Claudya Nikita Rissa, seorang mahasiswa kedokteran umur akhir yang sedang internship di sebuah RSUD Gading Cempaka Tipe D, Provinsi Bengkulu. Ia berasal dari Jakarta. Rumahnya di daerah Gandaria, Jakarta Selatan, dan di rumahnya ada 7 pembantu: dua orang tukang masak, dua orang tukang kebun dan kolam renang, dua orang tukang bersih-bersih rumah, dan seorang bertugas di laundry rumahnya. Papinya pengusaha besar berawal dari hanya menjual sepotong dua potong baju di pinggir kota Padang sambil mengambil gelar insinyur pertanian dari universitas di Padang. Mami paling setia membantu papi yang kala itu hanya seorang pedagang kaki lima. Waktu itu mereka hanyalah teman dekat dan sama-sama kuliah di universitas yang sama dan duduk di kelas yang sama pula, tetapi ternyata papi dan mami saling menyimpan rasa sayang di hati mereka masing-masing. Akhirnya, setelah lulus jadi insinyur pertanian, papi Rissa menikah dengan maminya dan membangun pabrik Levis di Bandung.
Setelah berhasil membangun pabrik Levis dari nol, berbekal kerja keras dan kesetiaan, mereka mendirikan rumah di Jakarta Selatan. Itulah sedikit cerita tentang mami dan papi Rissa."Duh!" Mulut Rissa memuncung, keningnya berkerut kecil, sorotan matanya tampak kesal sambil melihat tajam ke arah laptop yang ada di depannya. "Wifinya mati lagi?! RS Jakarta habis kuota, Persahabatan abis, Fatmawati abis, RSCM abis. Serius lho RS di Jakarta habis semua kuotanya? Cepat amat yak?!!" Omelnya pagi ini.Lalu Rissa menyeruput kopi susu tabur cokelatnya di meja itu, tepat di samping laptopnya. Itulah yang membuat laptop Rissa sering basah kalau tidak sengaja menumpahkan kopinya. Internship dokter merupakan tugas mahasiswa kedokteran paling akhir agar diakui menjadi dokter "beneran". Setelah lulus 3,5 - 4 tahun di Sarjana Kedokteran Umum dengan gelar S.Ked., mahasiswa kedokteran harus menjadi koass selama minimal 1,5-2 tahun barulah bergelar dokter (dr.). Lalu harus internship dulu 1 tahun lagi (digaji), barulah setelah lulus ujian akhir, para mahasiswa kedokteran umum menjadi dokter "beneran" dan bisa dilepas menjadi dokter di berbagai rumah sakit dan klinik. Komplit. Bahkan ada yang lebih dari itu waktu lulusnya. Tergantung banyak faktor, salah satunya faktor nasib.Pada saat mereka internship, mereka disebar ke seluruh Indonesia. Oleh karena itu, terkadang para dokter sebelum internship (iship), mereka yang dari daerah, dengan akses internet yang kurang baik, harus ke Jakarta jika tidak ingin ditugaskan ke pelosok daerah se-Indonesia, seperti ke tempat pembuangan gajah mati atau pelosok daerah yang dekat hutan antah berantah dan susah menemukan perlengkapan di kota karena jauh dari kota. Bukannya tidak mau mengabdi ke pelosok daerah, tetapi untuk menjadi dokter di pelosok terpencil haruslah memiliki modal mental yang kuat, sekuat baja. Jadi, mana mungkin gadis cantik seperti Rissa, yang sudah terbiasa hidup mewah dan dekat kota akan bisa bertahan selama satu tahun bila mendapatkan tugas internship di pelosok daerah, bahkan jauh dari sebuah tempat yang masih bernama kabupaten."Sisa NTT, Kalimantan, Bengkulu!" Kata Rissa masih sebal. "ya, emang sih salah gue sendiri kenapa gak daftar dari kemarin-kemarin. Mami sih, pake ngajak ke England. Sebel!" Kata Rissa lagi masih manyun.Seharusnya Rissa bisa dapat tugas internship dokter di Jakarta saja, dekat dari rumah. Atau di Bandung