuti kelinci chubby-nya dan berakhir di warung seblak cubit-cubit manja dengan Ignatius Herry. Dia kesal, bukan hanya karena mereka betiga membolos tapi karena Igna begitu leluasa mencubit pipi gadis gendut-nya."Kamu, Igna to? Kenapa malah ngajarin adik kelas kamu hal-hal negatif to? Merokok, membolos, harusnya kamu jadi contoh yang baik buat adik kelasmu. Apalagi ini, oalah yang kamu bawa anak perempuan, piye to?" Igna kesal, orang dua adik kelasnya datang sendiri bukan dia yang ngajak kenapa dia yang disalahkan? Duh selalu salah menjadi orang tampan, pikirnya.Irena dan Pie saling cubit mereka sebenarnya kasihan dengan Igna yang dijadikan kambi