Share

Rasa 5 :: Wajah Menyebalkan tanpa Dosa

Karena resign adalah hal yang tidak mungkin, Senin pagi ini Livia terpaksa berdiri di antara para rekan tim B-nya untuk mendengarkan perpisahan Valliant sekaligus perkenalan Aro. 

“Terima kasih untuk kerja keras dan kerja sama kalian selama saya bergabung di sini, terutama kamu, Liv,” ucap Valliant sembari melempar senyum tulus ke arah perempuan yang memasang wajah dingin. “Terima kasih sudah menjadi asisten saya selama enam bulan ini.”

Gadis yang baru bekerja setengah tahun di Hotel Betwixt Sanctuary, Bogor tersebut memberi respons berupa senyum singkat dan anggukan samar, lalu kembali ke mode dingin.

“Untuk kalian yang bertanya-tanya tentang pengganti saya, inilah dia,” ungkap Valliant sambil menepuk punggung lebar laki-laki setinggi 178 cm yang berdiri di sisi kanannya. “Mulai hari ini, bagian pastry and bakery akan diawasi oleh Chef Aro. Beliau ini lulusan universitas ternama di dunia, jadi kalian punya kesempatan belajar dan bekerja dari mentor yang lebih profesional daripada saya.”

Dengan isyarat tangan yang direntangkan, Aro paham jika Valliant memberikan ruang dan waktu untuk memperkenalkan diri. Dia menyempatkan diri mengucapkan terima kasih dengan lirih, lalu berdiri menghadap ke para rekan kerja barunya.

“Ganteng bangeet,” bisik seorang perempuan pada teman sebelahnya yang memberi tanda setuju lewat anggukan dan mata berbinar.

Livia melirik perempuan di sebelahnya itu dan mendengkus. Mereka tidak tahu saja kelakuannya, katanya dalam hati.

“.... Sebenarnya, pengalaman saya masih jauh lebih sedikit daripada Chef Valliant. Untuk itu, mari kita sama-sama belajar mengembangkan skill karena dunia kuliner itu terus berkembang! Semoga kita dapat bekerja sama dengan baik. Terima kasih.” Aro mengakhiri perkenalan dengan seulas senyum dan anggukan ringan.

“Siap, Chef!” seru semua anggota tim B sembari menegakkan tubuh, tidak terkecuali Livia. Meskipun enggan berurusan dengan Aro, tetapi masalah pekerjaan tidak dapat dia hindari.

“Nanti tanyakan saja pada Livia jika ada limpahan dari saya yang masih kamu belum paham. Maaf saya tidak bisa mendampingi lebih jauh,” ujar Valliant pada Aro sesaat sebelum keluar dari dapur. Kemarin mereka berdua sudah bertemu dan Valliant menjelaskan garis besar tugas serta wewenangnya di dapur pastry and bakery Hotel Betwixt Sanctuary ini. Beberapa detailnya pun dia jabarkan.

Aro mengangguk. “Siap, Chef.”

“Saya pamit ya.” Valliant memberikan seulas senyum.

Good luck, Chef.

Valliant menyalami mereka satu per satu sebelum akhirnya benar-benar pamit dan keluar dari dapur. Beberapa barang pribadinya yang biasa ada di loker maupun chef room sudah dia bawa pulang kemarin. Jadi, pagi ini dia hanya membawa diri untuk berpamitan.

Sepeninggal Valliant, suasana di dapur pastri kembali seperti biasa—sibuk dengan menu yang harus dipersiapkan hari ini. Aro selaku CDP baru langsung dapat menguasai alur di dapur pastri. Kemampuannya ini tidak luput dari ilmu selama kuliah di Swiss dan pengalaman bekerja di sana sejak pertengahan kuliah sampai bulan lalu. Sebenarnya, dia mengajukan resign di Juni 2022, tetapi ditangguhkan karena hotel di sana sedang sibuk menghadapi awal musim panas. Oleh karena itu, dirinya baru dapat kembali di Indonesia bulan Agustus ini.  

“Liv?” panggil Aro saat keluar dari chef room.

