Share

Chapter 3

"Non, ada tamu. Dipesenin nyonya lewat telepon tadi kalau Non Rissa disuruh temui tamunya." Ucap seorang tukang bersih-bersih rumah Rissa sore ini. 

"Lah, mami mana, Bi?" Tanya Rissa yang sedang memakai hijab pinky-nya untuk bersiap-siap ke rumah Rara yang malam nanti bakal ada acara tunangan Rara dan Chandra.

"Mami pergi dari siang tadi, Non. Katanya ada meeting." Jawab Bi Ija.

"Siapa sih, Bi, yang harus ditemui? Rissa mau pergi nih!" Kata Rissa lagi dengan hati tak tenang.

"Namanya, Ri, Ri, Ri,... Lupa Non." 

Gubrak!

"Ri, Rissa?" Tanya Rissa menebak konyol.

"Ric... Richi, eh, Richi, Non." Jawab Bi Ija kini merasa tak salah lagi.

"Richi mane?" Tanya Rissa meneliti mencari data di otaknya, apakah ada temannya selama ini yang bernama Richi?

Si Bi Ija pun pamit keluar. Lalu ia menutup kembali pintu kamar aesthetic milenial itu dan menghilang ke arah kamar mandi luar. Rissa yang selesai memakai hijabnya, mencoba turun ke lantai bawah.

Tiba-tiba ada telepon dari mami.

"Hallo mami? Ada apa mi?" Tanya Rissa masih memegang gagang pintu kamarnya. 

"Iya, mi. Ini Rissa baru aja mau turun. Lagian, Richi mana sih mi? Rissa mau ke rumah Rara." Kata Rissa keki.

"Ya, temuin aja dulu si Richi. Anak teman papi yang mau dijodohkan sama kamu." Kata mami Rissa dari seberang telepon.

WADAU!

"Mau dijodohkan?" Rissa menutup gagang pintu yang dipegangnya. Ia kembali ke ranjangnya, duduk di sana, dan menatap dirinya di dalam kaca berbingkai putih, yang dikelilingi lampu neon pada setiap sisinya.

"Ini sangat menyebalkan! Aaaaggh!"

***

Rissa yang sudah siap ke rumah Rara terpaksa ditunda dulu sampai sudah maghrib. Mami sangat wanti-wanti kalau Rissa harus dan harus menemui Richi.

Ia menuruni anak tangga satu per satu ke arah ruang tamu. Dari atas tadi ia telah melihat sesosok manusia yang kata Bi Ija bernama Richi dengan balutan baju katun berwarna merah dan berkerah, penuh bunga-bunga berpadu dengan celana krem setengah tiang yang penuh dengan kantong celana di setiap sisinya. Pikir Rissa, ini orang mau ngapel atau mau ke pantai, ya? Lelaki berbaju pantai yang sering dijual di pinggir pantai Bali itu malah membuat Rissa tertawa terbahak-bahak tepat ketika lelaki itu menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

"Richi." Kata lelaki itu mengenalkan dirinya pada Rissa yang masih tak tahan menahan tawanya. Kini tawanya meredup perlahan-lahan. 

"Nyari siapa, Mas Richi?" Tanya Rissa pura-pura tak tahu. Ia tertawa di balik tangan kanannya yang masih memegang mulut, seperti tak bersalah.

"Ehm, em, nyari Rissa, eh... Nyari kamu. Eh kamu namanya Rissa ya?" Tanya Richi yang duduk di sofa hitam itu. Rissa duduk di seberangnya, dipisahkan oleh meja tamu. Bi Ija datang dari dapur, menyiapkan orange jus dan kue mochi warna-warni penuh dengan taburan topping putih khas mochi Cianjur.

"Ngapain masnya nyari saya?" Tanya Rissa menambah-nambah bingung orang di seberangnya. 

"Ehm, anu, anu, eh... Anu!" Jawab Richi gemetaran.

Rissa menahan tawanya. Dipandangnya wajah putih berambut keriting, hidung mancung, bertopi Mr. Bean, berbaju pantai, berkaca mata hitam, seperti tukang urut buta. Kurang bawa tongkat saja. 

"Kamu anaknya teman papiku ya?" Tanya Rissa.

"Iya, eh... Iya." Jawab Richi masih gemetaran.

"Eh, ehm, Rissa mau Abang ajak ke Disney Land?" Tanya Richi sembarang.

"Enggak!" Jawab Rissa cuek. "Eh, siapa tadi? Abang?" Rissa tertawa tak tertahankan. Richi senyum-senyum saja.

"Atau Rissa mau aku ajak ke Jeju Island?" Tanya Richi lagi.

