Share

Rasa 2 :: Kabar Gila dari Swiss

Derap langkah terdengar dari arah luar kamar bersamaan dengan seseorang yang memanggil Livia seolah-olah sosok tersebut menghilang beberapa hari.

Gaduh. Itulah yang Livia pikirkan ketika menyadari situasi tersebut. Dia yang sedang bersantai sembari membuka-buka media sosial jadi penasaran. Melempar ponsel ke kasur dengan asal, dia bangkit dari rebahan untuk membuka pintu.

“Liiiv?”

Gadis tersebut membuka pintu. Suara itu sudah begitu dekat di telinganya. Dan benar saja, sosok Hongli sudah berdiri di depan kamarnya. Rambut acak-acakan seperti habis menerjang badai angin, napas ngos-ngosan, dan wajah tegang Hongli membuat Livia mengerutkan dahi.

Hongli mengatupkan bibirnya yang kering rapat-rapat untuk menghalau udara masuk lewat mulut dan membuat tenggorokannya makin kering. Dia menelan saliva, lalu memejamkan mata seraya menarik napas dalam-dalam. Sementara itu, punggungnya sedikit membungkuk. Jemari tangan kanannya melingkar di pergelangan atas tangan Livia, sedangkan tangan kirinya yang menggenggam ponsel tolak pinggang.

“Kamu gila, ya? Teriak pagi-pagi buta di rumah orang,” cecar perempuan yang masih santai sekali dengan baju rumahannya berupa kaos over size ungu dengan gambar beruang kutub di bagian depan. Hari ini dirinya libur kerja sehingga ingin bermalas-malasan sampai jadwal mandi tiba—sekitar pukul 08.00 WIB. Muka bantal-nya berubah garang.

Hongli nyelonong masuk dengan menyeret Livia. Tentu saja pintu kamar dibiarkan terbuka oleh Livia.

“Ada yang lebih gila,” sahutnya. Kemudian, dia duduk di kursi kerja Livia. Dirinya membiarkan head rest kursi menumpu kepala.

Masih dengan muka kesal sementara hati penuh tanda tanya, Livia menurut. Dia duduk di pinggir ranjang. Kini mereka hanya berjarak tidak lebih dari semeter karena Hongli menggeser posisi kursi.

Telunjuk Hongli menyentuh layar ponsel beberapa kali sebelum akhirnya menunjukkan sebuah laman I*******m pada Livia. “Kurasa, kamu harus tahu sekarang juga.”

Mata almond Livia memindai dengan cermat. Ada dua salindia berupa foto. Yang pertama, seseorang yang sedang berdiri sendiri di Jembatan Muhlesteg kota Zurich. Kedua, foto berupa paspor yang disandingkan dengan cokelat berbagai merek di Swiss. Di bawahnya terdapat caption bertuliskan “I’ll home. Really. Aku akan membawa Chocoku saat berkunjung ke sini.

Dalam hitungan sepersekian detik, hal itu memberikan efek tidak nyaman—jantungnya menjelma jadi genderang perang dan suhu di kamar terasa meningkat drastis. Hanya satu orang yang memanggilnya Choco. Untuk memastikan, dia menggulirkan bola mata ke nama akun dan seketika itu juga aliran darah di sekujur tubuhnya macet.

Tahu sahabatnya tidak baik-baik saja, Hongli segera menurunkan ponsel dan mengguncang pelan bahu kanan Livia. “Liv?”

Suara Hongli berhasil menarik kembali kesadaran Livia. Pandangan Livia sekarang tertuju pada Hongli. “Dia hanya iseng, kan?” tanyanya dengan suara yang nyaris tenggelam oleh syok.

Dengan berat hati, Hongli menggeleng lemah. “Aku sudah berbasa-basi dengannya via chat I*******m.”

“Kapan?” Suara Livia terdengar seperti orang belum makan beberapa hari.

Hongli mengangkat kedua bahu. “Dia tidak memberi tahu.”

Hongli tidak mengatakan sebenarnya. Alasan dia berlarian sepagi ini ke kamar Livia adalah karena mendapat kabar jika Aro sudah selesai packing dan siap menuju bandara untuk terbang kembali ke Indonesia. Rasanya akan tidak nyaman jika dia memberi informasi sepenting ini lewat telepon. Maka dari itu, dirinya memutuskan mampir sekaligus berangkat kerja.

Livia membuang wajahnya yang pucat. Tangannya yang ada di kedua sisi tubuh meremas bedcover. Jarum pendek belum tepat di angka 7, tetapi dirinya sudah mendapatkan syok terapi. Sudah dapat dipastikan jika sisa hari liburnya ini tidak akan menyenangkan.

Hongli berjengit saat tatapan cemasnya pada Livia bertemu dengan sorot mata tajam dari gadis tersebut. Dirinya membalas lewat tatapan yang penuh tanda tanya.

“Kenapa dia masih memakai panggilan itu padaku? Dia benar-benar seperti batu dan bermuka badak! Dia sama sekali tidak menyadari kesalahannya dan seakan-akan hubungannya dan aku baik-baik saja. Menyebalkan!” cerocos Livia dengan menahan ledakan emosi yang menyesakkan dada. Meskipun bersuara lantang, ada cairan bening yang menggenang di kedua sudut mata. Kedua alisnya sampai memerah.

