Share

You so argghh!

Semua orang menatap ke arah meja Irena, Bu Centini ketar-ketir soalnya pangeran sekolah udah lama enggak bad mood, sekalinya dia lagi kesel bikin orang ketar-ketir enggak karuan.

“Enggak usah deh, aku udah enggak lapar.” Jawab Arie meninggalkan bangku Irena, Irena menatap kepergian kakak kelasnya itu dengan bingung, sementara kakak kelas yang lain serta teman-temannya menatap Irena, seolah cewek itu melakukan kesalahan besar membuat seorang Arie bad mood. Pie tergopoh-gopoh kembali ke meja dan melihat Irena yang masih bingung.

Maneh ada masalah apa sama si ketua OSIS itu?”

“Sumpah, Pie. Aku enggak ngapa-ngapain, suer deh.” Irena benar-benar bingung kenapa Arie marah.

“Duh, kalau Kak Arie bete semua orang pasti kena amuk deh.”

“Hah, serius? Kamu tahu dari mana, Pie?”

“Semua orang tahu itu, kamu saja yang sibuk liatin Tria.” Pie mendengus kesal, entah kenapa Tria memang teman saat sekolah tapi gelagat Tria mencurigakan. Irena mendadak was-was, bagaimana kalau ia kena masalah? Ia ingin baik-baik saja selama tinggal di sekolah. Kali ini dia sungguh cemas, dijahili Igna saja bikin stres setengah mati. Gimana kalau Arie ngadu sama Pak Ence—kepala sekolahnya, alamat bakal digantung di pohon toge. Pak Ence ‘kan galak, terus Arie kesayangan semua guru. Irena mulai was-was tanpa sadar ngembat soto ayam Pie, yang sudah diperjuangkan ngantri selama bermenit-menit. Pie hanya mendengus kesal, sambil makan combro pakai cabe. Temannya gitu kalau lagi was-was atau panik, apa saja diembat. Seandainya di depannya ada es campur sama bakso juga bakal diembat.

“Was-was sih boleh, enggak pakai ngembat soto aing juga kali.” Kata Pie sambil melirik Irena, yang dilirik cuma balas nyengir terus garuk kepalanya yang enggak gatal.

“Irena, kamu dipanggil tuh ke ruang OSIS.”

“Hah?! Serius? Duh, kumaha ieu?”[1] Irena mengajak Pie, namun Pie harus buru-buru masuk kelas karena bel sudah berbunyi.

“Bodo ah, aing mah teu urusan. Seug wae maneh, Ir.”[2] Pie dadah cantik sambil kiss bye ala-ala model catwalk.

 Irena menarik napas panjang lalu mengetuk pintu ruang OSIS.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam, masuk aja.”

Irena buka pintu, terus masuk di sana terlihat ada  Bu Titin—pembina OSIS lalu ada Rara dan Tria serta anak-anak lainnya. Irena duduk dengan gugup, terlebih ada Tria yang menyambutnya dengan senyum hangat. Seketika bayangan Tria pakai baju CEO Good Novel nangkring lagi depan mata.

‘Oh, ayolah … jangan mikirin Tria dulu, gimana kalau kamu mau dihukum?’

 Irena menatap ke tempat lain, ada Arie yang sibuk mencatat sesuatu bersama Mita, cewek cantik dan senior yang sebelas dua belas dengan Arie. Kata orang mereka pacaran tapi entahlah Irena tidak peduli, yang penting mamas Tria masih sendiri.

“Kalian yang Ibu kumpulkan di sini, adalah murid-murid terpilih. Besok, kepala sekolah kita akan pindah dan berganti dengan kepala sekolah yang baru. Sebagai ucapan selamat tinggal dan selamat datang, kita akan menyiapkan pagelaran kesenian. Kita ‘kan tahu kalau Pak Ence itu asalnya dari Kuningan, dia juga suka sekali dengan kesenian khas Jawa Barat.” Bu Titin memberi penjelasan.

 Irena sedikit lega hatinya. Dia diminta datang bukan buat di hukum tapi dikasih tugas, jadi Pak Ence mau pindah? Syukurlah, enggak bakal ada yang ngomel kalau Irena telat datang terus enggak sengaja himpitan di pintu masuk. Ya soalnya setiap pagi, dia bakalan papasan sama Pak Ence terus himpitan di pintu masuk. Pak Ence suka protes karena badannya kurus dan kecil, dia suka ceramah soal tubuh Irena yang jumbo.

“Kamu tuh punya badan kecilin dong dikit, saya kejepit ini.”

“Makanya Bapak kenapa enggak masuk duluan sih, ‘kan jadinya kita himpitan.”

“Kamu kok malah nyalahin saya sih? Sekarang gini aja, kita keluar lagi sama-sama. Kamu duluan masuk biar saya nunggu.”

Setiap pagi mereka bakalan berantem seperti itu, kurang kerjaan.

