Dokter Rissa sampai di IGD. Tak ada pasien baru. Ia pun segera mandi di ruang jaga dokter ujung sana.
"Eh, kamu baru ya?" Tanya dokter IGD senior bernama Susan kepada pemuda pengantar lima bungkus bakso mercon terpedas sedunia itu. Pemuda putih behidung mancung tinggi tampan berjidat mulus tertutup masker itu hanya mengangguk. Tak tampak wajah penuhnya, apakah ia mengangguk sambil tersenyum atau manyun. Tapi dia tampak tenang, hormat, dan lembut, khas Sunda."Dok, baksonya udah dianterin." Sahut Susan kepada Rissa yang baru keluar dari kamar jaga setelah mandi. Ia keluar Lamar jaga lengkap dengan setelan medis birunya. "Iya makasih Dokter Susan." Kata dr. Rissa ramah. Rissa yang masih merapikan hijabnya berjalan perlahan menuju meja besar dokter umum tempat menerima konsultasi pasien dan keluarga pasien IGD.Mereka pun makan bersama dengan para dokter dan perawat jaga. Malam ini memang sepi. Warung IGD belum punya pengunjung baru. Alhamdulillah kalau jaga malam begini, sudah makan, tidur. Ini jaga apa pindah lokasi tidur saja rasanya. Tapi tetap nyaman tidur di rumah, pada saat tidak dinas dan bebas tugas rumah. Senyenyak-nyenyaknya tidur di rumah sakit pas dinas malam tanpa pasien, masoh enak tidur di rumah. Itu karena kalau dinas, kita masih juga harus siap siaga kalau-kalau ada pasien darurat yang tiba-tiba saja nongol.
"Eh, ngomong-ngomong anaknya tukang bakso di kantin kita tadi ganteng banget lho!" Kata dokter Susan setelah menghabiskan semangkok bakso terpedas sedunia."Kira-kira namanya siapa ya?" Tanya Dokter Susan lagi nakal.Mereka terpingkal-pingkal melihat tingkah Dokter Susan yang kepo.***Pagi ini Rissa lanjut internship di RSUD Gading Cempaka lagi. Ia memesan Bakso Mercon lagi untuk makan pagi dengan dr. Susan biar ketemu Kang Cecep. Lucunya, yang kepoin Cecep si Susan, yang dekat sama Cecep malah si Rissa. Setelah mendapatkan pertolongan Cecep malam itu, dr. Rissa mendekati Cecep terus. Ibarat dokter IGD yang menangani pasien gawat darurat, malam itu Cecep menangani wanita gawat darurat.Sikap Cecep membuat Rissa simpati dan seperti ingin membalas budi. Tak melihat strata sosial, Rissa langsung mendekat. Apalagi perawakan Cecep memang sempurna dari dikatakan sebagai cowok penjual Bakso Mercon. Fisiknya melewati batas menjadi cowok idola satu rumah sakit. Bersih dan ganteng mengalahkan dokter lain yang perawatan di salon. Sebenarnya inilah salah satu faktor yang membuat Rissa bertambah penasaran siapa sebenarnya Cecep. Apa Cecep benar-benar pedagang bakso atau...?
"Emak jualan Bakso Mercon sejak Cecep SD. Cecep yang anterin ke pelanggan karena Mak sudah tua." Kata Cecep menjelaskan kepada Rissa yang bertanya saat ia makan Bakso Mercon di kantin Rumah Sakit.Rissa mengangguk saja mengiyakan. Kini, semua yg Rissa butuh dikabulkan Bang Cecep. "Ting."Stetoskop Rissa rusak, minta beliin Bang Cecep. Mau makan malam takut ke mana2, minta anterin bakso sama Bang Cecep. Mau jalan ke mana, Bang Cecep datang ngantarin pakai motor. Bang Cecep jadi kayak diperdaya saja. Bang Cecep siap sedia. Itulah yg membuat Rissa suka. Lama-lama dr. Susan keki sama dr. Rissa.***
"Cep, kamu gak masuk?" Tanya Rissa saat Cecep datang ke kosannya membawakan delivery bakso kantin rumah sakit. Ia sengaja menyuruh Cecep datang ke kosannya saat libur dinas untuk mengetahui apakah Cecep seorang laki-laki hidung belang atau tidak.
Cecep yang duduk di beranda kamar seluas 5 x 3 meter persegi itu mendengar sekali lintas Rissa yang sedang berbicara dari dalam.
"Gak papa, Neng. Cecep di luar aja." Jawab Cecep yang menggaruk-garuk kepalanya.
"Sini Cep, masuk aja." Kata Rissa yang baru saja menerima sekantong bakso dari Cecep.
