Share

Chapter 4

Dokter Rissa sampai di IGD. Tak ada pasien baru. Ia pun segera mandi di ruang jaga dokter ujung sana. 

"Eh, kamu baru ya?" Tanya dokter IGD senior bernama Susan kepada pemuda pengantar lima bungkus bakso mercon terpedas sedunia itu. Pemuda putih behidung mancung tinggi tampan berjidat mulus tertutup masker itu hanya mengangguk. Tak tampak wajah penuhnya, apakah ia mengangguk sambil tersenyum atau manyun. Tapi dia tampak tenang, hormat, dan lembut, khas Sunda.

"Dok, baksonya udah dianterin." Sahut Susan kepada Rissa yang baru keluar dari kamar jaga setelah mandi. Ia keluar Lamar jaga lengkap dengan setelan medis birunya. 

"Iya makasih Dokter Susan." Kata dr. Rissa ramah. Rissa yang masih merapikan hijabnya berjalan perlahan menuju meja besar dokter umum tempat menerima konsultasi pasien dan keluarga pasien IGD.

Mereka pun makan bersama dengan para dokter dan perawat jaga. Malam ini memang sepi. Warung IGD belum punya pengunjung baru. Alhamdulillah kalau jaga malam begini, sudah makan, tidur. Ini jaga apa pindah lokasi tidur saja rasanya. Tapi tetap nyaman tidur di rumah, pada saat tidak dinas dan bebas tugas rumah. Senyenyak-nyenyaknya tidur di rumah sakit pas dinas malam tanpa pasien, masoh enak tidur di rumah. Itu karena kalau dinas, kita masih juga harus siap siaga kalau-kalau ada pasien darurat yang tiba-tiba saja nongol.

"Eh, ngomong-ngomong anaknya tukang bakso di kantin kita tadi ganteng banget lho!" Kata dokter Susan setelah menghabiskan semangkok bakso terpedas sedunia.

"Kira-kira namanya siapa ya?" Tanya Dokter Susan lagi nakal.

Mereka terpingkal-pingkal melihat tingkah Dokter Susan yang kepo.

***

Pagi ini Rissa lanjut internship di RSUD Gading Cempaka lagi. Ia memesan Bakso Mercon lagi untuk makan pagi dengan dr. Susan biar ketemu Kang Cecep. Lucunya, yang kepoin Cecep si Susan, yang dekat sama Cecep malah si Rissa. Setelah mendapatkan pertolongan Cecep malam itu, dr. Rissa mendekati Cecep terus. Ibarat dokter IGD yang menangani pasien gawat darurat, malam itu Cecep menangani wanita gawat darurat.

Sikap Cecep membuat Rissa simpati dan seperti ingin membalas budi. Tak melihat strata sosial, Rissa langsung mendekat. Apalagi perawakan Cecep memang sempurna dari dikatakan sebagai cowok penjual Bakso Mercon. Fisiknya melewati batas menjadi cowok idola satu rumah sakit. Bersih dan ganteng mengalahkan dokter lain yang perawatan di salon. Sebenarnya inilah salah satu faktor yang membuat Rissa bertambah penasaran siapa sebenarnya Cecep. Apa Cecep benar-benar pedagang bakso atau...?

"Emak jualan Bakso Mercon sejak Cecep SD. Cecep yang anterin ke pelanggan karena Mak sudah tua." Kata Cecep menjelaskan kepada Rissa yang bertanya saat ia makan Bakso Mercon di kantin Rumah Sakit.

Rissa mengangguk saja mengiyakan. Kini, semua yg Rissa butuh dikabulkan Bang Cecep. 

"Ting."

Stetoskop Rissa rusak, minta beliin Bang Cecep. Mau makan malam takut ke mana2, minta anterin bakso sama Bang Cecep. Mau jalan ke mana, Bang Cecep datang ngantarin pakai motor. Bang Cecep jadi kayak diperdaya saja. Bang Cecep siap sedia. Itulah yg membuat Rissa suka. Lama-lama dr. Susan keki sama dr. Rissa.

***

"Cep, kamu gak masuk?" Tanya Rissa saat Cecep datang ke kosannya membawakan delivery bakso kantin rumah sakit. Ia sengaja menyuruh Cecep datang ke kosannya saat libur dinas untuk mengetahui apakah Cecep seorang laki-laki hidung belang atau tidak. 

Cecep yang duduk di beranda kamar seluas 5 x 3 meter persegi itu mendengar sekali lintas Rissa yang sedang berbicara dari dalam.

"Gak papa, Neng. Cecep di luar aja." Jawab Cecep yang menggaruk-garuk kepalanya.