Suara berat dan rendah itu menyambar telinga gadis yang sedang memberi instruksi pada dua trainee untuk mengecek breakfast dari pastry and bakery section di restoran. Untuk sesaat, tubuh Livia lupa caranya bergerak. Bahkan dirinya menahan napas tanpa sadar.

“Liv, apa kamu lihat form BEO[1]?” Aro belum terlalu paham untuk masalah tata letak di chef room. Beberapa saat tadi dirinya mencari berkas terkait rencana event hari ini, tetapi belum ketemu. Terakhir dia melihatnya adalah di tangan Valliant saat mereka briefing. Laki-laki tersebut memimpin briefing untuk terakhir kali sebelum disambung dengan pamitan.

Seorang rekan kerja yang berdiri bersama Livia dan dua trainee memberi sebuah sikutan pelan, tetapi majur untuk membuat rekan kerjanya tersebut sadar.

“Coba Chef cari di boks fail warna hijau atau di atas galon,” sabut gadis tersebut dengan berusaha mengeluarkan suara senetral mungkin. Dia ingin menutupi sisa keterkejutan dan kekesalannya agar tidak ada satu pun yang curiga, termasuk Aro sendiri.

“OK, thanks.” Aro segera balik badan dan kembali untuk mencari papan form BEO untuk hari ini.

Livia tidak terlalu menghiraukan tanggapan Aro. Hidungnya tengah mengendus bau seperti makanan terbakar. Dia berjalan mendekati deretan kompor sementara matanya bergerak seperti sensor yang memindai sekitar.

Beberapa detik kemudian, seruan Livia yang memanggil seorang trainee pecah hingga membuat semua orang menoleh ke arahnya. “Kamu melamun atau bagaimana sih?”

Orang yang menjadi objek kemarahan Livia mengangkat pan berisi adonan karamel yang warnanya cokelat pekat dan mengepulkan asap lebat dari atas kompor dengan tergesa-gesa. “M-maaf, Kak,” cicitnya.

Saat mahasiswi magang itu membalikkan badan untuk menaruh pan tersebut di atas meja kerja panjang berbahan stainless steel, Livia kembali mengomel, “Hei! Ini kompor dimatikan dulu!” Dan pada akhirnya, dia yang melakukannya sendiri.

Sosok laki-laki beralis lebat dan melengkung seperti busur keluar dari chef room. Dia sudah menemukan berkas yang dicari beberapa saat lalu. Kakinya yang panjang melangkah tegas mendekati mereka berdua.

“Kamu mengantuk?” tanya Livia pada gadis berambut keriting lebat yang tentunya ditutup rapi menggunakan chef hat. Kedua tangannya kacak pinggang sementara air mukanya tidak bersahabat.

Sembari memperhatikan mereka, Aro bertanya, “Ada apa ini?”

Livia baru menyadari keberadaan laki-laki tersebut. Beruntung tubuhnya tidak sampai terlonjak—cukup jantungnya saja yang berdebar melebihi normal. Sementara itu, keterlibatan Aro membuat suhu dapur seperti turun beberapa derajat. Namun, level tegangnya meningkat beberapa tingkat hingga para rekan kerja benar-benar menghentikan obrolan.

Anak trainee itu menunduk sembari meremas apron. Dia tidak berani menatap Aro, apalagi Livia. Mata seniornya tersebut seperti mengandung kilat saat sedang naik pitam seperti sekarang ini. Dua bulan cukup bagi dirinya mengenal perangai Livia—baik maupun buruk.

“Kalau kamu tidak ada peningkatan, saya harus beri nilai berapa ke kamu?” Pertanyaan yang sarat peringatan Livia lontarkan akhirnya. Dahinya sampai berkerut saat bicara. Karena telanjur emosi, dia tidak peduli atas keberadaan orang yang dibencinya selama bertahun-tahun ini. “Nanti dikira kami yang tidak becus mengajarimu, padahal kamu yang bebal.”    

Melihat lawan bicara Livia yang gemetar dan memucat, Aro memutuskan menjadi penengah. “Liv, sudah!” Dia mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Livia, tetapi gadis di depannya itu bergerak tepat waktu.