"Ada yang bisa Cecep bantu lagi, Neng Dokter?" Tanya Cecep yang masih berdiri di luar pintu.
"Ayo sekali-sekali temenin Rissa sini Cep. Bengkulu sepi ya. Gak kayak di Jakarta. Selalu ramai." Rissa berbasa-basi. Lalu menarik tangan Cecep masuk ke dalam.
Cecep yang berdiri di luar agak canggung disuruh masuk ke kamar kosan cewek.
"Malu Neng cowok masuk kamar kosan cewek." Kata Cecep yang ujung-ujungnya tetap terpaksa memasuki kamar itu.
Cecep memandang keseluruhan isi ruang kamar Rissa. Jika dinilai, kamar mungil ini sebenarnya sudah masuk kategori elit. Kamar Rissa bergaya aesthetic shabby chic. Pink salem dan putih mendominasi kamar ini. Ranjang ukuran 200 x 200 Cm tegak gagah di ujung sana, di samping pintu kamar mandi kecil yang tertutup tirai pink bunga dan di pintunya tertulis "Toilet" pada papan kecil putih dengan font warna hitam.
Tivi LCD tipis 43 inch tertempel pada bracket di dinding berwarna pink salem. Dihiasi sofa pink salem lembut berkayu putih bersih yang duduk nyaman 2 meter di depan tivi besar itu.
Di pojok ruangan ini ada koleksi buku-buku Sobotta, kamus kedokteran tebal, dan banyak buku lain yang mengisi tiap raknya dengan rapi dengan vas bunga yang duduk santai di atas rak buku itu. Kamar yang rapi, pikir Cecep.
"Kamarnya bagus, Neng dokter." Kata Cecep tak sengaja.
"Ah, biasa saja Cep. Bulan depan Rissa mau pindah ke apartemen." Rissa memasukkan bakso yang diantar Cecep tadi ke dalam mangkok besar yang diambilnya dari rak di bawah ranjangnya. Ternyata di bawah ranjang itu tempat Rissa menyimpan baju-baju dan sedikit peralatan makan.
"Emang di Bengkulu ada apartemen ya, Neng?" Tanya Cecep menyelidik. Sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.
"Ya, kali aja ada, Cep." Jawab Risa asap. "Yuk Cep kita makan berdua." Ajak Rissa yang mengajak Cecep yang masih berdiri untuk duduk di kursi di depan tivi. Ia hanya memakai baju tipis pink salem tak berlengan dan you can see my paha. Kulit putih mulus Rissa tertutup sandaran kursi bila dilihat dari tempat Cecep berdiri.
"Neng, ehm, eh, Neng dokter...." Kata Cecep lirih.
"Ada apa, Cep?" Tanya Rissa lagi.
"Itu Neng mending Cecep pulang aja ya?!" Kata Cecep lagi.
"Nanti dulu Cep. Kenapa Cep?" Tanya Rissa lagi.
"Kan biasanya Cecep ngeliat Neng Rissa pakai hijab. Nah ini mah enggak. Cecep gak enak kalau cuma ada kita berdua di kamar ini, Neng. Yang ketiganya setan mah." Kata Cecep yang masih berdiri dan berjalan menuju pintu luar kosan Rissa.
"Gak usah pergi Cep." Kata Rissa yang cepat-cepat berdiri dan mengambil hijab dan outernya segera dari rak di bawah ranjang. Cecep yang sudah di pintu luar, ditarik Rissa masuk ke dalam lagi. Dan wajah mereka hampir bertemu erat. Cecep segera memalingkan wajahnya dari wajah Rissa dan tetap memaksa untuk pamit ke luar kamar. Cecep cepat-cepat menaiki motornya dan Rissa tertawa terpingkal-pingkal dari dalam kamar kos itu.
"Ujian pertamamu lulus, Cep." Kata Rissa lirih.
***
Risa kembali makan semangkok Bakso setelah puas menertawai Cecep. Satu jam kemudiam papi menelepon.
"Kamu kan bisa izin sebentar, Ris." Kata papi Rissa di ujung telepon.