 “Hmm, Rara dan Tria kalian akan menjadi pengantin adat, buat mengalungkan bunga pada kepala sekolah yang baru.” Kata Bu Titin sambil tersenyum ke arah keduanya.

Irena hanya bisa cemberut, terus mukanya ditekuk. Kenapa malah dipasangkan sama Rara bukan sama dia? Iya sih, enggak bakal ada yang muat baju pengantin adatnya mungkin. Tria terlihat mengobrol akrab dengan Rara, Irena merasakan ruangan OSIS kayak mesin pemanggang kue, panas dan bikin nyeri ulu hati. Mana Rara senyum sama Tria, terus Tria balas senyum Rara enggak kalah manis.

Adem panas awakku, gara-gara kamu

Nyibakke atiku, gati menyang aku

Sampai kebawa turu, ngimpi ngusap pipimu

Tansah nyoto keroso konco dadi tresno.[3]

Alah, siapa lagi itu yang nyetel lagu konco mesra, bikin baper hati saja. Irena pengen banget keluar ruangan itu, tapi Bu Titin masih mengoceh panjang x lebar x tinggi soal tugas-tugas murid yang ada di ruangan. Padahal sebenarnya bukan cuma Irena yang sedang terbakar api cemburu, tapi Igna. Dia juga sejak tadi menekuk wajahnya kesal, kenapa sih Bu Titin semangat banget jadiin Rara sama Tria pasangan? Kurang ganteng kah dia? Kalau Igna tanya Irena jawabnya pasti iya.

 “Irena Putri, saya kenal dengan Pak Tatang. Saya juga mengenal  almarhum Kakek kamu yang seorang dalang itu. Hmm … kamu saya tunjuk untuk menyanyikan sebuah lagu diiringi kecapi suling, oh iya kamu nanti latihan sama Arie, dia ahli bermain kecapi.”

Irena mengernyitkan dahi, Arie Lucas muka bule blasteran gitu bisa bermain kecapi yang notabene alat kesenian tradisional khas Jawa Barat? Whoaa yang bener bae, bahkan Kahida saja sempat belajar malah uring-uringan karena kesulitan. Almarhum kakeknya sampai sering memukul Kahida dengan kopiah hitam miliknya jika sedang kesal.

“Naha ari si Abah, aku mah enggak pantes atuh main kacapi, muka mirip  Leonardo kieu masa main kacapi,” [1]kilahnya waktu itu.

“Ah sia ontolohod![2] Kacapi teh kesenian tradisional khas Jawa Barat, khas pasundan harus kudu wajib dilestarikan Kahida Firmansyah!” Abah  menoyor kepala Kahida.

Ah Irena jadi rindu kakeknya, sampai dia tidak sadar ruangan OSIS kosong menyisakan dirinya dan sang ketua OSIS.

“Ehem!”

Irena terkejut dan menatap sekeliling, seolah dia berada di dunia lain.

“Ini masih di bumi ‘kan?”

“Enggak, ini di planet Namex.”

“Hilih—”

“Makanya orang ngomong dengerin, malah ngelamun. Nanti sore latihan di gedung kesenian yang ada di jalan Mawar, aku dan Igna akan ke sana.”

“Maaf?” Tuh ‘kan dia masih oleng brother.

“Ck, Irena Putri Wahyudi binti Tatang Wahyudi, nanti sore kita latihan di gedung kesenian di jalan Mawar, semua berlatih di sana.” Arie gemas, rasanya jadi pengen nyium ‘kan, eh?

“Iya, Kak. Nanti aku ke sana.” Irena bangkit dari kursinya terus buka pintu, kayaknya semua orang juga sudah pulang.

“Eits, kata siapa boleh pulang? Bantuin bersihin ruangan OSIS dulu.”

“Lah, pan aku bukan anggota seksi kebersihan, Kak.”

“Pokoknya kamu bantuin bersih-bersih di sini, nanti aku anterin pulang.”

“Heh?”

 Irena enggak salah denger tuh? Kupingnya masih normal ‘kan? Arie mau mengantarkan dia pulang lagi? Dia enggan berkomentar apa pun dan langsung mengambil sapu ijuk terus membersihkan lantai ruangan OSIS yang berdebu, sementara Arie menyusun dokumen-dokumen di meja yang sebenarnya sudah rapi, dia hanya suka dan ingin berlama-lama dengan gadis chubby itu berduaan. Irena yang saat itu memakai hoodie warna merah persis seperti red riding hood di mata Arie. Begitu imut dan lucu, apalagi saat dia cemberut atau mengerutkan keningnya, rasanya Arie harus menahan diri buat enggak ‘menerkamnya’.

[1] Apan sih Kek, aku enggak pantas main kecapi mukaku mirip Leonadro gini masa main kecapi

[2] Semacam umpatan bahasa sunda

[1] Kumaha ieu? : bagaimana ini?

[2] Bodo ah, aing mah teu urusan, seug wae maneh, Ir: Bodo amat, aku enggak ada urusan. Kamu aja sana, ir

[3] Lirik lagu Via Vallen- Konco mesra

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status