"Nggak." Rissa menggeleng lagi.

"Rissa mau ke mana?" Tanya Richi melembut.

"Mau ke rumah Rara." Jawab Rissa jujur.

"Yaelah, Abang antar yuk!" Tawar Richi.

"Kagak dah!" Jawab Rissa.

"Nanti mau ikut Abang ke Inggris?"

"Enggak!"

"Paris yang seksi?" Tanya Richi dengan muka serius.

"Nggak!"

"Mau ke pantai Bali?" Tanya Richi lagi.

"Nggak dulu lah, Bang." Jawab Rissa dengan tekanan yang menyakitkan.

"Kenapa gak mau semua?" Tanya Richi.

"Karena sama kamu." Jawab Rissa sangat menyakitkan. Richi diam. Rissa merasa tidak enak.

Agar meminimalisir sakit hati Richi, Rissa berkata lagi. "Ada yang saya mau!" Richi yang tadi menunduk melihat meja. Kini menatap Rissa kembali.

Lanjut Rissa, "Rissa mau ke Palestina!"

Richi terbelalak. Diam sejenak, lalu membalas ucapan Rissa.

"Palestina tempat perang begitu?" Tanya Richi meneliti lagi.

"Iya." Jawab Rissa mantap.

"Kenapa kamu mau ke sana?" Tanya Richi lagi ingin mendengar argumen Rissa.

"Menjadi tenaga medis volunteer." Jawab Rissa mantap.

"Serius?" Tanya Richi lagi. Karena sebenarnya Rissa tidak serius, ia mengalihkan pembicaraan.

"Kamu kok gak pake masker? Terus pakai bertamu ke rumah orang di saat pandemi. Katanya dokter? Kok gak ngerti?" Kini Rissa menaikkan sedikit oktaf suaranya. Lalu berkata lagi, "Maaf ya Richi, saya gak punya waktu banyak. Saya mau ke rumah teman saya yang sebentar lagi mau tunangan."

Richi diam, tetapi kemudian bersuara lagi.

"Lah, itu kamu juga mau bertamu ke rumah teman kamu yang mau tunangan, kerumunan. Katanya dokter, kok.....?!" Richi tak melanjutkan perkataannya karena Rissa di depan sana menyeka matanya seperti menangis.

Rissa cuma pura-pura menangis agar Richi tak membalas serangannya barusan.

"Richi, aku pergi dulu ya." Kata Rissa.

"Aku antar ya?!" Dalam hati Rissa "malas banget."

"Gak usah, Mas Richi." Jawab Rissa.

"Panggil Abang aja. Gakpapa." Richi bangkit dari tempat duduknnya.

"Gak usah." Rissa menaikkan tangannya berkata tak usah.

"Gakpapa." 

Rissa dan Richi kini berkejar-kejaran di ruang tamu yang luas itu. Lalu Rissa pura-pura ke toilet lalu pergi lewat pintu belakang rumahnya.

"Aman gue dari kejaran burung hantu!" Rissa membatin. Ia memegang dadanya untuk melihat apakah masih berdebar atau tidak setelah mencoba melarikan diri dari Richi. 

Di belakang rumah, ia menuju arah samping rumah mencari Toyota Yaris hitamnya. Ternyata tidak ada. Mungkin dipakai mami. Lalu ia balik lagi ke dalam rumah mencoba mencari kunci Honda Jazz putihnya. Ketemu.

"Wah, sepi. Tampaknya Richi sudah kabur. Bebas nih gue!" Kata Rissa lirih.

Kini hatinya plong. Senyumnya melebar. Setelah mengambil kunci Honda Jazz putihnya di lantai atas, Rissa keluar rumah tak perlu lagi lewat samping. 

"Bi Ija, Rissa pergi dulu ya." Sapa Rissa kepada Bi Ija yang sedang membereskan hidangan tamunya tadi.

"Iya, Non. Hati-hati. Pesan mami, jangan pulang larut malam ya."

Dalam hati Rissa, "Ya udah, gak boleh pulang larut malam, gue pulangnya besok pagi aja maksut lo?" Rissa membuka pintu utama rumah menuju ke arah mobilnya.

"Tadaaa!" Tiba-tiba Richi meluncur di depan Rissa yang baru menutup kembali pintu rumah. Alphard hitam Richi berhenti tepat di depan Rissa. Richi pun turun membukakan pintu mobilnya untuk Rissa masuki. Rissa terbelalak karena kaget. Rissa membatu. Rasanya seperti dikutuk Mak Malin Kundang. Ternyata Rissa belum lepas dari kejaran burung hantu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status