"Masa' izin pa. Kan tanggung amat baru iship dua bulan pake izin." Jawab Rissa membela diri."Izin sehari dua hari aja, Nak. Pak Sutan Syahrial teman dekat papi mau mengajak Richi datang melamarmu." Kata papi lagi."Rissa belum mau menikah, Pa." Jawab Rissa segera pamit pada papi di ujung telepon.Cerita RichiTit totTit totGetar suara pesan WhatsApp menyembul dari saku celananya. Ada pesan dari Rissa."Cep, tolong ke kosan Rissa sekarang ya. Rissa pesen bakso 2 bungkus. Laper nih." Senyum Cecep mengembang seketika.Cecep yang berada di Klinik Ibu dan Anak segera memesan Bakso Mercon di kantin RSUD Gading Cempaka yang hanya berjarak 15 menit."Pas banget jam selesai visit, lanjut ngelayanin si Ayang Rissa." Lirih Dokter Richi yang sudah sebulan kembali bekerja menjalankan profesi aslinya sebagai dokter."Jujur saya lelah berpura-pura seperti ini." Lirih Richi lagi.***PadangLelaki itu berdiri di depan pancuran taman kampus yang airnya bertingkat-tingkat. Ia menatap universitas swasta besar di Padang, Sumatera Barat. Wajahnya penuh haru. Ia masih mengenang ayahnya saat susah."Apak keliling jualan minyak dulu ya, Nak." Dikecupnya kening Richi dan berpamitan ketika hari masih sangat pagi. Amak tersenyum melepas Apak yang ma
31 Desember 2019Virus Covid-19 yang menyerupai SARS dan MERS menyebar di seluruh Wuhan, China. Ilmuwan yang berselisih tak sengaja mengeluarkan virus percobaan dari sarangnya. Seluruh kota terkena dampak sifat virus itu, hidup pada inang makhluk hidup yang memberi makan mereka.Seluruh mahasiswa terkepung di dalam rumah inap mereka masing-masing, terutama yang kita sorot adalah mahasiswa asal Indonesia. Mereka terkepung virus itu di dormitori masing-masing tanpa bisa pulang ke Indonesia. Kampus di Wuhan meliburkan mereka sementara waktu, sampai waktu yang belum ditetapkan. Seluruh kampus di Wuhan meliburkan perkuliahan.Lama-lama seluruh Wuhan dan China melakukan lock-down karena laju penularan virus sialan itu sangat cepat."Ini bukan seperti virus influenza yang bersifat air soluble." Prof. Ling Chu menjelaskan pada publik."Maksudnya apa, Pak?" Ketika siaran tivi menanyakan hal itu lebih jelas secara daring menggunakan zoom.
8 April 2020Dokter Susan menangis di telepon. Ia kembali menghubungi Dokter Andi."Dok, hari ini bisa ganti hari jaga lagi?" Tanya Dokter Susan mencoba menenangkan diri sendiri."Dokter Susan, mohon maaf tapi saya dinas di RSUD Muhammad 24 jam ke depan." Jawab Dokter Andi tak enak."Ada apa Dokter Susan?" Tanya Dokter Andi lagi."Kami sekeluarga diisolasi di RSUD Muhammad." Jawab Dokter Susan lagi.Dokter Andi terbelalak. Itu RSUD tempatnya kini ia akan dinas 24 jam ke depan. Dokter Andi yang berperawakan gemuk dan berkacamata itu mencoba menenangkan dan memberikan semangat kepada rekan kerjanya agar segera sembuh walaupun Dokter Susan dengannya pernah mengalami peristiwa hitam, ketika di SMA dulu wanita gemuk putih berambut keriting panjang itu pernah ditolaknya. Tapi kini mereka malah menjadi rekan kerja baru di RSUD Gading Cempaka. Dokter Susan ditempatkan di RSUD yang alatnya lebih lengkap daripada RSUD Tipe D Gading Cempaka."Kenapa
Lelaki itu akhirnya memunggungi kolam air mancur di taman Fakultas Kedokteran swasta milik Apaknya itu. Satu persatu ia menuruni anak tangga taman menuju ke parkiran mobilnya. Lalu ia menaiki Alphard hitamnya dan kembali ke rumah.Langit siang ini cerah. Richi membelah jalanan Kota Padang. Kanan kiri kota itu sangat indah karena setiap bangunan pemerintahan maupun swasta selalu memiliki atap melengkung ke kanan dan ke kiri seperti tanduk kerbau. Sama seperti kampus kedokteran swasta tadi. Namanya atap gonjong. Seperti sejarah Minangkabau, yaitu berasal dari kata Minang yang berarti menang dan Kabau yang berarti kerbau. Kerbau yang menang. Terinspirasi dari tanduk kerbau, Minangkabau menjadi ranah yang memesona dan terkenal budayanya hingga ke pelosok dunia.Richi telah sampai di rumahnya. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Negeri terkenal di Jakarta itu, kampus kuning, ia pulang ke Padang. Apaknya memang membuka Fakultas Kedokteran swasta di Padang, tet