lah, juga dekat Jakarta dan banyak tempat main.Kini Rissa memegang Hp-nya. Mencoba menelepon Tomi dan Rara, teman dekatnya. Mereka bertiga video calls."Rissa, gue dapat di Cianjur. Gue pilih kampung nyokap gue." Kata suara Tomi di seberang. "Lu ikut gue ke Cianjur yuk?!" Ajak Tomi pada Rissa."Ah payah lu, Tom! Lu gak milih kampung kita Padang?" Semprot Rissa."Habis kuota, Ris!" Jawab Tomi. "Lagian Cianjur lebih dekat kali dari Jakarta.""Kuota Cianjur habis kali Tom. Lu kagak daftarin gue? Kini kuota tinggal jauh-jauh." Kata Rissa. "Lu di mana Ra?""Gue, hmm, ah lu bedua marah gak sama gue?!" Ucap Rara sambil tertawa kecil di seberang."Apaan sih lu, Ra?!" Kata Tomi."Iya nih, lu mau di mana Ra?" Tanya Rissa lagi. "Lu tahu gak kalau sekarang kuotanya cuma ada di Kalimantan, NTT, sama Bengkulu lagi. Lu mau gue pilihin di mana?" Tanya Rissa lagi. "Maaf ya Ris, Ra, gue harus di Cianjur bareng pacar gue." Ucap Tomi sambil gigit jari dari seberang telepon."Lu beneran jadian sama Wanda? Buset dah! Haha. Bisa berantem mulu tu ntar!" Rissa tertawa mengejek karena Wanda dan Tomi selama ini seperti Tom and Jerry, kok malah bisa jadian."Lu Ra, kekira lu mau nemein gue di mana? Cepetan ya ini biar langsung gue daftarin. Kini!" Ajak Rissa."Gue, gue...." Rara tidak melanjutkan kalimatnya."Gue apaan sih, Ra?" Tomi penasaran."Apaan sih nih prinses katak?" Kata Rissa lagi kebingungan."Duh, gue mau nikah gais!" Kata Rara.Seketika kopi yang dikulum Rissa tersembur ke depan laptopnya."Buset! Laptop gue basah." Kata Rissa."Ah lu Ra, kalau mau berantem, jangan di telepon lah." Kata Tomi."Gue gak mau tahu, pokoknya kita betiga ketemu sekarang ya. Gue pengen nyilet elu, Ra." Kata Rissa."Ah lu Ra. Kita sahabatan bertiga, tapi lu mau nikah kok kita tahunya lewat telepon!" Ujar Tomi. Mereka pun bertemu di Cafe Gandaria, Red Table Cafe. Rara habis disiletin sama Rissa dan Tomi. Tomi memang lelaki sendiri di kelompok ini karena Tomi adalah sepupu Rissa."Buset bener dah lu, Ra. Lu mau iship tahun depan? Hahaha! Demi Chandra?" "Oke, oke, gue ngerti kalau dua bulan lagi Chandra mau dapat tugas ke Seoul.""Jadi lo nikah sama dia itu hanya karena demi biar lo ikut ke Seoul apa demi Chandra?""Ya dua-duanya sih." Ujar Rara berhiaskan senyum tersipu-sipunya."Ya udah, gue sama Tomi mohon izin duluan iship ya!" Ujar Rissa lagi."Ya," jawab Rara enteng. "gue mohon izin duluan nikah ya." Lalu Rara menunjuk Rissa, "Jangan lupa nikah tu sama lelaki pilihan papi lu, Ris." Rissa manyun tak suka."Lu juga Tom, jaga Wanda ya di Cianjur. Semoga kalian berjodoh. Dokter sama dokter. Entar anaknya jangan jadi dokter juga kali?! Bosen kalee!" Kini mereka berpisah. Pertemuan singkat mereka berakhir karena Tomi sudah ditelepon Wanda.***Rissa yang baru tiba di rumahnya langsung menatap laptopnya lagi. "APA???!"Matanya terbelalak menatap layar laptonya. Sambil gigit jari harus memilih antara NTT dan Bengkulu karena Kalimantan walau di pelosoknya pun sudah habis.KLIK!Rissa mengklik laptopnya pada formulir pendaftaran iship online. Ia memutuskan ambil internship di Bengkulu karena secara di peta, Bengkulu masih tetangga dengan Padang, kota kelahiran mami papinya.***
"Ris, papi dan mami mau ngenalin kamu sama anak temen papi. Namanya Richi. Dokter juga lho, sama kayak kamu." Mami Rissa malam itu duduk di ujung sofa di kamar Rissa untuk menyampaikan sesuatu yang penting seperti ini.