Hongli mengambil keputusan yang tepat untuk membicarakan kepulangan Aro di sini—kamar Livia. Dia sudah menduga jika gadis tersebut tidak dapat menguasai diri seperti yang terjadi sekarang.

Livia mendecih, lalu mengangkat kedua kaki ke atas kasur. Melipat kedua lutut, dia membenamkan wajah di situ dengan berbantal lipatan lengan tangan. Bahunya bergetar tidak lama kemudian. Saat mata memejam, terbentuk bayangan berupa seonggok cokelat di tempat yang tidak jelas. Perutnya mual seketika.

Hongli memajukan badan, lalu mengulurkan tangan kanannya. Dia mengusap-usap bahu Livia.

“Haruskah aku bilang padanya tentang sebutan itu?” usulnya tanpa pikir panjang.

Sedetik kemudian, Livia mendongak, menampakkan kedua sisi pipi yang lembap. Mata dan hidung bangirnya yang mungil terlihat merah.

“Harus!” seru Livia.

Hongli agak terperanjat karena suara yang meninggi itu. Dia merasa sedang dimarahi oleh sang mama karena suatu kesalahan.

“Bukannya kamu sudah tidak benci dengan cokelat? Jadi, kurasa ideku tadi tidak perlu kamu hiraukan,” celetuk laki-laki itu dengan memasang wajah tenang. Dalam hati dia menyesal sudah melontarkan usulan tersebut.

Livia menyusut genangan cairan bening di sudut mata dengan gerakan cepat. Raut wajahnya yang masih suram menegang. “Ini masalah berbeda, Li. Kalau kamu yang memberi panggilan itu, tidak masalah, tetapi ini orang itu!” sentaknya kemudian.

Hongli bergeming sesaat karena tidak terbayang olehnya jika Livia akan seemosional ini. Dengan memberi tatapan menyesal yang tulus, dia berkata, “Oke, maaf.”

Lokasi kamar Livia yang berada di pojok ruangan membuat obrolan mereka tidak terinterupsi jika ada orang yang akan naik atau turun tangga. Hal ini membuat mereka nyaman dalam pikiran masing-masing untuk beberapa saat.

Livia mengikat rambut lurusnya dengan asal dan memecah keheningan dengan berujar, “Li, aku sudah buat keputusan.”

Hongli mengerutkan dahi karena tidak tahu ke mana arah kalimat tersebut. “Apa?”

Livia menatap tegas Hongli. “Aku akan mencari indekos yang dekat hotel.”

Mulut laki-laki itu terbuka untuk beberapa detik, lalu mengatup. Hongli menatap tidak percaya dan menghela napas. “Aku ikut. Sekarang juga aku akan minta izin ke Oma dan orang tuamu.” Seiring mulut terkatup, kakinya bergerak mengambil langkah menuju pintu.

Kali ini Livia yang tidak percaya dengan ucapan lawan bicaranya. Buru-buru dirinya bangkit dan mencekal lengan kanan Hongli. “Kamu pasti hilang akal,” gerutunya.

“Kamu yang lebih dulu hilang akal dan menulariku.” Hongli menanggapinya dengan santai.

Livia menyentak cekalannya dan memberi tatapan penuh peringatan. “Kamu tidak pikir panjang, hah? Untuk apa kamu ikut?”

Hongli terkekeh-kekeh mendengar tanggapan Livia. “Yang tidak berpikir panjang itu kamu, Liv. Buktinya, kamu tidak siap saat aku berkata akan minta izin Oma dan orang tuamu.”

Livia memicing. Sorot matanya berubah seperti serigala yang siap menerkam mangsa. “Kamu meledekku, hah?” Suaranya meninggi.

“Bu-bukan begitu,” elak Hongli sementara Livia mendorongnya untuk menjauh.

“Keluar, kamu! Keluar!” Kali ini candaan Hongli tidak berhasil.

“Liv, Liv, sorry.” Hongli ingin menarik simpati Livia kembali. Dia coba menghentikan gerakan tangan Livia.

Livia menulikan pendengaran dan terus mendorong Hongli untuk beranjak dan hilang dari hadapannya. “Pulang, pulang sekarang!”

Usaha Hongli nihil. Di depan pintu kamar Livia yang sudah tertutup rapat dan bahkan dikunci dari dalam, dia menyisir rambutnya yang lebat dan mengilap seperti iklan sampo dengan putus asa. Sekali lagi, dia tidak menyangka Livia akan mengusirnya.

Sementara itu, Livia menempati sofa tunggal yang tepat di bawah AC. Dia duduk menyila dan memejamkan mata. Pikirannya fokus mengenyahkan emosi negatif yang sedang berkuasa. Namun, foto Aro yang tersenyum di Jembatan Muhlesteg tidak mudah dia singkirkan. Alhasil, dirinya kalah dan menyerah untuk menenangkan diri.

“Ah, sial!” umpatnya lirih dengan menahan dorongan emosi di dalam dada yang menyesakkan. Dia kembali lagi menenggelamkan wajah di lipatan lutut. “Aku harus bagaimana?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status