"Sini Cep, masuk aja." Kata Rissa yang baru saja menerima sekantong bakso dari Cecep.

"Ada yang bisa Cecep bantu lagi, Neng Dokter?" Tanya Cecep yang masih berdiri di luar pintu.

"Ayo sekali-sekali temenin Rissa sini Cep. Bengkulu sepi ya. Gak kayak di Jakarta. Selalu ramai." Rissa berbasa-basi. Lalu menarik tangan Cecep masuk ke dalam.

Cecep yang berdiri di luar agak canggung disuruh masuk ke kamar kosan cewek. 

"Malu Neng cowok masuk kamar kosan cewek." Kata Cecep yang ujung-ujungnya tetap terpaksa memasuki kamar itu.

Cecep memandang keseluruhan isi ruang kamar Rissa. Jika dinilai, kamar mungil ini sebenarnya sudah masuk kategori elit. Kamar Rissa bergaya aesthetic shabby chic. Pink salem dan putih mendominasi kamar ini. Ranjang ukuran 200 x 200 Cm tegak gagah di ujung sana, di samping pintu kamar mandi kecil yang tertutup tirai pink bunga dan di pintunya tertulis "Toilet" pada papan kecil putih dengan font warna hitam.

Tivi LCD tipis 43 inch tertempel pada bracket di dinding berwarna pink salem. Dihiasi sofa pink salem lembut berkayu putih bersih yang duduk nyaman 2 meter di depan tivi besar itu.

Di pojok ruangan ini ada koleksi buku-buku Sobotta, kamus kedokteran tebal, dan banyak buku lain yang mengisi tiap raknya dengan rapi dengan vas bunga yang duduk santai di atas rak buku itu. Kamar yang rapi, pikir Cecep.

"Kamarnya bagus, Neng dokter." Kata Cecep tak sengaja.

"Ah, biasa saja Cep. Bulan depan Rissa mau pindah ke apartemen." Rissa memasukkan bakso yang diantar Cecep tadi ke dalam mangkok besar yang diambilnya dari rak di bawah ranjangnya. Ternyata di bawah ranjang itu tempat Rissa menyimpan baju-baju dan sedikit peralatan makan.

"Emang di Bengkulu ada apartemen ya, Neng?" Tanya Cecep menyelidik. Sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.

"Ya, kali aja ada, Cep." Jawab Risa asap. "Yuk Cep kita makan berdua." Ajak Rissa yang mengajak Cecep yang masih berdiri untuk duduk di kursi di depan tivi. Ia hanya memakai baju tipis pink salem tak berlengan dan you can see my paha. Kulit putih mulus Rissa tertutup sandaran kursi bila dilihat dari tempat Cecep berdiri.

"Neng, ehm, eh, Neng dokter...." Kata Cecep lirih.

"Ada apa, Cep?" Tanya Rissa lagi.

"Itu Neng mending Cecep pulang aja ya?!" Kata Cecep lagi.

"Nanti dulu Cep. Kenapa Cep?" Tanya Rissa lagi.

"Kan biasanya Cecep ngeliat Neng Rissa pakai hijab. Nah ini mah enggak. Cecep gak enak kalau cuma ada kita berdua di kamar ini, Neng. Yang ketiganya setan mah." Kata Cecep yang masih berdiri dan berjalan menuju pintu luar kosan Rissa.

"Gak usah pergi Cep." Kata Rissa yang cepat-cepat berdiri dan mengambil hijab dan outernya segera dari rak di bawah ranjang. Cecep yang sudah di pintu luar, ditarik Rissa masuk ke dalam lagi. Dan wajah mereka hampir bertemu erat. Cecep segera memalingkan wajahnya dari wajah Rissa dan tetap memaksa untuk pamit ke luar kamar. Cecep cepat-cepat menaiki motornya dan Rissa tertawa terpingkal-pingkal dari dalam kamar kos itu.

"Ujian pertamamu lulus, Cep." Kata Rissa lirih.

***

Risa kembali makan semangkok Bakso setelah puas menertawai Cecep. Satu jam kemudiam papi menelepon. 

"Kamu kan bisa izin sebentar, Ris." Kata papi Rissa di ujung telepon. 

"Masa' izin pa. Kan tanggung amat baru iship dua bulan pake izin." Jawab Rissa membela diri.

"Izin sehari dua hari aja, Nak. Pak Sutan Syahrial teman dekat papi mau mengajak Richi datang melamarmu." Kata papi lagi.

"Rissa belum mau menikah, Pa." Jawab Rissa segera pamit pada papi di ujung telepon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status