"Ih apaan sih, Mi." Ujar Rissa mengernyitkan dahinya sambil tertawa geli. Ia masih sibuk dengan saladnya."Mami dan papi dulu kerja keras dari titik nol hingga pabrik Levis pertama kita berdiri besar seperti sekarang." Lanjut mami lagi mencoba menjelaskan maksud dan tujuan."Hubungannya mi?" Tanya Rissa sambil makan salad, sambil memerhatikan wajah maminya yang masih bercerita."Hubungannya, mami dan papi dapat kamu dulu jadinya lama lho. Delapan tahun baru mami hamil.""Oh. Terus mi?""Karena lama, kini mami sudah menuju masa tua." Lanjut mami. Rissa kini sedang menyendokkan salad terakhirnya."Terus mi?""Terus, ya Rissa harus nikah. Mami pengen gendong cucu!" Kata mami lagi kali ini langsung ke kalimat sasaran."Jadi mami mau jodohkan Rissa sama Richi?" Rissa mencoba menerangkan hal yang sudah terang."Ya iya lah!" Jawab mami.Rissa tertawa terpingkal. "Gak ada yang lain apa mi?" Masih terpingkal. "Gak harus dokter kan?" Tanya Rissa lagi."Ya gak harus sih. Pengusaha juga boleh, pengacara, hakim, terserah sih. Tapi kalau sama Richi, hubungan mami papi dan keluarganya itu sudah dekat."Rissa masih terdiam. Masih mikir dan masih menyendokkan saladnya ke bibir kasualnya."Kamu udah ketemu Richi?" Timpal mami lagi.Rissa menganggukkan kepalanya."Terus kamu suka?"Rissa kini masih tak tahan untuk tidak tertawa terpingkal. Rissa membuat maminya penasaran."Kenapa sih Rissa?" Tanya mami. "Richi ganteng, sopan, kekar, kaya, dan baik banget sama mami papi."Rissa masih terpingkal. Ia kini malah semakin terpingkal dan memegang perutnya."Cocok lho namanya juga sama kamu. Rissa dan Richi." Ujar mami lagi mencoba meyakinkan Rissa.Rissa kini berhenti tertawa dan mendekati maminya. "Tunggu mi, Rissa mau cerita. Pasti mami juga ikut terpingkal kayak Rissa.SREETT!Bunyi pintu kamar Rissa terbuka. Belum sempat cerita, Rara sama Tomi masuk ke kamar Rissa dan sungkeman sama mami."Siang Tante.""Iya.""Mau ajak Rissa beli perlengkapan merantau!" Kata Tomi."Iya, tante." Kata Rara juga. "Gue mau nemenin lu bertiga." Di sana juga ada Wanda. "Hah? Merantau?!" Tanya mami Rissa terbelalak."Iya, tante." Jawab Wanda."Merantau?" Mami Rissa masih mikir. "si Rissa disuruh nikah kok malah mau merantau?!""Delapan tahun yang lalu Amak meninggalkan kami semua. Enam tahun yang lalu Amak datang lagi menemui kami bersama Gibran yang berusia lima tahun." Mitha melamun mengenang kenangan buruk itu."Artinya kini usia Gibran 11 tahun. Emm, sudah sekitar kelas 6 SD." Mitha membayangkan Gibran yang sudah hampir menginjak masa SMP, masa remaja muda. Masa yang secara ilmu psikologi sangat 'membutuhkan' sosok 'ayah', masa remaja muda umur 11, 12 tahun.Mitha masih duduk di sofa malas di rumah besar Rissa di Jakarta. Walaupun besar, ia tetap merasa kesepian. Selagi di Jakarta, Rissa banyak urusan di luar."Mumpung kamu lagi di Jakarta." kata Misce, sepupu Rissa yang rumahnya juga di Jakarta, sedangkan Wanda dan Tomi sudah balik ke Cianjur, sedangkan Rara baru saja mulai iship di Rumah Sakit Jakarta Muda karena tahun lalu ia ikut suaminya melanjutkan kuliahnya di Seoul, Korea Selatan."Ayo kak, Misce anterin milih baju pernikahan lu. Gue bakal ajak lu ke butik terkenal
Presiden Republik Indonesia baru saja memperpanjang masa PPKM pembatasan kegiatan masyarakat selama masa pandemi ini, terutama di Jakarta. Jalanan depan rumah Rissa tampak sepi. Mitha melihat pemandangan pagi ini dari kaca rumah di depan kamarnya di lantai dua. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki yang memang datang ke acara pertunangan Rissa dan Yusuf berada di depan pintu pagar depan rumah.Mitha hanya sendirian di kamar. Barusan Yusuf dan keluarganya pulang ke Bengkulu diantar Rissa dan keluarganya, Rissa, Mami, dan Papinya. Mitha tidak ikut, ia bilang biarlah ia menunggu di rumah saja. Oleh karena itu, ia hanya seorang diri di dalam kamar tamu di lantai dua di samping kamar Rissa itu. Ia mengetik alamat yang berada di kartu nama bernamakan Maemunah itu pada aplikasi peta di internet, Google Map. Lalu ia klik sekali untuk melihat seberapa jauh jarak alamat itu dari rumah Rissa."Jalan kaki cuma 2 menit. Naik motor cuma 30 detik, dan naik mobil hanya 35 detik."
