Share

Cinta Berengseklicious
Cinta Berengseklicious
Author: Widya Karima

Chapter 1

*RSUD Gading Cempaka*

Dokter Rissa melewati lorong-lorong rumah sakit sendirian malam itu. Wanita tinggi langsing ini mengalungkan stetoskop hitam tanpa memakai jas putih dan memegang dompet kecil beige. Ia mengenakan rok berbunga putih pink dan baju pink senada, lengkap dengan jilbab kremnya yang ujungnya terjuntai ke depan dan ke belakang tubuhnya, sedikit mengikat lehernya. Sepatunya berhak tinggi lima senti berwarna krem. Lenggak-lenggok pinggulnya membuat rok itu terayun-ayun mengikuti gerakan angin malam. Ia berjalan mulai dari IGD (Instalasi Gawat Darurat), lorong Ruang Mawar hingga Ruang Melati (Bangsal). Lalu untuk sampai di ruang tim covid-19, ia harus melewati kamar jenazah yang tidak ada jenazahnya. Barulah ia bisa melakukan visite dokter di ruang isolasi covid-19 yang letaknya hampir di ruangan paling belakang dari rumah sakit itu tentunya setelah memakai APD lengkap bersama dengan dokter lain senior yang sudah duluan memakai hazmat dari ruang khusus tim covid yang penuh dengan barang-barang logistik keperluan perawatan pasien covid-19.

Setelah selesai mengerjakan tugas visite, para dokter dan juga ditemani perawat kembali ke ruang jaga masing-masing setelah menyemprot APD itu dengan alkohol semprot lalu membuka hazmat, tetapi masih mengenakan APD level dua yang basah karena keringat mengucur dari balik pengapnya alat pelindung diri dari virus menyebalkan itu. Malam itu dr. Rissa sedang dinas malam di ruang IGD. Jadi ia harus berjalan jauh dari belakang rumah sakit menuju IGD yang letaknya paling depan dari rumah sakit. Malam ini tak seperti malam-malam biasanya sebelum datang pandemi covid-19. Biasanya tiap lorong penuh orang berlalu lalang hilir mudik. Tak perlu masker dan tak perlu rasa takut dari para pengunjung yang datang menjenguk. Alih-alih menjenguk, Rumah Sakit Gading Cempaka kini persis seperti kuburan, kosong, sepi, benar-benar menjadi malam yang mencekam hampir setiap harinya. Bahkan bila dapat jatah dinas pagi pun masih terasa seperti kuburan, kecuali bila rumah sakit kedatangan pasien baru pengidap covid-19, pasien kecelakaan lalu lintas atau sakit perut mendadak. Selain itu, sepi, sunyi, dr. Rissa merinding. Ia mempercepat langkahnya. Rasanya ada bayangan mengikutinya dari belakang. Ketika dilihat, tidak ada. Ia melangkah lagi tanpa ragu, tetapi tetap ditemani rasa takut yang tersembunyi di balik wajah cantik dan tenangnya itu.

"Ini baru di depan ruangan bangsal," Lirihnya. 

"Apa aku masuk ke bangsal dulu, ya?" Lirihnya lagi dengan sedikit rasa takut yang mendadak menyelimuti perasaannya. Tapi kakinya tetap mengayun ke depan. Ia terus berjalan, tak mau berhenti.

"Sebentar lagi dekat ruang mawar kok. Barulah nyampe IGD." Dokter Rissa menegarkan diri. Ia memberanikan diri karena ini memang profesinya. 

"Menyesal tadi tidak jalan bareng perawat mawar," katanya dalam hati.

Ketika visit di ruang isolasi tadi, Dokter Rissa malah sibuk membaca hasil ekspertise dokter radiologi untuk 5 pasien covid yang dirawat. Semuanya positif pneumonia. Para dokter harus memastikan bahwa setiap pasien sudah makan makanan berprotein tinggi dan sudah minum azitromicyn dan vitamin lainnya. Pasien juga harus banyak minum air putih agar virus dapat keluar lewat ekskresi tubuh, seperti lewat BAB, BAK, dan keringat.

"Pakk!" Kali ini pundak dr. Rissa benar-benar merasa dipukul oleh seseorang di belakangnya. Seseorang berjaket hitam tebal menyenggol dr. Rissa dengan pundaknya. Dokter cantik itu langsung pucat pasi dan pasrah. Lelaki itu menyodorkan pisau kecil yang masih disembunyikan di balik jaket hitamnya. Hanya ujungnya saja terlihat bahwa itu pisau kecil.