5 Januari 2020Richi terbangun dari tidurnya. Rupanya sejak dari Jakarta ia belum menemukan Apak dan Amak di rumah. Letih dari perjalanan Jakarta - Padang membuatnya tertidur pulas beberapa jam di kamarnya."Bang Richi?" Seorang gadis SMP menepuk bahu abangnya."Ama?" Tanya Richi tak kuasa memeluk adiknya yang paling kecil, sedangkan adiknya mencium tangan abangnya penuh rasa rindu dan hormat. "Ama tambah besar ya, dan cantik." Puji Richi. ""Ah, Bang Richi bisa aja." Ucap Rahmah yang memanggil dirinya dengan sebutan Ama."Sudah kelas berapa Ama kini?" Tanya Richi lagi bukan basa-basi. Dia lupa adiknya kelas berapa SMP."Ih abang, masa kelas adiknya sendiri gak tahu." Kata Rahmah sebal."Mana yang lain? Rahmi, Fitri, dan Echa?" Tanya Richi lagi."Masih di sekolah, Bang." Jawab Rahmah. "Ama di sini cuma pulang sebentar ke rumah mau mengambil buku PR Ama yang tinggal." Jawab Rahmah manja."Oke." Jawab Ric
Rissa memintaku mengantar Bakso Mercon lagi malam nanti. Kutelepon Mak Siti yang tidak tampak batang hidungnya di kegiatan swab PCR massal karyawan Rumah Sakit Gading Cempaka sejak siang tadi. Kususuri lorong Ruang Mawar yang berdekatan dengan kantin. Tak ada Mak Siti di sana. Gerobak di kantin tutup semua. Gelap. Sepi. Semilir angin malam membuat bulu kuduk Cecep merinding. Sejak tracing covid-19 di RSUD Gading Cempaka, banyak gerobak kantin menutup diri. Bahkan pasien jika tidak terpaksa, tak akan pergi berobat ke RS. Apalagi kabar di tivi, banyak perawat dan dokter tertular covid. "Sepi banget kantinnya." Lirih Cecep sebal. Lalu ia mengorek saku celananya mencari hand phone untuk menelepon Mak Siti. "Mak di rumah, Cep. Kamu mau ke rumah?" Ujar Mak Siti. "Iya, Mak. Rissa mesan bakso Emak." Jawab Cecep. "Tapi tadi Mak lihat kamu berdua Rissa duduk di tangga antrean swab PCR ya, Cep?" Tanya Mak Siti lagi. "Kamu kan tahu Kalau Dokter Susan kini
1 Februari 2020 Lalu lalang kendaraan Jakarta membuat macet jalanan. Asap knalpot motor dan mobil beradu brutal di udara. Suara bajaj merah dan biru memekakkan telinga. Terkadang Abang Bajaj menggiling tepi batas antara jalan umum dan jalan khusus busway. Ia giling kembali ketika jauh di depan sana ada busway yang akan melintas datang. Biasanya Abang Bajaj itu berebut jalan dengan pengendara lainnya agar mengalah pada bajaj yang merasa akan terlindas busway. Pengendara lainnya diminta memaklumi bajaj agar selamat, daripada dilindas busway yang tetap melaju kencang dan hanya berhenti di halte-halte. Pemandangan ini sudah biasa bagi Richi yang sudah tujuh tahun menjadi mahasiswa di Jakarta. Terkadang bila bernasib buruk, polisi akan menghukum bajaj yang nakal dengan memintai denda ratusan ribu agar kapok. Pagi itu Richi ke kampus Rissa di Jakarta. Ia sempatkan perjalanan terbang dari Padang ke Jakarta kembali. Dimasukinya kantor Fakultas Kedokteran itu. Ia ingin tahu k
"Hari ini dokter jaga siapa ya, Mas?" Tanya Mitha yang berdiri di depan pintu ruang loket radiologi klinik itu kepada perawat Poli Umum yang mengantar pasien. "Dokter Richi, Mbak." Jawab Alexander si perawat bertubuh tinggi langsing bagai bambu kuning karena kulitnya kuning langsat seperti artis iklan Citra. Mitha mengangguk. Lalu ia bersuara lagi. "Mohon maaf, Mas Alex, ini amprah permintaan dokternya belum diconteng mau rontgen apa ya?" Tanya Mitha lagi pada rekan kerjanya yang dipanggil Mas Alex itu. Alexander pun memeriksa kertas amprah yang berisi daftar pemeriksaan radiologi yang sudah tertulis sebagaimana format yang sudah ditetapkan. Tapi kotak-kotak itu kosong. Seharusnya seorang dokter yang menyontengnya. "Oia, belum diconteng ya, Mbak?" Mitha mengangguk. Pasien yang tampak sehat itu hanya pasrah duduk di kursi tunggu tepat di depan Mitha berdiri itu diam saja karena tidak mengerti. Dipikirnya dia berobat ke klini