Dokter Steven adalah seorang psikoterapis dengan spesialisasi dalam seks dan hubungan. Ia dokter pertama yang terekam dalam benak Yusuf saat memanaskan air untuk menyeduh kopinya sendiri. Ia adalah kakak kelas Yusuf saat di kampus dulu. Tapi terpaut lumayan jauh darinya, terpaut sekitar 5 tahun.Pagi itu pikirannya hanya tertuju pada kesembuhannya. Masokis yang dialaminya lebih karena diakibatkan trauma masa kecilnya. Trauma masa lampau membuatnya ingin mati saja. Ayahnya yang sangat suka menghardik ibunya dan dirinya saat masih kecil dulu dengan kasar membuat otaknya terngiang-ngiang dalam lamunannya."Jangan tendang ibu, pak." kata Yusuf.Yusuf kecil yang sedang memeluk kaki kiri bapaknya menangis tersedu-sedu. Ibunya ditendang bapaknya lantaran ketahuan selingkuh di rumahnya sendiri. Padahal ibunya tidak selingkuh. Itu hanya asumsi bapaknya saja. Hanyalah kesalahpahaman.Paman Danang yang dari Korea Selatan datang ke rumah sahabatnya itu membelik
Mempersiapkan pernikahan ditambah lagi mempersiapkan ujian iship dan ujian akhir profesi dokter membuat Rissa sangat kewalahan. Ditambah jumlah pasien di RSUD Gading Cempaka Bengkulu tidak pernah usai. Malah jumlahnya tambah meningkat tajam dan jenis klaster baru terjadi terus, dari klaster keluarga, klaster kantor, klaster sekolah, klaster restoran/tempat makan, klaster pernikahan, klaster obyek pariwisata, dan banyak lagi."Saturasi oksigennya hanya 70%, Dok." lapor Vivi pada Dokter Rissa yang masih mengenakan hazmatnya. Panas sekali rasanya. Rasanya Rissa ingin segera mencemplungkan dirinya di kolam renang sekarang juga."Oke," jawab Rissa pada Vivi. Peluh keringatnya sudah menetes-netes di kelopak matanya."Tolong siapkan ruangan satu lagi, tolong pasang catheter urin, sama pasang infus ya." kata Dokter Susan menimpali. Lalu ia berbisik pada Dokter Rissa."Ris, kamu ganti hazmat sana. Mandi aja. Kamu gak takut sama janin kamu?" kata Dokter Susan
Bunga-bunga melati dan mawar putih bermekaran di latar papan cream pelaminan kecil, mendominasi back ground lamaran pernikahan malam ini. Ditambah aksen pink pastel warna kesukaan Rissa sejak remaja. Lampu-lampu hias tergantung di antara bunga-bunga itu. Warnanya cerah kekuningan. Berkerlap-kerlip menambah semarak hiasan pada papan tinggi di belakangnya. Dua bangku bersandar berwarna putih bersih terdiam di depan pelaminan kecil itu. Berpasangan dengan hiasan pita emas di sandaran kursinya. Persis di samping standing roll berbentuk hati merah. Bertuliskan "Happy Engagement, Rissa & Yusuf" besar-besar berwarna emas. Terkesan akan kemewahan yang sempurna. PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Indonesia semenjak pandemi covid-19, khususnya di Jakarta membuat acara pertunangan antara Rissa dan Yusuf di dalam rumah besar itu hanya disaksikan oleh keluarga besar saja dan beberapa teman dekat Rissa dan Yusuf. "Hei Rissa, kamu cantik sekali memaka