Dokter muda tinggi, cantik, mulus, dan modis itu benar-benar kaget. Matanya terbelalak dan melihat ke kanan dan kirinya tak ada seorang pun yang lewat untuk ia meminta bantuan. Tak disangka firasatnya tadi benar bahwa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Rissa masih terbungkam dengan rasa takut. Menyesal dulu pikirnya tak ambil kelas taekwondo yang disarankan papinya. Laki-laki paruh baya tadi mulai menjelaskan misinya ingin meminta uang.

"Kata masyarakat, kalian para dokter diberi insentif covid sangat besar, bukan?!" Mata lelaki paruh baya bertubuh gemuk pendek itu mulai melihat dompet kecil yang dipegang dr. Rissa. 

"Maaf pak, saya barusan visite pasien covid. Saya, saya, em, emm, belum mandi pak." Kata dr. Rissa ketakutan. Lalu ia melanjutkan berbicara, "takutnya virusnya masih nempel di ujung APD saya. Peralatan mandi saya ada di IGD." Kata dr. Rissa lagi mencoba membujuk lelaki berjaket hitam itu agar segera menjauh darinya. “jangan sampai bapak tertular covid-19 dari saya karena saya belum mandi, pak.” Bujuk Rissa lagi.

"Saya tidak takut covid. Anak istri saya kelaparan karena saya di-PHK." Kata lelaki itu lagi. Kali ini tangannya hendak merampas dompet itu. Rissa mengeluarkan seratus ribuan. Tapi bapak itu ingin lebih.

Rumah sakit ini rumah sakit tipe D, tetapi sangat luas. Antar ruangan bukan sekat tipis seperti rumah sakit di kota Jakarta atau di kota besar lainnya. Rumah sakit ini memiliki gedung bagungan ruangan masing-masing dan gedung antar ruangan atau antar instalasi terpisah sekitar 5 meter. Rumah sakit ini betul-betul luas dengan hutan kecil di kiri kanannya, juga di belakang rumah sakit dekat ruang isolasi covid-19. Rumah sakit ini bukan rumah sakit rujukan covid-19, tetapi tetap memiliki pasien covid rawat inap. Oleh karena itu, rumah sakit ini tidak memiliki satpam yang hilir mudik di mana-mana, tetapi hanya bersiap siaga di pos satpam di dekat gapura masuk rumah sakit. Benar-benar tempat yang berisiko tinggi bila berjalan sendirian di lorong-lorong rumah sakit yang sepi seperti kuburan semenjak diberlakukan anjuran di rumah saja oleh presiden demi menekan laju penularan covid sialan ini sehingga para pengunjung pasien benar-benar dilarang berkunjung atau membesuk si pesakit.

HEI!

Tiba-tiba ada seseorang menangkis tangan bapak berjaket hitam tadi dari samping. Ia main silat dengan bapak itu demi memperebutkan dompet dr. Rissa. Karena teriakan kencang dari dr. Rissa dan pemuda penolong ini, otomatis perawat ruang melati mendengar dan menelepon pos satpam untuk mengamankan situasi. 

Dokter cantik mulus itu, masih dengan APD level duanya terlihat masih pucat. Untung tidak diperkosa seperti di berita baru-baru ini, batinnya. Sudah pakai mukena dan salat di masjid, masih saja menjadi korban pemerkosaan.

"Makasih ya Mas." Ucap dokter cantik ini kepada pemuda di depannya. Tatapan dokter Rissa tak biasa. Ia masih merasa sedang berada di negeri dongeng, di mana tuan putri diselamatkan oleh pangeran tampan berkuda putih.

"Saya Rissa." Rissa mengenalkan dirinya dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. Seperti protokol kesehatan yang dianjurkan presiden semenjak terjadinya pandemi covid-19 di seluruh dunia.

"Saya Cecep." Balasnya dengan logat halus Sunda.

Lelaki tertutup masker di depannya hanya bilang lain kali hati-hati dan jangan suka jalan sendirian di lorong sepi. Lalu ia memunggungi Rissa dan berlalu pergi.

Rissa masih menatap kosong. Antara masih trauma, sedih, senang, bingung, dan berdebar.

"Siapakah dia? Kayak pernah lihat." Rissa yang baru seminggu bertugas menjadi dokter internship di Bengkulu-Sumatera ini, belum terlalu mengenal lingkungannya bagaimana. Bahkan antar teman-teman iship saja juga baru kenal, baru berjumpa. Tapi, ngomong-ngomong, ini di Sumatera, tetapi tetap saja dapat kenalan yang kalau ngomong, logatnya Sunda. Namanya pun Cecep. Pasti Cecep merantau, lirihnya dalam hati.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status