Livia menunjuk pan berisi karamel gosong dan berkata, “Bersihkan ini!” Kemudian, dia membalikkan badan mencari trainee lain yang sedang tidak sibuk untuk  menimbang gula pasir 2 kilogram yang akan digunakan untuk membuat karamel.

Tanpa memedulikan Aro yang masih berdiri di sebelah, Livia beranjak. Dia berjalan ke arah seorang rekan kerjanya yang sedang melelehkan milk compound chocolate di atas air mendidih. Cokelat tersebut akan dibuat menjadi cokelat pralin[2]. Dari ekor mata, Livia sempat melihat Aro sedang memberi arahan pada objek kemarahannya tadi.

“Mau sesuatu?” tawar laki-laki yang memiliki tubuh paling tinggi di tim B ini.

Livia tahu apa itu sehingga langsung menengadahkan tangan. Laki-laki itu merogoh saku celana dan mengeluarkan bungkusan kecil berisi permen gummy bear. Kerlip bintang terpancar dari kedua mata Livia.

Gadis itu berterima kasih, menyimpan permennya, lalu mengambil paring knife[3] dan talenan hijau. Dengan cekatan, tangannya meraup kacang almond untuk dicincang.

Saat Livia sedang asyik bekerja, Aro menghampiri dan menyuruh Livia ikut ke chef room. Tanpa menyahut satu kata pun, Livia bergegas meninggalkan meja kerja.

Begitu berada di dalam ruangan tersebut, Aro maupun Livia tidak langsung bersuara. Aro sendiri tampak mengamati wajah putih di hadapannya dengan mimik tidak terbaca. Sementara itu, Livia membuang pandangan ke lemari besi abu-abu yang ada di belakang Aro. Tampak sekali dirinya enggan berlama-lama dengan Aro.

“Apa kamu sering mengomel seperti tadi?” Meskipun sudah mendengar dari Valliant bagaimana Livia saat berada di dapur, Aro ingin mendengar langsung dari gadis tersebut.

“Iya,” jawab Livia sekenanya.

Terdengar helaan napas dari Aro. “Maaf, tetapi aku harus bilang kalau ucapanmu tadi sedikit keterlaluan. Bicaramu terdengar kasar, padahal kamu dulu tidak pernah bicara seperti itu.”

Kalimat terakhir berhasil menarik perhatian Livia karena bola mata gadis itu langsung bergulir ke arah lawan bicara. Bukannya senang karena Aro masih mengingat sifatnya yang dulu, Livia justru mengeraskan rahang. Tatapannya pun nyalang. “Hanya karena kita pernah kenal di masa lalu, bukan berarti Chef bisa menilai sifat saya yang sekarang. Saya permisi.”

Aro tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya saat mendengar bagaimana perempuan itu menyebut diri sendiri saat bicara dengannya. Saat mendengar kata “saya” dari bibir Livia, di pelupuk matanya seperti terhampar jalan panjang dengan mereka berdua yang berdiri di masing-masing ujungnya. Mereka sangat berjarak sampai Aro ragu Livia mampu melihatnya.

Saat keluar ruangan, dada Livia naik-turun dengan cepat. Wajah Aro hari ini sama dengan saat dia muncul di depan rumahnya untuk pertama kali sejak pergi ke Swiss.  Dia pikir, yang sebenarnya keterlaluan adalah laki-laki itu. Bagaimana bisa Aro berlagak seolah-olah mereka masih saja akrab? Dari raut wajah, Aro tampak netral, seperti tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu yang membuat hubungan mereka runtuh. Apakah semua laki-laki memang mudah melupakan?

“Berengsek!” umpatnya lirih.

_____________________________________________

[1] Banquet Event Order (BEO) = lembaran berisi informasi terkait acara yang akan dilaksanakan dan digunakan setiap hari sebagai bahan acuan menyiapkan acara dan didistribusikan pula kepada departemen-departemen yang terkait di BEO tersebut

[2] Cokelat pralin = kreasi cokelat yang menonjolkan bentuk yang menarik dengan berbagai macam isian

[3] Paring knife = pisau untuk mencincang daging, memotong buah dan sayuran

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status