Februari 2011Aku berpamitan dengan Apak. Liburan kuliahku selama dua minggu telah usai. Kini kami harus masuk kuliah semester genab."Pak, Mitha berangkat dulu ya." kataku pada Apak di depan pintu rumah sambil mencium punggung tangannya. Adi, Shinta, dan Puspa juga menyalamiku satu-satu. Jika melihat Adi, aku ingat kalau sebentar lagi dia tamat SMA dan mungkin harus kuliah."Iya, Mitha. Hati-hati di jalan ya. Kalau sudah sampai, tolong telepon bapak atau Adi." pesan Apak padaku.Orang yang punya Hp waktu itu hanyalah Adi dan Apak. Itu pun hand phone harga minimalis. Belum ada wasap atau wechat seperti sekarang. Masih pakai sms.Setelah pertemuan kami dengan Amak yang kini kami harus memanggilnya dengan sebutan mama, Apak sering murung. Kadang matanya berkaca-kaca sambil berkata, "Maemunah, maafkan saya yang belum bisa membahagiakan kamu selama ini." Apak telah dikhianati, tetapi beliau malah mengupat dirinya sendiri.Aku berdiri di depan go
Aku pertama kali bertemu dengannya satu tahun terakhir. Masih satu tahun kurang. Waktu itu aku sudah genab 17 tahun berumah tangga. Selama 17 tahun, aku memiliki lima anak: Mitha, Adi, Shinta, Puspa, dan Gibran, tetapi dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan dan malah terkadang kurang.Jika kurang, aku bisa memetik daun singkong di kebun, bahkan di depan rumah saja. Daun singkong itu bisa dibuat sayur daun singkong, sayur santan daun singkong, sambal daun singkong yang daunnya dipotong-potong, dan buahnya bisa dibikin macam-macam olahan makanan, seperti tapai singkong (bahasa Sundanya peyeum), keripik singkong, singkong rebus, singkong bakar, dan singkong goreng, kini pun bisa dibuat dadu-dadu keripik singkong yang dijual ke seluruh Indonesia dan mancanegara.Kadang kalau singkong tidak ada, aku bisa mengambil buah pepaya muda. Kalau di sini bahasanya kates muda. Kates muda itu bisa kami buat isian pempek kates, dan isian pempek kates pun sering dijadikan lauk pauk.
"Bagaimana ibu?" tanya Yusuf pada ibunya pagi itu yang sedang menyeruput teh hangat di meja makan."Rissa maksud kamu?" tanya ibunya balik pada Yusuf yang masih belum menghabiskan salad buahnya."Iya, bu." jawab Yusuf."Ya, kalau kamu yakin, nikahi saja dia. Lagian biar ibu ada temannya. Ke mana-mana bisa sama dia yang orang dewasa. Masa sama anak kecil terus." jawab ibunya lagi yang seolah membuka kesempatan besar pada anak lelaki semata wayangnya ini. Ibunya tersenyum penuh."Baik, Bu. Sebentar lagi Yusuf akan melamar Rissa pada orang tuanya." kata Yusuf lagi."Bagaimana dengan Alya dan Anisa? Apa kamu sudah nanya sama kedua anak gadismu itu bahwa mereka bakal punya mama baru?" tanya neneknya dengan suara serius."Ya, bu. Yusuf akan tanya Alya dan Anisa dulu." jawab Yusuf mantap. Lalu ia tersenyum. Sudah empat tahun lebih ia menahan kejantanannya berdiri sendiri. Hal itu karena ia menyesali penyakitnya sendiri. Terkadang ada perasaan ingin
Pasien covid-19 terus bertambah. Ruang isolasi covid di RSUD Gading Cempaka full."Di mana lagi kita harus meletakkan pasien ini?" tanya Dokter Susan sebagai ketua tim covid.Semua perawat dan dokter terdiam. Tak tahu lagi mau ngomong apa. Atau bisa jadi sudah kewalahan alias tak peduli. Ah, bukan tak peduli, tetapi rasa capek itu luar biasa. Jika memakain hazmat, baru setengah jam saja rasanya sangat gerah, rasanya ingin membuka baju saat itu juga. Harus ada rasa sabar yang lebih."Bagaimana semuanya? Apakah ada yang mau komen?" tanya Dokter Susan lagi di ruang aula kecil tempat mereka rapat itu, juga bersama esselon rumah sakit yang juga bingung."IGD belakang bisa, dok?" kata Pak Budi si esselon 4."Maaf, Pak. IGD belakang kita khususkan untuk pejabat daerah, Pak. Gitu pesan Pak Amir (esselon 2)." jawab Dokter Susan.IGD belakang merupakan bangunan yang dibuat luas. Awalnya memang untuk memindahkan IGD depan ke belakang. Jadi pintu